• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Perihal HIV/AIDS

HIV (Human Immunodeficiency Virus) atau biasa disebut virus pelemah

kekebalan tubuh manusia. HIV adalah sebuah organisme kecil yang menyerang

makhluk hidup dengan berkembang biak (Reuben, Granich, 2003:6).

HIV menyebabkan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). AIDS

adalah sekumpulan gejala yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh

manusia yang didapat (bukan keturunan) dan disebabkan oleh virus HIV. Seseorang

baru disebut terkena AIDS apabila sudah menampakkan berbagai gejala penyakit

yang menyerang tubuh karena hilangnya daya tahan tubuh (Clara, Ajisuksmo dkk,

2004: 84).

Pada dasarnya HIV adalah jenis parasitobligate yaitu virus yang hanya dapat

hidup dalam sel atau mediahidup. Virus ini ”senang” hidup dan berkembang biak

pada sel darahputih manusia. HIV akan ada pada cairan tubuh yang mengandung

seldarah putih, seperti darah, cairan plasenta, air mani atau cairan sperma,cairan

sumsum tulang, cairan vagina, air susu ibu dan cairan otak. HIVmenyerang salah

satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugasmenangkal infeksi. Sel darah putih

tersebut termasuk limfosit yang disebut”sel T – 4” atau disebut pula ”sel CD-4.

2.4.1. Potensi Penularan HIV/AIDS

Cara penyebaran HIV sangat bervariasi. Menurut Dep Kes RI (2006), sejak

ditemukannya kasus AIDS pertama kali di Indonesia pada tahun 1987(Pusat Data

dan Informasi Departemen Kesehatan RI. 1987-2006)berdasarkan analisis situasi di

Indonesia terdapat beberapakondisi potensial yang dapat memicu penyebaran

HIV/AIDS, yaitu :

Pertama, Distribusi penyakit HIV/AIDS mengena pada Laki-laki dan

Perempuan. Dari kasus AIDS yang dilaporkan perempuan lebih rentan tertular dan

lebih menderita akibat infeksi ini. Beberapa studi menunjukkan bahwa penularan

HIV pada laki-laki ke perempuan melalui hubungan seks dua kali lipat dibandingkan

dari perempuan kepada laki-laki. Penularan pada perempuan dapat berlanjut dengan

penularan pada bayi jika terjadi kehamilan. Resiko penularan HIV dari ibu pengidap

HIV ke bayinya berkisar 15 – 40%. Bayi yang lahir dari seorang ibu pengidap HIV

mungkin akan terinfeksi HIV sebelum, selama , atau sesudah proses kelahirannya.

Penularan juga dapat terjadi melalui Air Susu Ibu (ASI).

Kedua, Penular AIDS tergolong usia produktif. Menurut umur, proporsi

kasus AIDS terbanyak dilaporkanpada kelompok umur 20 – 29 tahun (54,76%)

disusul kelompokumur 30 - 39 tahun (27,17%) dan kelompok umur 40 – 49

tahun(7,9%). Ketiga kelompok tersebut termasuk dalam kelompok usiaproduktif.

Diserangnya kelompok usia produktif ini merupakan satuhal yang perlu diperhatikan

mengingat kelompok penduduk inimerupakan aset pembangunan bangsa.

Ketiga, Kasus AIDS pada bayi dan anakDijumpainya kasus HIV/AIDS pada

bayi dan anak kurangdari 15 tahun disebabkan oleh karena tertular dari ibunya

saatkehamilan, persalinan maupun ASI, transfusi darah/komponendarah atau

penularan seksual oleh orang-orang yang tidakbertanggung jawab. Anak-anak juga

mempunyai resiko besarterinfeksi HIV karena pengetahuan mereka tentang cara

penularandan melindungi diri dari penularan HIV sangat terbatas. Disampingitu

mereka juba bisa menjadi yatim piatu karena orangtuanyameninggal akibat AIDS

dan membutuhkan perhatian khusus darikeluarga dan masyarakat.termasuk

pemerintah pusat maupundaerah.

