• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku Seleksi Inang

Dalam dokumen Siti Herlinda Chandra Irsan (Halaman 49-55)

BAB IV. BIOLOGI DAN TAKSONOMI PARASITOID

C. Biologi Parasitoid

4. Perilaku Seleksi Inang

Salt (1973) menyatakan seleksi inang yang dilakukan oleh parasitoid terbagi tiga tahap, yaitu seleksi ekologi (ecological selection), seleksi fsikologis (psychological selection), dan seleksi fisiologis (physiological selection). Kogan (1984) mengemukakan bahwa tahap-tahap seleksi inang yang umum untuk serangga ialah penemuan habitat inang (host habitat finding), penemuan inang (host finding), penerimaan inang (host cceptance), dan kesesuaian inang (host suitability). Sebenarnya pendapat Salt tersebut tidak berbeda dengan pendapat Kogan karena penemuan habitat inang dan penemuan inang ekivalen dengan seleksi ekologi, sedangkan penemuan inang sama dengan seleksi fsikologis, dan kesesuaian inang adalah seleksi fisiologis.

Penemuan Habitat Inang. Penemuan habitat inang merupakan tahap awal dalam parasitoid melakukan seleksi inang. Penemuan habitat inang ini biasanya dipandu oleh rangsangan jarak jauh yang dihasilkan oleh tumbuhan inang dari serangga inang dan oleh serangga inang itu sendiri. Misalnya, parasitoid hama tanaman jagung akan menemukan habitat serangga inangnya karena dipandu oleh senyawa volatil yang dihasilkan oleh jagung. Parasitoid Dacus cucurbitae, Opius fletcheri tertarik pada media tempat hidup larva Diptera tersebut walaupun tidak

ada lalat inangnya tersebut. Selain itu, penemuan habitat inang ini juga dipandu oleh rangsangan yang dihasilkan oleh serangga inang. Misalnya, Nasonia vitripennis hanya tertarik pada bangkai yang ada lalat yang merupakan serangga inangnya. Penemuan habitat inang ini sangat tergantung kondisi internal parasitoid karena proses penemuan inang ini umumnya dilakukan parasitoid betina bila memiliki telur yang telah matang di dalam ovarinya.

Penemuan Inang. Apabila parasitoid telah menemukan habitat inang, tahap selanjutnya parasitoid menerima rangsangan dari serangga inang. Indera yang digunakan parasitoid yang mendeteksi adanya inang yang banyak di lapangan adalah indera peraba dan indera pembau. Reseptor kimiawi pada antena dan tarsus parasitoid menerima rangsangan bau yang dihasilkan oleh serangga inang. Ullyett (1953) pernah mengamati Pimpla bicolor parasitoid ulat pucuk pinus (Euproctis

terminalia) di Afrika Selatan. Apabila kokon E. terminalia dibuka, maka

tangan orang yang membuka kokon dan pupa dari kokon tersebut akan di kerumuni oleh betina-betina P. bicolor.

Penemuan habitat dipengaruhi oleh bau atau oleh zat-zat kimia yang bisa menguap yang dihasilkan serangga inang. Selain itu, kemampuan parasitoid menemukan inangnya ada hubungannya dengan adaptasi perilaku dari serangga inang. Misalnya, N. vitripennis

menemukan larva Diptera ada hubungannya dengan perilaku

berkepompong dari inangnya. Di laboratorium N. vitripennis membuat suatu gradien kelembaban dan cenderung memilih bagian yang kering karena serangga inangnya juga memiliki lokasi tersebut.

