• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS FULL TEKS sartika kusuma

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TESIS FULL TEKS sartika kusuma"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH FAKTOR PERSONAL DAN LINGKUNGAN

TERHADAP PERILAKU SEKSUAL PADA REMAJA

TESIS

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Utama Promosi dan Perilaku Kesehatan

Oleh

SARTIKA KUSUMASTUTI S021308074

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2015

(2)
(3)

ABSTRAK

Sartika Kusumastuti. S021308074. Pengaruh Faktor Personal dan Lingkungan terhadap Perilaku Seksual pada Remaja. TESIS. Pembimbing I: Dr. Uki Retno

Budihastuti,dr.,Sp.OG(K), Pembimbing II: Dr. Adi Prayitno, drg.,M.Kes. Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Latar Belakang: Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku seksual yaitu personal,

lingkungan, perilaku individu. Masa remaja adalah masa peralihan yaitu masa yang rentan terhadap pengaruh negative seperti perilaku seksual. Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan pengaruh faktor personal dan lingkungan terhadap perilaku seksual pada remaja di SMA Negeri 1 Bergas Kabupaten Semarang.

Subyek dan Metode: Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan

pendekatan cross sectional. Sampel diambil dari murid SMA Negeri 1 Bergas Kabupaten Semarang sebanyak 159 subjek penelitian setelah dilakukan uji L-MMPI, dengan metode kuesioner di teliti variabel pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, IMS dan HIV/AIDS, sikap terhadap seksualitas, efikasi diri, pengaruh teman sebaya, pengawasan orang tua, serta akses informasi. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan uji regresi linier berganda.

Hasil: Terdapat pengaruh positif dan signifikan pengetahuan terhadap kesehatan

reproduksi, IMS dan HIV/AIDS terhadap perilaku seksual pada remaja (B= 0.16; CI= 95% 0.04 hingga 0.28; p= 0.008), sikap terhadap seksualitas terhadap perilaku seksual pada remaja (B= 0.13; CI= 95% 0.00 hingga 0.27; p= 0.047), efikasi diri terhadap perilaku seksual pada remaja (B= 0.23; CI= 95% 0.10 hingga 0.37; p= 0.001), pengaruh teman sebaya terhadap perilaku seksual pada remaja (B= 0.22; CI= 95% 0.09 hingga 0.43; p= 0.001), pengawasan orang tua terhadap perilaku seksual pada remaja (B= 0.15; CI= 95% 0.01 hingga 0.28; p= 0.030), akses informasi terhadap perilaku seksual pada remaja (B= 0.07; CI= 95% 0.01 hingga 0.14; p= 0.016).

Kesimpulan: Semakin positif nilai faktor personal dan faktor lingkungan, maka

semakin positif perilaku seksual pada remaja.

Kata Kunci: pengetahuan, sikap, efikasi diri, teman sebaya, orang tua, akses informasi

(4)

ABSTRACT

Sartika Kusumastuti. S021308074. Effect of Personal and Environmental Factors on Sexual Behavior in Adolescents. THESIS. Supervisor: Dr. Uki Retno Budihastuti,

dr.,Sp.OG(K), Supervisor II: Dr. Adi Prayitno,drg.,M.Kes. Public Health Science Program. University of Sebelas Maret Surakarta.

Background: Many factors influence the sexual behavior that is personal, environment,

individual behavior. Adolescence is the period of transition that is susceptible to negative influences such as sexual behavior. The purpose of this research is to explain the personal factors and environmental influences on sexual behavior in adolescents in SMA Negeri 1 Bergas Semarang Kabupaten Semarang.

Subjects and Methods: This type of research is observational analytic with cross

sectional approach. Samples taken from the student SMAN 1 Bergas Kabupaten Semarang as much as 159 research subjects after L-MMPI test, with a thorough questionnaire method in the variable knowledge about reproductive health, STIs and HIV/AIDS, attitudes towards sexuality, self-efficacy, peer influence, supervision parents, as well as access to information. Data were analyzed using multiple linear regression.

Result: There is a positive and significant impact of knowledge on reproductive health,

STDs and HIV/AIDS on sexual behavior in adolescents (B= 0.16; 95% CI= 0.04 to

0.28; p= 0.008), attitude toward sexuality sexual behavior in adolescents (B= 0.13; CI= 95% 0.00 to 0.27; p= 0.047), self-efficacy against sexual behavior in

adolescents (B= 0.23; 95% CI= 0.10 to 0.37; p= 0.001), the influence of peers on sexual behavior in adolescents (B= 0.22; 95% CI= 0.09 to 0.43; p= 0.001), the supervision of parents on sexual behavior in adolescents (B= 0.15; 95% CI= 0.01 to 0.28; p= 0.030), access information on sexual behavior in adolescents (B= 0.07; 95% CI= 0.01 to 0.14; p= 0.016).

Conclusion: The more positive the value of personal factors and environmental factors,

the more positive sexual behavior in adolescents.

Keywords: knowledge, attitudes, self-efficacy, peers, parents, access to information

(5)

PERNYATAAN KEASLIAN DAN PERSYARATAN PUBLIKASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa:

1. Tesis yang berjudul: “Pengaruh Faktor Personal dan Lingkungan terhadap Perilaku

Seksual pada Remaja” ini adalah karya penelitian saya sendiri dan tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis dengan acuan yang disebutkan sumbernya, baik dalam naskah karangan dan daftar pustaka. Apabila ternyata di dalam naskah Tesis ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur plagiasi, maka saya bersedia menerima sangsi, baik Tesis beserta gelar magister saya dibatalkan serta diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Publikasi sebagian atau keseluruhan ini Tesis pada jurnal atau forum ilmiah harus menyertakan tim promotor sebagai author dan PPs UNS sebagai institusinya. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia mendapatkan sanksi akademik yang berlaku.

Surakarta, Mahasiswa

Sartika Kusumastuti S021308074

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang mana atas karunia dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan panyusunan Tesis dengan judul “Pengaruh

Faktor Personal dan Lingkungan Terhadap Perilaku Seksual Pada Remaja”. Tesis ini

dapat penulis selesaikan berkat adanya bimbingan dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ravik Kasidi, Drs., M.S, selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Prof. Bhisma Murti, dr., M.PH, M.Sc., PhD selaku Kepala Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

4. Dr. Uki Retno Budihastuti, dr., SpOG (K), selaku dosen pembimbing I Tesis yang telah memberikan bimbingan, masukan dan petunjuk dalam penyusunan Tesis ini. 5. Dr. Adi Prayitno, drg., M.Kes, selaku dosen pembimbing II Tesis yang telah

memberikan bimbingan, masukan dan petunjuk dalam penyusunan Tesis ini. 6. Bapak, ibu, adik, suami serta anak tercinta yang senantiasa memberikan doa,

dukungan moral dan materiil sehingga karya ilmiah ini terselesaikan.

7. Teman-teman yang tercinta Program Studi Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah banyak memberikan inspirasi dan menggugah semangat hingga karya ilmiah ini terselesaikan.

8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan dorongan hingga saya mampu untuk selalu menampilkan yang terbaik dari segala tanggung jawab yang diberikanNya.

(7)

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan karya ilmiah ini, karena keterbatasan kemampuan penulis, akhir kata penulis berharap mudah-mudahan karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Surakarta, Februari 2015

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KEASLIAN PENELITIAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II LANDASAN TEORI... 6

A. Tinjauan Pustaka ... 6

1. Faktor Personal ... 6

2. Faktor Lingkungan ... 18

3. Perilaku Seksual ... 24

4. Remaja ... 29

B. Penelitian yang Relevan ... 34

C. Kerangka Berpikir ... 37

D. Hipotesis ... 37

(9)

BAB III METODE PENELITIAN ... 38

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 38

B. Jenis Penelitian ... 38

C. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling ... 38

D. Variabel Penelitian ... 39

E. Definisi Operasional ... 41

F. Instrumen Penelitian ... 45

G. Kerangka Penelitian ... 46

H. Analisis Data ... 46

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 48

A. Uji Skala L-MMPI ... 48

B. Uji Instrumen ... 48

C. Analisis Univariat ... 52

D. Analisis Bivariat ... 56

E. Analisis Multivariat ... 58

F. Pembahasan ... 59

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ... 67

A. Kesimpulan ... 67

B. Implikasi ... 67

C. Saran ... 68 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi CDC Berdasarkan Gejala Klinis

dan Jumlah CD4 ... 13

Tabel 2.2 Dampak Perilaku Seksual ... 28

Tabel 2.3 Penelitian Yang Relevan ... 34

Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 41

Tabel 4.1 Hasil uji univariat ... 48

Tabel 4.2 Hasil uji bivariat ... 49

Tabel 4.3 Hasil uji multivariat ... 49

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 kerangka Berpikir ... 37

Gambar 3.1 Alur Penelitian ... 46

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Jadwal Penelitian

Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian

Lampiran 3 Permohonan Menjadi Responden

Lampiran 4 Lembar Persetujuan Responden

Lampiran 5 Skala L-MMPI

Lampiran 6 Kuesioner

Lampiran 7 Data Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, IMS dan HIV/AIDS

