• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

4. Perilaku kesehatan

Skiner cit., Notoatmodjo (2003) berpendapat bahwa perilaku masyarakat

dalam pengobatan mandiri dapat disebut sebagai perilaku kesehatan. Perilaku

kesehatan adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus atau suatu

objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,

makanan, dan minuman, serta lingkungan. Perilaku kesehatan diklasifikasikan

a. perilaku pencegahan, penyembuhan penyakit bila sakit, dan pemulihan kesehatan

bila telah sembuh dari penyakit

b. perilaku peningkatan kesehatan yang seoptimal mungkin apabila seseorang dalam

keadaan sehat

c. perilaku gizi, makanan, dan minuman agar dapat memelihara dan meningkatkan

kesehatan.

B. Pengetahuan dan Tingkat Ekonomi 1. Pengetahuan

Dhammesta dan Handoko (2000) menyatakan bahwa pengetahuan adalah

unsur-unsur yang mengisi akal dan jiwa seseorang secara sadar di dalam otak.

Pengetahuan akan menimbulkan suatu gambaran, persepsi, konsep dan fantasi

terhadap segala hal yang diterima dari lingkungan melalui panca indranya.

Notoatmodjo (2003) mengatakan bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang dihasilkan

setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, dan

penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan,

pendengaran, penciuman, perasa, dan peraba.

Pengetahuan atau kognitif merupakan faktor yang sangat penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang. Sebelum seseorang mengadopsi perilaku, maka

terlebih dahulu harus mengetahui arti dan manfaat perilaku tersebut bagi dirinya dan

perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang

tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003).

Belajar didefinisikan sebagai perubahan-perubahan perilaku yang terjadi

sebagai hasil akibat adanya pengalaman. Proses belajar terjadi karena adanya

interaksi antara manusia yang pada dasarnya bersifat individual dengan lingkungan

khusus tertentu (Dhammesta dan Handoko, 2000).

2. Tingkat ekonomi

Keadaan ekonomi adalah suatu kondisi kemampuan keuangan yang ada

pada masyarakat, khususnya kondisi ekonomi keuangan yang dimiliki oleh sebuah

keluarga. Kondisi keuangan adalah sumber-sumber yang menjadi pendapatan

keluarga dan jenis pengeluarannya (Wibowo, 2004). Ada banyak faktor yang menjadi

komponen dalam mempengaruhi pendapatan keluarga sehingga mengakibatkan

keadaan ekonomi masyarakat berada dalam kelas-kelas yang berbeda (Gilarso, 2003).

Tingkat ekonomi keluarga atau rumah tangga sangat penting karena tingkat

ekonomi dapat menunjukkan tingkat kemakmuran seseorang. Setiap keluarga harus

dapat mandiri dari segi ekonomi atau keuangan untuk memenuhi kebutuhan keluarga

tersebut misalnya pangan, sandang, papan, hiburan, dan pendidikan. Dari berbagai

kebutuhan ini idealnya setiap keluarga harus mempunyai penghasilan yang cukup

besar sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya (Gilarso, 2003).

Pendapatan atau penghasilan keluarga adalah balas jasa atau balas karya

proses produksi. Sumber-sumber pendapatan atau penghasilan keluarga antara lain

(Ibrahim, 1998) :

a. usaha sendiri atau wiraswasta, misalnya berdagang, beternak ataupun

mengerjakan sawah

b. bekerja pada orang lain misalnya bekerja dikantor ataupun

perusahaan-perusahaan sebagai karyawan pemerintah maupun swasta

c. hasil dari milik sendiri misalnya penerimaan sewa rumah dan bunga dari

pinjaman uang.

Penghasilan keluarga dapat berupa uang ataupun barang misalnya tunjangan beras

atau fasilitas lain. Menurut Ibrahim (1998), selain dari sumber penghasilan yang telah

disebut di atas, masih ada penerimaan pendapatan yang lainnya, misalnya berupa

uang pensiun, pesangon dari perusahaan, sumbangan atau hadiah, serta pinjaman atau

hutang.