Keempat, Penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik dan kontak

seks.Penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik dan kontak seks.Dari kasus AIDS

yang dilaporkan ternyata penularan dapat terjadi melalui penggunaan jarum

suntikbersama/tercemar virus HIV pada penyalah guna NAPZA suntik(IDU). Cara

penularan lain yang dilaporkan adalahmelalui hubungan homoseksual, tranfusi

darah/komponendarah termasuk pada hemophilia, melalui perinatal juga dapat

menularkan HIV/AIDS kepada siapa saja dan kapanpun.

Penjelasan tersebut dapat dipersempit bahwa ada empat penyebab utama

terjadinya infeksi virus HIV/AIDS. Penyebab pertama adalah hubungan seksual

secara langsung antara penderita dan yang tertular. Penyebab kedua adalah melalui

transfuse darah yang berasal dari orang yang terinfeksi virus HIV sehingga HIV

dapat masuk ke dalam tubuh. Penyebab ketiga adalah melalui pemakaian jarum

suntik tidak steril secara bergantian yang digunakan oleh penderita infeksi virus HIV

dengan rekannya sesama pengguna narkoba. Penyebab keempat adalah melalui ibu

hamil dan menyusui yang terinfeksi virus HIV/AIDS, kemudian menularkannya pada

anak yang masih ada di dalam kandungan (Rusmiyati, 2007:76).Transmisi

HIV/AIDS tersebut dapat kita bagi menjadi sebagai berikut:

a. Transmisi melalui kontak seksual

Kontak seksual merupakan salah satu cara utama transmisi HIV di berbagai

negara. Hubungan seksual secaravagina, anal, dan oral dengan penderita HIV tanpa

perlindunganbisa menularkan HIV. Virus HIV dapat ditemukan dalam cairansemen,

cairan vagina dan cairan serviks (Nursalam, 2009).Virus akan terkonsentrasi dalam

cairan semen, terutama bila terjadipeningkatan jumlah limfosit dalam cairan, seperti

pada keadaanperadangan genitalia misalnya uretritis, epididimitis, dankelainan lain

yang berkaitan dengan penyakit menular seksual (Nasronudin, 2007). Selama

hubungan seksual berlangsung,cairan semen, cairan vagina dan darah dapat

mengenai selaputlendir vagina, penis, dubur atau mulut sehingga HIV yang terdapat

dalam cairan tersebut masuk ke dalam darah (Nasronudin, 2007).

b. Transmisi melalui darah atau produk darah

HIV dapat ditransmisikan melalui darah dan produk darah. Terutama pada

individu pengguna narkotika intravena dengan pemakaian jarum suntik secara

bersama dalam satukelompok (Nasronudin, 2007). Dapat juga pada individu

yangmenerima transfusi darah atau produk darah yang mengabaikan tes penapisan

HIV.

c. Transmisi secara vertical

Transmisi secara vertikal dapat terjadi dari ibu yangterinfeksi HIV kepada

janinnya sewaktu hamil, sewaktupersalinan, dan setelah melahirkan melalui

pemberian Air SusuIbu (ASI) (Nasronudin, 2007). Angka penularan

selamakehamilan sekitar 5-10%, melalui persalinan 10-20%, dan saatpemberian ASI

10-20% (Nasronudin, 2007). Penularan selamapersalinan terjadi melalui transfusi

fetomaternal atau kontakantara kulit atau membran mukosa bayi dengan darah

atausekresi maternal saat melahirkan (Lily V, 2004 dalam Nursalam, 2009).

d. Transmisi melalui alat kesehatan yang tidak steril.

Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum,tenakulum, dan alat-alat lain

yang menyentuh darah, cairanvagina atau cairan semen yang terinfeksi HIV dan

langsungdigunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi bias menularkan HIV

(Nursalam, 2009).

e. Transmisi pada petugas kesehatan dan petugas laboratorium.

Risiko penularan HIV terdapat pada kelompok pekerjayang terpapar HIV

seperti petugas kesehatan, petugas laboratorium, dan orang yang bekerja dengan

spesimen ataubahan yang terinfeksi HIV, terutama bila menggunakan bendatajam

(Nasronudin, 2007). Berbagai penelitian multi institusimenyatakan bahwa risiko

penularan HIV setelah kulit tertusukjarum atau benda tajam lainnya yang tercemar

oleh darahseseorang yang terinfeksi HIV adalah sekitar 0,3% sedangkanrisiko

penularan HIV akibat paparan bahan yang tercemar HIVke membran mukosa atau

kulit yang mengalami luka adalahsekitar 0,09% (Nasronudin, 2007).

