• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan dessert berbasis isolat protein basah ikan lele (Clarias sp.) dengan pewarna alami

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan dessert berbasis isolat protein basah ikan lele (Clarias sp.) dengan pewarna alami"

Copied!
185
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN

DESSERT

BERBASIS ISOLAT PROTEIN

BASAH IKAN LELE (

Clarias

sp.) DENGAN PEWARNA ALAMI

PATMAWATI

SKRIPSI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

PENGEMBANGAN

DESSERT

BERBASIS ISOLAT PROTEIN

BASAH IKAN LELE (

Clarias

sp.) DENGAN PEWARNA ALAMI

PATMAWATI

C34063200

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Departeman Teknologi Hasil Perairan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(3)

RINGKASAN

PATMAWATI C34063200. Pengembangan Dessert Berbasis Isolat Protein Basah Ikan Lele (Clarias sp.) dengan Pewarna Alami. Dibimbing oleh WINI TRILAKSANI dan WINARTI ZAHIRUDDIN.

Sumbangan protein ikan terhadap angka kecukupan gizi masyarakat Indonesia baru mencapai 12%, lebih rendah dari Malaysia yang mencapai 18%. Oleh sebab itu, perlu dilakukan upaya peningkatan konsumsi ikan melalui program penganekaragaman pangan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani khususnya yang bersumber dari ikan. Penambahan surimi lele diharapkan meningkatkan kandungan protein hewani cendol (dessert) yang merupakan salah satu makanan tradisional, tanpa mengubah penerimaannya secara signifikan.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan formula cendol berbasis isolat protein basah (surimi) ikan lele dan melakukan karakterisasi fisik, kimia serta menganalisis pengaruh penyimpanan pada suhu 6oC terhadap kemunduran mutu produk. Penelitian terdiri dari dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan bertujuan untuk melihat tingkat kesukaan panelis terhadap produk cendol berbasis surimi ikan lele. Hasil uji hedonik produk kemudian dilakukan pengambilan keputusan menggunakan metode Bayes. Konsentrasi surimi yang digunakan pada penelitian pendahuluan bervariasi 0%, 10%, 20%, 30%, 40%, 50% dan 60%. Hasil terbaik pada penelitian pendahuluan dikembangkan sebagai perlakuan pada penelitian lanjutan (utama). Penelitian utama bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi surimi ikan terhadap karakteristik fisik, mikrobiologi dan kimia. Rancangan percobaan pada penelitian utama digunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan dua kali ulangan untuk mengetahui pengaruh perlakuan konsentrasi surimi terhadap parameter subjektif dan objektif.

Hasil uji hedonik produk yang dilanjutkan dengan uji Bayes menunjukkan bahwa penambahan surimi 30% pada cendol menghasilkan nilai terbaik yang dapat diterima panelis. Cendol tersebut dibuat dari 30% surimi ikan lele, 11,6% rumput laut halus, 5,8% air daun suji, 29% santan, dan 23,3% tepung tapioka. Cendol surimi 30% mempunyai penampakan utuh, warna hijau menarik, tekstur lembut agak kaku dan padat, rasa yang netral (tidak ada rasa ikan), bau khas santan dan daun suji. Hasil uji proksimat kadar protein cendol surimi 30% sebesar 4,74% dan cendol komersial sebesar 1,24%. Selama 8 hari penyimpanan pada suhu ±6oC terjadi kemunduran mutu produk. Hal ini dapat dilihat dari menurunnya daya penerimaan panelis secara organoleptik, peningkatan nilai TBA dan TPC. Selama penyimpanan cendol surimi 25%, 30% dan 35% memiliki tingkat kemunduran mutu yang lebih lambat dibandingkan dengan cendol komersial. Pada hari ke-8 nilai organoleptik cendol surimi 30% untuk parameter penampakan (6), bau (6), rasa (5,2) dan tekstur (6,3), nilai TBA cendol surimi sebesar 0,1515 mg malonaldehid/kg bahan. Nilai TPC cendol komersial pada hari

ke-8 (2,1x108 koloni/g) lebih tinggi dibandingkan nilai TPC cendol surimi 30% (2,5x103 koloni/g). Cendol komersial mempunyai umur simpan relatif lebih

(4)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul ‘ pengembangan

dessert berbasis isolat protein basah ikan lele (Clarias sp.) dengan pewarna

alami’ belum pernah diajukan pada perguruan tinggi lain atau lembaga lain

manapun untuk tujuan memperoleh gelar akademik tertentu. Saya juga menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar hasil karya sendiri dan tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain kecuali bahan sebagai rujukan yang dinyatakan dalam naskah.

Bogor, Februari 2011

Patmawati

(5)

Judul Skripsi : Pengembangan Dessert Berbasis Isolat Protein Basah Ikan Lele (Carias sp.) dengan Pewarna Alami

Nama : Patmawati

NIM : C34063200

Menyetujui Pembimbing I,

(Ir. Wini Trilaksani, M.Sc ) NIP : 19610128 198601 2 001

Pembimbing II,

(Ir. Winarti Zahiruddin, MS) NIP : 19460414 197402 2 001

Tanggal Lulus :……….. Mengetahui : Ketua Departemen,

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tasikmalaya, pada tanggal 21 Maret 1988 dari pasangan Bapak Wahyudin dan Ibu Hasaroh sebagai anak ke dua dari empat bersaudara. Pendidikan formal dimulai dari SDN I Jibal dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2003, penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SLTPN 1 Bantarkalong. Pada tahun 2006 penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMAN 2 Tasikmalaya, dan diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) .

Selama studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam berbagai

organisasi kemahasiswaan diantaranya Organisasi daerah Tasikmalaya (OMDA HIMALAYA) periode 2006-2007 sebagai staff divisi dana usaha, Badan

Eksekutif Mahasiswa (BEM) FPIK periode 2007-2008 sebagai bendahara departeman kebijakan publik perikanan dan kelautan (KP2K), Forum Keluarga Muslim FPIK periode 2007-2008 sebagai staff Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM), Forum Silaturahmi Alumni ESQ (FOSMA) IPB 2007-2008 sebagai staff divisi dana usaha, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FPIK periode 2008-2009 sebagai sekretaris departeman kebijakan publik perikanan dan kelautan (KP2K), Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) IPB sebagai administrasi dan keuangan IPB Politik Center (ISPC) periode 2009-2010. Penulis juga aktif sebagai asisten praktikum m.k. Ekologi Perairan selama 2 tahun berturut-turut yaitu periode 2007-2008 dan 2008-2009, asisten m.k diversifikasi dan pengembangan produk hasil perairan, asisten m.k teknologi pemanfaatan hasil samping dan limbah periode 2009-2010, asisten m.k metode karya ilmiah periode 2010-2011. Selain itu, penulis juga aktif dalam kepanitiaan berbagai kegiatan mahasiswa di IPB.

Penulis melakukan penelitian dengan judul ’Pengembangan Dessert

Berbasis Isolat Protein Basah Ikan Lele (Carias sp.) dengan Pewarna alami’

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Fakultas

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunianya penulis dapat menyelesaikan laporan akhir skripsi dengan judul Pengembangan Dessert Berbasis Isolat Protein Basah Ikan Lele (Clarias sp.) dengan Pewarna Alami. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi, terutama kepada:

1. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc dan Ir. Winarti Zahiruddin, MS sebagai dosen pembimbing skripsi yang senantiasa memberikan arahan serta bimbingan selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.

2. Dra. Pipih Suptijah, MBA selaku dosen penguji atas saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan skripsi ini.

3. Ir. Iriani Setyaningsih, MS selaku dosen pembimbing akademik, atas segala bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada penulis.

4. Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan.

5. Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl. Biol sebagai Ketua Komisi Pendidikan Departemen Teknologi Hasil Perairan.

6. Keluarga terutama Ayah, Ibu, Kakak dan Adik-adik yang telah memberikan doa, kasih sayang dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan laporan skripsi ini.

7. Ibu Emma, Mas Zacky, Mbak Lastri, Mbak Silvi, Mas Eful, Mas Rizky, Mas Andri yang telah banyak membantu penulis selama melakukan penelitian di laboratorium.

8. Keluarga besar Departemen Teknologi Hasil Perairan, staff dosen dan Tata Usaha (TU), serta teman-teman THP 41, 42, 43, 44 dan 45 yang telah memberikan dukungan dan semangat.

9. Minal, Ratna, Cece, Tyas, Tika, Arin, Hilda, Memey, Anggi, Icha, Wahyu, Ozi, Dwi, yayan yang telah membantu selama penelitian berlangsung. 10.Cikui, Nal, Nda yang selalu memberi semangat dan tempat berbagi dalam

suka maupun duka.

(8)

11.Umi Lailatul Ahdiyah dan Maisharah Zulfa sebagai sahabat satu atap atas segala kisah dan cerita yang telah kita lewati bersama.

12.Keluarga besar BEM KM ‘Generasi Inspirasi’, khususnya teman-teman

ISPC atas kebersamaan dan pengertiannya.

13.Dan kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa laporan skripsi ini belum sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.

