• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN TEORI

2.2 Perilaku Agresif

2.2.3 Perilaku Agresif Anak

Berdasarkan penjelasan di atas perilaku agresif dapat diartikan sebagai suatu kegiatan atau aktifitas organisme (makhluk hidup) yang berkeinginan untuk menyerang kepada sesuatu yang dipandang sebagai hal atau situasi yang mengecewakan, menghalangi, atau menghambat. Menurut Hartub dan Hurlock tidak dapat dipungkiri bahwa perilaku agresif juga terdapat pada anak-anak meski dengan intensitas kecil tidak sampai penyiksaan, pembunuhan dan lain-lain seperti orang dewasa.

Perilaku Agresif ini dapat terlihat pada masa bayi, yaitu ketika si bayi sedang tidak meras senang. Menurut Bolman (Hebert, 1974), dalam usia 0-6 bulan individu sudah memperlihatkan agresifnya meski belum dapat dibedakan bentuknya, perilaku mereka bertujuan mengurangi ketegangan.

Pada tahap selanjutnya dapat diketahui perbedaan mengenai tipe perilaku, objek maupun tujuannya. Hartub berpendapat bahwa agresi pada mulanya dijadikan alat untuk memperoleh sesuatu. Anak-anak Taman kanak-kanak sering bertengkar untuk dan berkelahi memperebutkan permainan.

Masa kanak-kanak akhir yang berlangsung antara usia 6-12 tahun, dikatakan Hurlock (1995) bahwa masa ini akan memasuki dunia sekolah atau biasa disebut dengan school aged, di mana dalam masa ini akan terjadi perubahan besar pada pola kehidupan anak. Kekerasan yang dialami oleh anak, baik secara langsung maupun tidak langsung cenderung mendorong kekerasan atau perilaku agresi oleh anak. Selanjutnya pada usia 6-14 tahun menurut Bolman perilaku agresi yang timbul dapat berupa kemarahan, kejengkelan, rasa

iri, tamak, cemburu dan suka mengkritik. Perilakunya tersebut dapat diarahkan kepada teman sebaya, saudara sekandung, bahkan pada dirinya sendiri. Kemudian pada usia setelahnya perilaku agresif yang dimunculkan lebih bertujuan untuk keseimbangan emosi, khususnya harga diri. Mereka sudah mampu untuk memodifikasi perilaku agresif tersebut.

Observation learning atau social learning adalah metode yang lebih sering digunakan anak-anak sehingga mereka menjadi agresif. Anak-anak yang melihat model orang dewasa agresif secara terus-menerus akan lebih agresif dibandingkan dengan anak-anak yang melihat model orang dewasa non agresif. Menurut Bandura, motivasi individu dalam mencontoh agresi yang ditampilkan oleh model akan kuat apabila si model memiliki daya tarik yang kuat serta dengan agresi yang dilakukannya itu si model memperoleh akibat yang menyenangkan atau efek yang positif berupa penguatan atau ganjaran.

Model teoritik tentang perkembangan agresi pada anak-anak menurut

Huesman (1988) (dalam Hudaniah, 2006: 241) adalah adanya “aggressive cognitive script” yang diperoleh anak. Sebenarnya skrip (naskah/skenario) ini

merupakan suatu program untuk berperilaku, yang dipelajari pada saat awal kehidupan, disimpan dalam ingatannya dan pada gilirannya akan digunakan sebagai petunjuk dalam berperilaku dan memecahkan suatu persoalan sosial.

Televisi yang memberikan berbagai macam jenis tayangan membuat semakin orangtua khawatir. Pasalnya tidak sedikit dari program televisi yang mengandung berbagai jenis unsur misalnya unsur kekerasan yang dapat memicu anak untuk berperilaku agresif. Menurut Huesman ada dua cara yang dapat

menimbulkan kekerasan yaitu untuk jangka panjang terjadinya efek kumulatif dari skrip yang dimiliki sang anak sejalan dengan makin banyaknya contoh-contoh kekerasan yang dilihatnya. Kedua, dalam jangka pendek hal demikian dapat berfungsi sebagai pemicu terjadinya tindak kekerasan dari skrip yang sudah dipelajari si anak. Namun demikian penggunaan skrip ini tergantung juga pada kekuatan jejak ingatan dan juga isyarat-isyarat dari lingkungan yang menyebabkan si anak mengingat kembali skrip yang dimilikinya. Semakin sesuai antara situasi yang dihadapi anak dengan karakteristik situasi yang diingat dalam ingatannya, maka semakin besar kemungkinan digunakannya skrip tersebut sebagi petunjuk berperilaku.

