• Tidak ada hasil yang ditemukan

Siti Herlinda Chandra Irsan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Siti Herlinda Chandra Irsan"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan

(2)

ii

Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan

(3)

iii

Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan

oleh:

Siti Herlinda Chandra Irsan

Hak Cipta © 2015 pada penulis

Dicetak oleh Unsri Press

ISBN 979-587-568-X

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotokopi, merekam atau dengan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari penulis.

Penerbit: Unsri Press

Kampus Unsri Bukit Besar, Jalan Srijaya Negara, Bukit Besar, Palembang

Telpon/Faximili: +62711360969 Email: unsri.press@yahoo.com

Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT) Herlinda, S. dan Irsan, C.

Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan: S. Herlinda dan C. Irsan. Palembang: Unsri Press, 2015

viii + 200 hlm: 16,50 x 21,50 cm

Bibliografi

ISBN 979-587-568-X I. Judul

(4)

iv

PRAKATA

Penyusunan buku ajar ini dilatarbelakangi oleh masih sangat terbatasnya bahan-bahan bacaan mengenai dasar-dasar pengendalian hayati serangga hama terutama yang berbahasa Indonesia. Penyusunan buku ajar ini juga dilatarbelakangi oleh tuntutan Kurikulum Nasional, yang ditetapkan oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, menjadikan mata kuliah Pengendalian Hayati wajib bagi mahasiswa strata 1 Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan atau Agroteknologi semester akhir dan pilihan bagi mahasiswa jurusan lain di lingkungan Fakultas Pertanian. Isi buku ini sebagian juga dapat diberikan pada mata kuliah Pengendalian Hama Terpadu dan Dasar-dasar Perlindungan Tanaman. Edisi 1 Buku ini pernah diterbitkan pada tahun 2011, namun isinya masih sangat sederhana dan berbentuk suplemen materi ajar, selanjutnya mengalami pengayaan materi dari Hibah Kompetensi tahun 2013-2015 sehingga tersusun edisi 2 yang diterbitkan pada tahun 2015 ini.

Buku ini tidak hanya terbatas dipergunakan untuk mahasiswa strata 1 di lingkungan Fakultas Pertanian, tetapi juga dapat dipergunakan oleh mahasiswa strata 2 dan 3 bidang ilmu perlindungan tanaman. Buku ini juga dapat dipergunakan bagi para peneliti, petugas dan pelaksana lapangan yang ingin lebih memperdalam ilmu tentang dasar-dasar pengendalian hayati.

Buku ini berisikan tentang ruang lingkup pengendalian hayati serangga hama, dilanjutkan dengan sejarah dan perkembangan pengendalian hayati; dasar ekologi pengendalian hayati; ciri-ciri biologi serangga entomofag; prosedur introduksi; augmentasi; dan konservasi musuh alami; mikrobia patogenik terhadap serangga; pembiakan masal dan pemanfaatan entomopatogen; dan implementasi pengendalian hayati. Penulis menyadari bahwa isi buku ajar ini masih jauh dari sempurna sehingga masih diperlukan perbaikan dan penyempurnaan. Konsep Pengendalian Hayati merupakan konsep yang terus berkembang dan kemungkinan materi yang ditulis pada buku ini akan mengalami perubahan seiring dengan berjalannya waktu.

(5)

v

Pengabdian Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional karena materi buku ini banyak didapatkan dari hasil riset Program Penelitian Hibah Kompetensi pada tahun 2008-2010 dan 2013-2015, Hibah Bersaing 2005-2008, dan hibah-hibah lainnya yang didanai DP2M, Dirjen, Dikti. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Rektor, Ketua Lembaga Penelitian, dan Dekan Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya yang telah memberikan kesempatan dan dorongan dalam penulisan buku ini. Khusus kepada Prof. Dr. Ir. Benyamin Lakitan, M.Sc. kami mengucapkan terima kasih atas pemberian izin menggunakan foto-foto untuk cover depan dan tulisan buku ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi pengembangan konsep dan penerapan Pengendalian Hayati di Indonesia.

Palembang, Oktober 2015

Ketua Tim Penulis

(6)

vi

DAFTAR ISI

Halaman PRAKATA ... iv DAFTAR ISI ... vi I. RUANG LINGKUP DAN BATASAN PENGENDALIAN HAYAT1...

A. Pendahuluan ... B. Batasan dalam Pengendalian Hayati... C. Pendekatan dalam Pengendalian Hayati ... D. Karakteristik Parasitoid dan Predator ... E. Karakteristik Entomopatogen ... F. Pengendalian Hayati Gulma atau Tumbuhan Liar ... F. Kelebihan dan Kelemahan Pengendalian Hayati ... Latihan Soal ... II. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PENGENDALIAN HAYATI ...

A. Pendahuluan ... B. Sejarah Awal Pengendalian Hayati ...... C. Periode Pertengahan Perkembangan Pengendalian Hayati... D. Sejarah dan Perkembangan Pengendalian Hayati Modern Abad 20 ... Latihan Soal ... III. DASAR EKOLOGI PENGENDALIAN HAYATI ...

A. Pendahuluan ... B. Mekanisme Keseimbangan Alami ... C. Faktor Bertaut Kerapatan dan Bebas Kerapatan... D. Pengendalian Hayati Hama Indigenos... Latihan Soal ... IV. BIOLOGI DAN TAKSONOMI PARASITOID ...

A. Pendahuluan ... V. SERANGGA PREDATOR APHIS GOSSYPII DI EKOSISTEM

TANAMAN SAYURAN ... A. Pendahuluan... B. Spesies Serangga Predator ... C. Deskripsi Spesies Serangga Predator ... Latihan Soal ... VI. ENTOMOPATOGEN: MIKROORGANISME PENGENDALI

(7)

vii

C. Jamur Entomopatogen ... D. Bakteri Entomopatogen ... E. Nematoda Entomopatogen ... B. Identifikasi Hama Eksotik dan Studi Literatur ... C. Survei dan Eksplorasi Musuh Alami ... D. Studi Biologi dan Seleksi Musuh Alami ... E. Pengujian di Karantina dan Skrening Sebelum Dilepas ... F. Pembiakan dan Produksi Masal ... G. Kolonisasi Musuh Alami ... H. Evaluasi Musuh Alami Setelah Pelepasan ... Latihan Soal ... B. Pembiakan Masal Parasitoid ... C. Pembiakan Masal Entomopatogen ... D. Pembiakan Masal Predator ... E. Pelepasan Musuh Alami ...

IX. AUGMENTASI PARASITOID TELUR ... A. Pendahuluan... B. Teknik Produksi Masal Parasitoid ... C. Produksi Inang Laboratorium ... D. Produksi Parasitoid Telur ... E. Metode Pelepasan Parasitoid Telur ... Latihan Soal ... B. Perbaikan Bercocok Tanaman ... C. Mengurangi Gangguan dan Kematian pada Musuh Alami ... D. Mengurangi Gangguan dan Kematian pada Musuh Alami ... Latihan Soal ... XI. MUSUH ALAMI MYZUS PERSICAE DI BERBAGAI TUMBUHAN

(8)

viii

F. Hiperparasitoid ... Latihan Soal ...

132 132 XII. UNJUK KERJA PARASITOID MYZUS PERSICAE ...

A. Pendahuluan ... B. Parasitoid Myzus persicae... C. Unjuk Kerja Diaretiella rapae dan Aphelinus sp. ...

D. Pengaruh Pakan Imago terhadap Kehidupan Diaretiella rapae dan

Aphelinus sp. ... E. Preferensi Parasitoid terhadap Fase Serangga Inang ... Latihan Soal ... XIII. PEMANFAATAN SERANGGA ENTOMOFAGA DI EKOSISTEM

TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA ... A. Pendahuluan... B. Pendekatan dan Pemanfaatan Agens Hayati ... C. Agens Hayati untuk Pengendalian Tanaman Pangan ... D. Agens Hayati untuk Pengendalian Tanaman Hortikultura ... Latihan Soal ... XIV. PERILAKU HIPERPARASITOID DAN PERILAKU KHAS

(9)

BAB I. RUANG LINGKUP DAN BATASAN

PENGENDALIAN HAYATI

Tujuan instruksional khusus bab ini ialah:

1. mahasiswa mampu menjelaskan batasan dalam pengendalian hayati, 2. mahasiswa mampu menguraikan pendekatan dalam pengendalian

hayati,

3. mahasiswa mampu menguraikan kharakteristi parasitoid, predator, dan entomopatogen,

4. mahasiswa mampu menjelaskan batasan pengendalian hayati gulma, dan

5. mahasiswa mampu menguraikan kelebihan dan kelemahan pengendalian hayati.

A. Pendahuluan

Mahasiswa mampu menjelaskan batasan dalam pengendalian hayati, pendekatan dalam pengendalian hayati, kharakteristi parasitoid, predator, dan entomopatogen, pengendalian hayati gulma, serta kelebihan dan kelemahan dalam pengendalian hayati.