Bogor, Februari 2011

Penulis

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………....ix

DAFTAR GAMBAR ...x

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

1 PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang...1

1.2 Tujuan ...3

2 TINJAUAN PUSTAKA ...4

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan lele (Clarias sp.) ...4

2.2 Komposisi Kimia Ikan Lele (Clarias sp.) ...5

2.2 Surimi (Isolat Protein Basah) ...5

2.3 Protein ikan ...7

2.3.1 Sarkoplasma ...7

2.3.2 Miofibril ...8

2.3.3 Stroma ...8

2.4 Dessert ...9

2.5 Tepung Tapioka ...9

2.6 Daun Suji ...10

2.7 Rumput Laut ...11

2.8 Santan Kelapa ...14

2.9 Pemasakan ...15

2.10 Umur Simpan ...16

3 METODOLOGI ...19

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ...19

3.2 Bahan dan Alat ...19

3.3 Metode Penelitian ...19

3.3.1 Penelitian pendahuluan ...20

3.3.2 Penelitian utama ...21

3.4 Parameter Pengamatan ...24

3.4.1 Uji organoleptik ...24

3.4.2 Analisis sifat kimia ...24

3.4.2.1 Analisis kadar air (AOAC 2007) ...25

(10)

3.4.2.2 Analisis kadar abu (AOAC 2007) ...25

3.4.2.3 Analisis kadar lemak (AOAC 2007) ...25

3.4.2.4 Analisis kadar protein (AOAC 2007) ...26

3.4.2.5 Analisis kadar karbohidrat (AOAC 2007) ...27

3.4.2.6 Analisis bilangan TBA (Thiobarbituric Acid) metode Tarladgis (Fardiaz et al. 1986) ...27

3.4.2.7 Uji mikrobiologis atau Total Plate Count (TPC) (Fardiaz 1992) ...28

3.5 Analisis Data ...29

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ...32

4.1 Penelitian Pendahuluan ...32

4.1.1 Rendeman ikan lele ...32

4.1.2 Uji proksimat bahan baku ...32

4.1.3 Uji hedonik ...34

4.2.2 Kemunduran mutu selama penyimpanan. ……..…………...…49

4.2.2.1 Nilai organoleptik ...50

4.2.2.2 Nilai bilangan Thiobarbituric Acid (TBA) ...51

4.2.2.3 Nilai mikrobiologi Total Plate Count (TPC) ...53

4.3 Penentuan Formula Terbaik Cendol Berbasis Surimi ..….……….…53

4.4 Komposisi Gizi Produk Dessert (cendol) Berbasis Surimi ...55

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Komposisi kimia ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ...5

2 Komposisi ubi kayu (per 100 gram bahan) ...10

3 Komposisi kimia rumput laut (dalam 100 g bahan kering) ...13

4 Komposisi santan murni tanpa penambahan air dan santan dengan penambahan air, untuk 100 gr contoh ...15

5 Pengaruh faktor intrinsik dan ekstrinsik terhadap reaksi deteriorasi pada produk pangan ...18

6 Lembar penilaian uji sensori dengan skala hedonik ...24

7 Hasil uji proksimat bahan baku ...33

8 Formula cendol berbasis surimi lele ...20

9 Hasil analisis dengan metode Bayes ...41

10 Komposisi gizi cendol berbasis surimi sebelum dan setelah proses penyimpanan ...42

11 Hasil analisis dengan metode Bayes ………...……….54

12 Hasil perhitungan Angka Kecukupan Gizi produk cendol..………..………55

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Ikan lele (Clarias sp.) ...4

2 Daun suji (Pleomale angustifolia) ...11

3 Morfologi rumput laut Euchema cottonii...12

4 Proses pembuatan isolate protein basah (surimi) (Park dan Lin 2005)...21

5 Proses pembuatan cendol berbasis isolate protein basah (surimi) ikan lele ...23

6 Histogram nilai organoleptik Cendol berbasis surimi ikan lele ...34

7 Histogram hasil uji penampakan cendol berbasis surimi ikan lele ...35

8 Histogram hasil uji bau cendol berbasis surimi ikan lele ...37

9 Histogram hasil uji rasa cendol berbasis surimi ikan lele ...38

10 Histogram hasil uji warna cendol berbasis surimi ikan lele...39

11 Histogram hasil uji tekstur cendol berbasis surimi ikan lele ...40

12 Histogram nilai kadar air cendol berbasis surimi ikan lele ...43

13 Grafik penurunan kadar air cendol selama penyimpanan ...44

14 Histogram nilai kadar protein cendol berbasis surimi ikan lele ...44

15 Grafik penurunan kadar protein cendol selama penyimpanan ...45

16 Histogram nilai kadar lemak cendol berbasis surimi ikan lele ...46

17 Persentasi penurunan kadar lemak cendol selama penyimpanan ...46

18 Histogram nilai kadar abu dessert berbasis surimi ikan lele ...48

19 Grafik penurunan kadar abu cendol selama penyimpanan ...48

20 Histogram hasil uji kadar karbohidrat cendol berbasis surimi iken lele ...50

21 Histogram hasil uji organoleptik cendol berbasis surimi ikan lele selama penyimpanan ...51

22 Nilai Thiobarbituric Acid (TBA) cendol berbasis surimi ikan lele selama penyimpanan ...52

23 Grafik hasil uji Total Plate Count (TPC) cendol berbasis surimi ikan lele selama penyimpanan ...53

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Uji proksimat bahan baku ...63

2 Produk dessert (cendol) berbasis surimi pada penelitian pendahuluan ...63

3 Produk dessert (cendol) berbasis surimi pada penelitian utama ...64

4 Uji organoleptik penelitian pendahuluan ...65

5 Hasil analisis keragaman nilai organoleptik penelitian pendahuluan ...70

6 Uji Bayes ...72

7 Uji proksimat produk selama penyimpanan...74

8 Hasil analisis ragam (Anova) uji proksimat produk cendolberbasis surimi ...75

9 Lembar penilaian uji kemunduran mutu produk dessert (cendol) berbasis isolat protein basah ikan lele ...77

10 Uji organoleptik selama penyimpanan ...78

11 Uji Thiobarbhituric Acid (TBA) ...84

12 Uji mikrobiologi Total Plate Count (TPC) ...84

13 Perhitungan Angka Kecukupan Gizi (AKG) ...84

(14)

1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Konsumsi gizi protein masyarakat Indonesia baik di pedesaan maupun perkotaan masih belum mencapai angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Hal ini diindikasikan oleh tingkat konsumsi yang belum mencapai 100% angka kecukupan gizi dan sangat berhubungan dengan terjadinya fluktuasi tingkat konsumsi energi dan protein yang cukup tajam, terutama selama periode terjadinya krisis ekonomi dan multidimensi pada tahun 1996-1999. Belum memadainya kualitas konsumsi pangan masyarakat juga diindikasikan oleh masih rendahnya kontribusi protein hewani dalam menu makanan sehari-hari. Bahkan beras, yang merupakan pangan sumber karbohidrat utama dalam pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia masih merupakan penyumbang protein terbesar (Martianto & Soekirman 2006). Tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia pada tahun 2009 mencapai 30,17 kg/kapita/tahun lebih rendah dibandingkan Malaysia yang mencapai 45 kg/kapita/tahun (Martani 2010). Sumbangan protein ikan terhadap angka kecukupan gizi masyarakat Indonesia baru mencapai 12%, masih sangat rendah dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai 18% dari angka kecukupan gizi. Oleh sebab itu, perlu dilakukan upaya peningkatan konsumsi ikan melalui program penganekaragaman pangan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani khususnya yang bersumber dari ikan.

(15)

dikembangkan dalam rangka pemenuhan gizi masyarakat Indonesia adalah ikan lele.

Ikan lele mudah dibudidayakan dan harganya terjangkau oleh lapisan masyarakat bawah. Perkembangan produksi lele dumbo secara nasional mengalami kenaikan 18,3% per tahun dari 24.991 ton pada tahun 1999 menjadi 57.740 ton pada tahun 2003. Berdasarkan data terbaru produksi lele nasional, terjadi peningkatan 60.000 ton tahun 2004 menjadi 79.000 pada tahun 2005 (Mahyudin 2008). Ukuran ikan lele sangat menentukan nilai jualnya, karena ukuran ikan disesuaikan target pasarnya, seperti pasar retail (supermarket), restoran, dan industri olahan (processing), pada negara-negara tertentu. Untuk ikan lele ukuran konsumsi (8-12 ekor per kilogram) penjualannya tidak menemui permasalahan karena tingginya permintaan pasar. Permasalahan yang dihadapi adalah pemasaran ikan lele yang bobotnya melebihi ukuran konsumsi (oversize).

Ikan lele oversize memiliki ukuran 6 ekor per kilogram atau bahkan mencapai 1-2 ekor per kilogram. Ikan lele oversize ini jumlahnya mencapai 10% dalam tiap siklus produksinya. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian pada para pembudidaya akibat dari banyaknya lele oversize yang tak laku dijual (Trobos 2008). Ikan lele oversize tersebut sejauh ini pemanfaatannya masih kurang. Hal ini disebabkan masih banyak masyarakat yang kurang menyukai bentuknya yang besar serta bau khas yang disebabkan oleh kandungan geosmin. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya diversifikasi untuk meningkatkan nilai ekonomis ikan lele yang berukuran besar, misalnya digunakan dalam pembuatan surimi untuk bahan baku berbagai macam kamaboko dan dapat dipertimbangkan sebagai bahan pembuatan dessert salah satunya cendol.