Televisi merupakan kotak tabung ajaib yang dapat dijadikan si anak pengganti teman bermain. Berasal dari sanalah sang anak dapat mempelajari perilaku-perilaku baru yang kemungkinan akan ia gunakan dalam lingkungan sosialnya. Berbagai macam jenis perilaku dapat ditiru oleh anak, meski ia tidak mengerti sepenuhnya informasi yang ia masukkan ke dalam memorinya sehingga memori tersebut sewaktu-waktu dapat digunakan olehnya.Tak mungkin dipungkiri anak akan sewaktu-waktu akan berperilaku agresif dari salah satu tayangan yang mengandung unsur kekerasan yang ia tonton. Anantasari (2006: 117) menyebutkan ada beberapa penjelasan mengenai proses kekerasan melahirkan kekerasan, antara lain:

2.2.2.1.Adanya imitasi oleh anak, karena pada dasarnya anak belajar melalui meniru apa yang dilihatnya. Hal ini menjadi kecenderungan yang besar sekali untuk meniru, terlebih lagi ketika ia melihat bahwa perilaku

agresif itu berdampak menyenangkan. Misalnya, mendapatkan mainan yang diinginkannya, atau dipuji temannya.

2.2.2.2.Pembentukan kerangka pikir anak bahwa perilaku agresi adalah hal yang perlu untuk dilakukan. Ketika orangtua atau orang-orang di lingkungan sekitarnya sering memaki, anak cenderung untuk menganggap makian sebagai hal yang lumrah, sehingga ia cenderung untuk memaki orang lain juga.

2.2.2.3.Kekerasan yang dialami atau dilihat anak secara terus-menerus akan membentuk pola pikir pada anak bahwa lingkungan sekitarnya bukanlah tempat yang aman baginya. Anak ini akan cenderung memiliki sikap curiga, tidak bersahabat pada orang lain dan meningkatkan kemungkinan untuk berperilaku agresif.

2.2.2.4.Anak yang mengalami kekerasan terus-menerus cenderung memiliki harga diri yang rendah. Harga diri yang rendah ini akan memunculkan sikap negatif dan mengurangi kemampuan anak berurusan dengan perasaan frustasi. Sikap negatif dan kemampuan mengatasi frustasi yang rendah ini kemudian akan meningkatkan kecenderungan berperilaku agresif pada anak.

Kecenderungan perilaku agresif yang dilakukan anak berasal dari sifatnya yang suka mengimitasi. Anak akan meniru kekerasan atau perilaku agresif yang dialami atau dilihatnya serta mendapatkan dukungan untuk melakukan perilaku agresif. Suatu perilaku yang secara verbal maupun fisik sehingga akan menyebabkan rasa sakit baik secara fisik ataupun psikis bagi

individu yang tidak menginginkan timbulnya perilaku tersebut. Untuk menentukan seorang anak dikategorikan berperilaku agresif atau tidak, Bandura (1973) mengemukakan kriteria yang perlu menjadi pertimbangan dalam menentukan agresif tidaknya suatu perilaku, yaitu

2.2.2.1. Kualitas perilaku agresif, derajat atau ukuran, tingkatan perilaku agresif terhadap korban baik berupa serangan fisik atau psikis, membuat malu, merusak barang orang lain,

2.2.2.2. Intensitas perilaku, sering-tidaknya melakukan tindakan-tindakan yang merugikan atau membahayakan korban,

2.2.2.3. Ada kesengajaan, dalam melakuakn tindakan agresif, ada niat yang tersurat, sengaja melakukan perilaku agresif,

2.2.2.4. Karakteristik pengamat, yaitu orang yang memperhatikan perilaku agresif yang dilakukakn oleh seseorang. Hal ini akan beragam karena akan ditentukan oleh jenis kelamin, kondisi sosial-ekonomi, etnis, pengalaman perilaku agresif,

2.2.2.5. Pelaku menghindar ketika orang lain menderita sebagai akibat perbuatannya, tidak ada perasaan bersalah atau berdosa,

2.2.2.6. Karakteristik si pelaku itu sendiri, misalnya faktor usia, jenis kelamin, pengalaman berperilaku agresif.

Dokumen terkait