Pengendalian hayati merupakan bagian dari pengendalian yang alamiah karena menggunakan faktor pengendali yang sudah ada di alam. Faktor pengendali tersebut merupakan musuh alami dari organisme yang dikendalikan. Pada dasarnya semua organisme memiliki musuh alami yang dapat digunakan untuk mengendalikan atau mengatur perkembangan populasi organisme tersebut.

Pengendalian hayati sangat dilatarbelakangi oleh berbagai pengetahuan dasar ekologi terutama teori tentang pengaturan populasi oleh agens pengendali alami dan keseimbangan ekosistem. Musuh alami yang mencakup parasitoid, predator, dan patogen adalah agens pengendali alami. Agens pengendali alami tersebut bekerja secara tergantung kerapatan (density dependent) yang kemampuan penekanannya atau perkembangan populasinya sangat tergantung pada perkembangan populasi hama.

(10)

mengendalikan serangga hama. Waktu itu istilah pengendalian hayati masih dicampuradukan antara pemanfaatan musuh alami, pelepasan serangga jantan mandul, penggunaan varietas tahan ataupun pengendalian secara kultur teknis lainnya. Setelah itu tahun 1972 Doutt mempersempit batasan pengendalian hayati sebagai pengendalian hama yang memanfaatkan musuh-musuh alami.

Dalam melakukan pengendalian hayati ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan, yaitu introduksi, augmentasi dan konservasi. Ketiga pendekatan tersebut berbeda dalam hal sasaran dan metodenya, namun dalam prakteknya ketiga pendekatan tersebut sering dilakukan bersamaan. Hal ini disebabkan antara satu pendekatan dengan pendekatannya lainnya sifatnya saling bersinergis. Introduksi adalah mendatangkan musuh alami dari suatu daerah ke daerah baru. Augmentasi adalah penambahan jumlah musuh alami melalui pelepasan dengan tujuan untuk meningkatkan perannya dalam menekan populasi hama, sedangkan konservasi merupakan upaya peningkatan keefektifan musuh alami melalui perbaikan teknik bercocok tanam yang mampu menyediakan sumberdaya ruang dan makanan bagi musuh alami. Bab ini akan menguraikan tentang batasan dalam pengendalian hayati, pendekatan dalam pengendalian hayati, kharakteristi parasitoid, predator, dan entomopatogen, pengendalian hayati gulma, serta kelebihan dan kelemahan dalam pengendalian hayati.

B. Batasan dalam Pengendalian Hayati

Pada pernyataan sebelumnya dikatakan bahwa pengendalian hayati merupakan taktik pengendalian yang alamiah karena menggunakan faktor pengendali yang sudah ada di alam. Namun, ada perbedaan batasan antara pengendalian alami dan pengendalian hayati. Pengendalian alami merupakan kegiatan faktor abiotik dan biotik dalam memelihara atau mengatur kerapatan populasi suatu organisme pada kerapatan lebih rendah atau lebih tinggi selama waktu tertentu. Proses tersebut terjadi secara alami tanpa campur tangan manusia.

(11)

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan pendapat tersebut, DeBach memberikan batasan pengandalian hayati

sebagai berikut: “Pengendalian hayati adalah kegiatan parasitoid, predator, dan patogen dalam memelihara kerapatan populasi organisme lain pada kerapatan rata-rata yang lebih rendah daripada kerapatan jika musuh alami tersebut tidak ada”. Dari batasan tersebut pengendalian hayati merupakan kegiatan oleh faktor biotik saja, yaitu parasitoid, predator dan patogen dalam memelihara kerapatan populasi organisme lain, sedangkan pada pengendalian alami kegiatan tersebut dilakukan baik oleh faktor biotik maupun abiotik. Pengendalian alami terjadi tidak hanya oleh musuh alami saja tetapi juga karena bekerjanya faktor ekosistem lainnya, seperti suhu, kelembaban, curah hujan, makanan dan faktor abiotik lainnya. Dengan demikian, batasan pengendalian hayati berbeda dengan pengendalian alami.

Batasan pengendalian hayati yang dinyatakan oleh DeBach di atas merupakan batasan yang banyak diikuti hingga saat ini. Namun, ada juga ahli lain yang berpendapat bahwa pengendalian hayati memiliki pengertian yang lebih luas mencakup penggunaan varietas tahan hama, pengendalian melalui pemandulan dan manipulasi genetik.

Batasan pengendalian hayati menurut DeBach di atas tidak satupun yang merujuk pada pengertian ekonomi. Dengan demikian, penurunan dalam kerapatan populasi berapapun karena musuh alami menunjukkan bahwa pengendalian hayati tersebut telah terjadi. Penurunan kerapatan populasi tersebut tidak harus mencapai kerapatan di bawah ambang ekonomi. Pengendalian hayati dapat dikelompokkan sebagai pengendalian hayati sempurna dan parsial. Pengendalian hayati sempurna menyebabkan penurunan populasi hama hingga di bawah ambang ekonomi, sedangkan pengendalian hayati parsial penurunan populasi hama tetapi hamanya masih di atas ambang ekonomi.

C. Pendekatan dalam Pengendalian Hayati

1. Introduksi

(12)

introduksi musuh alami dilakukan untuk mengendalikan hama “pribumi” atau lokal. Introduksi dilakukan dengan cara mengimpor atau memasukkan musuh alami dari negeri lain. Karena introduksi melibatkan hubungan antar dua negara, maka introduksi umumnya dilakukan pada level pemerintah. Misalnya, Departemen Pertanian, Republik Indonesia pada bulan Agustus 1986 memasukkan predator kutu loncat lamtoro,

Curinus coeruleus Mulsant (Coleoptera: Coccinellidae) dari Hawaii

untuk mengendalikan kutu loncat, Heteropsylla cubana Crawford (Homoptera: Psyllidae) yang menyerang lamtoro di Indonesia.

Prosedur introduksi telah dikemukakan oleh van den Bosch et al. (1985) ada delapan, yaitu identifikasi spesies hama eksotik, penenetuan habitat asli hama eksotik, agen importasi, eksplorasi musuh alami, karantina, pembiakan masal, kolonisasi dan evaluasi musuh alami. Prosedur introduksi musuh alami secara lengkap akan diuraikan pada bab berikutnya.

2. Augmentasi

Augmentasi dilakukan apabila musuh alami itu tidak cukup efektif atau tidak efektif pada waktu tertentu. Augmentasi bertujuan untuk meningkatkan kemampuan musuh alami dalam mengendalikan hama. Augmentasi dilakukan dengan cara menambahkan musuh alami melalui pelepasan. Augmentasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu inokulasi dan inundasi. Inokulasi adalah pelepasan sejumlah kecil musuh alami pada saat populasi hama masih rendah, biasanya pada awal musim tanam. Musuh alami ini diharapkan dapat berkembangbiak sehingga keturunannya mampu mengendalikan hama selama musim tanam. Inokulasi ini diharapkan permanen keberadaannya di lapangan. Sasaran inokulasi adalah mempertahankan populasi hama tetap berada di bawah tingkat yang merugikan secara ekonomi.

Berbeda dengan inokulasi, inundasi merupakan pelepasan musuh alami dalam jumlah besar dengan tujuan musuh alami tersebut langsung dapat menurunkan populasi hama dengan segera sampai tingkat yang tidak merugikan. Musuh alami ini digunakan sebagai insektisida biologis

(bioinsecticide). Pada inundasi, tidak ada maksud supaya musuh alami

(13)

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan perlu diulang beberapa kali. Hal ini berbeda dengan inokulasi yang

biasanya hanya memerlukan satu kali pelepasan.

Hama yang sesuai dikendalikan secara augmentasi memiliki ciri berikut, hama tersebut tidak memungkinkan dikendalikan secara konservasi, hama sulit dikendalikan atau terlalu mahal dikendalikan dengan metode lain, hama tersebut tidak dapat dikendalikan secara kimiawi karena akan berdampak pada residu, resistensi dan resurjensi, dan hama yang selalu menimbulkan kerugian hanya satu atau dua jenis saja.

Musuh alami yang sesuai untuk kegiatan augmentasi harus memenuhi ciri, yaitu musuh alami yang dilepaskan harus mampu berkembangbiak dan menyebar di pertanaman. Selain itu, musuh alami mudah dibiakkan secara masal, lebih memilih hama sasaran daripada inang atau mangsa alternatif, dan kepridian yang tinggi.

Di Indonesia, salah satu jenis musuh alami sejak tahun 1984 digunakan dalam inokulasi adalah Sturmiopsis inferens Towns (Diptera: Tachinidae) yang merupakan parasitoid penggerek tebu raksasa,

Phragmatoecia parvipuncta Hamps (Lepidoptera: Cossidae).

Trichogramma merupakan parasitoid yang paling umum digunakan

untuk inundasi dalam mengendalikan hama dari golongan Lepidoptera.

3. Konservasi

Lingkungan hama dan musuh alaminya dapat dimanipulasi untuk meningkatkan kehidupan dan dampak musuh alami yang sudah ada. Cara ini disebut juga sebagai metode konservasi. Jadi, konservasi merupakan usaha untuk memanfaatkan musuh alami yang sudah ada di lapangan atau pertanaman dengan cara memanipulasi lingkungan sedemikian rupa agar perannya dalam menekan populasi hama dapat ditingkatkan.