Lampiran 8 Data sikap terhadap seksualitas

Lampiran 9 Data efikasi diri

Lampiran 10 Data pengaruh teman sebaya

Lampiran 11 Data pengawasan orang tua

Lampiran 12 Data akses informasi

Lampiran 13 Data perilaku seksual

Lampiran 14 Hasil Uji univariat

Lampiran 15 Hasil uji bivariat

Lampiran 16 Hasil Uji multivariat

Lampiran 17 Kartu Konsultasi

(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masa remaja adalah masa peralihan antara tahap anak dan dewasa. Masa remaja ditandai dengan kematangan fisik, sosial, dan psikologis yang berhubungan langsung dengan kepribadian, seksual, dan peran sosial remaja. Masa remaja juga dapat dimulai sejak seseorang menunjukkan tanda-tanda pubertas dan berlanjut hingga kematangan seksual. Perubahan hormon seksual di dalam tubuhnya ditandai dengan kematangan seksual sehingga dorongan seksual yang timbul semakin meluap (Ahmadi, 2007). Remaja merupakan kelompok yang paling rentan secara fisik terhadap infeksi. Meskipun remaja sudah matang secara organ seksual, tetapi emosi dan kepribadiannya masih labil karena masih mencari jati dirinya, sehingga rentan terhadap berbagai godaan dalam lingkungan pergaulannya. Remaja cenderung ingin tahu dan mencoba-coba apa yang dilakukan oleh orang dewasa (Gunarsa, 2012).

(14)

lingkungannya, sehingga mereka cenderung lebih permisif terhadap perilaku seksual pranikah. Adanya berbagai perilaku seks remaja tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor. Secara garis besar faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku reproduksi remaja terdiri dari faktor di luar individu dan faktor di dalam individu. Faktor di luar individu adalah faktor lingkungan di mana remaja tersebut berada, baik itu di lingkungan keluarga, kelompok sebaya (peer group), banjar dan desa. Sedangkan faktor di dalam individu yang cukup menonjol adalah sikap permisif dari individu yang bersangkutan. Sementara sikap permisif ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Dalam suatu kelompok yang tidak permisif terhadap perilaku reproduksi sebelum menikah akan menekan anggotanya yang bersifat permisif. Dengan demikian kontrol sosial akan mempengaruhi sikap permisif terhadap kelompok tersebut. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Bandura dalam konsepnya reciprocal determinism, yaitu seseorang akan bertingkah laku dalam situasi yang ia pilih secara aktif. Dalam menganalisis perilaku seseorang, ada tiga komponen yang harus ditelaah yaitu individu itu sendiri (P: Person), lingkungan (E:

Environment), serta perilaku individu tersebut (B: Behavior). Individu akan memunculkan satu bentuk perilaku yang berbeda meskipun lingkungan serupa, namun individu akan bertingkah laku setelah ada proses kognisi atau penilaian terhadap lingkungan sebagai stimulus yang akan ditindaklanjuti. Bandura menyatakan bahwa kognisi adalah sebagai tingkah laku perantara dimana persepsi diri kita mempengaruhi tingkah laku (Ramadhani, 2008).

(15)

2.879.714 juta jiwa dan remaja umur 20-24 tahun mencapai 2.448.285 juta jiwa. Berbagai macam penelitian yang dilakukan terhadap para remaja menunjukkan kecenderungan perubahan perilaku seksual remaja. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Gatra bekerja sama Laboratorium Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (LIP FISIP-UI) menjaring 800 responden remaja berusia 15-22 tahun di Jakarta, Yogyakarta, Medan, Surabaya, dan Ujungpandang menjelang akhir 1997. Penelitian itu dimaksudkan untuk mengetahui perhatian dan sikap para remaja terhadap masalah seks, sosial politik, ekonomi, nilai-nilai agama, dan berbagai masalah aktual. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa responden menunjukkan sikap yang makin permisif (sikap serba boleh) terhadap perilaku seks gaya modern. Sebanyak 45,9% (367 responden) memandang berpelukan antar lawan jenis adalah hal wajar, 47,3% (378 responden) membolehkan cium pipi, 22% tak menabukan cium bibir, 11% (88 responden) membolehkan necking atau cium leher atau cupang, 4,5% (36 responden) tak mengharamkan kegiatan raba-meraba, 2,8% (22 responden) menganggap wajar melakukan petting (saling menggesek-gesekkan alat kelamin), dan 1,3% (10 responden) tak melarang sanggama di luar nikah (Jahja, 2012).

Hasil Synovate Research (2005) tentang perilaku seksual remaja di empat kota (Surabaya, Jakarta, Bandung, Medan) yang melibatkan 450 remaja memperoleh hasil 44 % responden mengaku punya pengalaman seksual ketika berusia 16-18 tahun dan 16 % lainnya punya pengalaman seksual ketika berusia 13-15 tahun. Rata-rata responden juga mengaku pernah melakukan deep kissing, pelukan, perabaan, dan hubungan intim saat berpacaran. Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh gambaran bahwa sebagian besar remaja mulai melakukan hubungan seksual pada usia 16 tahun. Penelitian lain diselenggarakan oleh Rita Damayanti terhadap remaja di SLTA Jakarta tahun 2008 diperoleh hasil bahwa perilaku pacaran remaja adalah mengobrol, pegangan tangan, berangkulan, berciuman pipi, berpelukan, berciuman bibir, meraba-raba dada, meraba alat kelamin, menggesek kelamin, seks oral, dan hubungan seks.

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat ditarik suatu permasalahan yaitu Pengaruh faktor personal dan lingkungan terhadap perilaku seksual pada remaja?

(16)

B. Rumusan Masalah

Banyaknya faktor-faktor yang menjadi sebab adanya perilaku seksual yaitu pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi, IMS dan HIV/AIDS, pengaruh teman sebaya serta minimnya informasi yang tepat dan benar tentang kesehatan reproduksi, maka dapat disimpulkan permasalahan sebagai berikut:

”Apakah ada pengaruh faktor personal dan lingkungan terhadap perilaku seksual pada remaja?”

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum:

Untuk meneliti pengaruh faktor personal dan lingkungan terhadap perilaku seksual pada remaja.

2. Tujuan khusus:

Untuk meneliti pengaruh faktor personal dan lingkungan terhadap perilaku seksual pada remaja di SMA Negeri 1 Bergas Kabupaten Semarang.

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Pihak sekolah

Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pengelola untuk dapat mengawasi perilaku siswa selama disekolah dan memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi yang tepat kepada siswa.

2. Bagi Mayarakat, khususnya orang tua

Dengan mengetahui pendidikan kesehatan reproduksi yang efektif bagi orang tua, masyarakat dapat segera mengambil langkah dalam rangka memberikan informasi kesehatan reproduksi pada anak remaja.

3. Bagi Program Studi Promosi Kesehatan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan pustaka bidang ilmu promosi kesehatan, khususnya tentang Kesehatan Reproduksi Remaja untuk dapat dijadikan referensi untuk penelitian selanjutnya.

4. Bagi Instansi Kesehatan yang terkait dalam bidang KRR, kiranya dapat memanfaatkan informasi dari hasil penelitian ini sebagai bahan perencanaan

(17)

dan penyuluhan kesehatan, dalam rangka pembangunan masyarakat yang berkualitas.

5. Bagi Hukum

Untuk memberikan payung hukum supaya remaja-remaja lebih terlindungi dalam segi kesehatan reproduksinya.

6. Bagi Peneliti

Untuk menambah wawasan dan pengetahuan peneliti dalam melakukan penelitian, serta menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh dalam melaksanakan penelitian di lapangan.

(18)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Faktor Personal

a. Pengetahuan tentang Kesehatan Reproduksi, IMS dan HIV/AIDS

a.1. Kesehatan Reproduksi

1) Definisi Kesehatan Reproduksi

Kesehatan Reproduksi menurut WHO (World Health

Organizations) adalah suatu keadaan fisik, mental dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Atau suatu keadaan dimana manusia dapat menikmati kehidupan

seksualnya serta mampu menjalankan fungsi dan proses

reproduksinya secara sehat dan aman (Nugroho, 2010).

Menurut konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan, 1994 Kesehatan Reproduksi adalah Keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang utuh dalam segala hal yang berkaitan dengan fungsi, peran & sistem reproduksi (BKKBN, 2010).