Dalam mencari inangnya, parasitoid dapat melakukannya secara acak atau sistematis. Dari pengamatan Herlinda et al. (2006) terhadap

Hemiptarsenus varicornis (Gambar 4.4a,b) parasitoid larva pengorok

daun (Liriomyza sativae) dalam mencari inangnya bersifat acak dan kurang dipengaruhi oleh keberadaan larva inang yang berada di mesofil daun. Sebelum menemukan inang, parasitoid ini berjalan menelusuri tanaman sehat terlebih dahulu, kemudian setelah 1-2 menit pindah ke tanaman yang telah terinfestasi larva L. sativae. Sebaliknya, Gronotoma

micromorpha (Gambar 4.4c) dan Opius dissitus (Gambar 4.4d) dalam

mencari inangnya sistematis dan lebih dipengaruhi oleh keberadaan larva inang (L. sativae). Keberadaan larva inang di dalam mesofil daun dapat

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan terdeteksi oleh G. micromorpha dan O. dissitus dikarenakan cairan yang

dikeluarkan dari mulut L. sativae atau dapat juga akibat aroma daun inang yang dikorok oleh larva tadi.

Gambar 4.4. Parasitoid Liriomyza sativae: Hemiptarsenus varicornis jantan (a) dan betina (b), Gronotoma micromorpha (c),

Opius dissitus (d) (Herlinda et al. 2006)

G. micromorpha mencari dan menemukan inangnya (L. sativae)

dengan menelusuri korokan lava terlebih dahulu, sambil berjalan antena disentuhkan ke permukaan daun. Setelah menemukan inang, kegiatan pengenalan inang lebih intensif sambil memutar tubuhnya. Setelah berada di atas permukaan inang, parasitoid menusukkan ovipositornya tepat di bagian tubuh larva dengan posisi tubuh hampir membentuk sudut 90o yang berlangsung 3-10 menit.

Pencarian inang oleh O. dissitus dimulai dengan pengenalan inang dengan cara berjalan menelusuri korokan larva L. sativae. Sepanjang perjalanan antena dan alat mulut menyentuh permukaan daun, antena di angkat ke atas. Setelah inang ditemukan pemeriksaan dilakukan lebih intensif dengan menyentuhkan antenanya berkali-kali di atas tubuh inang. Kemudian, O. dissitus memutar arah tubuh dan menusukkan ovipositornya tepat di atas tubuh inang, posisi tubuh membentuk sudut 45o yang berlangsung 2-3 menit.

Penerimaan Inang. Meskipun parasitoid sudah menemukan inang atau sudah terjadi kontak tapi masih ada kemungkinan inang tidak diparasit karena masih memerlukan rangsangan tersendiri. Jika inang tidak memproduksi rangsangan tersebut, telur tidak akan diletakkan. Rangsangan-rangsangan pemandu yang menyebabkan parasitoid menerima inangnya dapat berupa perilaku, ukuran, bentuk, bau inang, dan kondisi fisiologis serangga inang.

Perilaku serangga inang merupakan rangsangan yang menentukan inang diterima atau tidak. Parasitoid yang biasa menyerang inang yang

b

mobil, tidak akan memarasit bila inangnya sesil. Misalnya, Exidechthis

canescens parasitoid larva Anagasta küniella tidak mau meletakkan telur

pada larva yang dibius tetapi saat larva tersebut digerak-gerakan maka segera parasitoid mendekat dan meletakkan telur.

Selain perilaku inang, ukuran, bentuk, bau inang, dan kondisi fisiologis serangga inang juga menentukan apakah inang akan diterima atau ditolak. Trichogramma spp. mampu mengukur dan menentukan ukuran telur inang dengan menggunakan antenanya. Telur yang terlalu kecil atau terlalu besar dibandingkan ukuran tubuhnya cenderung kurang dipilih sebagai inang bila dibandingkan ukuran telur yang seimbang dengan ukuran tubuh parasitoid (Herlinda et al. 1997). Trichogramma juga akan menolak telur inang yang sebenarnya sesuai tetapi karena telur tersebut telah disentuh dan ada bekas yang ditinggalkan parasitoid lain. Pengaruh sentuhan atau bekas yang ditinggalkan parasitoid lain ini menurut Flanders (1951) sebagi pengaruh lacak (spoor effect). Parasitoid

Trichogramma juga mampu menentukan umur inangnya berdasarkan

perubahan senyawa kimia inang. Inang yang terlalu tua umurnya cenderung ditolak oleh parasitoid telur. Parasitoid telur mampu membedakan inang yang telah atau belum diparasit dengan menggunakan ovipositornya. Pada ujung ovipositor terdapat indera kimia yang dapat mengetahui kondisi inangnya secara kimia. Jika inang telah diteluri dia bisa mendeteksi karena pada inang sudah terjadi perubahan kimia. Parasitoid-parasitoid yang mampu mendeteksi kondisi inang ini tentu saja tidak akan meletakkan telur pada telur yang diparasit oleh parasitoid lain sehingga super parasitisme tidak terjadi.