(14)

dapat menyediakan habitat yang sesuai bagi musuh alami. Musuh alami biasanya lebih beragam di habitat pertanaman tumpangsari dibandingkan monokultur. Pertanaman tumpangsari menyediakan berbagai alternatif habitat. Kebanyakan imago parasitoid memerlukan nektar, embun madu atau serbuk sari untuk melengkapi siklus hidupnya. Musuh alami yang bersifat generalis biasanya akan mencari inang lain bila inang atau mangsa utamanya tidak tersedia. Residu pestisida dapat membunuh musuh alami termasuk fase yang tidak terbunuh pada saat aplikasi.

D. Karakteristik Parasitoid dan Predator

1. Parasitoid

Parasitoid adalah serangga yang hidup sebagai parasit pada atau di dalam serangga atau artropoda lainnya. Parasitoid bersifat parasitik pada fase larva atau pradewasa, sedangkan pada fase imago atau dewasa hidup bebas tidak terikat pada serangga inangnya. Parasitoid dewasa hidup dari mengisap nektar, embun madu, air, meskipun kadang-kadang juga mengisap cairan tubuh serangga inang. Parasitoid berbeda dengan parasit karena parasitoid memiliki inang dari golongan takson yang sama, yaitu serangga atau artropoda lainnya, sedangkan parasit memarasit takson yang berbeda, misalnya lalat mengisap darah sapi. Ukuran parasitoid relatif besar dibandingkan ukuran inang, dan tidak pernah pindah inang selama perkembangannya. Parasitoid dapat menyerang setiap instar inang, meskipun instar dewasa yang paling jarang terparasit.

Sebagian besar parasitoid tergolong dalam ordo Hymenoptera dan Diptera. Ordo Hymenoptera yang terbanyak mengandung parasitoid berasal dari famili Ichneumonidae dan Braconidae, sedangkan pada ordo Diptera, famili Tachinidae yang semua spesiesnya hidup sebagai parasitoid. Contoh spesies parasitoid terkenal adalah Trichogramma sp. yang dapat memarasit telur berbagai jenis Lepidoptera dan Diadegma

semiclausum yang hanya memarasit larva Plutella xylostella.

2. Predator

(15)

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan serangga, laba-laba, tungau, dan vertebrata. Kalau parasitoid selama

perkembangan dari telur sampai menjadi imago hanya membutuhkan satu serangga inang, predator membutuhkan banyak mangsa. Predator fase imago juga memangsa serangga yang sama seperti larvanya. Mangsa predator dapat berupa telur, larva (nimfa), kepompong atau imago serangga lainnya. Pada umumnya predator bersifat polifag dari segi mangsanya, meskipun ada yang relatif spesifik, artinya ia mempunyai preferensi yang tinggi terhadap satu spesies mangsa.

Banyak ordo serangga yang memiliki spesies yang berperan sebagai predator, misalnya ordo Coleoptera, Neuroptera, Diptera, Hemiptera, bahkan ada famili yang seluruh atau hampir seluruh spesiesnya hidup sebagai predator, seperti famili Carabidae, Mantidae (Dictyoptera, Mantodea), dan Chrysopidae (Neuroptera). Beberapa contoh spesies predator hama padi yang terkenal ialah kumbang tanah

(Pheropsophus spp.), laba-laba pemburu (Pardosa pseudoannulata).

E. Karakteristik Entomopatogen

Virus, bakteri, jamur, protozoa dan nematoda merupakan patogen, selain dapat menginfeksi tumbuhan juga dapat menginfeksi serangga. Patogen yang dapat menginfeksi serangga diberi istilah entomopatogen. Entomopatogen ini umumnya dapat menginfeksi beberapa spesies dari ordo Orthoptera, Homoptera, Hemiptera, Lepidoptera, Coleoptera, Diptera atau Hymenoptera.

Virus patogen serangga telah ditemukan lebih dari 700 virus yang sebagian besar termasuk dalam genera Baculovirus, Poxvirus, Iridiovirus, Enterovirus, dan Rhabdovirus. Serangga yang terinfeksi virus menunjukkan gejala malas bergerak, kulit berubah menjadi putih seperti susu, bergerak ke pucuk tanaman, dan mati pada posisi tubuhnya seperti patah dan menggantung pada bagian tanaman, serangga yang mati mengeluarkan cairan putih seperti susu. Contoh virus yang terkenal ialah NPV (Nuclear Polyhidrosis Virus) yang menginfeksi Lepidoptera.

(16)

jamur yang terkenal sebagai patogen Lepidoptera adalah Beauveria

bassiana dan Metarhizium anisopliae.

Tabel 1.1. Perbedaan ciri-ciri parasitoid dan predator

Ciri-ciri Parasitoid Predator

Takson Serangga-serangga Berasal dari berbagai invertebrata dan vertebrata Organisme yang diserang Serangga, tetapi

beberapa menyerang

Pradewasa (larva) Pradewasa dan dewasa

Jumlah inang atau mangsa

(17)

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan ialah Bacillus thuringiensis (Bt) yang terkenalsebagai penyebab penyakit

susu pada Lepidoptera.

Disamping virus, jamur, dan bakteri juga ada banyak spesies protozoa dan nematoda yang bersifat parasitik terhadap serangga. Spesies protozoa yang patogenik pada serangga umumnya termasuk dalam sub kelompok mikrosporodia yang telah ditemukan lebih dari 250 spesies menyerang serangga. Dari 19 famili nematoda yang menyerang serangga, mermithidae adalah famili terpenting sebagai patogen serangga.

F. Pengendalian Hayati Gulma atau Tumbuhan Liar

Pada dasarnya sedikit perbedaan antara pengendalian hayati serangga hama dan pengendalian hayati gulma. Kedua kegiatan tersebut sama-sama melibatkan musuh alami yang berperan menekan spesies hama di bawah tingkat yang tidak merugikan secara ekonomi.

Ridley pada tahun 1930 memberi batasan pengendalian hayati gulma sebagai pemanfaatan serangga fitofag dalam memangsa atau menekan pertumbuhan gulma. Pengendalian hayati gulma saat ini juga lebih luas batasannya yang faktor pengendalinya bukan hanya serangga fitofag tetapi juga termasuk patogen yang menyebabkan sakit pada gulma.

Perbedaan antara pengendalian hayati hama dan pengendalian hayati gulma adalah sebagai berikut. Pada pengendalian hayati gulma, musuh alami yang dalam hal ini adalah serangga pemakan tumbuhan atau gulma harus bersifat monofag dengan kata lain tumbuhan inangnya harus benar-benar spesifik. Apabila musuh alami ini tidak monofag dikhawatirkan akan menjadi hama bagi tanaman yang dibudidayakan. Sebaliknya pada pengendalian hayati hama, musuh alami yang baik adalah yang oligofag tetapi memiliki prefensi yang tinggi terhadap hama yang akan dikendalikan. Musuh alami hama yang terlalu spesifik inangnya atau monofag cenderung kesulitan bertahan hidup apabila populasi inangnya rendah atau tidak ada karena ketidakmampuanya dalam beralih inang (host switching).

(18)

mengurangi kemampuan reproduksi gulma. Keempat, luka yang disebabkan musuh alami menyebabkan gulma mudah terinfeksi patogen.

G. Kelebihan dan Kelemahan Pengendalian Hayati

Pengendalian hayati memiliki kelebihan dan kelemahan (Tabel 1.2). Kelebihan-kelebihannya bila dibanding dengan cara pengendalian lainnya, yaitu pertama tidak memiliki dampak samping yang merugikan terhadap produk pertanian (produk bebas racun), tidak membahayakan serangga dan hewan berguna lainnya, dan tidak membahayakan lingkungan. Parasitoid, predator, dan entomopatogen bersifat spesifik inang atau mangsa sehingga tidak merugikan organisme lain. Pengendalian hayati relatif lebih murah untuk jangka panjang. Pengendalian hayati dapat berkembang dengan sendirinya (self

propagating), berkembang dan kekal (self perpetuating), dan tidak perlu

campur tangan manusia, hanya perlu pengawasan agar tidak terjadi pengubahan lingkungan yang dapat mengganggu kehidupan musuh alami atau perkembangannya berkelanjutan bila musuh alami dapat menetap. Dalam pengendalian hayati, resistensi dari hama terhadap ketiga kelompok agens hayati tersebut hampir tidak ada, walaupun ada kemungkinannya sangat langkah.

(19)

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan Tabel 1.2. Kelebihan dan kelemahan pengendalian hayati

Kelebihan-kelebihan Kelemahan-kelemahan 1. Tidak memiliki dampak samping yang

merugikan

2. Tidak membahayakan serangga dan hewan berguna lainnya, dan tidak membahayakan lingkungan 3. Relatif lebih murah untuk jangka

panjang dan areal yang luas 4. Berkembang dengan sendirinya dan

kekal

5. Resistensi hama terhadap musuh alami jarang terjadi

1. Dapat membatasi penggunaan pestisida sintetik

2. Bekerjanya lambat dalam mematikan hama

3. Relatif lebih mahal untuk jangka pendek dan dan areal yang sempit

4. Bukan penentu dan tidak dapat memusnahkan atau membunuh habis hama karena masih memerlukan hama residu

5. Sulit diramal keberhasilannya dibandingkan pengendalian kimia

Sumber: van den Bosch et al. (1985)

Latihan Soal

1. Jelaskan perbedaan antara pengendalian hayati dan pengendalian alami!

... ... ... 2. Dalam pengendalian hayati dapat dilakukan dengan pendekatan introduksi, augmentasi, dan konservasi. Diantara ketiga pendekatan tersebut, jelaskan pendekatan yang paling mudah dilakukan!

