• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku Seksual

Dalam dokumen TESIS FULL TEKS sartika kusuma (Halaman 35-41)

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

3. Perilaku Seksual

Menurut Skinner seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku manusia dari segi biologis adalah tindakan

atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas seperti berjalan, berbicara, menangis, bekerja dan sebagainya.

Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

a) Perilaku tertutup (covert behavior)

Merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.

b) Perilaku terbuka (overt behavior)

Merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus ini sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik, yang dapat dengan mudah dilihat oleh orang lain.

Teori Lawrence Green (1980) mencoba menganalisis perilaku manusia berangkat dari tingkat kesehatan. Bahwa kesehatan seseorang dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non behavior causes) yaitu sebagai berikut:

1. Faktor yang mempermudah (presdisposing factor)

Yaitu mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.

2. Faktor pendukung (Enabling factor)

Ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat.

3. Faktor pendorong (Reinforcing factor)

Faktor yang memperkuat perubahan perilaku seseorang yang dikarenakan sikap suami, orang tua, tokoh masyarakat dan petugas kesehatan.

Perilaku manusia sangatlah kompleks dan mempunyai bentangan yang sangat luas. Benyamin Bloom (1908) membagi perilaku manusia ke dalam tiga domain, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yakni:

a. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya (Soekanto, 2003 dikutip Mubarak dkk, 2007). Pengetahuan merupakan hasil mengingat kembali kejadian yang pernah dialami baik secara sengaja maupun tidak sengaja dan ini terjadi setelah orang melakukan kontak atau pengamatan terhadap objek tertentu (Mubarak dkk, 2007). Pendapat lain mengatakan bahwa pengetahuan merupakan penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan lain sebagainya) (Taufik, 2007).

Ada beberapa sumber pengetahuan yaitu: 1) kepercayaan, 2) pengetahuan, 3) pengalaman indriawi, 4) akal pikiran dan 5) intuisi.

Sumber pertama, kepercayaan berdasarkan tradisi, adat dan agama, adalah berupa nilai-nilai warisan nenek moyang. Sumber ini biasanya berbentuk norma-norma dan kaidah-kaidah baku yang berlaku di dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam norma dan kaidah itu terkandung pengetahuan yang kebenarannya boleh jadi tidak dapat dibuktikan secara rasional dan empiris, tetapi sulit dikritik untuk diubah begitu saja. Jadi, harus diikuti dengan tanpa keraguan, dengan percaya secara bulat. Pengetahuan yang bersumber dari kepercayaan cenderung bersifat tetap (mapan) tetapi subjektif.

Sumber kedua, pengetahuan yang berdasarkan pada otoritas kesaksian orang lain, juga masih diwarnai oleh kepercayaan. Pihak-pihak pemegang otoritas kebenaran pengetahuan yang dapat dipercayai adalah orangtua, guru, ulama, orang yang dituakan, dan sebagainya. Apapun yang mereka katakan benar atau salah, baik atau buruk, dan indah atau jelek, pada umumnya diikuti dan dijalankan dengan patuh tanpa kritik. Karena, commit to user

kebanyakan orang telah mempercayai mereka sebagai orang-orang yang cukup berpengalaman dan berpengetahuan lebih luas dan benar. Boleh jadi sumber pengetahuan ini mengandung kebenaran, tetapi persoalannya terletak pada sejauh mana orang-orang itu bisa dipercaya. Lebih dari itu, sejauh mana kesaksian pengetahuannya itu merupakan hasil pemikiran dan pengalaman yang telah teruji kebenarannya. Jika kesaksiannya adalah kebohongan, hal ini akan membahayakan kehidupan manusia dan masyarakat itu sendiri.

Sumber ketiga, pengalaman indriawi yang merupakan alat vital penyelenggaraan kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit, orang bisa menyaksikan secara langsung dan bisa pula melakukan kegiatan hidup.

Sumber keempat, akal pikiran. Berbeda dengan panca indera, akal pikiran memiliki sifat lebih rohani. Karena itu, lingkup kemampuannya melebihi panca indera, yang menembus batas-batas fisis sampai pada hal- hal yang bersifat metafisis. Panca indera hanya mampu menangkap hal-hal yang fisis menurut sisi tertentu, satu persatu dan berubah-ubah, sedangkan akal pikiran mampu menangkap hal-hal yang metafisis, spiritual, abstrak, universal, seragam dan bersifat tetap. Oleh sebab itu, akal pikiran senantiasa bersikap meragukan kebenaran pengetahuan indriawi sebagai pengetahuan semu dan menyesatkan, cenderung memberikan pengetahuan yang lebih umum, objektif dan pasti.

Sumber kelima, intuisi yang merupakan sumber gerak hati yang paling dalam. Jadi, sangat bersifat spiritual, melampaui ambang batas ketinggian akal pikiran dan kedalaman pengalaman. Pengetahuan yang bersumber dari intuisi merupakan pengalaman batin yang bersifat langsung. Artinya, tanpa melalui sentuhan indera maupun akal pikiran. Ketika seseorang memutuskan untuk berbuat atau tidak berbuat dengan tanpa alasan yang jelas, maka ia berada di dalam pengetahuan yang intuitif. Dengan demikian, pengetahuan intuitif ini kebenarannya tidak dapat diuji baik menurut ukuran pengalaman indriawi maupun akal

pikiran. Karena itu tidak bisa berlaku umum, hanya berlaku secara personal (Suparlan, 2008).