Penghasilan keluarga yang berupa uang masuk atau keluar sebagian besar

dipergunakan atau dibelanjakan lagi, sebagian dari penghasilan ini digunakan untuk

kebutuhan konsumsi (Gilarso, 2003). Pengeluaran tiap rumah tangga atau keluarga

sangat berbeda-beda besarnya. Wibowo (2004) menyatakan bahwa pengeluaran

rumah tangga atau keluarga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain besarnya

jumlah penghasilan yang masuk, besarnya jumlah anggota keluarga, tingkat

kebutuhan hidup, tingkat sosial ekonomi keluarga, dan kebijakan dalam pengelolaan

C. Pengobatan Mandiri 1. Definisi

Saat ini pengobatan mandiri semakin popular di masyarakat. Pengobatan

mandiri bagi masyarakat mempunyai banyak keuntungan antara lain dapat

menghemat biaya dan waktu, walaupun disadari bahwa keberhasilan pengobatan

yang dilakukan sangat terbatas (Hartono, 2003). World Health Organization

mendefinisikan pengobatan mandiri sebagai hal yang dilakukan masyarakat untuk

dirinya sendiri dalam menentukan dan memelihara kesehatan, mencegah dan

mengatasi penyakit (Anonim, 1994). Pengobatan mandiri didefinisikan sebagai

pemilihan dan penggunaan obat-obatan (termasuk produk obat tradisional) oleh

individu untuk mengobati penyakit atau gejala yang sudah dikenali.

Supardi (1997) menyatakan bahwa pengobatan mandiri bertujuan untuk

peningkatan kesehatan, pengobatan sakit ringan, dan pengobatan rutin penyakit

kronis setelah perawatan dokter. Pengobatan mandiri juga bertujuan untuk menolong

diri sendiri dalam mengatasi masalah atau gangguan kesehatan ringan, misalnya

batuk pilek, demam, sakit kepala, maag, gatal-gatal, iritasi ringan pada mata, dan

lain-lain (Anonim, 2006). Peranan dari pengobatan mandiri (Supardi, 1997) antara

lain penanggulangan secara tepat dan efektif keluhan yang tidak memerlukan

konsultasi medis, pengurangan beban pelayanan kesehatan karena keterbatasan

sumberdaya dan tenaga, serta peningkatan keterjangkauan pelayanan kesehatan untuk

2. Faktor-faktor dalam pengobatan mandiri

Pengambilan keputusan dalam pengobatan mandiri dapat dipengaruhi oleh

berbagai faktor termasuk usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, pengetahuan,

tingkat pendidikan, dan latar belakang pendidikan (Hartono, 2003). Pemahaman

seseorang yang semakin tinggi terhadap penyakit maupun gejala yang timbul serta

pengobatannya, maka kecenderungan untuk melakukan pengobatan mandiri semakin

meningkat (Hartono, 2003).

Perawatan dan pengobatan mandiri menurut Covington (2000) dipengaruhi

oleh beberapa faktor sebagai berikut.

a. Perilaku konsumen, antara lain penghargaan terhadap nilai kesehatan, motivasi

dan tanggung jawab untuk mempelajari penyakit yang diderita dan cara

perawatannya, keseriusan menerima penyakit yang berpengaruh pada keputusan

perawatan kesehatan yang akan dipilih, dan pengaruh dari orang lain (teman,

saudara, dan tenaga kesehatan).

b. Karakter demografi yang meliputi usia, jumlah keluarga, jenis kelamin, dan status

sosial dan ekonomi dari masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah atau daerah

tertentu.

c. Keadaan ekonomi yang meliputi status ekonomi seseorang, biaya perawatan

kesehatan (produk dan pelayanan), ketersediaan, dan kemudahan mendapatkan

produk perawatan kesehatan.

d. Pendidikan dan pengetahuan konsumen yang meliputi tersedianya informasi yang

dan label dalam kemasan obat, serta adanya alternatif perawatan kesehatan seperti

akupungtur dan terapi herbal.

Hal-hal yang perlu diketahui sebelum melakukan pengobatan mandiri antara

lain adalah memahami masalah kesehatan yang sedang dihadapi, perlu atau tidak

periksa ke dokter atau tenaga medis, penggunaan obat atau tidak, obat tradisional atau

obat tanpa resep yang akan digunakan untuk mengatasi gejala, dan lain sebagainya

(Anonim, 2001). Informasi yang benar dan objektif diperlukan dalam pengobatan

mandiri agar dapat memilih dan menggunakan obat secara rasional, yang artinya obat

yang dipilih harus tepat dan benar cara penggunaannya (Hartono, 2003).