... ... ... 3. Apa perbedaan antara pelepasan inundatif dan inokulatif?

... ... ... 4. Parasitoid dan parasit memiliki banyak perbedaan, jelaskan minimal

tiga perbedaannya!

(20)

5. Apa yang dimaksud dengan entomopatogen dan sebutkan organisme yang masuk kelompok entomopatogen?

... ... ... 6. Ada perbedaan yang sangat prinsip antara pendekatan pengendalian hayati gulma dan pengendalian hayati hama, jelaskan perbedaan tersebut!

... ... ... ... ... ... 7. Jelaskan kelebihan dan kelemahan pengendalian hayati dibandingkan

dengan pengendalian kimiawi!

(21)

BAB II. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN

PENGENDALIAN HAYATI

Tujuan instruksional khusus bab ini ialah:

1. mahasiswa mampu menjelaskan sejarah awal pengendalian hayati di Indonesia dan negara lainnya,

2. mahasiswa mampu menjelaskan perkembangan pengendalian hayati di Indonesia dan negara lainnya.

A. Pendahuluan

Sejarah pengendalian hayati terbagi tiga periode waktu, yaitu pertama pengendalian hayati tahap awal atau zaman kuno. Pada tahap awal ini pendekatan dalam pengendalian hayati masih bersifat coba-coba yang pendekatannya kurang ilmiah. Misalnya pada tahap awal ini, petani-petani di Cina menggunakan semut Firaun untuk membunuh hama gudang. Tahap berikutnya adalah masa pertengahan yang dicirikan oleh dimulainya pendekatan introduksi musuh alami. Pada tahap pertengahan ini merupakan tonggak sejarah pengendalian hayati dengan berhasilnya introduksi Rodolia cardinalis (Mulsant) dari Australia ke California untuk mengendalikan cottony-cushion scale, Icerya purchasi Mask. Periode terakhir merupakan masa pengendalian hayati modern. Pengendalian hayati modern ini dicirikan dengan berkembangnya metode pendekatan dalam pengendalian hayati yang sebelumnya hanya introduksi tetapi pada periode ini mulai dilakukan augmentasi dan konservasi. Pada periode ini juga mulai diintegrasikannya pengendalian hayati dengan metode pengendalian lainnya, seperti varietas tahan, jantan mandul, kultur teknis, dan lain-lainnya. Pada masa pengendalian hayati modern ini juga terjadi perkembangan pesat dalam memanfaatkan patogen serangga (entomopatogen), seperti jamur, virus, bakteri, dan lain-lain.

B. Sejarah Awal Pengendalian Hayati

Pengendalian hayati pertama kali dilakukan tahun 1200 oleh orang-orang Cina dengan mempergunakan semut predator, Oecophylla

(22)

mengendalikan hama tanaman jeruk mandarin, Tessaratoma papillosa (Dru.). Pada waktu itu semut sudah diperjualbelikan dalam bentuk sarang semut yang pemindahannya dari satu pohon ke pohon lainnya menggunakan bambu. Banyak orang meragukan aktivitas pengendalian hayati tersebut, namun para petani jeruk saat itu yakin bila koloni semut cukup pada tanaman jeruk, maka serangan hama, T. papillosa sangat rendah.

Pada tahun 1706 parasitoid pertama kali ditemukan dan diidentifikasi dengan benar oleh Vallisnieri. Parasititoid yang ditemukan tersebut ialah Cotesia glomerata yang memarasit larva Pieris rapae. Pada tahun 1770, van Leuwenhoek menemukan Aphidius sp. memarasit kutudaun. Tahun 1762 pertama kali dilaporkan introduksi musuh alami di dunia. Kala itu di Mauritius terjadi peledakan belalang (Nomadacris

septemfasciata), untuk mengendalikannya diinroduksilah burung

predator (Gracula religiosa) dari India.

Gambar 2.1. Oecophylla smaragdina, semut predator hama jeruk

(Tessaratoma papillosa) (The California Academy of

Sciences 2008)

(23)

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan dari kumbang Carabidae, Calosoma sycophanta (L.) (Gambar 2.2) dalam

jumlah besar guna mengendalikan larva ngengat gypsy, Porthetria dispar (L.). Selanjutnya Villa tahun 1844 memadukan predator tersebut dengan kumbang predator lainnya dari famili Staphylinidae untuk mengendalikan serangga hama tanaman hias. Sekitar tahun 1859 kodok raksasa, Bufo marinus (L.) diintroduksi dari Cayenne, Amerika Selatan masuk ke Martinique untuk mengendalikan hama tempayak putih yang menyerang tanaman tebu. Setelah itu, predator diintroduksi ke negara lain, yaitu Barbados, Jamaika.

Gambar 2.2. Kumbang Carabidae, Calosoma sycophanta (Watson & Dallwitz 2003)

Di Pantai Gading, Afrika Barat pada waktu itu menggunakan semut rangrang untuk mengendalikan hama kelapa yang mengisap buah kelapa muda, yaitu Pseudotheraptus wayi (Hemiptera: Coreidae). Buah terserang akan gugur dan menjadi malformasi menjadi bengkok dan mudah pecah. Pengendalian dengan menggunakan semut rangrang menurut cukup efektif karena semut agresif mengejar pengisap buah kelapa tersebut. Di Indonesia saat ini belum ada gejala serangan P. wayi.

Pada tahun 1873 Riley mengintroduksi tungau predator,

Tyroglyphus phylloxerae dari Amerika Utara masuk Prancis untuk

(24)

diintroduksi dari Inggris masuk ke Selandia Baru. Akan tetapi dampak dari pengendalian hayati ini tidak terdokumentasi.

Gambar 2.3. Kumbang predator aphids, Coccinella undecimpunctata (CSIRO 2004)

C. Periode Pertengahan Perkembangan Pengendalian Hayati

Pada tahun 1868 dengan adanya introduksi kumbang vedelia, R.

cardinalis (Gambar 2.4) ke California untuk mengendalikan kutu

bersisik, cottony cushion scale (I. purchase). I. purchasi masuk ke California dari Australia melalui tanaman akasia. Di California kutu tersebut menghancurkan tanaman jeruk dan menyebabkan hancurnya industri jeruk di sana. Kumbang vedelia mudah sekali berbiak dan menyebar ke pertanaman lainnya. Pada tahun 1888, keberhasilan pengendalian I. purchasi terjadi dengan sempurna dengan dimanfaatkannya dua jenis musuh alami, yaitu R. cardinalis dan

Cryptochaetum iceryae (Williston). Keberhasilan dalam pengendalian

hayati I. purchasi merupakan tonggak sejarah pengendalian hayati. Dengan introduksi predator tersebut, sejak itu orang banyak melakukan pengendalian hayati. Pengendalian hayati hama eksotik dengan mengintroduksi musuh alami dari luar ini disebut pengendalian hayati klasik.

Pada tahun 1892, Koebele memasukkan kumbang predator,

Cryptolaemus montrouzieri (Mulsant) (Gambar 2.5) untuk

(25)

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan kumbang predator, Rhizobius ventralis Erichson. Kumbang predator

tersebut diintroduksikan ke California pada tahun 1892.

Gambar 2.4. Kumbang vedelia, Rodolia cardinalis predator kutu tanaman jeruk (Icerya purchasi) (Bryant & Hemberger 2008)

D. Sejarah Perkembangan Pengendalian Hayati Modern Abad 20 Pada tahun 1900 perkembangan pengendalian hayati maju pesat. Teknik penanganan musuh alami semakin baik dan peralatan penelitianpun semakin canggih. Pada tahun 1901, kutu hitam dikendalikan oleh parasitoid, Scutellista cyanea Motschulsky. Parasitoid tersebut diintroduksi ke California dari Afrika Selatan.

Dactylopius sp. serangga yang digunakan untuk mengendalikan

gulma, Opuntia spp. diintrodkusi dari India pada tahun 1903 masuk ke Australia. Serangga tersebut mampu mengendalikan gulma Opuntia.

Pada tahun 1904, Ephiates caudatus (Ratzeburg) diintrodusikan ke California dari Spanyol untuk mengendalikan ngengat Laspeyresia

pomonella. Parasitoid tersebut juga digunakan untuk mengendalikan

kutu hitam dan kutu merah California.