Dari kasus AIDS yang dilaporkan ternyata penularanterbanyak terjadi melalui

penggunaan jarum suntikbersama/tercemar virus HIV pada penyalah guna NAPZA

suntik(IDU) yaitu sebesar 50,3% dan penularan melalui hubunganheteroseksual

40,3%. Cara penularan lain yang dilaporkan adalahmelalui hubungan homoseksual

4,2%, tranfusi darah/komponendarah termasuk pada hemofilia 0,1%, melalui

perinatal 1,5% dan3,6% tidak diketahui.

Kerusakan progresif pada sistem kekebalan tubuh menyebabkanorang dengan

HIV/AIDS (ODHA) amat rentan dan mudah terjangkitbermacam-macam penyakit. .

Serangan penyakit yang biasanyayang tidak berbahayapun lama kelamaan akan

menyebabkanpasien sakit parah, bahkan meninggal. Tidak ada pentunjuk/buktibahwa

HIV dapat menular melalui kontak sosial, alat makan, toilet,kolam renang, udara

ruangan, maupun oleh nyamuk/serangga.

2.4.2. Manifestasi Klinis HIV/ AIDS

Manifestasi Klinis HIV/ AIDSSeseorang yang terinfeksi HIV, 2-6 minggu

kemudian (rata-rata 2minggu) terjadilah sindrom retroviral akut. Lebih dari separuh

orang yangterinfeksi HIV akan menunjukkan gejala infeksi primer ini yang

dapatberupa gejala umum (demam, nyeri otot, nyeri sendi, rasa lemah),kelainan

mukokutan (ruam kulit, ulkus di mulut), pembengkakan kelenjarlimfe, gejala

neurologi (nyeri kepala, nyeri belakang kepala, fotofobia, depresi), maupun

gangguan saluran cerna (anoreksia, nausea, diare,jamur di mulut). Gejala ini dapat

berlangsung 2-6 minggu gejalamenghilang disertai serokonversi.

Selanjutnya merupakan faseasimtomatik, tidak ada gejala, selama rata-rata 8

tahun (5-10 tahun, dinegara berkembang lebih cepat). Sebagian besar pengidap HIV

saat iniberada pada fase ini. Penderita tampak sehat, dapat melakukan

akfivitasnormal tetapi dapat menularkan kepada orang lain. Setelah masa

tanpagejala, memasuki fase simtomatik, akan timbul gejala-gejalapendahuluan

seperti demam, pembesaran kelenjar limfa, yang kemudiandiikuti oleh infeksi

oportunistik. Dengan adanya infeksi oportunistik makaperjalanan penyakit telah

memasuki stadium AIDS. Fase simptomatikberlangsung rata-rata 1,3 tahun yang

berakhir dengan kematian.

Setelahterjadi infeksi HIV ada masa dimana pemeriksaan serologis antibodi

HIVmasih menunjukkan hasil negatif, sementara virus sebenarnya telah adadalam

jumlah banyak. Pada masa ini, yang disebut window period(periode jendela), orang

yang telah terinfeksi ini sudah dapat menularkankepada orang lain walaupun

pemeriksaan antibodi HIV hasilnya negatif

Periode ini berlangsung 3-12 minggu. Terdapat beberapa klasifikasi

klinisHIV/AIDS antara lain menurut CDC dan WHO. Klasifikasi dari

CDCberdasarkan gejala klinis dan jumlah CD4sebagai berikut :

a. Katagori Klinis A, meliputi infeksi HIV tanpa gejala

(asimptomatik),Persistent Generalized Lymphdinopathy, dan infeksi HIV

akut primerdengan penyakit penyerta atau adanya riwayat infeksi HIV akut.

b. Katagori Klinis B, terdiri atas kondisi dengan gejala (simptomatik)

padaremaja atau dewasa yang terinfeksi HIV yang tidak termasuk

dalamkatagori C dan memenuhi paling sedikit satu dari beberapa

kriteriaberikut;

1. Keadaan yang dihubungkan dengan infeksi HIV atau adanyakerusakan

kekebalan.