Kesehatan reproduksi menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah: suatu keadaan sehat, secara menyeluruh mencakup fisik, mental dan kedudukan sosial yang berkaitan dengan alat, fungsi serta proses reproduksi, dan pemikiran kesehatan reproduksi bukan hanya kondisi yang bebas dari penyakit, melainkan juga bagaimana seseorang dapat memiliki seksual yang aman dan memuaskan sebelum dan sudah menikah (Nugroho, 2010).

2) Ruang Lingkup Kesehatan Reproduksi

(19)

reproduksi, ICPD Program of Action panggilan untuk mendefinisikan dan reproduksi dan kesehatan seksual peduli dalam konteks pelayanan kesehatan primer untuk menyertakan:

a. Keluarga Berencana;

b. Antenatal, persalinan yang aman dan perawatan pasca melahirkan; c. Pencegahan dan pengobatan yang tepat infertilitas;

d. Pencegahan aborsi dan pengelolaan Konsekuensi dari aborsi; e. Pengobatan infeksi saluran reproduksi;

f. Pencegahan, perawatan dan pengobatan IMS dan HIV/AIDS; g. Informasi, pendidikan dan konseling, sesuai seksualitas manusia

dan kesehatan reproduksi;

h. Pencegahan dan pengawasan kekerasan terhadap perempuan, merawat korban kekerasan dan tindakan lain untuk menghilangkan berbahaya tradisional praktek, seperti FGM/C;

i. Arahan yang tepat untuk diagnosis lebih lanjut dan manajemen di atas (UNFPA, 2008).

Kesehatan reproduksi ibu dan bayi baru lahir meliputi perkembangan berbagai organ reproduksi mulai dari sejak dalam kandungan hingga meninggal. Permasalahan kesehatan reproduksi remaja termasuk pada saat pertama anak perempuan mengalami haid/menarche, hingga menyakut kehidupan remaja memasuki masa perkawinan. Selain itu seseorang berhak terbebas dari kemungkinan tertular penyakit infeksi menular seksual yang bisa berpengaruh pada fungsi reproduksi. Penerapan pelayanan kesehatan reproduksi oleh Departemen Kesehatan RI dilaksanakan secara integratif memprioritaskan pada empat komponen kesehatan reproduksi yang menjadi masalah pokok di Indonesia yang disebut paket Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE), yaitu:

1. Kesehatan ibu dan bayi baru lahir. 2. Keluarga berencana.

3. Kesehatan reproduksi remaja.

(20)

4. Pencegahan dan penanganan infeksi saluran reproduksi, termasuk HIV/AIDS.

Sedangkan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Komprehensif (PKRK) terdiri dari PKRE ditambah kesehatan reproduksi pada usia lanjut (Widyastuti dkk, 2009).

a.2 Infeksi Menular Seksual

1) Definisi Infeksi Menular Seksual

Infeksi Menular Seksual (IMS) sering juga disebut penyakit kelamin yaitu penyakit yang sebagian besar ditularkan melalui hubungan seks atau hubungan kelamin. Ada banyak sekali jenis infeksi yang ditularkan melalui hubungan seks. IMS tertentu juga bisa menular kepada orang lain melalui pakaian, handuk atau sentuhan kulit dengan orang yang sudah terinfeksi.

2) Jenis-jenis IMS

Menurut National Institutes of Health ada berbagai macam penyakit yang termasuk dalam IMS antara lain:

a) Gonore (GO)

Gonore disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae, yang dapat tumbuh dengan cepat dan berkembang biak dengan mudah di daerah hangat, daerah lembab pada saluran reproduksi . Gejala yang paling umum dari infeksi gonore adalah keluarnya cairan dari vagina atau penis dan nyeri atau sulit buang air kecil.

Seperti infeksi klamidia, komplikasi yang paling umum dan serius gonorrhea terjadi pada wanita dan termasuk penyakit radang panggul (PID), kehamilan ektopik, dan penyebaran potensial bagi perkembangan janin jika diperoleh selama kehamilan. Gonore juga dapat menginfeksi mulut, tenggorokan, mata, dan rektum dan dapat menyebar ke darah dan sendi, di mana ia bisa menjadi penyakit yang mengancam jiwa. Selain itu, orang dengan gonore dapat lebih mudah tertular HIV, virus yang

(21)

menyebabkan AIDS. Orang yang terinfeksi HIV dengan gonore juga lebih mungkin untuk menularkan virus ke orang lain.

b) Sifilis (Raja Singa)

Infeksi Sifilis yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum yang ditularkan dari orang ke orang selama vagina, anal, atau oral seks melalui kontak langsung dengan luka, yang disebut chancres. Antara 2001 dan 2009, Centers for Prevention (CDC) Data Control dan Penyakit menunjukkan bahwa tingkat sifilis meningkat setiap tahun. Orang-orang yang berisiko tinggi untuk sifilis termasuk laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki dan perempuan. Tanda pertama sifilis adalah luka di kelamin yang paling sering muncul pada penis atau di dalam dan sekitar vagina. Selain menjadi tanda pertama dari infeksi sifilis, luka tersebut membuat seseorang 2-5 kali lebih mungkin untuk kontrak infeksi HIV. Jika orang tersebut sudah terinfeksi HIV, luka tersebut juga meningkatkan kemungkinan bahwa virus akan diteruskan ke pasangan seksual. Luka ini biasanya hilang dengan sendirinya, bahkan tanpa pengobatan. Namun, tubuh tidak akan menghapus infeksi sendiri dari waktu ke waktu, sifilis mungkin melibatkan organ-organ lain, termasuk kulit, jantung, pembuluh darah, hati, tulang, dan sendi di sifilis sekunder. Jika penyakit ini masih belum diobati, sifilis tersier dapat berkembang selama periode tahun dan melibatkan saraf, mata, dan otak dan berpotensi dapat menyebabkan kematian. Ibu hamil menyimpan bakteri berada pada peningkatan risiko keguguran dan kelahiran mati, dan mereka dapat menularkan infeksi pada janin dengan mereka selama kehamilan dan persalinan. Bayi yang memperoleh sifilis kongenital selama kehamilan dapat menderita kelainan tulang, kesulitan berbicara dan perkembangan motorik, kejang, anemia, penyakit hati, dan masalah neurologis.

(22)

c) Herpes genitalis

Herpes genital adalah infeksi menular yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (HSV). Ada dua jenis yang berbeda, atau jenis, HSV: virus herpes simpleks tipe 1 (HSV-1) dan tipe 2 (HSV-2). Keduanya dapat menyebabkan herpes genital, meskipun sebagian besar kasus herpes genital disebabkan oleh HSV-2.5 Bila gejala, HSV-1 biasanya muncul sebagai lepuh demam atau luka dingin di bibir, tetapi juga dapat menginfeksi daerah genital melalui oral-genital atau kelamin kontak genital. Gejala HSV-2 biasanya menyebabkan nyeri, kulit lecet berair pada atau di sekitar alat kelamin atau dubur. Namun, sejumlah besar orang-orang yang membawa virus ini tidak memiliki atau hanya tanda-tanda atau gejala yang minimal.

Baik HSV 1 atau HSV-2 dapat disembuhkan, dan bahkan selama saat-saat ketika orang yang terinfeksi tidak memiliki gejala, virus dapat ditemukan dalam sel-sel saraf tubuh. Secara berkala, beberapa orang akan mengalami wabah di mana lepuh baru terbentuk pada kulit di daerah kelamin; pada saat-saat, virus ini lebih mungkin untuk diteruskan kepada orang lain. Wanita hamil, terutama mereka yang mendapatkan herpes genital untuk pertama kalinya selama kehamilan, dapat menularkan infeksi pada bayi mereka, menyebabkan neonatal HSV, infeksi mempengaruhi kulit bayi, otak, dan organ-organ lainnya yang mengancam jiwa.

d) Kondiloma Akuminata (Jengger Ayam)

Penyebab penyakit ini adalah virus Human P apilloma. Gejala: terdapat satu atau beberapa kutil di sekitar kemaluan. e) Klamidia

Klamidia adalah IMS yang disebabkan oleh bakteri

Chlamydia trachomatis. Klamidia dapat ditularkan selama

hubungan seksual vagina, mulut, atau anal dengan pasangan yang terinfeksi. Sementara banyak orang tidak akan mengalami gejala,

(23)

klamidia dapat menyebabkan demam, sakit perut, dan debit yang tidak biasa dari penis atau vagina.