(26)

Gambar 2.5. Larva Cryptolaemus montrouzieri predator kutu

Planococcus spp. (Bryant & Hemberger 2008)

Gambar 2.6. Heterospilus coffeicola, parasitoid penggerek buah kopi

(Hypothenemus hampei) (Universidad de Costa Rica

2007)

Pada tahun 1923 penggerek buah kopi, Hypothenemus hampei (Ferr.) dikendalikan oleh parasitoidnya dari Uganda, Heterospilus

coffeicola Schm. (Hymenoptera: Braconidae) (Gambar 2.6) dan Prorops

nasuta Wat. (Hymenoptera: Braconidae). Ribuan imago parasitoid

dilepas tetapi tidak berhasil menekan popula penggerek buah kopi tersebut.

(27)

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan Gambar 2.7. Imago Bessa remota (Hoddle 2011)

Pengendalian hayati di Indonesia, sudah sejak lama digunakan yang pertama pada tahun 1925 sudah dilakukan pengendalian hayati terhadap

Sexava, serangga hama kelapa pemakan daun dari famili Tettigonidae.

Tahun berikutnya dilepaskan parasitoid telur dari Indonesia Timur untuk digunakan di Sangir Talaud, parasitoid tersebut ialah Leefmansia bicolor Wat. (Hymenoptera: Encyrtidae) dan Doirania leefmansia Wat. (Hymenoptera: Trichogrammatidae), namun parasitisasinya masih kurang tinggi (kurang dari 50%).

Tahun 1927 pernah dilakukan pengendalian hayati di Sulawesi Utara. Kutu Aspidiotus destructor Sign. (Homoptera: Diaspididae) dengan menggunakan kumbang famili Coccinellidae, Chilocorus politus Muls. tetapi juga dianggap tidak berhasil. Pada Gambar 2.8 Chilocorus sp. sedang memangsa kutudaun. Selain itu, untuk pengendalian A.

destructor digunakan juga parasitoid, yaitu Comperiella unifasciata Ish.

(Hymenoptera: Encyrtidae) juga dianggap tidak berhasil.

Pada tahun 1931 pernah diupayakan pengendalian Plutella

xylostella (L.) pada kubis dengan mendatang parasitoidnya dari Belanda,

yaitu Diadegma fenestralis (Holmgr.) (Gambar 2.9) (Hymenoptera: Ichneumonidae) tetapi parasitoid tersebut tidak berhasil mengendalikan

P. xylostella karena iklim di Indonesia tidak sesuai untuk D. fenestralis

yang berasal dari negara beriklim subtropis. Namun, pada tahun 1950 P.

xylostella kembali diintroduksi parasitoidnya, yaitu Diadegma

eucerophaga Holmgr. tetapi berasal dari Selandia Baru yang iklim

hampir mirip dengan dataran tinggi di Indonesia. Akhirnya D.

eucerophaga mampu menetap di Indonesia dan dapat menekan populasi

(28)

Gambar 2.8. Imago Chilocorus sp. sedang memangsa kutudaun (Herlinda & Irsan 2010)

Pada tahun 1932, pengendalian hayati yang dianggap berhasil pengendalian dengan Brontispa longissima (Gestr.) di Sulawesi Selatan adalah Tetrastichus brontispae Ferr. (Hymenoptera: Eulophidae) (Gambar 2.10). B. longissima ialah hama perusak janur kelapa di Sulawesi. T. brontispae berasal dari daerah Bogor dan berhasil dibiakkan secara masal di laboratorium dan parasitoid ini berhasil mengendalikan B. longissima.

Pada tahun 1934 pengendalian kumbang kelapa, Oryctes

rhinoceros Ol. (Coleoptera: Scarabaeidae) dengan menggunakan Scolia

oryctophaga Coq. (Hymenoptera: Scoliidae), parasitoid yang

diintroduksi dari Mauritius masuk ke Jawa. Parasitoid tersebut memiliki tubuh yang keras dan memarasit fase larva (lundi) O. rhinoceros. Selain itu, ada satu spesies lain parasitoid lundi kumbang tersebut ialah Scolia

ruficornis F. yang berhasil mengendalikan lundi di Samoa, parasitoid ini

berasal dari Zanzibar.

Di Pulau Bali, Aspidiotus spp. pada tahun 1934 dikendalikan dengan menggunakan beberapa spesies parasitoid dari Jawa. Namun, parasitoid yang berhasil mengendalikan hanya satu spesies, yaitu

Aspidiotophagus citrinus Craw. (Hymenoptera: Aphelinidae).

Penggerek bunga kelapa, Batrachedra arenosella (Wlk.) di Flores banyak dikendalikan dengan parasitoid telur, Trichogramma, Meteorus,

Apanteles, dan Chelonus sp. (Braconidae) dari Bogor tetapi hasil tidak

(29)

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan Gambar 2.9. Diadegma semiclausum, parasitoid larva Plutella xylostella

(Herlinda 2005)

Gambar 2.10. Tetrastichus brontispae, parasitoid Brontispa longissima (a) (Widarto 2006) dan pupa Brontispa longissima yang terparasit (b) (Hosang 2005)

Di Indonesia terdapat banyak pulau, pulau-pulau tersebut memiliki perbedaan keanekeragaman fauna, parasit dan predator. Perbedaan sifat fauna ini yang berasal dari daerah geografis yang berbeda dapat menunjang keberhasilan dalam pemanfaatan parasitoid dan predator tersebut. Ras-ras beberapa predator dan parasitoid yang didapatkan dari pulau-pulau lain bisa dimanfaatkan di pulau-pulau lain yang memiliki kemiripan kondisi ekosistem.

Pada pengendalian hayati, parasitoid dan predator kemungkinan akan terjadi resistensi parasitoid dan predator walaupun kemungkinannya sangat jarang. Di Indonesia dan juga di Canada ada sejenis tabuhan (Hymenoptera: Tenthredinidae) dari pegunungan tidak menjadi hama.

(30)

Tenthredinidae rentan, namun kemudian menjadi tahan terhadap parasitoid sehingga timbul permasalahannya sebagai hama.

Setelah perang dunia kedua (PD II), perkembangan pengendalian hayati meluas pada tanaman tebu dan kapas. Perkembangan penting dengan adanya penggunaan Trichogramma spp. untuk mengendalikan penggerek batang tebu atau pucuk tebu. Pengendalian hayati menggunakan Trichogramma tidak dengan cara inokulasi tetapi menggunakan inundasi, dilepas sangat besar diharapkan dapat menekan populasi hama dalam waktu singkat. Pada tebu di Jawa Timur juga ditemukan parasitoid, yaitu lalat Jatiroto (Hymenoptera: Tachinidae),

Diatraeophaga striatalis. Parastoid ini dilepas secara inokulasi dengan

dosis 15 pasang/ha untuk mengendalikan ulat penggerek batang tebu. Dalam inokulasi ini hama inangnya (residu) juga harus dilepas agar parasitoid tersebut dapat bertahan hidup dan menetap. Pelepasan inokulasi dilakukan secara priodik.

Secara umum, pengendalian hayati sebelum PD II banyak upaya yang telah dilakukan, kemudian pengendalian hayati terpuruk karena adanya insektisida modern, yang waktu itu dianggap obat paling mujarab, namun kenyataannya tidak demikian. Setelah tahun 1960 pengendalian hayati kembali diperhatikan, karena komponen utama dalam pengendalian hayati adalah parasitoid, predator, dan entomopatogen yang tidak berdampak buruk terhadap organisme lain maupun lingkungan.

Latihan Soal

1. Pengendalian hayati modern telah mengalami perkembangan yang pesat dibandingkan pengendalian hayati masa pertengahan sejarahnya, jelaskan perkembangan tersebut!

... ... ... 2. Mengapa introduksi D. fenestralis dari Belanda gagal mengendalikan

ulat daun kubis, P. xylostella di Indonesia?

(31)

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan 3. Jelaskan mengapa perbedaan keanekeragaman spesies parasitoid atau

predator menyebabkan tingginya keberhasilan dalam pemanfaatannya! ... ... ... 4. Saat PD II pengendalian hayati terpuruk, mengapa hal ini terjadi?

... ... ... 5. Mengapa pelepasan Trichogramma dilakukan secara inundasi bukan

secara inokulasi?

(32)

BAB III. DASAR EKOLOGI PENGENDALIAN

HAYATI

Tujuan instruksional khusus bab ini ialah:

1. mahasiswa mampu menguraikan tentang konsep populasi dan komunitas,

2. mahasiswa mampu menguraikan konsep pengendalian alami, ekosistem alami & agroekosistem.

A. Pendahuluan

Pengendalian hayati merupakan bagian dari pengendalian yang alami karena memanfaatkan faktor pengendali yang sudah ada di alam. Faktor pengendali tersebut merupakan musuh alami dari organisme yang dikendalikan. Pada dasarnya semua organisme memiliki musuh alami yang berperan untuk mengendalikan atau mengatur perkembangan populasi organisme tersebut. Karena pengendalian hayati merupakan manifestasi dari hubungan alami pada jenis-jenis organisme hidup yang berbeda, misalnya parasitoid dan entomopatogen dengan inangnya dan predator dengan mangsanya, maka fenomena tersebut merupakan sesuatu hal yang dinamik. Hubungan antara musuh alami dan hama cenderung terganggu oleh faktor-faktor lain, mengubah lingkungan dan adaptasi, sifat-sifat, dan pembatasan dari organisme yang terlibat di dalam masing-masing kasus.