Pengobatan mandiri dapat menggunakan obat, obat tradisional, atau cara

tradisional. Obat yang digunakan umumnya golongan obat bebas dan obat bebas

terbatas. Obat tradisional yang digunakan meliputi simplisia, jamu gendong dan jamu

berbungkus (Supardi, Sampurno, Notosiswoyo, 2004).

3. Obat tradisional

Berbagai cara dapat dilakukan dalam rangka memperoleh derajat kesehatan

yang optimal, salah satunya dengan memanfaatkan tanaman obat yang dikemas dalam

bentuk jamu atau obat tradisional (Katno dan Pramono, 2005). Obat tradisional dan

tanaman obat banyak digunakan masyarakat menengah kebawah terutama dalam

upaya preventif, promotif, dan rehabilitatif. Obat tradisional mengalami

perkembangan yang semakin meningkat dari masa ke masa, terlebih dengan

munculnya issue kembali ke alam (back to nature) serta krisis yang berkepanjangan

tumbuhan porsinya lebih besar dibandingkan yang berasal dari hewan atau mineral,

sehingga sebutan obat tradisional (OT) hampir selalu identik dengan tanaman obat

(TO) karena sebagian besar obat tradisional berasal dari tanaman obat (Katno dan

Pramono, 2005).

Menurut Peraturan Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.41.1384 tentang

Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar, dan

Fitofarmaka dalam Ketentuan Umum Pasal 1 tercantum beberapa definisi sebagai

berikut.

a. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan,

bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan

tersebut, yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan

berdasarkan pengalaman.

b. Jamu adalah obat tradisional Indonesia.

c. Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan

keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya

telah distandarisasi.

d. Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan

khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan

produk jadinya telah terstandarisasi.

Keputusan Kepala Badan POM No. HK.00.05.4.2411 tentang Ketentuan

Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia adalah sebagai

a. Logo kelompok jamu berupa ”RANTING DAUN TERLETAK DALAM

LINGKARAN’’, kode registrasi TR, contoh : Antangin JRG® tablet, Kuku Bima

TL® kapsul, Patmosari® serbuk, Prolipid® kapsul, Renax® kapsul, Rapet Wangi®

kapsul.

b. Logo obat herbal terstandar berupa ”JARI-JARI DAUN (3 PASANG)

TERLETAK DALAM LINGKARAN’’, kode registrasi TR, contoh : Diapet®

kapsul, Lelap® kaplet, Kiranti® larutan, Radix® kapsul, Vermint F® kapsul,

OBHerbal® sirup.

c. Logo kelompok fitofarmaka berupa “JARI-JARI DAUN (YANG KEMUDIAN

MEMBENTUK BINTANG) TERLETAK DALAM LINGKARAN”, kode

registrasi TR, contoh : Stimuno® kapsul, Stimuno® sirup, Rheumaneer ® kapsul,

Cursil-70® kapsul, Cerotop® tablet, Nichoviton® kaplet.

Logo kelompok jamu, obat herbal standar, maupun kelompok fitofarmaka

ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri dari wadah atau pembungkus atau brosur

dan dicetak dengan warna hijau diatas dasar putih atau warna lain yang menyolok

kontras dengan warna logo.

Obat tradisional atau tanaman obat memiliki beberapa kelebihan bila

dibandingkan dengan obat-obat modern, antara lain efek sampingnya relatif rendah,

memiliki lebih dari satu efek farmakologi serta lebih sesuai untuk penyakit-penyakit

metabolik dan degeneratif (Katno dan Pramono, 2005). Kelebihan obat tradisional

atau tanaman obat menurut Katno dan Pramono (2005) secara rinci sebagai berikut.

a. Efek samping obat tradisional relatif kecil bila digunakan secara benar dan tepat.

Obat tradisional atau tanaman obat akan bermanfaat dan aman jika digunakan

dengan tepat sesuai dengan takaran, waktu dan cara penggunaan, pemilihan

bahan, serta penyesuaian dengan indikasi tertentu.

b. Terdapat efek komplementer dan atau sinergisme dalam ramuan obat tradisional

atau komponen bioaktif tanaman obat. Dalam suatu ramuan obat tradisional

umumnya terdiri dari beberapa jenis tanaman obat yang memiliki efek saling

mendukung satu sama lain untuk mencapai efektivitas pengobatan. Formulasi dan

komposisi ramuan tersebut dibuat setepat mungkin agar tidak menimbulkan

kontraindikasi, bahkan harus dipilih jenis ramuan yang saling menunjang.

c. Pada satu tanaman bisa memiliki lebih dari satu efek farmakologi. Zat aktif pada

tanaman obat umumnya dalam bentuk metabolit sekunder. Satu tanaman bisa

menghasilkan beberapa metabolit sekunder, sehingga memungkinkan tanaman

tersebut memiliki lebih dari satu efek farmakologi. Efek tersebut dapat saling

mendukung tetapi ada juga yang berlawanan atau kontradiksi.