Salah satu keunggulan daging ikan lele untuk bahan baku dalam pembuatan surimi yaitu sebagai sumber protein yang mudah dicerna. Pada daging ikan lele pun mengandung kalsium, besi, dan mineral yang baik untuk kesehatan serta rendah sodium yang dapat menghindari atau mengurangi penyakit tekanan darah tinggi (Ladewig & Donna 1992). Ikan ini memiliki daging yang putih dan rendah lemak sehingga merupakan

(16)

menggunakan berbagai jenis ikan baik ikan air tawar maupun ikan air laut. Salah satu keunggulan dari surimi ikan adalah kemampuannya untuk diolah menjadi bermacam- macam produk lanjutan dalam berbagai bentuk dan ukuran (Okada 1992).

Diversifikasi pangan sesuai kekayaan lokal merupakan bagian amat penting dari strategi pangan. Cendol merupakan salah satu jenis makanan tradisional Indonesia yang bahan baku utamanya berupa padi-padian dan kacang-kacangan, serta sudah dikenal dan digemari secara luas di Indonesia. Permintaan cendol meningkat terutama pada bulan Ramadhan. Cendol memiliki tekstur yang kenyal dan umumnya berwarna hijau (Cendraningsih 1997 & Anonim 2010). Cendol dibuat dengan cara mencampurkan beberapa jenis tepung, yang memiliki sifat yang berbeda-beda, tergantung pada jenis tepung yang digunakan. Cendol yang umum dijumpai mempunyai berbagai sifat fisik yaitu kenyal-lunak, kenyal, kenyal agak keras dan agak keras (Anggraeni 2002). Mempertimbangkan komposisi cendol yang sebagian besar berasal dari tepung-tepungan dan sifat surimi yang mampu membentuk gel yang odor less maka dengan penambahan surimi ikan diharapkan dapat meningkatkan kandungan protein hewani dari cendol yang merupakan salah satu makanan tradisional, tanpa mengubah daya terimanya secara signifikan.

1.2Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk

1) Menentukan formula dessert (cendol) berbasis isolat protein basah (surimi) ikan lele

(17)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Lele (Clarias sp.)

Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sangat digemari oleh masyarakat. Ikan lele merupakan komoditas yang dapat dipelihara dengan padat tebar tinggi dalam lahan terbatas (hemat lahan) di kawasan marginal dan hemat air (Mahyudin 2008). Adapun sistematika dan klasifikasi ikan lele adalah sebagai berikut (Saanin 1984):

Filum : Chordata Kelas : Pisces Subkelas : Telestoi Ordo : Ostariophysi Subordo : Siluroidea Famili : Clariidae Genus : Clarias

Sp.esies : Clarias sp.

Gambar 1 Ikan lele (Clarias sp.)

(18)

2.2 Komposisi Kimia Ikan Lele

Ikan yang tergolong lemak rendah mempunyai kadar lemak kurang dari 3%, lemak sedang 3-5% dan lemak tinggi lebih dari 7%. Ikan yang berprotein tinggi mempunyai kisaran protein 15-20% (Venugoval 2008, Stansby & Olcott 1963). Ikan lele termasuk dalam bahan pangan berprotein tinggi-lemak rendah. Komposisi kimia ikan lele dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

Komponen Jumlah (%)

Air 79,73

Abu 1,47

Lemak 0,95

Protein 17,71

Karbohidrat (by difference) 0,14 Sumber: Nurilmala et al. (2009)

2.2Surimi (Isolat Protein Basah)

Surimi merupakan protein miofibril hasil dari pemisahan tulang secara mekanis kemudian mendapat perlakuan pencucian dengan air dan ditambahkan

cryoprotectant sebagai penstabil. (Park & Morrissey 2000). Produksi komersial surimi dibuat dengan memisahkan daging ikan dari tulang dan kulit yang diikuti proses pencucian 1-3 kali menggunakan air atau larutan garam. Kemudian dilakukan pemerasan dan pencampuran dengan cryoprotectant untuk mencegah denaturasi protein dan kehilangan fungsinya selama penyimpanan beku (Xiong 2000). Pencucian pada dasarnya untuk mengurangi protein yang larut dalam air, diantaranya protein sarkoplasma, yang dapat mengganggu pembentukan gel surimi, dan komponen lain yang dapat menurunkan kualitas produk. Protein sarkoplasma berada dalam cairan dan diantara serat otot, termasuk banyak enzim metabolik yang dapat mengurangi kesetabilan sifat fungsional protein selama penyimpanan (Park & Lin 2005)

(19)

air tawar seperti ikan lele, tawes, nilam, dan lainnya juga dapat diolah menjadi surimi. Biasanya, untuk jenis-jenis ikan air tawar, sebelum diolah terlebih dahulu dilakukan pemberokan agar bau lumpur pada produk akhir dapat dikurangi (Peranginangin et al. 1999).

Tingkat kesegaran ikan terutama tergantung pada waktu dan suhu. Perubahan biokimia dan biofisika ikan selama fase rigor mortis secara signifikan akan merubah sifat fungsional protein ikan. Ikan sebaiknya diproses segera setelah memasuki fase rigor (Pigott 1986 diacu dalam Park & Morrissey 2000). Penggunaan ikan beku sebaiknya dihindari untuk mendapatkan kualitas surimi yang baik karena elastisitas terbaik hanya didapat dari ikan segar. Dengan kata lain kualitas surimi menjadi rendah apabila digunakan ikan yang sudah dibekukan (Keay 1986).

Selama proses pembuatan surimi faktor utama yang diperhatikan adalah suhu air pencuci dan penggilingan daging ikan. Jumlah protein larut air yang hilang selama proses pencucian tergantung pada suhu air pencuci karena akan berpengaruh terhadap kekuatan gel. Suhu air yang lebih tinggi dari 15oC akan lebih banyak melarutkan protein yang larut air. Kekuatan gel terbaik diperoleh jika hancuran daging ikan dicuci dengan air yang bersuhu 10-15oC (Suzuki 1981).

Pada proses pembuatan surimi, pencucian merupakan tahapan paling penting, khususnya untuk ikan-ikan yang mempunyai kemampuan membentuk gel yang rendah, serta pada ikan berdaging merah. Pencucian surimi bertujuan untuk melarutkan lemak, darah, enzim, dan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel (Nielsen dan Pigott 1984).

(20)

(Park & Morrissey 2000). Pencucian yang efisien dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya perbandingan air dan daging, umur ikan, kondisi dalam tangki pencucian, kecepatan dan kondisi dalam pengadukan, serta suhu air (Park & Lin 2005).

Surimi dijaga kesetabilannya menggunakan cryoprotectants selama penyimpanan. Cryoprotectants yang umum digunakan pada surimi beku adalah 5% sorbitol, 4% gula, dan 0.3% natrium polifosfat. Akan tetapi surimi yang bahan bakunya berasal dari perairan tropis akan menggunakan cryoprotectants yang mengandung 6% gula dan 0.3% natrium polifosfat. Sorbitol adalah bahan kimia yang bersifat stabil dan tidak bereaksi dengan protein (Charles & Mankoo 2005).

Surimi sebagai bahan baku dipasarkan dalam bentuk beku. Surimi yang ditambahkan dalam makanan laut berfungsi meningkatkan cita rasa produk. Untuk meningkatkan cita rasa biasanya ditambahkan anggur mirin dan agen penutup lainnya yang membantu meningkatkan aroma atau menutupi aroma amis. Besar kecilnya aroma amis yang ditimbulkan tergantung pada tipe ikan dan proses pembuatan surimi (Charles & Mankoo 2005).

2.3Protein Ikan

Secara umum, daging ikan memiliki komposisi protein 15-25%. Protein daging ikan terbagi menjadi 3 macam, yakni protein sarkoplasma, miofibril dan stroma. Protein sarkoplasma meliputi 30% dari total protein otot, kadar protein miofibril 65-75% dan protein stroma 3-5% dari total protein otot (Okada 1992).

2.3.1 Sarkoplasma

Protein sarkoplasma meliputi sebagian besar enzim yang terlibat dalam metabolisme energi dan glikolisis. Sebagian besar protein sarkoplasma memiliki bobot molekul relatif rendah, pH isoelektrik tinggi dan struktur berbentuk bulat. Karaktristik fisik ini mungkin menyebabkan daya larut sarkoplasma yang tinggi dalam air (Nakai dan Modler 2000).

(21)

protein miofibril dipanaskan selama proses pembuatan makanan, yang akan merubah fungsi dan memotong protein miofibril sehingga berpotensi menghalangi interaksi myofibril dan juga akan berpengaruh pada kemampuan pembentukan gel dari surimi. Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa protein sarkoplasma tidak mengganggu sifat pembentukan gel protein miofibril (Lanier & Carjaval 2005).