Pada wanita, apakah mereka mengalami gejala dan tahu tentang infeksi klamidia dapat menyebabkan penyakit radang panggul (PID). PID yang tidak diobati STD/IMS berlangsung dan melibatkan bagian lain dari sistem reproduksi wanita, termasuk rahim dan saluran tuba. Perkembangan ini dapat menyebabkan kerusakan permanen pada organ reproduksi wanita. Kerusakan ini dapat menyebabkan kehamilan ektopik (di mana janin berkembang di tempat-tempat yang tidak normal di luar rahim, suatu kondisi yang dapat mengancam nyawa) dan infertilitas. Selain itu, jika wanita hamil, janin yang sedang berkembangnya beresiko, karena klamidia dapat ditularkan selama kehamilannya atau pengiriman dan dapat menyebabkan infeksi mata atau pneumonia pada bayi. Jika klamidia terdeteksi dini, dapat diobati dengan mudah dengan antibiotik diminum.

a.3. HIV/AIDS

Secara global, penyebaran HIV/AIDS tetap meningkat terutama di kalangan remaja yang banyak peningkatan risiko terjadinya infeksi. Perubahan perilaku seksual tetap menjadi salah satu cara yang paling efektif untuk mencegah penularan lebih lanjut antara kelompok rentan (Oppong dan Oti, 2013).

1) Definisi HIV/AIDS

(24)

Deficiency Syndrome) adalah merupakan kumpulan gejala penyakit spesifik yang disebabkan oleh rusaknya sistem kekebalan tubuh oleh virus HIV.

2) Cara Penularan HIV/AIDS

Menurut (Oppong dan Oti, 2013) HIV dapat ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan terinfeksi orang, berbagi jarum/jarum suntik dengan orang yang terinfeksi dan melalui ibu ke anak. Sedangkan menurut (Pratibha dkk, 2013) penularan HIV/AIDS melalui hubungan seks tanpa kondom diikuti dengan berbagi suntikan, transfusi darah dan seks dengan banyak pasangan. Sedangkan cara penularan HIV/AIDS melalui gigitan nyamuk tidak terbukti adanya.

3) Manifestasi Klinis HIV/AIDS

Perjalanan penyakit HIV menurut Pusat Data dan Informasi Depakes RI (2014) dapat dibagi dalam:

1. Transmisi virus

2. Infeksi HIV primer (sindrom retroviral akut) 3. Serokonversi

4. Infeksi kronik asimtomatik 5. Infeksi kronik simtomatik

6. AIDS (indikator sesuai dengan Centers for Disease Control and Prevention 1993 atau jumlah CD4<200/mm3)

7. Infeksi HIV lanjut ditandai dengan jumlah CD4<50/mm3.

Terdapat beberapa klasifikasi klinis HIV/AIDS antara lain menurut

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan WHO.

Klasifikasi dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) berdasarkan gejala klinis dan jumlah CD4 sebagai berikut:

(25)

Tabel 2.1. Klasifikasi Centers for Disease Control and Prevention

(CDC) berdasarkan gejala klinis dan jumlah CD4

CD4 Kategori Klinis

Total % (Asimtomatik, A

Infeksi Akut)

B (Simtomatik)

C (AIDS)

≥ 500/ml ≥ 29% A1 B1 C1

200-499/ml 14-28% A2 B2 C2

< 200/ml <14% A3 B3 C3

Kategori klinis A meliputi infeksi HIV tanpa gejala (asimtomatik),

Persistent Generalized lymphadenopathy, dan infeksi HIV akut primer dengan penyakit penyerta atau adanya riwayat infeksi HIV akut.

Kategori Klinis B terdiri atas kondisi dengan gejala (simtomatik) pada remaja atau dewasa yang terinfeksi HIV yang tidak termasuk dalam kategori C dan memenuhi paling sedikit satu dari beberapa kriteria berikut:

a) Keadaan yang dihubungkan dengan infeksi HIV atau adanya kerusakan kekebalan yang diperantarakan sel

b) Kondisi yang dianggap oleh dokter telah memerlukan

penanganan klinis atau membutuhkan penatalaksanaan akibat komplikasi infeksi HIV, misalnya Kandidiasis Orofaringeal, Oral Hairy Leukoplakia, Herpes Zoster, dan lain-lain.

Kategori klinis C meliputi gejala yang ditemukan pada pasien AIDS misalnya Sarkoma Kaposi, Pneumonia Pneumocystis cariniin, Kandidiasis Esofagus, dan lain-lain.

b. Sikap Terhadap Seksualitas

Menurut Secord dan Backman (dalam Azwar, 2012) “sikap adalah keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseroang terhadap sutatu aspek di lingkungan

sekitarnya”. Sedangkan LaPierre (dalam Azwar, 2012) mendefinisikan sikap

(26)

sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimulus sosial yang telah terkondisikan.

Definisi mengenai sikap di atas dapat disimpulkan bahwa sikap adalah suatu kecenderungan dan keyakinan seseorang terhadap suatu hal yang bersifat mendekati (positif) atau menjauhi (negatif) ditinjau dari aspek afektif dan kognitif dan mengarahkan pada pola perilaku tertentu. Sedangkan definisi sikap terhadap operasi peneliti simpulkan sebagai kecenderungan dan keyakinan individu mengenai operasi yang bersifat mendekati (positif) dan menjauhi (negatif) ditinjau dari aspek afektif dan kognitif dan mengarahkan pada pola perilaku tertentu.

Komponen sikap menurut Azwar (2012) terdiri dari 3 komponen yang saling menunjang yaitu: (a) Komponen kognitif yang merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu dapat disamakan penanganan (opini) terutama apabila menyangkut masalah isu atau yang kontroversial. (b) Komponen afektif yang merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin adalah mengubah sikap seseorang komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu. (c) Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai sikap yang dimiliki oleh seseorang. Aspek ini berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak atau bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu.

(27)

kering berupa sentuhan pipi dengan pipi dan pipi dengan bibir. (3) Cium basah, Aktifitas cium basah berupah sentuhan bibir, dampak cium bibir dapat menimbulkan sensasi seksual yang kuat dan menimbulkan dorongan seksual sehingga tidak terkendali. (4) Merupakan kegiatan meraba atau memegang bagian tubuh yang sensitif seperti payudara, vagina dan penis. (5) Petting,

Merupakan keseluruan aktifitas seksual non intercourse (hingga

menempelkan alat kelamin) dan dampakny menimbulkan ketagihan. (6) Oral seksual, Oral seksual pada laki-laki adalah ketika seseorang mengunakan bibir, mulut dan lidahnya pada penis dan sekitarnya, sedangkan pada wanita melibatkan bagian disekitar vulva yaitu labia, klitoris dan bagian dalam vagina. (7) Intercourse atau bersenggama, merupakan aktifitas seksual dengan memasukan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan.

Berdasarkan definisi dari sikap dan seks di atas dalam penelitian ini sikap terhadap seksualitas didefinisikan sebagai tingkatan sejauhmana seseorang mendukung atau memihak (favorable) maupun tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) terhadap aktivitas seksual, yang antara lain

necking, petting, masturbasi, oral seks, anal seks, dan sexual intercourse yang dilakukan oleh pasangan yang keduanya tidak terikat dalam pernikahan.

c. Efikasi Diri

Efikasi diri diartikan sebagai keyakinan terhadap kemampuan dalam mengorganisasikan dan menampilkan tindakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan kecakapan tertentu (Bandura, 1997). Efikasi diri berasal dari teori kognisi belajar sosial dimana fungsi manusia merupakan hasil dari interaksi antara faktor lingkungan, perilaku dan faktor pribadi yang meliputi kognisi, afeksi dan biologis (Bandura, 1997).

(28)

tugas sehingga individu berusaha keras untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Menurut Bandura (1997), efikasi diri dapat ditumbuhkan melalui sumber-sumber informasi berikut:

a. Pengalaman Individu (enactive mastery experience)

Interpretasi individu terhadap keberhasilan yang dicapai individu pada masa lalu akan mempengaruhi efikasi dirinya. Individu dalam melakukan suatu tugas akan menginterpetasikan hasil yang dicapai. Interpretasi tersebut akan mempengaruhi keyakinan diri terhadap kemampuan untuk melakukan suatu tugas-tugas selanjutnya.

b. Pengalaman keberhasilan orang lain (vicarious experience)

Proses modeling atau belajar dari pengalaman orang lain akan mempengaruhi efikasi diri. Efikasi diri individu akan berubah dengan dipengaruhi model yang relevan. Pengalaman yang dimiliki oleh orang lain menentukan persepsi akan keberhasilan atau kegagalan individu. c. Persuasi verbal (verbal persuation).