Bahan obat alam juga memiliki beberapa kelemahan disamping berbagai

keuntungan. Kelemahan tersebut antara lain : efek farmakologisnya yang lemah,

bahan baku belum terstandar dan bersifat higroskopis serta volumines, serta mudah

4. Obat tanpa resep

Obat tanpa resep didefinisikan sebagai obat yang digunakan untuk

pengobatan sendiri dengan tujuan untuk memperbaiki kesehatan, meringankan gejala

minor, dan mencegah penyakit (Widijapranata, 1997). Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia No.949/MENKES/PER/VI/2000 Pasal 1 tentang Registrasi Obat

Jadi, menyatakan bahwa obat jadi adalah sediaan atau panduan bahan-bahan termasuk

produk biologi dan kontrasepsi yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau

menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa,

pencegahan, penyembuhan, pemulihan, dan peningkatan kesehatan.

Obat Wajib Apotek (OWA) berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan

No.347/MENKES/SK/VII/1990 adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh

apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter. Berdasarkan Keputusan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia No.02396/A/SK/VII/1986 Pasal 3 tentang Tanda

Khusus Obat Keras Daftar G, tanda khusus untuk obat keras adalah lingkaran bulat

berwarna merah dengan garis tepi berwarna hitam dengan huruf K yang menyentuh

garis tepi. Obat keras daftar G mempunyai kode registrasi DKL, contohnya :

Amoxan® kapsul, Fargoxin® tablet, Decamet® tablet.

Obat-obat yang termasuk obat tanpa resep menurut Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia No. 2380/A/SK/VI/1983 Pasal 3 tentang Tanda

a. Kelompok obat bebas. Obat bebas adalah obat-obat yang dapat dibeli secara

bebas, tanpa resep dokter dan dapat dibeli di apotek, toko obat maupun

warung-warung (Sartono, 1993b). Sebagai tanda obat bebas, pada pembungkusnya diberi

tanda khusus yaitu warna hijau di dalam lingkaran hitam. Golongan obat bebas ini

biasanya tidak membahayakan jiwa. Obat bebas mempunyai kode registrasi DBL,

contohnya : Pamol® sirup, Panadol® kaplet, Oskadon® tablet, New Diatabs® tablet

Laserin ®sirup, Dexanta® tablet.

b. Kelompok obat bebas terbatas. Obat bebas terbatas adalah obat-obat yang dapat

diperjualbelikan secara bebas dengan syarat hanya jumlah yang telah ditentukan

dan disertai dengan tanda peringatan. Tanda peringatan ditulis dengan huruf putih

diatas kertas yang umumnya berwarna hitam. Tanda lainnya adalah pada

pembungkusnya diberi tanda khusus berwarna biru di dalam lingkaran hitam.

Obat bebas terbatas mempunyai kode registrasi DTL, contohnya : Komix® sirup,

Vicks Formula 44® sirup, Konidin® tablet, OBH Combi Plus® sirup, Benadryl®

sirup, Wood’s Antitussive ®sirup, Proris® tablet, Antimo® tablet, Saridon® tablet,

Paramex® tablet.

Kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep menurut Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia No.919/MENKES/PER/X/1993 Pasal 2 adalah :

a. tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak dibawah

b. pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko pada

kelanjutan penyakit

c. penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus dilakukan

oleh tenaga kesehatan

d. penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia

e. obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat

dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.

Pengobatan mandiri dengan obat tanpa resep menurut Holt dan Hall (1990)

hendaknya dilakukan secara tepat dan bertanggung jawab, biasanya pada kasus :

a. perawatan simtomatik minor, misalnya badan terasa tidak enak maupun cedera

ringan

b. penyakit self-limiting atau paliatif misalnya flu dan sakit kepala

c. pencegahan dan penyembuhan penyakit ringan, misalnya mabuk perjalanan dan

kutu air

d. penyakit kronis yang sebelumnya sudah pernah didiagnosis dokter atau tenaga

medis profesional lainnya, misalnya arthritis dan asma.