Miogen merupakan bagian dari protein sarkoplasma yang larut air. Kandungan miogen dalam otot ikan tergantung sp.esiesnya. Umumnya ikan pelagis mempunyai jumlah miogen lebih tinggi dibandingkan ikan demersal. Salah satu jenis protein sarkoplasma yang berkaitan dengan mutu daging adalah mioglobin, yang terdiri dari 2 komponen yaitu fraksi protein yang disebut globin, dan fraksi nonprotein yang disebut heme. Protein tersebut bertanggung jawab dalam memberikan warna merah pada daging segar (Suzuki 1981).

2.3.2 Miofibril

Protein miofibril berperan penting dalam proses penggumpalan dan pembentukan gel pada saat pengolahan. Penyusun utama protein miofibril adalah aktin (hampir 20% dari total miofibril) dan miosin (50-60% dari total protein miofibril) (Suzuki 1981).

Protein miofibril akan mengalami denaturasi pada kisaran nilai pH kurang

dari 6,5 sehingga berdampak pada kemampuan pembentukan gel (MacDonald et al. 2000). Pembentukan gel protein miofibril dari surimi

dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti konsentrasi protein miofibril (PLG), jumlah air yang terkandung, tipe ion dan kekuatannya, pH dan interaksi yang terjadi antara miofibril dengan bahan lain yang ditambahkan seperti

cryoprotectants (Lee 1990 diacu dalam Lee et al. 1992).

2.3.3 Stroma

(22)

gelap memiliki stroma lebih banyak dibandingkan ikan berdaging putih (Hashimoto et al. 1979 diacu dalam Suzuki 1981).

2.4Dessert

Dessert merupakan hidangan penutup dan biasanya mempunyai rasa manis. Salah satu produk dessert yang cukup terkenal di Jawa Barat adalah cendol atau dawet di Jawa Tengah. Cendol adalah jenis minuman yang dibuat dari tepung beras, tepung tapioka, tepung hunkwe atau campuran dari beberapa jenis tepung dan terbentuk menjadi bentuk tertantu akibat gelatinisasi pati. Dalam 100 gram cendol yang terbuat dari tepung beras dan tepung tapioka mengandung energi 95.80 kkal, karbohidrat 8.25 g, protein 1.21 g, dan lipid 6.44 g (Anonim 2001).

Cendol siap pakai dijual dengan cara direndam dalam air, agar setiap butiran cendol tidak lengket satu dan lainnya, dikemas dalam kemasan plastik dan disimpan di lemari pendingin. Cendol pada umumnya memiliki aroma segar yang berasal dari aroma daun suji atau daun pandan serta memiliki tekstur yang halus. Ada dua jenis cendol di pasaran yaitu cendol tepung hunkwe dan cendol tepung beras. Cendol tepung hunkwe berwarna hijau terang dan kenyal sedangkan cendol tepung beras berwarna hijau gelap dan kenyal. Pada proses pembuatan cendol, tepung hunkwe atau tepung beras ditambahkan pewarna hijau dan air, kemudian dimasak sampai kekentalan tertentu, setelah itu dicetak dengan cetakan cendol (Santoso 2000).

2.5Tepung Tapioka

Tepung tapioka dibuat dengan cara mengekstrak ketela segar, selanjutnya dikeringkan, dan dihaluskan hingga menjadi tepung tapioka. Tepung tapioka merupakan bahan baku dalam pembuatan kerupuk, lem dekstrin, gula cair, biskuit/kue kering dan biji mutiara. Tapioka mengandung amilosa 17% dan 83 % amilopektin. Bentuk granula pati tapioka hampir sama dengan pati kentang yaitu bulat telur dengan ujung terpotong. Komposisi kimia tepung tapioka dapat dilihat pada Tabel 2.

(23)

dibandingkan campuran tepung tapioka dengan tepung lainnya. Penggunaan tepung tapioka dalam industri makanan dimungkinkan karena daya penahan airnya yang tinggi serta pengaruhnya yang kecil pada citarasa. Selain itu, harga tepung tapioka lebih murah dan memberikan citarasa netral dan warna yang terang pada produk (Radley 1976).

Tabel 2. Komposisi ubi kayu (per 100 gram bahan)

Komponen Kadar

Kalori 146,00 kal

Air 62,50 gram

Phosp.hor 40,00 mg

Karbohidrat 34,00 gram

Kalsium 33,00 mg

Vitamin C 30,00 mg

Protein 1,20 gram

Besi 0,70 mg

Lemak 0,30 gram

Vitamin B1 0,06 mg

Berat dapat dimakan 75% Sumber : Rahadiyati dan Agusto (1992)

2.6Daun suji

Sejak zaman dahulu orang telah menggunakan zat warna alami sebagai pewarna bahan makanan, misalnya zat warna hijau dari daun suji, zat warna kuning dari kunyit dan sebagainya. Pewarna makanan ini digunakan untuk memperoleh beberapa keuntungan yaitu, memperbaiki penampakan makanan sehingga meningkatkan daya tarik dan memberi informasi yang lebih baik kepada konsumen tentang karakteristik makanan (Caunsell 1991). Daun suji pada umumnya diekstrak secara tradisional dengan cara ditumbuk sampai halus hingga keluar zat warna hijaunya. Bentuk daun suji dapat dilihat pada Gambar 2.

(24)

Gambar 2 Daun suji (Pleomale angustifolia)

Selain berfungsi sebagai pewarna hijau, daun suji juga memberikan aroma harum yang khas, meskipun tidak seharum daun pandan. Dalam penggunaannya, daun suji seringkali dicampur daun pandan agar aroma makanan, kue, dan minuman yang dihasilkan menjadi lebih harum. Cara penggunaannya cairan campuran hasil perasan daun suji dan daun pandan ditambahkan ke dalam bahan kue atau makanan yang diinginkan (Boga 2008).

Tumbuhan daun suji memiliki rasa yang tidak pahit, berbau harum dan bersifat dingin. Beberapa bahan kimia yang terdapat dalam daun suji diantaranya saponin dan flavonoid. Daun suji memiliki bermacam-macam nama daerah misalnya suji, hanjuang merak, dan jingkang (Sunda), jejuang bukit dan pendusta utan (Ambon), semar (Jawa) dan bakong (Madura). Bagian daun, akar dan batang dapat dimanfaatkan untuk mengobati beberapa penyakit. Efek farmakologis akar daun suji diantaranya sebagai obat nyeri lambung dan penawar racun, sedangkan daunnya untuk anti-inflamasi serta anti disentri. Daun suji berguna untuk mengobati penyakit disentri, beri-beri, kencing nanah dan nyeri haid (Hariana 2006 diacu dalam Chandra 2008).

2.7Rumput Laut

(25)

Chlorophyceae (alga hijau), Phaeophyceae (alga coklat), Rhodophyceae (alga merah) dan Cyanophyceae (alga biru hijau). Alga hijau biru dan alga hijau banyak yang hidup dan berkembang di air tawar, sedangkan alga merah dan alga coklat secara eksklusif ditemukan di habitat laut (Winarno 1990).

Euchema cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyceae), yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia. Perairan yang cocok untuk budidaya Euchema cottonii ialah perairan yang terhindar dari gelombang ombak kuat, biasanya berupa teluk atau selat (Winarno 1990). Rumput laut Euchema cottonii dapat dilihat pada Gambar 3. Klasifikasi

Euchema cottonii menurut Dotty yang dikutip Atmadja et al. (1996) adalah sebagai sebagai berikut :

Kingdom : Plantae Divisi : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae Ordo : Girgartinales Famili : Soliraceae Genus : Euchema

Spesies : Euchema cottonii atau Kappaphycus alvarezii (Doty)

Gambar 3 Morfologi rumput laut Euchema cottonii

(26)

sederhana sampai kompleks. Duri-duri pada thallus runcing memanjang, agak jarang-jarang dan tidak tersusun melingkari thallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama ke luar saling berdekatan ke daerah basal (pangkal) (Atmadja et al. 1996).

Euchema cottonii tumbuh melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram, cabang pertama dan ke dua tumbuh membentuk rumpun yang rimbun

dengan ciri khusus mengarah kearah datangnya sinar matahari (Atmadja et al. 1996). Cabang-cabang tersebut tampak ada yang memanjang atau

melengkung seperti tanduk. Jaringan tengah terdiri dari filamen-filamen yang berwarna, dikelilingi oleh sel-sel besar, kemudian dilapisi korteks dan lapisan epidermis (Anggadireja 1993).

Komposisi kimia rumput laut dipengaruhi oleh jenis rumput laut, fase (tingkat pertumbuhan), dan umur panennya. Komposisi kimia rumput laut bervariasi antara individu, spesies, habitat, kematangan, dan kondisi lingkungan. Kandungan utama rumput laut segar adalah air yang mencapai 80-90%, sedangkan protein dan lemaknya sangat kecil (Winarno 1990). Komposisi kimia rumput laut dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi kimia rumput laut (dalam 100 g bahan kering)

Kadar Jumlah

(27)

2.8Santan Kelapa

Santan merupakan emulsi minyak dalam air yang warnanya seperti susu. Santan berasal dari ekstraksi daging buah kelapa dengan atau tanpa ditambahkan air. Dalam santan terdapat lemak, air, karbohidrat, protein dan lain-lain. Komponen utama dalam santan yaitu air dan lemak. Santan di Thailand sangat popular sebagai bahan tambahan dalam masakan, biasanya digunakan sebagai bumbu kari dan dessert (Tansakul dan Chaisawang 2005).