Persuasi verbal dari orang-orang yang menjadi panutan atau yang memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan dapat meningkatkan efikasi diri individu. Persuasi verbal yang diberikan kepada individu bahwa individu memiliki kemampuan untuk melakukan suatu tugas menyebabkan individu berusaha keras untuk menyelesaikan tugas tersebut. d. Keadaan fisiologis dan emosional (physiological and affective states)

Individu akan melihat kondisi fisiologis dan emosional dalam menilai kemampuan, kekuatan dan kelemahan dari disfungsi tubuh. Keadaan emosional yang sedang dihadapi individu akan mempengaruhi keyakinan individu dalam menjalankan tugas.

Bandura (1997) menyebutkan tiga aspek efikasi diri, diantaranya adalah:

a. Level (tingkatan)

(29)

Beberapa individu berfikir bahwa mereka dapat menyelesaikan tugas yang sulit. Tingkat dari suatu tugas dapat dinilai dari tingkat kecerdikan, adanya usaha, ketelitian, produktivitas, cara menghadapi ancaman dan pengaturan diri yang dikehendaki. Pengaturan diri tidak hanya dilihat dari apakah seseorang dapat melakukan suatu pekerjaan pada saat tertentu namun apakah seseorang dapat memiliki efikasi diri pada setiap saat untuk menghadapi situasi bahkan ketika individu diharapkan untuk pasif.

b. Strength (kekuatan)

Tingkat kepercayaan seseorang apakah dapat melakukan pada masing-masing tingkatan atau komponen tugas. Ada individu yang memiliki kepercayaan kuat bahwa mereka akan berhasil walaupun dalam tugas yang berat, sebaliknya ada juga yang memiliki kepercayaan rendah apakah dapat melakukan tugas tersebut. Individu dengan efikasi diri yang rendah mudah menyerah apabila mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan, sementara individu dengan yang memiliki keyakinan kuat terhadap kemampuannya akan tekun berusaha menghadapi kesulitan dan rintangan. Individu yang memiliki keyakinan kuat terhadap kemampuannya menganggap tugas yang sulit sebagai tantangan yang harus dihadapi daripada sebagai ancaman atau sesuatu yang harus dihindari (Bandura, 1997).

c. Generality (Generalitas)

Tingkatan harapan seseorang yang digeneralisasikan pada banyak situasi atau hanya terbatas pada tugas tertentu. Aspek ini menunjukkan apakah individu mampu memiliki efikasi diri pada banyak situasi atau pada situasi-situasi tertentu. Generalitas dapat dinilai dari tingkatan aktivitas yang sama, cara-cara dalam melakukan sesuatu dimana kemampuan dapat diekspresikan melalui proses kognitif, afektif dan konatif, jenis situasi yang dihadapi dan karakteristik individu dalam berperilaku sesuai tujuan.

(30)

2. Faktor Lingkungan

a. Pengaruh Teman Sebaya

Teman sebaya merupakan faktor penguat terhadap pembentukan perilaku remaja termasuk perilaku seksual pra nikah (Dewi, 2012). Morton dan Farhat (2010) dalam Dewi (2012) menyatakan bahwa teman sebaya mempunyai kontribusi sangat dominan dari aspek pengaruh dan percontohan

(modelling) dalam berperilaku seksual remaja dengan pasangannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Maryatun (2013) mengenai peran teman sebaya terhadap perilaku seksual pra nikah pada remaja di SMA Muhammadiyah 3 Surakarta bahwa sebagian besar remaja (84%) yang berperilaku seksual pranikah sebanyak (62%) menyebutkan adanya peran/pengaruh teman sebaya. Serta remaja yang memperoleh informasi seksualitas dari teman sebaya akan 19.272 kali berisiko melakukan perilaku seksual pranikah dibandingkan dengan remaja yang tidak memperoleh peran informasi seksualitas dari teman sebaya mereka.

Bagi remaja laki-laki maupun perempuan, teman seusia dan sejenis sangat berarti. Persetujuan atau kesesuaian sikap sendiri dengan sikap kelompok sebaya adalah sangat penting untuk menjaga status afiliasinya dengan teman-teman, menjaga agar ia tidak dianggap “asing” dan menghindari agar tidak dikucilkan oleh kelompok. Teman sebaya juga merupakan salah satu sumber informasi tentang seks yang cukup signifikan dalam membentuk pengetahuan, sikap dan perilaku seksual remaja. Namun, informasi teman sebaya dapat menimbulkan dampak yang negatif. Pengaruh teman sebaya dapat meningkatkan risiko penggunaan alkohol, rokok dan narkoba serta niat dan frekuensi dalam hubungan seksual. Sosialisasi menjelaskan kesamaan antara individu dengan teman sebayanya melalui proses pendesakan sehingga mempengaruhi perilaku remaja. Sosialisasi remaja dapat mempengaruhi remaja untuk memiliki persamaan nilai dan perasaan memiliki (sense of commitment) dalam hubungan dengan sebayanya.

(31)

remaja, orangtua, guru, pendidik, pemuka agama dan tokoh masyarakat merasa takut apabila informasi dan pendidikan seks diberikan pada remaja akan disalahgunakan oleh remaja. Sehingga remajapun lebih senang bertanya pada teman sebaya yang tidak lebih baik pengetahuannya dan tidak menerima pendidikan seks yang bertanggungjawab. Remaja menerima informasi yang salah bahkan menyesatkan misalnya dari cerita teman, melihat film atau video porno, tayangan televisi, membaca buku, majalah yang lebih banyak menyajikan seks secara vulgar dibandingkan pengetahuan pendidikan seksual yang benar (Burgess dkk, 2005).

Penelitian Jaccard dkk (2005) menyatakan bahwa pengaruh kelompok atau teman sebaya pada individu meningkatan perilaku berisiko. Peran teman sebaya yang menjadi salah satu motivasi dan pembentukan identitas diri, bahkan informasi dari teman sebaya bisa menimbulkan dampak negatif.

Penelitian Kim dan Free (2008) menyatakan bahwa teman sebaya merupakan salah satu sumber informasi yang cukup signifikan dalam membentuk pengetahuan dikalangan usia remaja namun dapat juga menimbulkan dampak negatif karena informasi yang mereka peroleh hanya melalui tayangan media seperti film, VCD, televisi maupun pengalaman sendiri. Peran teman sebaya dalam mempengaruhi perilaku berisiko Penyakit Menular Seksual didukung oleh persamaan nilai dan perasaan memiliki sehingga dapat mempengaruhi perilaku.

b. Pengawasan Orang Tua

(32)

pendidikan seks bagi remaja, penyimpangan seksual, penyakit menular seksual, HIV dan AIDS, kekerasan seksual, bahaya narkoba terhadap kesehatan reproduksi. Selain itu termasuk juga pengaruh sosial dan media terhadap perilaku sosial, kemampuan berkomunikasi, hak-hak reproduksi dan gender pada diri remaja. Tetapi tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi orang tua dengan anak tidak sama, karena orang tua sudah mempunyai pengalaman berfungsinya reproduksi sedangkan anak belum mengalami fungsi reproduksi. Pengetahuan reproduksi orang tua dan anak tidak hanya dengan praktek tetapi melalui informasi-informasi dari berbagai cara.

Sehubungan dengan itu menurut BKKBN (2012) bahwa orangtua perlu memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan pengetahun kesehatan reproduksi baik pengetahuan untuk diri sendiri maupun pengetahuan untuk anak remajanya. Orang tua perlu memahami kondisi anak remajanya yang sedang mengalami perubahan-perubahan pada dirinya, yang menyangkut proses reproduksi. Orang tua harus mempunyai kemampuan memberikan pengetahuan kesehatan reproduksi kepada anak remajanya, agar memilki informasi proses reproduksi yang benar. Anak remaja yang tidak memperoleh pengetahuan kesehatan reproduksi yang benar dari orangtua, mereka akan mencari informasi lain melalui gambar, teman, film yang menyesatkan. Dengan informasi yang benar, diharapkan remaja memiliki sikap dan tingkah laku yang bertanggung jawab khususnya mengenai proses reproduksi. Orang tua yang baik bagi anak remajanya adalah mempunyai kemampuan dalam berkomunikasi dan diskusi dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) orang tua tidak menggurui, (2) jangan beranggapan bahwa orang tua lebih mengetahui sesuatu dibandingkan dengan anak remaja, (3) memberikan kesempatan kepada remaja untuk mengemukakan pandangan dan pendapatnya, (4) memberikan argumen yang jelas dan masuk akal terhadap suatu persoalan, (5) memberikan dukungan pada anak apabila memang pantas diberi dukungan, (6) mengatakan salah kalau memang salah, dengan alasan yang masuk akal menurut pemikiran mereka, (7) menjadikan anak remaja sebagai teman untuk berdiskusi, bukan sebagai individu untuk

(33)

Penelitian Strehl (2010) menyatakan bahwa lingkungan keluarga yang harmonis dan lingkungan yang positif berhubungan dalam menurunkan tingkat risiko perilaku berisiko Penyakit Menular Seksual. Orang tua yang memonitor aktifitas dan lingkungan anak, selalu ikut terlibat dalam kegiatan dan meningkatkan komunikasinya dengan anaknya behubungan dengan menurunkan risiko perilaku seksual berisiko pada anak jalanan dan lebih baik pada keluarga yang religious. Keterlibatan orang tua dan kedekatan keluarga dalam mendukung pencegahan perilaku berisiko berhubungan dengan penurunan kehamilan pada remaja. Perilaku seksual berisiko disimpulkan dapat dicegah dengan dukungan lingkungan keluarga. Dukungan keluarga menjadi kekuatan dalam mencegah perilaku seksual berisiko pada remaja.