Pengendalian hayati sangat dilatarbelakangi oleh berbagai pengetahuan dasar ekologi terutama teori tentang pengaturan populasi oleh musuh alami dan keseimbangan ekosistem. Untuk memahami kemampuan dan melaksanakan suatu program pengendalian hayati yang berkompeten, diperlukan suatu kesadaran mengenai dasar-dasar ekologi dari fenomena-fenomena tersebut. Hal-hal yang saling berhubungan yang harus dipahami, yaitu tentang pengendalian alami dan keseimbangan alam, serta faktor bertaut kerapatan dan bebas kerapatan.

B. Mekanisme Keseimbangan Alami

(33)

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan dapat berubah ukurannya akibat dipengaruhi oleh dua kekuatan di

ekosistem alami, yaitu kemampuan biotik dan hambatan lingkungan abiotik. Migrasi dari individu-individu ke dalam (imigrasi) atau keluar (emigrasi) akan mempengaruhi ukuran populasi. Jadi populasi itu berubah-ubah atau dinamis.

Selain populasi, aspek lain yang perlu dibicarakan ialah struktur umur populasi dan distribusi geografi. Populasi juga dipengaruhi oleh laju kelahiran (natalitas), kematian (mortalitas), potensi biotik, sifat genetik, dan perilaku. Populasi yang homogen, semua anggotanya umurnya atau fasenya sama; keadaan struktur umur inang penting diketahui dalam pengendalian hayati. Jika musuh alami itu hanya menyerang satu-dua fase inang, maka jika populasi inang itu homogen musuh alami akan mendapat kesulitan untuk bertahan hidup. Dalam kondisi meledak, populasi Artona (hama kelapa) berada dalam keadaan populasi yang homogen sehingga parasitoidnya sulit untuk bertahan hidup. Selain struktur umur populasi, distribusi geografi juga mempengaruhi ukuran populasi. Populasi-populasi cenderung menyebar pada berbagai daerah geografis apabila tidak ada penghalang geografis, seperti pegunungan, padang pasir, lautan atau ketiadaan sumberdaya ruang dan pakan.

(34)

meskipun dapat juga sebagai konsumen pertama sekaligus kalau untuk perkembangan dan bertahan hidup mereka memerlukan bahan dan energi dari produsen pertama (nektar, tepung sari).

Gambar 3.1. Rantai makanan di ekosistem alfalfa (Van de Bosch 1985)

Dalam jala makanan, parasitoid atau predator mungkin mempunyai lebih dari satu inang atau mangsa. Dalam pengendalian hayati pengetahuan ini penting karena keberhasilan pengendalian hayati itu dapat ditentukan juga oleh ada atau tidaknya inang kedua (inang alternatif). Semakin kompleks jaring-jaring yang membentuk jala makanan, semakin tinggi peluang parasitoid atau predator untuk bertahan ini di suatu ekosistem.

C. Faktor Bertaut Kerapatan dan Bebas Kerapatan

Pengendalian hayati merupakan bagian dari pengendalian alami. Pengendalian hayati merupakan aktivitas pengaturan populasi organisme

Konsumen I (fitofag)

Produsen (tanaman)

(35)

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan lain oleh musuh alaminya, sedangkan pengendalian alami merupakan

aktivitas faktor abiotik dan biotik dalam mengatur populasi organisme. Faktor abiotik tersebut, antara lain suhu, kelembaban, cahaya, curah hujan, angin, sedangkan faktor biotik adalah musuh alami dan kompetitor.

Gambar 3.2. Jaring makanan terdiri dari banyak rantai (Price 1984)

(36)

Faktor terpaut kerapatan terdiri atas faktor yang timbal balik dan tidak timbal balik. Faktor terpaut kerapatan yang timbal balik ini adalah musuh alami (parasitoid, predator, patogen), herbivora, dan crowding. Timbal balik merupakan hubungan antara populasi hama dan mortalitas yang diakibatkan oleh faktor bertaut kerapatan tersebut dapat berjalan dua arah. Bila kerapatan populasi hama meningkatkan, maka mortalitas yang diakibatkan oleh musuh alami akan semakin meningkat. Sebaliknya, bila kerapatan populasi hama menurun, maka mortalitas yang diakibatkan oleh musuh alami semakin menurun (Gambar 3.4). Oleh karena itu, dalam proses terjadinya keseimbangan alam faktor-faktor bertaut kerapatan itu akan bekerja lebih kuat apabila kerapatan populasi hama meningkat dan sebaliknya mengendur apabila kerapatan populasi menurun. Namun, kecenderungan lain dapat terjadi adalah kerapatan populasi hama meningkatkan, tetapi mortalitas yang diakibatkan oleh musuh alami akan semakin menurun. Kasus seperti ini dapat terjadi pada predator yang cepat jenuh terhadap mangasanya.

Faktor terpaut kerapatan (density dependent factor) yang tidak timbal balik adalah makanan, ruang, dan teritorial, yang terbatas yang saling berkompetisi dalam memperebutkannya. Proses ini, misalnya dapat terjadi apabila kerapatan populasi hama semakin tinggi, maka persaingan memperebutkan makanan semakin kuat sehingga mortalitas hama semakin tinggi. Namun, dengan meningkatnya kerapatan populasi hama tidak akan diikuti dengan meningkatnya jumlah makanan. Fenomena ini berbeda dengan proses hubungan antara hama dan musuh alami yang sifatnya timbal balik. Dengan demikian, makanan, ruang, dan teritorial merupakan faktor terpaut kerapatan yang tidak timbal balik.

(37)

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan Gambar 3.3. Komponen utama pengendalian alamiah (van den Bosch et

al. 1985)

Gambar 3.4. Hubungan antara populasi hama dan mortalitas akibat faktor bertaut kerapatan (Untung 1993)

Suhu umpamanya pada suhu 35o C dapat mengakibatkan kematian wereng kapas sebesar 50%. Mortalitas 50% ini juga terjadi pada kerapatan populasi wereng rendah maupun tinggi. Dengan demikian, hubungan antara kerapatan populasi wereng tersebut dan

PENGENDALIAN ALAMIAH

Faktor tidak bertaut Faktor bertaut kerapatan

Faktor fisik Faktor biotik Tidak timbal balik Timbal balik

1. Suhu 2. Kelembaban 3. Angin 4. pH tanah

5. Expousure

- Kesesuaian

inang

- Kualitas

makanan

Makanan tertentu Ruang Teritorial

- Agens hayati:

Parasitoid Predator Patogen

 Herbivora

 Sumber

 Makanan

(38)

mortalitas yang diakibatkan oleh suhu mendekati garis lurus (Gambar 3.5).

Suatu populasi serangga bila berada pada posisi seimbang dalam waktu yang relatif lama, maka minimal ada satu faktor atau lebih yang bekerja bertaut kerapatan. Faktor tersebut mengatur populasi serangga agar selalu pada posisi seimbang dengan cara menekan populasi serangga bila meningkat dan mengendurkan penekanan bila populasi serangga tersebut menurun. Posisi populasi yang berfluktuasi di sekitar kerapatan populasi tertentu disebut posisi seimbang (equilibrium position).

Gambar 3.5. Hubungan antara populasi hama dan mortalitas akibat faktor bertaut bebas kerapatan (FBK) (Untung 1993)

D. Pengendalian Hayati Hama Indigenos

Apabila sesuatu populasi serangga hama dapat terpelihara pada kelimpahan karakteristik oleh faktor-faktor pengendali alamiah, seperti musuh alami mempunyai kontribusi yang besar terhadap mortalitas total dari tiap generasi populasi tersebut. Oleh karena itu, apabila suatu spesies serangga dapat masuk ke dalam geografi baru karena sesuatu sebab, kerapkali populasinya meledak jika kondisi fisik tertentu dan sumberdaya makanan terpenuhi. Hal itu karena populasi tersebut terbebas dari pengaruh musuh alaminya yang biasanya menekan di tempat asalnya. Spesies pendatang itu disebut spesies eksotik

(39)

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan menggunakan musuh alami indigenos pula, kenyataannya tidak karena

musuh alami tersebut lebih sering terpuruk dan bahkan punah akibat lingkungan dan teknik bercocok tanam yang kurang mendukung kehidupannya, seperti aplikasi insektisida, pertanaman monokultur, pembakaran lahan. Untuk itu, perlu memodifikasi lingkungan dan teknik bercocok tanam atau kegiatan lainnya sehingga dapat meningkatkan keefektifan musuh alami indigenos tersebut.