Menurut Hagenmaier et al. (1973) diacu dalam Djarkasi (1995) sebagian besar komponen daging kelapa, terutama bahan-bahan yang larut dalam air banyak terdapat dalam santan. Beberapa macam protein yang tidak larut air juga terdapat dalam santan, karena ukuran partikel protein yang sangat kecil mampu melewati saringan pada waktu pengepresan.

Menurut Somaatmadja et al. (1973) diacu dalam Djarkasi (1995) pembuatan santan dapat dilakukan dengan proses basah yaitu sejumlah parutan kelapa dicampur dengan air. Proses ini banyak dilakukan di rumah tangga. Air kelapa dapat digunakan dalam pembuatan santan yaitu untuk dicampur dengan parutan kelapa. Semakin lama pengadukan air dengan kelapa, semakin banyak komponen daging yang terlarut. Setelah pengadukan, kemudian disaring dan diperoleh santan. Menurut Thampan (1981) diacu dalam Djarkasi (1995) ekstraksi santan dilakukan dengan penambahan air setengah sampai dua kali berat daging kelapa kemudian dimasukan ke dalam screw press atau expeller untuk mengekstraknya.

Komposisi kimia santan bervariasi tergantung pada varietas kelapa yang digunakan, umur buah dan daerah dimana kelapa tumbuh (Grimwood (1975) diacu dalam Djarkasi (1995)). Adanya penambahan air pada pembuatan santan sangat mempengaruhi komposisi kimia santan tersebut, seperti terlihat pada Tabel 4.

(28)

menggumpalnya santan krim. Pengulangan proses strerilisasi pada suhu 100 oC, 105oC dan 110oC selama 15 menit dapat memperpanjang umur simpan santan sampai 3 bulan, sedangkan krim santan yang diolah pada suhu 121oC akan mempunyai masa simpan minimal 6 bulan.

Tabel 4 Komposisi santan murni tanpa penambahan air dan santan dengan penambahan air, untuk 100 gr contoh

Komposisi Santan Murni Santan dengan peanambahan air

Sumber : Cheosakul (1967) diacu dalam Djarkasi (1995)

Kandungan air dan protein yang tinggi dalam santan kelapa dapat menyebabkan santan mudah mengalami kerusakan. Dengan adanya air maka lemak dari santan dapat terhidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak. Adanya asam-asam lemak, akan menimbulkan bau dan rasa tengik. Pemanasan dapat mengawetkan santan, namun dapat juga merusak bentuk emulsinya (Cheosakul 1967 diacu dalam Djarkasi (1995).

2.9Pemasakan

(29)

perubahan sifat sensori kearah yang kurang disukai dan kurang diterima seperti perubahan warna, tekstur, bau dan rasa.

Pemasakan bahan pangan dapat mempengaruhi bentuk kimia zat gizi yang kemudian akan berpengaruh terhadap kesediaannya, terutama zat yang labil seperti asam askorbat dan mineral (Latunde-Dada Dan Neale 1986 diacu dalam Chandra 2008). Proses pemasakan pada makanan akan menyebabkan protein, lemak, dan karbohidrat akan terurai menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana yang justru akan memudahkan dalam proses pencernaan dalam tubuh. Namun, vitamin dan mineral akan menjadi berkurang bahkan rusak dengan panas yang tinggi (Mudjajanto 1991). Pemanasan selama proses pembuatan makanan dapat juga mengakibatkan kandungan air menjadi rendah (Winarno dan Fardiaz 1973). Damayanti dan Eddy 1995 menyatakan proses pemanasan pada saat pengolahan akan menyebabkan protein mengalami degradasi dan keadaan ini tidak hanya menyebabkan penurunan nilai gizinya tetapi aktivitas protein sebagai enzim dan hormone akan hilang.

Kerusakan zat gizi berlangsung secara berangsur-angsur bergantung dari proses pengolahannya. Penggunaan peralatan masak juga dapat mempengaruhi keberadaan dari mineral. Penggunaan perkakas besi dapat menaikan kandungan besi dalam bahan pangan yang diolah dengan menggunakan perkakas tersebut (Gaman dan Sherrington 1992).

2.10 Umur Simpan

Umur simpan adalah selang waktu yang menunjukkan antara saat produksi hingga saat akhir dari produk masih dapat dipasarkan, dengan mutu prima seperti yang dijanjikan, meski setelah tanggal tersebut terdapat kemungkinan bahwa mutu produk tersebut masih memuaskan (IFT 1974 di acu dalam Arpah 2001).

(30)

Faktor mutu relevan dapat berupa kadar air pada biskuit, jumlah mikroba pada daging, kandungan asam lemak bebas pada minyak dan sebagainya. Sifat kimia, fisik atau mikrobiologi sudah sangat umum digunakan sebagai kriteria atau initial relevan faktor dalam penentuan waktu kadaluarsa pangan (Labuza 1982 dalam Arpah 2008). Sheard et al,. (2000) di acu dalam Arpah (2001), mengukur ketengikan melalui peningkatan nilai thiobarbirturic acid (TBA) dalam menentukan waktu kadaluarsa sosis dan daging babi, dimana ukuran mula-mula adalah bilangan TBA=0.0 atau mendekati nol, sedangkan batas waktu kadaluarsa ditetapkan pada nilai bilangan TBA ekivalen dengan kandungan 0.5 mg malonaldehida/kg.

Produk pangan yang mempunyai sifat-sifat kimia, fisik dan mikrobiologi tidak berkolerasi cukup besar dengan sifat organoleptik. Penentuan waktu korelasi kadaluarsa dengan penilaian organoleptik dapat memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan analisa yang bersifat instrumentatif.

Reaksi deteriorasi adalah perubahan fisik, kimia, mikrobiologis, enzimatis maupun organoleptik yang berlangsung pada produk pangan yang berpotensi menurunkan mutu dan penerimaan konsumen. Reaksi deteriorasi pada produk pangan dapat disebabkan oleh faktor ekstrinsik maupun intrinsik yang selanjutnya akan memicu reaksi di dalam produk berupa reaksi kimia, reaksi enzimatis atau lainnya seperti proses fisik dalam bentuk penyerapan uap air atau gas dari sekeliling. Ini akan menyebabkan perubahan-perubahan terhadap produk yang meliputi; perubahan tekstur, flavor, warna, penampakan fisik dan nilai gizi, mikrobiologis maupun makrobiologis. Pengaruh beberapa faktor terhadap reaksi deteriorasi dapat dilihat pada Tabel 5.

(31)

diukur dengan menentukan bilangan TBA (thiobarbituric acid). Pembentukan malonaldehid diduga melalui beberapa jenis alur reaksi, diantaranya melalui dekomposisi peroksida bentuk siklik.

Tabel 5 Pengaruh faktor intrinsik dan ekstrinsik terhadap reaksi deteriorasi pada produk pangan

Faktor intrinsik dan ekstrinsik Efek deteriorative

Oksigen - Oksidasi lipida

- Kerusakan vitamin - Kerusakan protein - Oksidasi pigmen

Uap air - Kehilangan/kerusakan vitamin

- Perubahan organoleptik - Reaksi pencoklatan - Oksidasi lipida

Cahaya - Oksidasi

- Pembentukan bau/ perubahan flavor - Kerusakan vitamin

- Kerusakan pigmen/perubahan warna

Mikroorganisme - Pembentukan racun

- Kehilangan nutrisi - Keracunan

Kompresse/bantingan, vibrasi, abrasi, penanganan secara kasar

- Perubahan organoleptik - Kebocoran pada pengemas

Bahan kimia toksik/bahan kimia Off-flavor - Off-flavor

- Perubahan organoleptik - Perubahan kimia - Pembentukan racun Sumber : Floros (1993)

(32)

3 METODOLOGI

3.1Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2010, bertempat di Laboratorium Pengolahan Hasil Perairan, Laboratorium Organoleptik, Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Hasil Perairan, Laboratorium Bahan Baku Hasil Perairan, Departeman Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dan Laboratorium Biokimia Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

3.2Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan untuk penelitian yaitu ikan lele, santan merk

kara, tepung tapioka cap tani, rumput laut Euchema cottonii dan daun suji (Pleomale angustifolia). Bahan yang digunakan untuk analisis yaitu K2SO4, HgO,

H2SO4, aquades, NaOH 40%, H3BO3, alkohol, biru metil, merah metil, heksana, tablet kjeldahl dan HCl .

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian yaitu cetakan cendol, lap, saringan, panci, kompor gas, pisau, talenan, baskom, blender, timbangan digital, food processor, plastik, kamera digital. Alat-alat untuk analisis diantaranya terdiri dari cawan, hot plate, kertas saring, kondensor, labu lemak, kjeldahl, erlemeyer,

wearing blender, pipet, tabung reaksi, vortex, oven, cawan porselin, desikator, dan soxhlet.

3.3Metode Penelitian

(33)

digunakan cendol komersial yang diproduksi pada hari yang sama oleh pengusaha cendol yang berasal dari Cimanggu.