Menurut WHO (2012) menyatakan bahwa komunikasi dengan keluarga atau orang tua memberikan efek kesehatan yang positif seperti angka kesehatan yang tinggi, kepuasan hidup yang tinggi, mengurangi keluhan fisik dan psikis serta mengurangi hal-hal negatif. Cukup tidaknya pendidikan agama yang diberikan orang tua terhadap anaknya, cukup tidaknya kasih sayang dan perhatian yang diperoleh anak, cukup tidaknya keteladanan yang diterima sang anak dari keluarga dan lain-lain menjadi hak anak dari orangtuanya. Jika tidak, maka anak akan mencari tempat pelarian di jalan-jalan sehingga memaksa mereka untuk berperilaku bebas dan terjebak dalam beperilaku berhubungan seks berisiko.

c. Akses Informasi

(34)

dan bertingkah laku yang menyimpang, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya berbagai macam perilaku seksual disalurkan dengan sesama jenis kelamin, dengan anak yang belum cukup umur, dan sebagainya. Sebagai media informasi, televisi memiliki kekuatan yang kuat (powerful) untuk menyampaikan pesan. Media ini dapat mengalirkan pengalaman yang seolah-olah dialami sendiri dengan jangkauan yang luas dalam waktu yang bersamaan. Penyampaian isi pesan seolah-olah langsung antara komunikator dan komunikan.

[image:34.595.133.511.250.485.2]
(35)

Perilaku Risiko di Los Angeles, sexting secara bermakna dikaitkan dengan menjadi aktif secara seksual tapi hubungan dengan penggunaan kondom pada seks terakhir adalah batas yang signifikan. Ini akan menunjukkan bahwa berbagi atau posting seksual gambar mungkin lebih mencerminkan ekspresi seksual yang khas di hubungan romantis di kalangan remaja (Ybarra dan Mitchell, 2014).

Penelitian Carrol dan Kirkpatrik (2011) menyatakan bahwa penggunaan media merupakan bagian integral sepanjang hidup di usia remaja, jumlah risiko dihubungkan dengan penggunaan media sosial, secara spesisfik berefek negatif pada kesehatan. Bagaimanapun data tentang risiko penggunaan tipe macam sosial media sangat berisiko pada perilaku mereka. Media massa merupakan sumber informasi seksual yang lebih penting dibandingkan orang tua dan teman sebaya, karena media massa memberikan gambaran yang lebih baik mengenai keinginan dan kebutuhan seksualitas. Media massa baik cetak maupun elektronik menampilkan tulisan atau gambar yang dapat menimbulkan imajinasi dan merangsang sesorang untuk mencoba meniru adegannya.

Penelitian Rice dkk (2010) melaporkan bahwa penggunaan internet dan media lainnya secara positif berpengaruh pada perubahan perilaku seks pada anak jalanan. Lebih dari 84% usia remaja yang menggunakan internet satu kali dalam satu minggu lebih berisiko mengalami perubahan perilaku berisiko Penyakit Menular Seksual. Informasi dari media ataupun teman sebaya belum pasti tingkat kebenarannya, bahkan cenderung tidak akurat dan keliru. Penyampaian informasi seksual yang vulgar dan menyesatkan dari media atau teman sebaya dapat mendorong untuk berperilau seksual berisiko.

3. Perilaku Seksual a. Perilaku

Menurut Skinner seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku manusia dari segi biologis adalah tindakan

(36)

atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas seperti berjalan, berbicara, menangis, bekerja dan sebagainya.

Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

a) Perilaku tertutup (covert behavior)

Merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.

b) Perilaku terbuka (overt behavior)

Merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus ini sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik, yang dapat dengan mudah dilihat oleh orang lain.

Teori Lawrence Green (1980) mencoba menganalisis perilaku manusia berangkat dari tingkat kesehatan. Bahwa kesehatan seseorang dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non behavior causes) yaitu sebagai berikut:

1. Faktor yang mempermudah (presdisposing factor)

Yaitu mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.

2. Faktor pendukung (Enabling factor)

Ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat.

3. Faktor pendorong (Reinforcing factor)

Faktor yang memperkuat perubahan perilaku seseorang yang dikarenakan sikap suami, orang tua, tokoh masyarakat dan petugas kesehatan.

(37)

Perilaku manusia sangatlah kompleks dan mempunyai bentangan yang sangat luas. Benyamin Bloom (1908) membagi perilaku manusia ke dalam tiga domain, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yakni:

a. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya (Soekanto, 2003 dikutip Mubarak dkk, 2007). Pengetahuan merupakan hasil mengingat kembali kejadian yang pernah dialami baik secara sengaja maupun tidak sengaja dan ini terjadi setelah orang melakukan kontak atau pengamatan terhadap objek tertentu (Mubarak dkk, 2007). Pendapat lain mengatakan bahwa pengetahuan merupakan penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan lain sebagainya) (Taufik, 2007).

Ada beberapa sumber pengetahuan yaitu: 1) kepercayaan, 2) pengetahuan, 3) pengalaman indriawi, 4) akal pikiran dan 5) intuisi.

Sumber pertama, kepercayaan berdasarkan tradisi, adat dan agama, adalah berupa nilai-nilai warisan nenek moyang. Sumber ini biasanya berbentuk norma-norma dan kaidah-kaidah baku yang berlaku di dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam norma dan kaidah itu terkandung pengetahuan yang kebenarannya boleh jadi tidak dapat dibuktikan secara rasional dan empiris, tetapi sulit dikritik untuk diubah begitu saja. Jadi, harus diikuti dengan tanpa keraguan, dengan percaya secara bulat. Pengetahuan yang bersumber dari kepercayaan cenderung bersifat tetap (mapan) tetapi subjektif.

(38)

kebanyakan orang telah mempercayai mereka sebagai orang-orang yang cukup berpengalaman dan berpengetahuan lebih luas dan benar. Boleh jadi sumber pengetahuan ini mengandung kebenaran, tetapi persoalannya terletak pada sejauh mana orang-orang itu bisa dipercaya. Lebih dari itu, sejauh mana kesaksian pengetahuannya itu merupakan hasil pemikiran dan pengalaman yang telah teruji kebenarannya. Jika kesaksiannya adalah kebohongan, hal ini akan membahayakan kehidupan manusia dan masyarakat itu sendiri.

Sumber ketiga, pengalaman indriawi yang merupakan alat vital penyelenggaraan kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit, orang bisa menyaksikan secara langsung dan bisa pula melakukan kegiatan hidup.

Sumber keempat, akal pikiran. Berbeda dengan panca indera, akal pikiran memiliki sifat lebih rohani. Karena itu, lingkup kemampuannya melebihi panca indera, yang menembus batas-batas fisis sampai pada hal-hal yang bersifat metafisis. Panca indera hanya mampu menangkap hal-hal-hal-hal yang fisis menurut sisi tertentu, satu persatu dan berubah-ubah, sedangkan akal pikiran mampu menangkap hal-hal yang metafisis, spiritual, abstrak, universal, seragam dan bersifat tetap. Oleh sebab itu, akal pikiran senantiasa bersikap meragukan kebenaran pengetahuan indriawi sebagai pengetahuan semu dan menyesatkan, cenderung memberikan pengetahuan yang lebih umum, objektif dan pasti.

Sumber kelima, intuisi yang merupakan sumber gerak hati yang paling dalam. Jadi, sangat bersifat spiritual, melampaui ambang batas ketinggian akal pikiran dan kedalaman pengalaman. Pengetahuan yang bersumber dari intuisi merupakan pengalaman batin yang bersifat langsung. Artinya, tanpa melalui sentuhan indera maupun akal pikiran. Ketika seseorang memutuskan untuk berbuat atau tidak berbuat dengan tanpa alasan yang jelas, maka ia berada di dalam pengetahuan yang intuitif. Dengan demikian, pengetahuan intuitif ini kebenarannya tidak dapat diuji baik menurut ukuran pengalaman indriawi maupun akal

(39)

pikiran. Karena itu tidak bisa berlaku umum, hanya berlaku secara personal (Suparlan, 2008).