Musuh alami serangga hama indigenos yang tidak atau kurang efektif ini dapat diatasi dengan cara introduksi atau mengambil musuh alami dari habitat lain, tetapi memiliki relung (niche) yang mirip atau sama. Relung ini merupakan kondisi atau faktor yang diperlukan untuk kehidupannya suatu spesies musuh alami. Contoh, ada sejenis hama pada tanaman kelapa di kepulauan Fiji (sebelum PD II merupakan negara jajahan Inggris), Leavuana viridescent (Lepidoptera: Zygaenidae), sedangkan di Asean ada hama kelapa yang satu famili dengan L.

viridescent, yaitu Artona catoxantha dan ternyata relung keduanya sama,

yaitu daun kelapa tua. Namun, L. viridescent tidak ada parasitoid. Entomolog Inggris telah meneliti dan menemukan relung Artona sama dengan L. viridescent. Selanjutnya, entomolog tersebut mencari dan menemukan parasitoid Artona di Malaysia, yaitu Bessa (Ptychomyia)

remota (Diptera: Tachinidae). B. remota dibawa ke Fiji untuk

mengendalikan L. viridescent dan akhirnya dapat menetap di sana. Parasitoid tersebut dapat dikembangbiakan dan dilepas di Fiji karena dilepas pada iklim tropis dan habitatnya yang mirip dan relungnya (serangga inangnya) berasal dari takson yang sama, yaitu Lepidoptera.

Selain itu, untuk mengatasi kurang efektif musuh alami hama indigenos ini juga dapat diatasi dengan cara memodifikasi cara bercocok tanam yang merangsang perkembangan dan menetapnya musuh alami di lapangan. Misalnya, pemanenan bertahap (strip cropping) pada pertanaman alfalfa di Amerika Serikat. Hasil penelitian tingkat parsitisasi beberapa musuh alami terhadap kutudaun, Therioaphis

maculata (Buck.) pada pertanaman alfafa di California memperlihatkan

(40)

tersebut. Penanaman tanaman blackberry liar dekat ladang anggur menyediakan suatu inang pengganti bagi parasitoid telur penggulung daun anggur, Erythroneura elegantula.

Terakhir, untuk mengatasi kurang efektif musuh alami hama indigenos ini juga dapat dilakukan pengendalian cara lain yang dipadukan dengan pengendalian hayati. Misalnya pengendalian A.

catoxantha di Jawa Tengah. Pengendalian kimiawi dapat dilakukan

saat terjadi peledakan populasi A. catoxantha tetapi populasi parasitoidnya rendah. Sebaliknya bila populasi parasitoid tinggi, pengendalian kimiawi dihindari.

Latihan Soal

1. Jelaskan mengapa semakin kompleks jaring-jaring yang membentuk jala makanan, semakin tinggi keberhasilan dalam pengendalian hayati! ... ... ... 2. Jelaskan perbedaan antara faktor bertaut kerapatan dan bebas

kerapatan!

... ... ... 3. Uraikan tiga pendekatan untuk mengatasi kurang efektifnya musuh

alami hama indigenos.

(41)

BAB IV. BIOLOGI DAN TAKSONOMI

PARASITOID

Tujuan instruksional khusus bab ini ialah:

1. mahasiswa mampu menjelaskan batasan taksonomi 2. mahasiswa mampu mengidentifikasi parasitoid, 3. mahasiswa mampu menguraikan biologi parasitoid,

A. Pendahuluan

Istilah entomophagy berasal dari Bahasa Yunani, yaitu entomon = serangga dan phagein = makan. Jadi, entomophagy merupakan istilah yang menunjukkan perilaku memakan serangga. Entomofaga itu sendiri berarti pemakan serangga yang terdiri dari parasitoid dan predator. Contoh entomofaga, antara lain parasitoid telur, parasitoid larva, laba-laba, kalajengking, tungau predator, ikan, katak, dan burung.

Parasitoid adalah serangga yang hidup sebagai parasit pada atau di dalam serangga lain hanya selama masa pradewasanya saja (masa larva). Imagonya hidup bebas, bukan parasit, dan hidup dengan memakan nektar, embun madu, air, meskipun kadang-kadang juga mengisap cairan badan inang. Parasitoid hanya memarasit kelompok serangga atau artropoda. Ukuran parasitoid relatif besar dibandingkan ukuran inangnya, dan tidak pernah pindah inang selama perkembangannya. Sebagian besar parasitoid tergolong dalam ordo Hymenoptera, sub ordo Apocrita. Ordo Diptera juga hampir semua spesiesnya hidup sebagai parasitoid, misalnya Famili Tachinidae semua spesiesnya berperan sebagai parasitoid dan mempunyai peran penting dalam berbagai aktivitas pengendalian hayati.

B. Hubungan Parasitoid-Inang

(42)

mengisap cairan inang dari posisi luar tubuh inang. Parasitoid soliter ialah parasitoid yang hanya satu individu parasitoid dapat berkembang pada satu individu inang. Sebaliknya bila lebih dari satu individu parasitoid dapat berkembang pada satu individu inang disebut sebagai parasitoid gregarius.

Berdasarkan fase inang yang diserangnya, parasitoid dapat dibagi menjadi parasitoid telur, larva, telur-larva, telur-larva-pupa, larva-pupa, pupa, dan imago. Parasitoid telur ialah parasitoid yang menyerang fase telur inang dan menyelesaikan perkembangan pradewasanya pada fase telur inang juga. Parasitoid larva atau nimfa ialah parasitoid yang menyerang fase larva atau nimfa inang dan menyelesaikan perkembangan pradewasanya pada fase larva atau nimfa inang tersebut. Parasitoid telur-larva ialah parasitoid yang menyerang fase telur inang dan menyelesaikan perkembangan pradewasanya pada fase larva inang. Parasitoid telur-larva-pupa ialah parasitoid yang menyerang fase telur inang dan menyelesaikan perkembangan pradewasanya pada fase pupa inang. Parasitoid larva-pupa ialah parasitoid yang menyerang fase larva inang dan menyelesaikan perkembangan pradewasanya pada fase pupa inang. Parasitoid pupa ialah parasitoid yang menyerang fase pupa inang dan menyelesaikan perkembangan pradewasanya pada fase pupa inang tersebut. Parasitoid imago (sangat jarang ditemukan) ialah parasitoid yang menyerang fase imago inang dan menyelesaikan perkembangan pradewasanya pada fase imago inang tersebut.

(43)

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan Parasitoid yang menyerang inang yang sama dapat dibedakan

spesiesnya berdasarkan, antara lain perubahan bentuk atau warna inangnya. Parasitoid yang menyerang Myzus persicae dari keluarga Aphidiidae cenderung memperlihatkan warna inang yang terparasit (mumi) kuning metalik, sedangkan yang diserang parasitoid dari keluarga Aphenelidae berwarna hitam (Gambar 4.1) (Irsan et al. 2005).

Gambar 4.1. Perbedaan warna dan bentuk Myzus persicae sehat (a) dan diparasit oleh Aphidiidae (b), dan diparasit Aphenelidae (c) (Irsan et al. 2005)

Imago parasitoid dan hiperparasitoid dapat dibedakan berdasarkan bentuk dan letak lubang keluar dari tubuh inangnya. Lubang keluar imago parasitoid dari mumi M. persicae berukuran besar, tepinya rata dan terletak di bagian dorsal abdomen. Lubang keluar imago hiperparasitoid dari mumi M. persicae ukurannya kecil, tepinya tidak rata dan posisi lubang keluar beragam (Gambar 4.2). Imago hiperparasitoid dapat muncul pada sisi dorsal, lateral dan ventral toraks maupun abdomen mumi. Letak lubang keluar imago parasitoid tersebut dapat dijadikan ciri dalam menentukan spesies parasitoid dan hiperparasitoid (Irsan et al. 2005).

Berdasarkan kisaran spesies inangnya, parasitoid dapat dikategorikan sebagai parasitoid monofag, oligofag, dan polifag. Parasitoid monofag ialah parasitoid yang memiliki kisaran inang terbatas pada satu genus atau satu spesies inang. Parasitoid oligofag ialah parasitoid yang memiliki kisaran inang beberapa genus tetapi

(44)

masih dalam satu famili. Parasitoid polifag ialah parasitoid yang memiliki kisaran inang luas pada beberapa famili serangga inang.

Gambar 4.2. Perbedaan lubang keluar imago parasitoid dan hiperparasitoid pada mumi Myzus persicae (a) lubang keluar imago parasitoid (perbesaran 10 kali), (b) lubang keluar imago hiperparasitoid (Irsan et al. 2005)

Parasitoid dapat dikelompokkan berdasarkan fase aktif tumbuh tidaknya inang, yaitu idiobiont dan koinobiont. Idiobiont ialah parasitoid yang menyerang inang yang dalam fase tidak tumbuh aktif, seperti telur dan pupa tetapi parasitoid ini juga dapat menyerang fase larva dengan cara terlebih dahulu melumpuhkannya. Parasitoid idiobiont misalnya adalah Trichogramma sp. Koinobiont ialah parasitoid yang menyerang inang yang aktif tumbuh, seperti larva, nimfa atau imago dan tidak melumpuhkan inang tersebut dengan kata lain inang diberi kesempatan tumbuh dan berkembang, lalu setelah mencapai fase berikutnya (pupa atau imago) baru inang mati, contohnya Aphelinus sp. yang memarasit M. persicae (Gambar 4.3). Umumnya koinobiont adalah endoparasitoid, sedangkan idiobiont adalah ektoparasitoid. Koinobiont cenderung endoparasitoid karena pradewasanya relatif lebih aman bila di dalam tubuh inang yang aktivitasnya mobil, sedangkan idiobiont cenderung sebagai ektoparasitoid karena inang pasif dengan resiko rendah untuk terlepas dari tubuh inang. Strategi kehidupan idiobiont dan koinobiont memiliki banyak perbedaan seperti yang terurai pada Tabel 4.1.