Kesesuaian Inang. Parasitoid yang telah menyelesaikan tiga tahap sebelumnya belum tentu mampu menjadi imago bila terjadi reaksi perlawanan dari inang. Reaksi perlawanan inang ini akibat dari bekerjanya sistem kekebalan tubuh inang. Selain sistem imum tersebut, kesesuai nutrisi terkandung di dalam tubuh inang menentukan sesuai tidaknya inang. Umur inang yang terlalu tua memiliki kandungan nutrisi kurang sesuai untuk kehidupan parasitoid. Kandungan senyawa skunder yang tinggi pada inang juga cenderung tidak sesuai untuk kehidupan pradewasa parasitoid.

Pristiphora erichsonii yang diparasit oleh parasitoid

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan tinggi tetapi semakin lama parasitisasi terus menurun. Ternyata setelah

diteliti inangnya memperlihatkan adanya reaksi yang menghambat perkembangan embrio parasitoid. P. erichsonii bisa menghambat embrio parasitoid karena telur parasitoid dikelilingi dan diselimuti oleh sel-sel imun yang berfungsi menghambat invansi organisme asing yang masuk ke tubuh inang. Akibatnya telur parasitoid tidak mendapatkan makanan dan oksigen. Proses ini disebut pengkapsulan (encapsulation) yang nantinya berakhir dengan kematian embrio parasitoid.

Saat ini telah banyak penemuan untuk mengatasi sistem imum inang ini. Beberapa spesies endoparasitoid mampu melindungi telurnya dengan membungkus telurnya menggunakan partikel virus. Dengan adanya selimut partikel virus ini menyebabkan telur parasitoid sulit dideteksi oleh sel-sel imun sehingga larva bisa mendapatkan makanan dan oksigen. Sejalan dengan perkembangan larva parasitoid, inang akan semakin lemah dan perlindungan terhadap larva parasitoid yang terus tumbuh ini menjadi tidak begitu penting lagi. Mekanisme lain untuk mengatasi sistem imum ini adalah endoparasitoid meletakkan telurnya di lokasi yang tidak ada sel-sel imun, seperti kelenjar ludah, saluran pencernaan, dan ganglion suboesophageal. Bagi ektoparasitoid sistem imum ini bukan kendala untuk menaklukan inangnya karena parasitoid ini menyerang dari luar tubuh inang sehingga sulit untuk dilawan.

Nutrisi yang terkandung di dalam tubuh inang menentukan sesuai tidaknya inang. Parasitoid yang memarasit inang yang kandungan nutrsisinya tidak sesuai cenderung mengalami penurunan laju pertumbuhan dan keperidian, sedangkan mortalitas dan lama perkembangan meningkat. Landis (1937) mendapatkan inang yang mengandung nutrisi rendah cenderung lebih mampu mengkapsulasi inang.

Kandungan senyawa skunder yang tinggi di dalam tubuh inang dapat menyebabkan kematian parasitoid. Gilmore (1938) pernah mengamati Apanteles (=Cotesia) congregatus parasitoid ulat Sphingidae

(Protoparce sexta) yang menyerang varietas tembakau (dark-fired

tobacco) terus mengalami penurunan parasitisasi. Setelah diamati

kematian parasitoid tersebut disebabkan tingginya kandungan nikotin di dalam darah P. sexta yang darahnya merupakan pakan larva A. congregatus.

Dalam dokumen Siti Herlinda Chandra Irsan (Halaman 49-55)

Dokumen terkait