Pengobatan dengan menggunakan obat tanpa resep tidak bisa dilakukan

secara sembarangan walaupun kelihatannya sederhana. Prinsip-prinsip atau

rambu-rambu yang harus diperhatikan dan ditaati dalam penggunaan obat tanpa resep

menurut Anonim (2006) adalah :

a. tepat dalam penentuan indikasi atau penyakit

c. tepat dalam memilih obat (efektif, aman, dan ekonomis)

d. tepat dosis

e. tepat cara pemberian obat

f. waspada terhadap efek samping dan interaksi obat

g. tepat tindak lanjut, bila keluhan bertambah parah atau timbul efek yang tidak

diinginkan.

Obat-obat yang beredar di masyarakat harus mempunyai penandaan yang

jelas, terutama untuk obat tanpa resep. Penandaan itu sendiri menurut Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.949/MENKES/PER/VI/2000 Pasal 1

tentang Registrasi Obat Jadi adalah keterangan lengkap mengenai obat jadi, khasiat,

keamanan, cara penggunaannya, serta informasi lain yang dianggap perlu yang

dicantumkan pada etiket, brosur, dan kotak yang disertakan pada obat jadi.

Penandaan itu berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat menjamin

penggunaan obat secara tepat, rasional dan aman. Kriteria lain yang harus dipenuhi

obat tanpa resep adalah tidak menimbulkan kecanduan dan penggunaannya

sederhana, tidak menimbulkan reaksi merugikan yang parah bila salah dalam

penggunaannya, dan tidak mendorong penyalahgunaan (Donatus, 2000).

D. Batuk 1. Definisi

Batuk adalah suatu penyakit refleks fisiologi pada keadaan sehat maupun

benda-benda asing yang mengakibatkan tenggorokan terasa gatal (Hidayat, 2001).

Batuk menurut Anonim (2003) sebenarnya merupakan refleks fisiologis yang

fungsinya mengeluarkan atau membersihkan saluran pernapasan dari benda-benda

asing. Hal senada juga dinyatakan oleh Tjay dan Rahardja (2002) bahwa batuk

merupakan suatu mekanisme fisiologi yang bermanfaat untuk mengeluarkan dan

membersihkan saluran pernafasan dari dahak, zat-zat perangsang asing, dan unsur

infeksi.

Batuk merupakan penyakit yang umum diderita manusia, Tietze (2000)

menyatakan bahwa masyarakat yang menderita batuk umumnya melakukan upaya

pengobatan karena batuk membuat mereka terganggu terutama pada saat bekerja dan

tidur. Kesadaran akan batuk bervariasi, batuk dapat mengganggu jika timbulnya

mendadak terutama jika disertai nyeri dada, sesak nafas atau dahak yang banyak

(Kuswibawati, 2000). Penderita batuk kronis (menahun) misalnya pada perokok

yang menderita infeksi saluran pernafasan sulit menyadarinya dan mungkin

menganggapnya normal (Kuswibawati, 2000).

2. Mekanisme

Menurut Tietze (2000), batuk dimulai dengan tarikan nafas yang dalam dan

diikuti penutupan glottis (katup tenggorokan), relaksasi diafragma dan kontraksi

otot-otot yang melawan glottis yang tertutup, sehingga menghasilkan tekanan dalam

saluran pernafasan dan dalam dada meningkat maksimal. Tekanan dalam dada yang

meningkat maksimal menyebabkan penyempitan tenggorokan. Ketika glottis terbuka

udara luar yang disertai penyempitan tenggorokan yang akan menghasilkan aliran

udara yang sangat kuat.

Refleks batuk diakibatkan oleh rangsangan dari selaput lendir saluran

pernafasan, yang terletak di beberapa bagian dari tenggorokan (epiglottis, larynx,

trachea, dan bronchi). Mukosa memiliki reseptor yang peka untuk zat-zat perangsang

(dahak, debu, peradangan) yang dapat memutuskan batuk (Tjay dan Rahardja, 2002).