Parasitoid merupakan serangga yang berperilaku mirip parasit

(45)

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan tetapi parasitoid berbeda dengan parasit (Tabel 4.2). Perbedaan antara

parasitoid dengan parasit, yaitu pertama parasitoid mematikan inang, sedangkan parasit tidak. Inang parasitoid biasanya dari kelas takson yang sama, yaitu serangga atau artropoda lainnya, sedangkan parasit memiliki inang dari takson yang berbeda. Ukuran parasitoid cenderung lebih besar dari tubuh inangnya, sedangkan parasit cenderung berukuran lebih kecil dibandingkan inangnya. Parasitoid berperan sebagai parasit hanya pada fase larva saja, sedangkan fase imago hidup bebas tetapi parasit berperan sebagai parasit fase larva dan imago. Parasitoid tidak memerlukan inang perantara, sedangkan parasit memerlukannya. Sebagai parameter dinamika populasi, aksi parasitoid lebih mirip predator dibandingkan parasit, sedangkan parasit aksinya berbeda dengan predator.

Gambar 4.3. Aphelinus sp., parasitoid koinobiont yang sedang menusukkan ovipositornya pada nimfa Myzus persicae yang masih aktif bergerak (Irsan et al. 2005)

C. Biologi Parasitoid

Sifat-sifat imago parasitoid penting dipelajari terutama perilaku imago betina karena mereka sebagai faktor pengendali. Betina yang mencari atau menemukan inang akan menentukan apakah inang akan diparasit atau tidak. Imago betina tidak saja melakukan pemilihan terhadap inang tapi juga mampu mencari inang terutama pada waktu populasi inang rendah. Doutt (1964) merinci beberapa atribut atau ciri-ciri parasitoid yang efektif, yaitu kapasitas mencari yang tinggi (high

searching capacity), inang cukup spesifik (kekhususan inang) atau

(46)

yang baik, dan mudah dan ekonomis dibiakkan dilaboratorium. Di antara ciri-ciri parasitoid yang efektif di atas, ciri yang paling penting harus dimiliki parasitoid tersebut adalah mampu memilih dan menentukan inang spesifiknya dan memiliki kemampuan mencari tinggi pada saat populasi inang rendah. Kemampuan mencari tinggi ini dicirikan dengan kemampuan bergerak, mengenal inangnya, memiliki daya bertahan hidup, agresif dan persisten.

Tabel 4.1. Biologi dan strategi kehidupan idiobiont dan koinobiont

Idiobiont Koinobiont Ektoparasitoid Endoparasitoid

Posisi inang tersembunyi Posisi inang terekspos atau terlihat Generalis Spesialis

Mampu permanen melumpuhkan inang Tidak melumpuhkan inang Perkembangan larvanya cepat Perkembangan larvanya lambat Telurnya besar Telurnya kecil

Betina memiliki telur matang sedikit Betina memiliki telur matang banyak Synovigeny Pro-ovigeny

Mengisap cairan inang (host feeding) Tidak mengisap cairan inang Melakukan penyerapan telur Tidak melakukan penyerapan telur Lama hidup imago panjang Lama hidup imago singkat

Ukuran inang lebih besar dari tubuhnya Ukuran inang lebih kecil dari tubuhnya Dapat mengatur jenis kelamin anak

berdasarkan ukuran inang

Jenis kelamin anak tidak berdasarkan ukuran inang

Umumnya diurnal Diurnal atau nocturnal Morfologi jantan dan betina umumnya

berbeda

Morfologi jantan dan betina umumnya tidak berbeda

(47)

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan Tabel 4.2. Ciri-ciri yang membedakan antara parasitoid dan parasit

Ciri-ciri Parasitoid Parasit

Takson Serangga Bermacam-macam Invertebrata Inang yang

Satu Satu, kecuali ada inang alternatif di dalam siklus

Periode prakopulasi adalah waktu sejak imago parasitoid terbentuk atau keluar dari tubuh inang hingga berkopulasi. Bagi parasitoid tidak memiliki periode prakopulasi dicirikan begitu imago parasitoid terbentuk, maka parasitoid langsung berkopulasi. Parasitoid yang tidak memiliki periode prakopulasi ini dicirikan dengan kemunculan imago jantan terlebih dahulu. Imago jantan ini biasanya menunggu imago betina yang baru terbentuk, saat betina muncul kopulasi dapat segera terjadi. Parasitoid yang tidak memiliki periode prakopulasi ini, misalnya

Trichogramma bactrae bactrae, parasitoid yang menyerang telur Etiella

zinckenella.

(48)

parasitoid lalat buah Dacus sp. membutuhkan 5-6 hari (80 oF) untuk pematangan spermanya. Parasitoid tersebut artinya memiliki periode prakopulasi yang cukup lama. Bagi imago parasitoid betina, periode prakopulasi yang panjang ini dibutuhkan untuk memproduksi telur dan pematangan telur.

2. Periode Praoviposisi

Periode praoviposisi adalah waktu sebelum serangga betina meletakkan telurnya. Masa praoviposisi bisa fakultatif atau obligat tetapi ada juga yang tidak memiliki masa pra-oviposisi. Masa praoviposisi ada kaitannya dengan proses fisiologis yang kompleks dan juga untuk keperluan makan atau nutrisi imago. Pada parasitoid Hymenoptera ada yang meletakkan telur dalam waktu yang singkat, setelah itu tidak meletakkan telurnya lagi. Dalam hal demikian telur-telur sudah matang saat serangga menjadi imago. Parasitoid yang memiliki masa praoviposisi sangat singkat tersebut diberi istilah proovigenic atau preovigenic. Parasitoid bersifat proovigenic ini dicirikan dengan telurnya diproduksi dari cadangan makan yang diperolehnya saat fase pradewasa (larva atau pupa) sehingga saat imago terbentuk pakan tambahan tidak diperlukan untuk produksi telur.

Kelompok parasitoid lainnya meletakkan telur sepanjang hidupnya dan diberi istilah synovigenic. Produksi telur oleh parasitoid synovigenic ini memerlukan pakan tambahan yang harus didapatkan imago di ekosistem karena makanan cadangan yang didapatkan pada fase pradewasanya tidak mencukupi. Untuk memproduksi telur dan pematangan telur ini, parasitoid biasanya memerlukan pakan, seperti nektar, air, serbuk sari atau parasitoid melakukan pengisapan cairan tubuh inang.

(49)

Siti Herlinda & Chandra Irsan. Pengendalian Hayati Hama Tumbuhan

3. Proses Penyerapan Telur

Bagi parasitoid synovigenic yang tidak mendapatkan pakan atau inangnya langka, maka parasitoid ini tidak akan meletakkan telurnya melainkan melakukan penyerapan telur (ovisorption). Pola produksi telur parasitoid dapat terjadi secara siklik atau linear. Pola produksi telur siklik diawali dengan pembentukan telur (ovigenesis) – penyerapan telur - pembentukan telur. Pola siklik ini dapat dialami oleh parasitoid synovigenic, sedangkan parasitoid proovigenic memiliki pola reproduksi telur linear, yaitu pembentukan telur – pembuahan – peletakan telur.

Penyerapan telur punya arti yang penting karena dengan penyerapan telur serangga melakukan efisiensi energi, bila tidak ada inang telur akan diserap kembali. Kemampuan penyerapan telur ini juga ada hubungan dengan daya mencari. Parasitoid yang mampu melakukan penyerapan telur merupakan parasitoid yang lebih tinggi kemampuan mencari inangnya.

4. Perilaku Seleksi Inang

Salt (1973) menyatakan seleksi inang yang dilakukan oleh parasitoid terbagi tiga tahap, yaitu seleksi ekologi (ecological selection), seleksi fsikologis (psychological selection), dan seleksi fisiologis (physiological selection). Kogan (1984) mengemukakan bahwa tahap-tahap seleksi inang yang umum untuk serangga ialah penemuan habitat inang (host habitat finding), penemuan inang (host finding), penerimaan inang (host cceptance), dan kesesuaian inang (host suitability). Sebenarnya pendapat Salt tersebut tidak berbeda dengan pendapat Kogan karena penemuan habitat inang dan penemuan inang ekivalen dengan seleksi ekologi, sedangkan penemuan inang sama dengan seleksi fsikologis, dan kesesuaian inang adalah seleksi fisiologis.

Gambar

Tabel 1.1.  Perbedaan ciri-ciri parasitoid dan predator
Tabel 1.2.  Kelebihan dan kelemahan pengendalian hayati
Gambar 2.1. Oecophylla smaragdina,  semut predator hama  jeruk   (Tessaratoma papillosa) (The California Academy of Sciences  2008)
Gambar 2.2. Kumbang Carabidae, Calosoma sycophanta (Watson &
+7

Referensi

Dokumen terkait