2. Kondisi yang dianggap oleh dokter telah memerlukan penangananklinis

atau membutuhkan penatalaksanaan akibat komplikasi infeksiHIV,

misalnya Kandidiasis Osofaringeal, Orall Hairy Leukoplakia,Herpes

Zoster,dan lain-lain.

c. Katagori Klinis C meliputi gejala yang ditemukan pada pasien AIDSmisalnya

Sarkoma Kaposi, Pneumonia Pneumocystis carinii,Kandidiasis Esofagus, dan

lain-lain.

2.4.3. Implikasi HIV/AIDS

Meluasnya HIV/AIDS tidak hanya berpengaruh terhadap bidang kesehatan

tetapi juga mempengaruhi sosio ekonomi. Bagi sektor kesehatan HIV/AIDS

menambah beban sistem kesehatan yang selama ini telah berat. HIV/AIDS membuat

penderitanya lebih rentan terhadap infeksi oportunistik. Perawatan terhadap penderita

HIV/AIDS membutuhkan perhatian dan pelayanan khusus. Hal ini akan

meningkatkan kebutuhan terhadap pelayanan kesehatan maupun sistem kesehatan

publik.

Penderita HIV/AIDS sebagian besar berada pada usia produktif (15 – 49

tahun). Dalam umur ini termasuk orang tua (ibu dan bapak) yang bertanggungjawab

dalam mencari nafkah bagi keluarganya. Awal berupa kehilangan pekerjaan dan

biaya perawatan dan pengobatan yang cukup besar. Selanjutnya efeknya akan meluas

karena keluarga kehilangan pencari nafkah dan akan menggunakan dana mereka

yang mungkin terbatas untuk pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Maka akan

terjadi kemiskinan yang lebih berat baik bagi keluarga dan dapat menambah beban

negara.

Kematian karena AIDS menyebabkan umur harapan hidup menjadi lebih

pendek. Maka secara umum, HIV/AIDS dapat menyebabkan penurunan sumber daya

manusia secara signifikan, karena menyebabkan kematian penduduk usia muda dan

memperlambat pertumbuhan ekonomi. Bagi penderita dan keluarganya, selain

dampak terhadap kesehatan dan ekonomi, ada beban berat lain yaitu adanya

diskriminasi dan stigmatisasi bagi yang bersangkutan maupun keluarganya.

Diskriminasi dan stigmatisasi dapat menyebabkan kesulitan dalam pekerjaan,

pengobatan, dan interaksi sosial keluarga di masyarakat.

2.4.4. HIV/AIDS dan Pencegahannya

Nasronudin (2007) menyebutkan faktor risikoepidemiologis infeksi HIV

yaitu perilaku berisiko tinggi antara lainhubungan seksual dengan pasangan tanpa

menggunakan kondom, pengguna narkotika intravena terutama bila pemakaian jarum

secarabersama tanpa sterilisasi yang memadai, hubungan seksual yangtidak aman

meliputi multipartner, pasangan seks individu yangdiketahui terinfeksi HIV dan

kontak seks peranal. Selain itu riwayatinfeksi menular seksual dan riwayat menerima

transfusi darahberulang tanpa tes penapisan, riwayat perlukaan kulit, tato, tindikatau

sirkumsisi dengan alat yang tidak steril juga merupakan faktor risiko terkena infeksi

HIV (Nasronudin, 2007).

Pencegahan penularan HIVolehAdhi (2006), menjelaskan pencegahan

penularan HIV dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Menghindari kontak seksual dengan orang yang diketahui menderita

AIDS dan menggunakan obat bius secara intravena

b. Hubungan seksual dengan multipartner memberikankemungkinan lebih

besar mendapat AIDS

c. Melakukan hubungan seksual yang dapat merusak selaput lendir rectal

d. Tidak menggunakan jarum suntik intravena secara bersama

e. Tidak melakukan donor darah bagi orang berisiko tinggi AIDS

Pencegahan HIV dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktorfaktor yang

mempengaruhi pencegahan penularan HIV antara lain pengetahuan, sikap, dan

lingkungan keluarga (Hasanudin, 2008)

Dokumen terkait