3.3.1 Penelitian pendahuluan

Penelitian ini diawali dengan pembuatan surimi, uji proksimat bahan baku utama dan dilanjutkan dengan penentuan formula terbaik. Penentuan formula terbaik pada penelitian pendahuluan yaitu dengan mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap penggunaan bahan baku surimi dalam pembuatan dessert

(cendol) dengan beberapa konsentrasi surimi yang ditambahkan. Formula cendol berbasis surimi lele pada penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Formula cendol berbasis surimi lele No Surimi (%) Santan

(34)

baku untuk pembuatan cendol. Proses pembuatan surimi dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Proses pembuatan isolate protein basah (surimi) (Park dan Lin 2005)

3.3.2 Penelitian utama

Penelitian utama bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan surimi ikan lele pada pembuatan dessert (cendol) berdasarkan parameter fisik,

Penimbangan

Pemisahan kulit ikan dan daging

Penimbangan Penghalusan daging

Pencucian daging dengan air es, suhu ≤ 10o C dengan perbandingan 1:4

Isolat protein basah Pemfilletan

Penimbangan Ikan lele

Pengepresan Daging ikan

(35)

mikrobiologi dan kimia produk. Perlakuan yang digunakan pada penelitian utama berdasarkan pada konsentrasi surimi yang menghasilkan cendol yang paling disukai oleh panelis dari penelitian pendahuluan. Penentuan produk cendol terbaik dilakukan dengan uji Bayes terhadap nilai organoleptik (parameter penampakan, warna, aroma, rasa dan tekstur) dari cendol.

Cendol berbasis isolat protein basah ini dibuat dengan cara mencampurkan surimi dengan konsentrasi yang berbeda-beda kemudian ditambah garam 2% dari bobot daging dan dicampurkan di dalam food processor. Setelah terbentuk pasta ikan, kemudian ditambahkan rumput laut yang sudah dihaluskan. Rumput laut laut sebelum dihaluskan terlebih dahulu direndam dalam air tawar selama 9 jam. Perendaman rumput laut bertujuan untuk menghilangkan bau amis. Perendaman selain untuk menghilangkan bau amis, juga bertujuan untuk mendapatkan rumput laut dengan penampakan (warna) putih dan tekstur yang tidak lembek serta menambah besarnya volume dari rumput laut tersebut. Rumput laut yang telah direndam kemudian dipotong-potong untuk menghasilkan ukuran lebih kecil yang bertujuan untuk memudahkan dalam proses penghancuran menjadi lebih singkat (Chaidir 2007).

Penambahan air santan, air daun suji dan tepung tapioka dilakukan setelah penambahan rumput laut secara berurutan. Perbandingan daun suji dan air yang digunakan yaitu 1: 5, misalkan daun suji yang digunakan adalah 100 gram, maka air yang ditambahkan 500 ml (Angraeni, 2002). Daun suji dan air tersebut diblender selama 3 menit dan disaring. Hasil saringan tersebut siap digunakan sebagai pewarna cendol. Setelah adonan tercampur, adonan diangkat dari food processor dan dimasukan ke dalam plastik pencetak, dilanjutkan dengan pencetakan cendol. Adonan yang sudah dicetak, ditampung dalam air yang sudah mendidih untuk dilakukan pemasakan selama 7-10 menit atau sampai cendolnya mengapung. Setelah pemasakan, cendol kemudian diangkat dan ditiriskan. Cendol siap untuk dihidangkan dengan larutan gula dan ditambahkan juga santan. Proses pembuatan cendol dapat dilihat pada Gambar 5.

(36)

Cendol disimpan selama 8 hari pada suhu 6oC, karena berdasarkan hasil desk study dan percobaan (trial an eror) cendol sudah tidak layak dikonsumsi yang ditandai dengan adanya kemunduran mutu secara sensorik. Cendol komersial berdasarkan hasil suvei di lapangan mempunyai daya simpan selama 4 hari pada penyimpanan suhu rendah sekitar 8-10oC.

Gambar 5 Proses pembuatan cendol berbasis isolate protein basah (surimi) ikan lele

Surimi (25%, 30%, 35%)

Penambahan air daun suji (6,3%, 5,8%, 5,4%) dan air santan (31,3%,

29%, 26,9%)

Pemasakan selama 7-10 menit/sampai mengapung pada suhu 80-100oC

Pencetakan (ditampung diatas air panas)

Penirisan cendol

Cendol Penambahan rumput laut halus

(12,5%, 11,6%%, 10,8%)

Penambahan tepung tapioka (25%, 23,3%, 21,5%)

Pencampuran Garam 2%

Pencampuran

Pencampuran

Pencampuran

(37)

3.4Parameter Pengamatan

Parameter yang diamati pada produk cendol adalah uji organoleptik, uji proksimat (kadar air, abu, lemak, protein dan karbohidrat secara by difference), TPC dan TBA.

3.4.1 Uji organoleptik

Uji orgnoleptik yaitu uji pangan menggunakan indra manusia, kadang disebut uji sensori indra. Uji organopleptik yang dilakukan adalah uji hedonik. Uji hedonik dilakukan oleh panelis terlatih yaitu orang yang mempunyai kemampuan dan kepekaan tinggi terhadap sp.esifikasi mutu produk serta mempunyai pengetahuan dan pengalaman tentang cara-cara menilai organoleptik dan lulus dalam pembentukan panelis standar, dengan jumlah minimal 6 orang (Soekarto 1989).

Uji organoleptik yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan nilai skala hedonik yang meliputi, tekstur, penampakan, warna, aroma, rasa, dan bau yang bertujuan untuk mengetahui resp.on dari panelis terhadap produk yang dihasilkan berdasarkan tingkat kesukaannya. Uji organoleptik ini berupa uji kesukaan terhadap cendol berbasis isolat protein basah. Skala hedonik untuk penilaian uji sensori produk cendol dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Lembar penilaian uji sensori dengan skala hedonik

Skala numerik Skala hedonik

9 Amat sangat suka

8 Sangat suka

7 Suka

6 Agak Suka

5 Netral

4 Agak tidak suka

3 Tidak suka

2 Sangat tidak suka 1 Amat sangat tidak suka

Sumber : Soekarto (1989)

3.4.2 Analisis sifat kimia

(38)

3.4.2.1 Analisis kadar air (AOAC 2007)

Cawan kosong yang akan digunakan dikeringkan terlebih dahulu pada suhu 105-110oC selama 15 menit atau sampai berat konstan, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Sampel kira-kira sebanyak 2 gram ditimbang dan diletakkan dalam cawan kemudian dipanaskan dalam oven selama 3-4 jam pada suhu 105-110oC. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator dan setelah dingin ditimbang kembali. Persentase kadar air (berat basah) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

B = Berat sampel (gram)

B1 = Berat (sampel + cawan) sebelum dikeringkan B2 = Berat (sampel + cawan) setelah dikeringkan

3.4.2.2 Analisis kadar abu (AOAC 2007)

Sampel basah sebanyak 4 gram ditempatkan dalam wadah porselin kemudian dimasukkan dalam oven dengan suhu 60-105oC selama 8 jam. Kemudian sampel yang sudah kering dibakar menggunakan hotplate sampai tidak berasap selama ± 20 menit. Kemudian diabukan dalam tanur bersuhu 600oC selama 3 jam lalu ditimbang. Kadar abu dapat dihitung dengan rumus berikut:

3.4.2.3 Analisis kadar lemak (AOAC 2007)

Sampel sebanyak 0,5 gram ditimbang dan dibungkus dengan kertas saring dan diletakkan pada alat ekstraksi soxhlet yang dipasang di atas kondensor serta labu lemak di bawahnya. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya sesuai dengan ukuran soxhlet yang digunakan dan dilakukan refluks selama minimal 16 jam sampai pelarut turun kembali ke dalam labu lemak.

% Kadar air =

B

B2 – B1 X 100%

Kadar abu = 100%

Sampel Berat

abu Berat

(39)

Pelarut di dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC

selama 5 jam. Labu lemak kemudian didinginkan dalam desikator selama 20-30 menit dan ditimbang. Kadar lemak dapat dihitung berdasarkan rumus:

3.4.2.4 Analisis kadar protein (AOAC 2007)

Analisis kadar protein dilakukan dengan metode kjeldahl. Sampel sebanyak 0,1 gram dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 30 ml. Kemudian ditambahkan K2SO4 (1,9 gram), H2SO4 (2,5 ml) serta beberapa tablet kjeldahl. Sampel dididihkan sampai berwarna jernih (sekitar 1-1,5 jam); didinginkan dan dipindahkan ke alat destilasi. Lalu dibilas dengan air sebanyak 5-6 kali dengan akuades (20 ml) dan air bilasan tersebut juga dimasukkan dalam wadah yang terdapat di bawah kondensor dengan ujung kondensor terendam di dalamnya. Ke dalam tabung destilasi ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 20 ml. Cairan dalam ujung kondensor ditampung dengan erlenmeyer 125 ml berisi larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator (campuran metil merah 0,2% dalam alkohol dan metilen biru 0,2 % dalam alkohol dengan perbandingan 2:1) yang diletakkan di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh kira-kira 200 ml destilat yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam erlenmeyer. Destilat dititrasi dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah. Kadar protein dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

(40)

3.4.2.5 Analisis kadar karbohidrat (AOAC 2007)

Analisis karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil pengurangan dari 100 % dengan kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak, sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangannya. Hal ini karena karbohidrat sangat berpengaruh terhadap zat gizi lainnya. Analisis karbohidrat dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

3.4.2.6 Analisis bilangan TBA (Thiobarbituric Acid) metode Tarladgis (Fardiaz et al. 1986)

Sampel ditimbang sebanyak 10 gram dengan teliti, lalu dimasukkan ke dalam blender, kemudian ditambahkan 50 ml akuades dan dihancurkan. Sampel yang telah dihancurkan dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu destilasi sambil dicuci dengan 47,5 ml akuades. Selanjutnya ditambahkan ± 2,5 ml HCl 4 M (atau hingga pH menjadi 1,5). Sampel didestilasi dengan menggunakan pendingin tegak (alat destilasi) hingga diperoleh cairan destilat sebanyak 50 ml selama ± 10 menit pemanasan. Destilat yang diperoleh diaduk hingga homogen dan dipipet ke dalam tabung reaksi bertutup sebanyak 5 ml. Pereaksi TBA ditambahkan sebanyak 5 ml, kemudian divorteks hingga homogen. Larutan sampel dipanaskan dalam air mendidih selama 35 menit kemudian didinginkan dengan air mengalir selama 10 menit.