3. Etiologi

Batuk dapat disebabkan gangguan cuaca seperti udara dingin, angin

kencang, hujan atau perubahan suhu udara, asap atau debu, dahak atau karena radang

saluran pernapasan, serta alergi (Anonim, 2003). Hal senada juga dinyatakan oleh

Hidayat (2001) bahwa batuk juga dapat terjadi karena rangsangan mekanis seperti

asap dan debu atau rangsangan kimiawi seperti dahak, gas, dan bau. Radang saluran

pernapasan dan alergi juga merupakan penyebab batuk, selain itu batuk juga

merupakan salah satu gejala akan timbulnya penyakit lain seperti asma, flu, dan TBC.

Tjay dan Raharja (2002) menyatakan bahwa refleks batuk dapat ditimbulkan karena

radang (infeksi saluran pernafasan), alergi (asma), sebab-sebab mekanis (asap rokok,

debu, tumor paru-paru), perubahan suhu yang mendadak, dan rangsangan kimiawi

(gas, bau, dan lain-lain).

Penyebab umum terjadinya batuk menurut Anonim (1999) adalah sebagai

berikut.

a. Masuknya benda asing secara tidak sengaja ke dalam saluran pernafasan seperti

b. Tetesan cairan hidung ke arah tenggorokan dan masuk ke saluran pernafasan

misalnya alergi rhinitis, batuk, dan pilek.

c. Penyempitan saluran pernafasan, misalnya pada asma.

d. Produksi dahak yang sangat banyak karena infeksi saluran pernafasan seperti flu,

bronchitis, dan penyakit cukup serius meskipun relatif jarang yaitu pneumonia,

TBC, dan kanker paru-paru.

Ada dua tipe batuk, pertama adalah batuk produktif yang berfungsi untuk

mengeluarkan lendir dan dahak ditenggorokan dan dalam pengobatan tidak boleh

ditekan, tipe kedua yaitu batuk non produktif (nir produktif) yang berfungsi

mengeluarkan iritan dan dalam pengobatan dapat ditekan. Batuk nir produktif ada dua

jenis yaitu batuk nir produktif tersumbat dan nir produktif kering. Batuk nir produktif

tersumbat adalah batuk yang mengeluarkan dahak dalam jumlah sedikit sedangkan

batuk nir produktif kering tidak mengeluarkan dahak sama sekali (Bryant dan

Lombardy, 1990).

4. Penatalaksanaan

a. Tujuan terapi. Tujuan utama pengobatan batuk adalah untuk mengurangi jumlah

dan seringnya batuk terjadi. Tujuan kedua adalah untuk mencegah komplikasi.

(Tietze, 2000).

b. Sasaran terapi. Sasaran terapi dalam pengobatan batuk berbeda untuk tiap jenis

batuk baik itu batuk produktif maupun batuk non produktif. Sasaran terapi pada

batuk non produktif sasaran terapinya adalah untuk menekan dahak (Tietze,

2000).

c. Strategi terapi. Terapi batuk ditujukan pada pencarian dan pengobatan penyebab

batuk, kemudian mempertimbangkan apakah perlu diberikan terapi simptomatis

agar dapat meniadakan atau meringankan gejala batuk (Tjay dan Rahardja, 2002).

Strategi terapi untuk mengatasi batuk ada dua macam yaitu farmakologi dan non

farmakologi. Terapi farmakologi adalah terapi dengan menggunakan obat

sedangkan terapi non farmakologi adalah terapi tanpa menggunakan obat. Terapi

non farmakologi atau modifikasi gaya hidup cukup efektif dalam mengatasi batuk

seperti anjuran untuk berhenti merokok, memperbanyak konsumsi air putih

setidaknya 10 gelas sehari, mengurangi konsumsi makanan yang bersifat panas

seperti goreng-gorengan dan sambal, mengkonsumsi permen yang bertekstur

keras atau lozenges yang akan meredakan iritasi tenggorokan dan akan

menurunkan frekuensi batuk, dianjurkan untuk bernafas di uap air panas agar

perjalanan udara di tenggorokan menjadi lancar dan lega, dan olahraga secara

teratur agar tubuh tetap prima (Anonim, 2005).

1). Terapi dengan obat batuk tradisional. Masyarakat mengandalkan pengobatan

tradisional dengan obat batuk tradisional selain menggunakan obat batuk yang

beredar di pasaran untuk mengobati batuk yang terjadi (Anonim, 2003).

Alternatif tumbuhan yang digunakan dalam pengobatan batuk beraneka ragam

karena penyebab batuk juga bermacam-macam. Berikut ini pada Tabel I akan

Dokumen terkait