Ada tujuh faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang yaitu: Pertama, pendidikan atau bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang lain terhadap suatu hal agar mereka dapat memahami. Semakin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya, jika seseorang tingkat pendidikannya rendah, akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap penerimaan, informasi dan nilai-nilai yang baru diperkenalkan. Kedua, lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Ketiga, dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek psikis dan psikologis (mental). Pertumbuhan fisik secara garis besar ada empat kategori perubahan, yaitu perubahan ukuran, perubahan proporsi, hilangnya ciri-ciri lama dan timbulnya ciri-ciri baru. Ini terjadi akibat pematangan fungsi organ. Pada aspek psikologis dan mental, taraf berfikir seseorang semakin matang dan dewasa. Keempat, minat yang merupakan kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang lebih mendalam. Kelima, pengalaman atau kejadian yang pernah dialami seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Ada kecenderungan pengalaman yang kurang baik seseorang akan berusaha untuk melupakan, namun jika pengalaman terhadap obyek tersebut menyenangkan maka secara psikologis akan timbul kesan yang membekas dalam emosi sehingga menimbulkan sikap positif. Keenam, kebudayaan akan mempengaruhi pengetahuan masyarakat secara langsung. Apabila dalam suatu wilayah mempunyai budaya untuk menjaga kebersihan lingkungan maka sangat mungkin masyarakat sekitarnya mempunyai sikap untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan. Ketujuh, kemudahan memperoleh informasi dapat

(40)

membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru (Mubarak dkk, 2007).

b. Perilaku Seksual

Seks adalah kata yang sangat tidak asing di telinga kita, tetapi anehnya seringkali kita merasa tabu dan agak malu-malu jika menyinggungnya. Oleh karena agar kita dapat membicarakan dan mendiskusikannya dengan bebas terbuka, maka para ahli bahasa dan ilmuwan

pun membuat seks ini menjadi ilmiah dengan menambahkan akhiran “-tas”

dan “-logi” menjadi “seksualitas” dan “seksologi”, sehingga jadilah seksualitas adalah untuk dibahas dan didiskusikan, seksologi adalah untuk ditulis secara ilmiah, dan seks adalah untuk dialami dan „dinikmati‟.

Menurut Simkins (1984) dalam Sarwono (2010), perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini bisa bermacam-macam, mulai dari membaca buku porno, nonton film porno, perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rita Damayanti terhadap remaja SLTA di Jakarta tahun 2008 diperoleh hasil bahwa perilaku pacaran remaja adalah mengobrol, pegangan tangan, berangkulan, berciuman pipi, berpelukan, berciuman bibir, meraba-raba dada, meraba alat kelamin, menggesek kelamin, seks oral, dan hubungan seks.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Gatra bekerja sama Laboratorium Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (LIP FISIP-UI) menjaring 800 subjek penelitian remaja berusia 15-22 tahun di Jakarta, Yogyakarta, Medan, Surabaya, dan Ujungpandang dapat diketahui bahwa subjek penelitian menunjukkan sikap yang makin permisif (sikap serba boleh) terhadap perilaku seks gaya modern seperti berpelukan antar lawan jenis, cium pipi, cium bibir, necking (cium leher atau cupang), meraba-raba, petting, dan senggama.

(41)

Penelitian tentang perilaku seksual juga pernah dilaksanakan di luar negeri oleh Sprecher, McKinney, Walsh, dan Anderson pada tahun 1988 yang kemudian mengkategorikan perilaku seks menjadi petting (saling menggesek-gesekkan alat kelamin), sexual intercourse (hubungan seksual), dan oral-genital sex (seks oral-genital). Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa

petting merupakan perilaku seksual yang paling banyak dapat diterima oleh subjek, kemudian hubungan seksual dan seks oral.

[image:41.595.136.535.232.631.2]

Perilaku seksual yang banyak dilakukan oleh remaja dapat menimbulkan berbagai dampak, seperti yang dijelaskan dalam Tabel 2.2:

Tabel 2.2 Dampak Perilaku Seksual

PERILAKU ASIKNYA NGGAK ASIKNYA

Nggak disalurkan  Nggak merasa berdosa

 Nggak bakal hamil

 Diterima masyarakat

 Nggak „greng‟

Pegangan Tangan  Aman

 Gak bakal hamil

 Diterima masyarakat

 Bosan

 Nggak seru

Ciuman  Nggak hamil

 Romantis

 Bisa dinikmati

 Malu kalo ketauan

 Merasa berdosa

 Bisa nularin penyakit

Masturbasi  Aman dari kehamilan

 Bisa puas juga

 Aman dari PMS/AIDS

 Merasa bersalah

 Merasa berdosa

Petting  Bisa puas juga

 Kemungkinan hamil kecil (bukan berarti nggak bisa)

 Lebih „greng‟ dibanding

ciuman

 Bisa menularkan PMS

 Bisa menimbulkan lecet di alat kelamin

Hubungan Seks  Paling “heboh”

 Variasi banyak

 Sensasi paling “greng”

 Resiko hamil besar

 Resiko tertular PMS

 Resiko dicela masyarakat Sumber: Buklet Perilaku Seksual dan Pacaran Sehat

4. Remaja

a. Pengertian Remaja

(42)

Latin (adolescere) yang artinya tumbuh ke arah kematangan. Santrock (2011) mengartikan remaja sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Walaupun remaja mempunyai ciri unik, yang terjadi pada masa remaja akan saling berkaitan dengan perkembangan dan pengalaman pada masa anak-anak dan dewasa.

Masa awal remaja adalah waktu di mana konflik orang tua dengan remaja meningkat lebih dari konflik orang tua dengan anak. Peningkatan ini bisa terjadi karena beberapa faktor yang melibatkan pendewasaan remaja dan pendewasaan orang tua, meliputi perubahan biologis, pubertas, perubahan kognitif termasuk meningkatnya idealisme dan penalaran logis, perubahan sosial yang berpusat pada kebebasan dan jati diri, dan harapan yang tak tercapai (Santrock, 2011).

Awal masa remaja berlangsung kira-kira dari 13 tahun sampai 16 tahun atau 17 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 16 atau 17 tahun sampai 18 tahun, yaitu usia matang secara hukum. Dengan demikian akhir masa remaja merupakan periode yang sangat singkat (Hurlock, 1990).

Muagman (1980) dalam Sarwono (2010) mendefinisikan remaja berdasarkan definisi konseptual World Health Organization (WHO) yang mendefinisikan remaja berdasarkan 3 (tiga) kriteria, yaitu: biologis, psikologis, dan sosial ekonomi.

1. Remaja adalah situasi masa ketika individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekunder sampai saat ia mencapai kematangan seksual.

2. Remaja adalah suatu masa ketika individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.

3. Remaja adalah suatu masa ketika terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.

(43)

b. Ciri-Ciri Masa Remaja

Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri remaja menurut Hurlock (2003), antara lain:

1. Masa remaja sebagai periode yang penting yaitu perubahan-perubahan yang dialami masa remaja akan memberikan dampak langsung pada individu yang bersangkutan dan akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya

2. Masa remaja sebagai periode pelatihan. Disini berarti perkembangan masa kanak-kanak lagi dan belum dapat dianggap sebagai orang dewasa. Status remaja tidak jelas, keadaan ini memberi waktu padanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai dengan dirinya.

3. Masa remaja sebagai periode perubahan, yaitu perubahan pada emosi perubahan tubuh, minat dan peran (menjadi dewasa yang mandiri), perubahan pada nilai-nilai yang dianut, serta keinginan akan kebebasan. 4. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri yang dicari remaja berupa

usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat.

5. Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan ketakutan. Dikatakan demikian karena sulit diatur, cenderung berperilaku yang kurang baik. Hal ini yang membuat banyak orang tua menjadi takut.

6. Masa remaja adalah masa yang tidak realistik. Remaja cenderung memandang kehidupan dari kaca mata berwarna merah jambu, melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang diinginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam cita-cita.

(44)

Disimpulkan adanya perubahan fisik maupun psikis pada diri remaja, kecenderungan remaja akan mengalami masalah dalam penyesuaian diri dengan lingkungan. Hal ini diharapkan agar remaja dapat menjalani tugas perkembangan dengan baik-baik dan penuh tanggung jawab.

c. Tahap Perkembangan Masa Remaja

Semua aspek perkembangan dalam masa remaja secara global berlangsung antara umur 12-21 tahun, dengan pembagian usia 12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun adalah masa remaja pertengahan, 18-21 tahun adalah masa remaja akhir (Sarwono, 2010).