Larutan blanko dibuat dengan menggunakan 5 ml akuades dan 5 ml pereaksi dengan cara yang sama seperti penetapan sampel. Larutan blanko

digunakan sebagai titik nol dalam pengukuran absorbansinya pada panjang gelombang 528 nm. Bilangan TBA didefinisikan sebagai mg malonaldehid per kg sampel. Perhitungan bilangan TBA dalam sampel dilakukan melalui persamaan berikut:

Bilangan TBA = 7,8 x A528 Keterangan:

TBA = Thiobarbituric Acid (mg malonaldehid per kg sampel) A528 = Nilai absorbansi pada panjang gelombang 528 nm

(41)

3.4.2.7 Uji mikrobiologis atau Total Plate Count (TPC) (Fardiaz 1992)

Prinsip kerja dari analisis TPC adalah perhitungan jumlah koloni bakteri yang ada di dalam sampel dengan pengenceran sesuai keperluan dan dilakukan secara duplo. Seluruh pekerjaan dilakukan secara aseptik untuk mencegah kontaminasi yang tidak diinginkan dan pengamatan secara duplo dapat meningkatkan ketelitian. Jumlah koloni bakteri yang dapat dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri antara 30-300 koloni.

Cawan petri, tabung reaksi dan pipet sebelum digunakan disterilkan terlebih dahulu dalam oven pada suhu 180oC selama 2 jam. Media disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit dengan tekanan 1 atm. Setelah disterilisasi, untuk menjaga agar media tidak membeku suhu media dipertahankan pada 45-55oC dalam penangas air. Pembuatan larutan pengencer dilakukan dengan cara melarutkan 8,5 gram NaCl dalam 1 liter aquades yang kemudian disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit.

Sebanyak 10 gram sampel yang dihaluskan terlebih dahulu, dilarutkan ke dalam erlemeyer yang berisi larutan garam fisiologis pengencer steril dengan volume 90 ml sehingga didapatkan pengenceran 10-1. Dari larutan tersebut dipipet 1 ml, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 9 ml larutan pengencer steril untuk memperoleh pengenceran 10-2. Demikian seterusnya sampai didapat pengenceran 10-5, disesuaikan dengan pendugaan tingkat kebusukan dessert berbasis isolate protein pada saat pengamatan. Dari setiap pengenceran tersebut diambil dengan menggunakan pipet sebanyak 1 ml selanjutnya dimasukkan ke dalam cawan petri yang sudah disterilkan. Setiap pengenceran dilakukan secara duplo. Ke dalam cawan tersebut ditambahkan media nutrient agar (NA), kemudian setiap cawan tersebut digerakkan secara melingkar di atas meja supaya media NA merata. Setelah NA membeku, cawan petri diinkubasi dalam inkubator selama 48 jam pada suhu 35oC, cawan petri tersebut diletakkan secara terbalik dalam inkubator.

Setelah masa inkubasi, koloni yang tumbuh pada cawan petri dihitung dengan jumlah koloni yang dapat diterima 30-300 koloni per cawan. Nilai TPC dapat dihitung dengan memakai rumus berikut:

(42)

3.5 Analisis Data

Analisis data dari hasil penelitian pendahuluan berupa nilai hedonik produk menggunakan uji Kruskall-Wallis yang dilanjutkan dengan uji lanjut

Multiple Comparison untuk melihat pengaruh konsentrasi surimi yang digunakan terhadap parameter penampakan, rasa, aroma, warna dan tekstur.

Pengambilan keputusan untuk memilih konsentrasi yang terbaik pada penelitian pendahuluan menggunakan metode Bayes. Metode Bayes merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk melakukan analisis dalam pengambilan keputusan terbaik dari sejumlah alternatif dengan tujuan menghasilkan perolehan yang optimal. Untuk menghasilkan keputusan yang optimal perlu dipertimbangkan berbagai kriteria (Marimin 2004).

Adanya perlakuan merupakan kriteria yang perlu dipertimbangan dalam pemilihan cendol (berbasis isolat protein basah ikan lele) yang paling disukai dilakukan pada penelitian pendahuluan. Pemilihan cendol yang paling disukai dengan uji indeks kinerja didasarkan pada total nilai yang paling tinggi dari setiap perlakuan. Parameter yang dibobot meliputi karakteristik sensori aroma, rasa, aroma, penampakan dan tekstur. Nilai kepentingan masing-masing parameter sensori yang digunakan terdiri dari 5 nilai numerik, dimana 1 mewakili tidak penting, 2 mewakili kurang penting, 3 mewakili biasa, 4 mewakili penting dan 5 mewakili sangat penting. Nilai kepentingan bisa diperoleh dari hasil kuisioner panelis atau menurut pendapat ahli.

Rancangan percobaan pada penelitian utama digunakan untuk mengetahui pengaruh perlakuan konsentrasi surimi terhadap parameter subjektif dan objektif yaitu rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan dua kali ulangan. Konsentrasi surimi yang digunakan sebagai perlakuan sebesar 25%, 30%, dan 35% serta cendol komersial sebagai pembanding. Menurut Steel and Torie (1991) dengan model uji rancangan acak lengkap sebagai berikut:

Keterangan:

(43)

τi = pengaruh perlakuan ke-i

εij = galat pada perlakuan ke i dan ulangan ke j i = perlakuan ke i

j = ulangan ke j

Data dianalisis dengan menggunakan analisis ragam oneway ANOVA. Apabila hasil analisis ragam memberikan pengaruh yang berbeda nyata (tolak H0), maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan.

Analisis yang digunakan terhadap data hasil organoleptik yaitu menggunakan uji Kruskall-Wallis. Prosedur pengujian uji Kruskall-Wallis berdasarkan rumus (Steel dan Torrie 1989):

Keterangan:

ni = banyaknya pengamatan n = banyaknya data

Ri = jumlah Rataan tiap perlakuan ke-i

t = banyaknya pengamatan yang seri dalam ulangan

H’ = H terkoreksi FK = Faktor koreksi

(44)

Keterangan:

Ri = Rataan nilai ranking perlakuan ke-i Rj = Rataan nilai ranking perlakuan ke-j k = jumlah perlakuan

N = jumlah data yang dibandingkan

α = 0.05

(45)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahulun bertujuan untuk mempelajari karakteristik fisik dan kimia bahan baku, mencari formula yang menghasilkan cendol terbaik dan diterima oleh panelis dengan menggunakan uji hedonik dan dilanjutkan dengan analisis pengambilan keputusan menggunakan metode Bayes.

4.1.1 Rendeman ikan lele

Rendeman ikan adalah perbandingan berat antara daging dengan ikan utuh (Hadiwiyoto, 1993). Perhitungan rendeman bertujuan untuk memperkirakan jumlah bagian dari ikan yang dapat digunakan untuk pembuatan isolate protein basah ikan lele (Surimi). Ikan lele yang digunakan mempunyai ukuran 4-6/kg dengan berat antara 177-247 gram/ekor. Rendemen daging lele didapat 51,32% dan rendeman surimi 25,64%. Berdasarkan hasil penelitian Nurimala (2009) menunjukkan bahwa rendemen daging putih lele sebesar 37,17 %, dengan berat ikan lele yang digunakan berkisar antara 100-110 g/ekor. Berdasarkan hasil uji menunjukkan bahwa semakin besar ikan lele yang digunakan, rendemen dagingnya semakin besar.

4.1.2 Uji proksimat bahan baku

Parameter kimia yang dianalisis pada daging ikan lele dan surimi yaitu kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar air dan karbohidrat (by difference). Daging ikan lele setelah mengalami proses pencucian untuk selanjutnya diolah menjadi surimi mengalami penurunan kadar abu, kadar lemak dan kadar air tetapi kadar proteinnya meningkat. Surimi ikan lele mempunyai nilai kadar abu, protein, lemak, air dan karbohidrat secara berturut-turut sekitar 0,60%, 16,65%, 1,33%, 79,48%, 1,95%. Hasil uji proksimat bahan baku serta kandungan gizi silver carp

(46)

Tabel 8 Hasil uji proksimat bahan baku Ikan Lele (Clarias sp.)