Ada tujuh faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang yaitu: Pertama, pendidikan atau bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang lain terhadap suatu hal agar mereka dapat memahami. Semakin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya, jika seseorang tingkat pendidikannya rendah, akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap penerimaan, informasi dan nilai-nilai yang baru diperkenalkan. Kedua, lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Ketiga, dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek psikis dan psikologis (mental). Pertumbuhan fisik secara garis besar ada empat kategori perubahan, yaitu perubahan ukuran, perubahan proporsi, hilangnya ciri-ciri lama dan timbulnya ciri-ciri baru. Ini terjadi akibat pematangan fungsi organ. Pada aspek psikologis dan mental, taraf berfikir seseorang semakin matang dan dewasa. Keempat, minat yang merupakan kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang lebih mendalam. Kelima, pengalaman atau kejadian yang pernah dialami seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Ada kecenderungan pengalaman yang kurang baik seseorang akan berusaha untuk melupakan, namun jika pengalaman terhadap obyek tersebut menyenangkan maka secara psikologis akan timbul kesan yang membekas dalam emosi sehingga menimbulkan sikap positif. Keenam, kebudayaan akan mempengaruhi pengetahuan masyarakat secara langsung. Apabila dalam suatu wilayah mempunyai budaya untuk menjaga kebersihan lingkungan maka sangat mungkin masyarakat sekitarnya mempunyai sikap untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan. Ketujuh, kemudahan memperoleh informasi dapat

membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru (Mubarak dkk, 2007).

b. Perilaku Seksual

Seks adalah kata yang sangat tidak asing di telinga kita, tetapi anehnya seringkali kita merasa tabu dan agak malu-malu jika menyinggungnya. Oleh karena agar kita dapat membicarakan dan mendiskusikannya dengan bebas terbuka, maka para ahli bahasa dan ilmuwan

pun membuat seks ini menjadi ilmiah dengan menambahkan akhiran “-tas”

dan “-logi” menjadi “seksualitas” dan “seksologi”, sehingga jadilah seksualitas adalah untuk dibahas dan didiskusikan, seksologi adalah untuk ditulis secara ilmiah, dan seks adalah untuk dialami dan „dinikmati‟.

Menurut Simkins (1984) dalam Sarwono (2010), perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini bisa bermacam-macam, mulai dari membaca buku porno, nonton film porno, perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rita Damayanti terhadap remaja SLTA di Jakarta tahun 2008 diperoleh hasil bahwa perilaku pacaran remaja adalah mengobrol, pegangan tangan, berangkulan, berciuman pipi, berpelukan, berciuman bibir, meraba-raba dada, meraba alat kelamin, menggesek kelamin, seks oral, dan hubungan seks.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Gatra bekerja sama Laboratorium Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (LIP FISIP-UI) menjaring 800 subjek penelitian remaja berusia 15- 22 tahun di Jakarta, Yogyakarta, Medan, Surabaya, dan Ujungpandang dapat diketahui bahwa subjek penelitian menunjukkan sikap yang makin permisif (sikap serba boleh) terhadap perilaku seks gaya modern seperti berpelukan antar lawan jenis, cium pipi, cium bibir, necking (cium leher atau cupang), meraba-raba, petting, dan senggama.

Penelitian tentang perilaku seksual juga pernah dilaksanakan di luar negeri oleh Sprecher, McKinney, Walsh, dan Anderson pada tahun 1988 yang kemudian mengkategorikan perilaku seks menjadi petting (saling menggesek- gesekkan alat kelamin), sexual intercourse (hubungan seksual), dan oral- genital sex (seks oral-genital). Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa

petting merupakan perilaku seksual yang paling banyak dapat diterima oleh subjek, kemudian hubungan seksual dan seks oral.

Perilaku seksual yang banyak dilakukan oleh remaja dapat menimbulkan berbagai dampak, seperti yang dijelaskan dalam Tabel 2.2:

Tabel 2.2 Dampak Perilaku Seksual

PERILAKU ASIKNYA NGGAK ASIKNYA

Nggak disalurkan  Nggak merasa berdosa

 Nggak bakal hamil

 Diterima masyarakat

 Nggak „greng‟

Pegangan Tangan  Aman

 Gak bakal hamil

 Diterima masyarakat

 Bosan

 Nggak seru

Ciuman  Nggak hamil

 Romantis

 Bisa dinikmati

 Malu kalo ketauan

 Merasa berdosa

 Bisa nularin penyakit

Masturbasi  Aman dari kehamilan

 Bisa puas juga

 Aman dari PMS/AIDS

 Merasa bersalah

 Merasa berdosa

Petting  Bisa puas juga

 Kemungkinan hamil kecil (bukan berarti nggak bisa)

 Lebih „greng‟ dibanding

ciuman

 Bisa menularkan PMS

 Bisa menimbulkan lecet di alat kelamin

Hubungan Seks  Paling “heboh”

 Variasi banyak

 Sensasi paling “greng”

 Resiko hamil besar

 Resiko tertular PMS

 Resiko dicela masyarakat Sumber: Buklet Perilaku Seksual dan Pacaran Sehat

Dalam dokumen TESIS FULL TEKS sartika kusuma (Halaman 35-41)

Dokumen terkait