Menurut tahap perkembangan, masa remaja dibagi menjadi tiga tahap perkembangan yaitu:

1) Masa remaja awal (12-15 tahun), dengan ciri khas antara lain: a) Lebih dekat dengan teman sebaya

b) Ingin bebas

c) Lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir abstrak

2) Masa remaja tengah (15-18 tahun), dengan ciri khas antara lain: a) Mencari identitas diri

b) Timbulnya keinginan untuk kencan c) Mempunyai rasa cinta yang mendalam

d) Mengembangkan kemampuan berpikir abstrak e) Berkhayal tentang aktivitas seks

3) Masa remaja akhir (18-21 tahun), dengan ciri khas antara lain: a) Pengungkapan identitas diri

b) Lebih selektif dalam mencari teman sebaya c) Mempunyai citra jasmani dirinya

d) Dapat mewujudkan rasa cinta e) Mampu berfikir abstrak

(45)

d.Tugas Perkembangan Masa Remaja

Tugas perkembangan masa remaja menurut Havighurst antara lain:

1. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita

2. Mencapai peran sosial pria dan wanita

3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif 4. Mengharapkan dn mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab 5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa

lainnya

6. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga 7. Mempersiapkan karier ekonomi

8. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis (Hurlock, 1990)

e. Perkembangan Seksualitas Remaja

Menurut (Hurlock, 1990) Perkembangan seksualitas pada remaja meliputi: 1. Perubahann Fisik

1) Perempuan

a) Ditandai dengan perkembangan payudara, bisa dimulai paling muda umur 8 tahun sampai akhir usia 10 tahun.

b) Meningkatnya kadar estrogen mempengaruhi genitalia, antara lain: uterus membesar; vagina memanjang; mulai tumbuhnya rambut pubis dan aksila; dan lubrikasi vagina baik spontan maupun akibat rangsangan.

c) Menarke sangat bervariasi, dapat terjadi pada usia 8 tahun dan tidak sampai usia 16 tahun. Siklus menstruasi pada awalnya tidak teratur dan ovulasi mungkin tidak terjadi saat menstruasi pertama.

2) Laki-laki

a) Meningkatnya kadar testosteron ditandai dengan peningkatan ukuran penis, testis, prostat, dan vesikula seminalis; tumbuhnya rambut pubis, wajah.

(46)

c) Ejakulasi terjadi pertama kali mungkin saat tidur (emisi nokturnal), dan sering diinterpretasikan sebagai mimpi basah dan bagi sebagian anak hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat memalukan. Oleh karena itu anak laki-laki harus mengetahui bahwa meski ejakulasi pertama tidak menghasilkan sperma, akan tetapi mereka akan segera menjadi subur.

2. Perubahan Psikologis

1) Periode ini ditandai oleh mulainya tanggung jawab dan asimilasi pengharapan masyarakat.

2) Remaja dihadapkan pada pengambilan sebuah keputusan seksual, dengan demikian mereka membutuhkan informasi yang akurat tentang perubahan tubuh, hubungan dan aktivitas seksual, dan penyakit yang ditularkan melalui aktivitas seksual.

3) Yang perlu diperhatikan terkadang pengetahuan yang didapatkan tidak diintegrasikan dengan gaya hidupnya, hal ini menyebabkan mereka percaya kalau penyakit kelamin maupun kehamilan tidak akan terjadi padanya, sehingga ia cenderung melakukan aktivitas seks tanpa kehati-hatian.

4) Masa ini juga merupakan usia dalam mengidentifikasi orientasi seksual, banyak dari mereka yang mengalami setidaknya satu pengalaman homoseksual. Remaja mungkin takut jika pengalaman itu merupakan gambaran seksualitas total mereka, walaupun sebenarnya anggapan ini tidak benar karena banyak individu terus berorientasi heteroseksual secara ketat setelah pengalaman demikian.

5) Remaja yang kemudian mengenali preferensi mereka sebagai homoseksual yang jelas akan merasa kebingungan sehingga membutuhkan banyak dukungan dari berbagai sumber (Bimbingan Konselor, penasihat spiritual, keluarga, maupun profesional kesehatan mental).

(47)
[image:47.595.106.554.120.750.2]

B. PENELITIAN YANG RELEVAN

Tabel 2.3 Penelitian Yang Relevan

No Penelitian dan

Peneliti Subjek penelitian Penelitian Variabel Penelitian Metode penelitian 1. Perilaku Seksual

Remaja Santri di Pesantren Purba Baru Tapanuli Selatan serta Faktor-Faktor yang

Mempengaruhinya, oleh Asfriyati, dkk, 2004.

Subjek penelitian yang dipakai yaitu para Santri di Pesantren Purba Baru Tapanuli. Varibel penelitiannya meliputi:

1. Perilaku seksual remaja santri, 2. Jenis kelamin,

Pengetahuan, 3. Sikap,

4. Urutan dalam keluarga,

5. Pendidikan ayah,

6. Pendidikan ibu,

7. Hubungan

dengan orang

tua, 8. Informasi tentang seks, 9. Hubungan dengan guru. Kuantitatif

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Remaja di Jawa Tengah: Implikasinya terhadap Kebijakan dan Layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksi; oleh Antono S, Nicholas JF, dan Zahroh S, 2006.

Subjek penelitian

yang dipakai

Mahasiswa

Perguruan Tinggi dan buruh pabrik.

Variablel penelitiannya: 1. Gaya hidup, 2. Harga Diri, 3. Pengendalian

diri,

4. Relijiusitas, 5. Aktifitas Sosial, 6. Pengetahuan, 7. Sikap terhadap

layanan kesehatan

seksual dan

reproduksi, 8. Sikap terhadap

seksualitas, 9. Dukungan Sosial, 10.Kepercayaan Diri, 11.Perilaku Seksual.

Kuantitatif dan Kualitatif

(48)

3. Sexual Lifestyles and Inter-personal Relationships of University Students in Central Java Indonesia and Their Implications for Sexual and Reproductive Health; Zahroh Shaluhiyah, 2006 Mahasiswa Perguruan Tinggi di Semarang dan Surakarta,

Variabel Penelitiannya:

1. Sexual lifestyles 2. Sexual

interaction 3. Love styles 4. Sexual attitudes

5. Gender attitudes 6. Leisure behavior 7. Personality 8. Individual background Kualitatif dan kuantitatif

4. Prevalence

of sexual intercourse and associated factors among adolescents

attending schools in Goiânia in the state of Goiás, Brazil; Sasaki RS., Leles CR., Malta DC., Sardinha LM., Freire MC. 2015, Ciência & Saúde Coletiva, vol. 20 no.1.

Anak sekolah di tahun ke-9 di kota Goiânia Variabel Penelitiannya: 1. Sosiodemografi 2. Perilaku kesehatan berisiko 3. Persepsi citra

tubuh

Kuantitatif

5. “Friending” Teens:

Gambar

Tabel 2.2  Dampak Perilaku Seksual  ..................................................
Gambar 3.1 Alur Penelitian  ..................................................................
Tabel 2.1. Klasifikasi Centers for Disease Control and Prevention
gambar seksual melalui pesan teks dan juga dapat mencakup meng-upload
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil perhitungan menggunakan SPSS yang ditunjukkan oleh tabel ANOVA di atas, diketahui nilai Fhitung 12,187 &gt; Ftabel 2,38 pada tingkat signifikan 0,000 dan

Sesuai dengan kondisi dan tata aturan kehidupan para rahib, maka status para rahib itu merupakan inti dari masyarakat kaum Buddhist, sebab melalui kehidupan kerahiban

Adapun hasil penelitian ini yaitu Penulis menyimpulkan bahwa Kepemimpinan Nyai Pondok Pesantren Nurul Huda komplek Al-Aziziyah kabupaten Pringsewu menggunakan gaya

There are three types of affective factors that affect learners in the learning process of achievement motivation, self-confidence and self- anxietyTherefore, the

1 (satu) orang apoteker sebagai koordinator penerimaan, distribusi dan produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik di rawat inap atau rawat jalan dan

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, yaitu: (1) pada soal pertama, partisipan memunculkan perbedaan pada kategori positive dan negative understanding

Media yang digunakan oleh kelompok penetrasi radikal teroris atau paham intoleran terbanyak mengunakan media sosial dan internet (website) serta masuk langsung ke

Keempat , aktor kunci peningkatan produksi dan daya saing kedelai adalah Kementrian Pertanian yang berperan dalam merancang kebijakan dan program selanjutnya di