Silver carp (Hypophthalmichthys

molitrix)*

Daging Surimi Daging Surimi

Kadar abu (%) 1.30±0.12 0.60±0.01 0.93±0.09 0.56±0.07 Kadar protein (%) 15.40±0.53 16.65±0.40 15.61±0.82 16.12±0.53 Kadar lemak (%) 1.58±0.00 1.33±0.00 3.1±0.17 0.63±0.08 Kadar air (%) 80.56±0.12 79.48±0.17 80.9±1.44 82.45±81.34 Kadar karbohidrat

(by difference) (%)

1.18±0.53 1.95±0.58

*Sumber : Hossain et al. (2008)

Nielsen dan Pigott (1984) menyatakan, salah satu tujuan pencucian daging ikan pada proses pembuatan surimi yaitu membuang lemak dari daging ikan. Pada proses pembuatan surimi, pencucian merupakan tahapan paling penting, khususnya untuk ikan-ikan yang mempunyai kemampuan membentk gel yang rendah, serta berdaging merah. Pencucian surimi bertujuan untuk melarutkan lemak, darah, enzim, dan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel. Rodergues et al. (2004) diacu dalam Chaijan et al. (2010), mengatakan bahwa secara umum ikan air tawar memiliki kadar lemak yang lebih tinggi dibandingkan ikan yang hidup secara liar di alam, karena ruang gerak lebih sempit dan kelebihan makanan (overfeeding).

(47)

4.1.3 Uji hedonik

Cendol yang sudah dimasak selanjutnya dilakukan uji organoleptik. Dalam penelitian pendahuluan ada lima parameter yang diukur yaitu penampakan, bau, rasa, warna dan tekstur (Gambar 6). Foto-foto produk pada penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Lampiran 2.

Gambar 6 Histogram nilai organoleptik Cendol berbasis surimi ikan lele

4.1.3.1 Penampakan

Penerimaan konsumen terhadap suatu makanan diantaranya dipengaruhi oleh status sosial dan mutu makanan menurut keyakinannya. Penampakan pangan merupakan faktor terpenting yang berpengaruh, karena faktor inilah yang pertama kali dilihat. Faktor-faktor selanjutnya adalah warna, kemudian aroma, rasa dan tekstur makanan tersebut (Muchtadi, 2001). Berdasarkan hasil uji kesukaan yang dilakukan panelis terhadap cendol berbasis surimi diketahui bahwa nilai kesukaan terhadap nilai penampakan mempunyai kisaran nilai 4,07 sampai 5,93 (Gambar 7). Penampakan cendol yang paling disukai panelis yaitu cendol dengan surimi 60%, dimana cendol tersebut mempunyai penampakan yang menarik dengan bentuk utuh dan padat.

Hasil uji Chi-square menunjukkan bahwa penggunaan surimi sebagai bahan baku memberikan pengaruh yang nyata terhadap penampakan cendol berbasis surimi. Hal ini diperkuat dengan uji lanjut yang menunjukkan adanya perbedaan nyata antara cendol yang menggunakan surimi ikan lele 0% dibandingkan cendol

(48)

dengan penambahan surimi ikan lele 60%. Semakin tinggi surimi yang ditambahkan penampakan cendol semakin baik. Cendol tersebut saling terpisah satu sama lain, mempunyai tekstur kenyal, elastis, utuh, dan padat. Semakin rendah konsentrasi surimi yang ditambahkan tekstur cendol semakin lembek seperti bubur. Pada cendol menggunakan surimi ikan lele 20% menunjukkan penampakan yang berbeda nyata dibandingkan cendol dengan 30% surimi ikan lele. Cendol berbasis surimi ikan lele 60% dan 30% menunjukkan penampakan yang berbeda dibandingkan perlakuan yang lainnya. Hasil analisis nilai penampakan dapat dilihat pada Lampiran 5.

Penampakan pada cendol berbasis surimi dipengaruhi oleh konsentrasi surimi, santan, tepung tapioka, daun suji, dan rumput laut yang digunakan dalam pembuatan adonan. Perbandingan yang tepat dari bahan adonan akan mempengaruhi penampakan produk. Pengaturan suhu dan lamanya proses pengolahan juga akan mempengaruhi penampakan. Selain itu, pewarna makanan yang digunakan akan mempengaruhi penampakan. Pewarna yang ditambahkan pada produk cendol berupa ekstrak daun suji yang merupakan pewarna alami. Pemasakan dengan menggunakan suhu tinggi akan merusak pigmen yang terdapat pada daun suji sehingga nilai penampakan akan semakin menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi surimi yang ditambahkan. Daun suji memiliki pigmen klorofil yang berwarna hijau. Krorofil merupakan senyawa yang tidak stabil (Winarno 2008).

(49)

4.1.3.2 Bau (Aroma)

Aroma suatu produk sangat berpengaruh terhadap selera konsumen, yang berkaitan dengan indra penciuman yang menimbulkan keinginan atau hasrat untuk mengkonsumsinya. Aroma yang enak akan menggugah selera, sedangkan aroma yang tidak enak akan menurunkan selera konsumen untuk mengkonsumsi produk tersebut. Produk cendol berbasis surimi ikan lele dalam penelitian ini memiliki aroma yang khas dari daun suji dan santan. Aroma ikan telah direduksi karena telah diolah menjadi surimi. Surimi yang baik dapat membentuk tekstur, tidak berwarna dan tidak berbau pada produk akhir yang dihasilkan, oleh karena itu dengan adanya proses pencucian diharapkan akan meningkatkan kualitas surimi ( Park & Lin 2005).

(50)

Gambar 8 Histogram nilai aroma cendol berbasis surimi ikan leledengan berbagai konsentrasi

4.1.3.3 Rasa

Berdasarkan hasil uji kesukaan (hedonik) diketahui bahwa nilai rasa cendol berbasis surimi dengan konsentrasi 0-60% berkisar antara 4,73 sampai 6,27 (Gambar 9). Nilai rasa cendol yang paling disukai oleh panelis yaitu dengan penggunaan surimi 30%, dan nilai terendah pada penambahan konsentrasi surimi 60%. Penambahan surimi 30% menghasilkan cendol yang mempunyai rasa yang enak, gurih, dan tidak asin. Formula cendol dengan penggunaan surimi 30% menghasilkan cendol dengan rasa santan dan daun suji yang enak. Cendol dengan penggunaan surimi lebih dari 30%, masih menimbulkan rasa amis dan asin yang berasal dari garam yang ditambahkan pada saat pembuatan adonan untuk melumatkan daging ikan sehingga dapat tercampur dengan bahan lain.

(51)

30%, tetapi tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap cendol perlakuan lainnya.

Gambar 9 Histogram nilai rasa cendol berbasis surimi ikan lele dengan berbagai konsentrasi

Menurut Charles dan Mankoo (2005), garam berfungsi sangat penting dalam mengektraksi protein miofibril yang berbentuk struktur 3 dimensi ketika proses pemasakan dengan panas. Garam digunakan sebagai penyedap rasa. Namun dalam konsentrasi yang tinggi akan memperburuk rasa produk. Garam dapat juga mempengaruhi tekanan uap dari berbagai komponen rasa, dengan memaksa komponen rasa tersebut keluar dari larutan dan akan mempengaruhi profil rasa produk.

4.1.3.4 Warna

Gambar

Tabel 5 Pengaruh faktor intrinsik dan ekstrinsik terhadap reaksi deteriorasi pada produk pangan
Gambar 4.
Gambar 5 Proses pembuatan cendol berbasis isolate protein basah (surimi)
Tabel 7 Lembar penilaian uji sensori dengan skala hedonik
+7

Referensi

Dokumen terkait

Proses ekstraksi dan fermentasi daun/ ranting tanaman dipengaruhi oleh jenis pelarut, hal ini disebabkan ion/ unsur makro dalam daun/ ranting dapat larut dengan sempurna pada

Bagi wanita yang memiliki riwayat keluarga yang sedang atau pernah men- derita kanker payudara sebaiknya dapat menghindari faktor risiko kanker payu- dara seperti tidak menunda

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data empiris atau fakta-fakta yang sahih atau valid, benar dan dapat dipercaya untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara

Memberikan masukan terhadap ahli gizi Rumah Sakit untuk meningkatkan asupan asam folat dan vitamin B12 pada pasien yang mengalami depresi dengan cedera tulang belakang melalui

Untuk pelaksanaan pengujian, Saudara agar membuat proposal pengujian lapang yang meliputi : bahan, metoda, tempat, pelaksana, waktu dan biaya yang diperlukan.. Proposal pengujian

[r]

Proyek yang dilaksanakan oleh mahasiswa dilakukan dengan tahapan studi literatur, perancangan perangkat keras, perancangan perangkat lunak, simulasi dan implementasi dalam

Upaya untuk menunjang program restrukturisasi khususnya Bank Mandiri, dibutuhkan suatu penilaian kinerja keuangan yang mencerminkan penciptaan nilai tambah secara ekonomis