• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : PENGATURAN USAHA PERASURANSIAN DI INDONESIA

F. Perizinan Usaha Perasuransian

Pihak yang melakukan usaha perasuransian wajib memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan, kecuali bagi perusahaan yang menyelenggarakan program asuransi sosial (Pasal 9 ayat (1) UUP). Khusus bagi Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut BUMN) yang menyelenggarakan program tersebut dituangkan dalam peraturan pemerintah. Ini berarti bahwa Pemerintah memang menugaskan BUMN yang bersangkutan untuk melaksanakan suatu program asuransi sosial yang telah diputuskan untuk dilaksanakan oleh pemerintah. Oleh karena itu, bagi BUMN yang dimaksud tidak perlu memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan. Pemberian izin oleh Menteri Keuangan bagi perusahaan perasuransian menurut Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian dilakukan dalam dua tahap, yaitu:

1) Persetujuan Prinsip : Adalah persetujuan yang diberikan untuk melakukan persiapan pendirian suatu perusahaan yang bergerak di bidang perasuransian, dimana batas waktu persetujuan prinsip dibatasi selama-lamanya satu tahun. 2) Izin usaha : adalah izin yang diberikan untuk melakukan usaha setelah

perisiapan pendirian selesai, dimana izin usaha diberikan setelah persyaratan izin usaha telah dipenuhi.

Untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dipenuhi persyaratan mengenai:

1. Anggaran dasar 2. Susunan organisasi 3. Permodalan

4. Kepemilikan

5. Keahlian di bidang perasuransian 6. Kelayakan rencana kerja

7. Hal-hal yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan usaha perasuransian secara sehat (Pasal 9 ayat (2) UUP).

Keahlian di bidang perasuransian yang dimaksud dalam ketentuan ini mencakup antara lain keahlian di bidang aktuaria, underwriting, manajemen resiko, penilai kerugian asuransi dan sebagaimana sesuai dengan kegiatan usaha perasuransian yang dijalankan.

Kepemilikan pihak asing, maka untuk memperoleh izin usaha wajib dipenuhi persyaratan dalam ayat (2) serta ketentuan mengenai kepemilikan dan kepengurusan pihak asing (Pasal 9 ayat (3) UUP). Dalam pengertian “batas kepemilikan dan kepengurusan pihak asing” termasuk pula pengertian tentang proses Indonesianisasi. Dengan adanya ketentuan ini diharapkan perasuransian nasional semakin dapat bertumpu pada kekuatan sendiri.

Pemberian izin usaha perasuransian dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu tahap pertama pemberian persetujuan prinsip dan tahap kedua pemberian izin usaha. Akan tetapi, persetujuan prinsip bagi agen asuransi dan konsultan aktuaria tidak diperlukan. Persetujuan prinsip berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal izin usaha ditetapkan, perusahaan perasuransian yang bersangkutan tidak menjalankan kegiatan usahanya, maka izin usaha perasuransian dapat dicabut (Pasal 9 dan 10 Peraturan

Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian).58

a) Bukti pemenuhan persyaratan izin usaha sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, yang meliputi:

Prosedur perizinan usaha perasuransian dapat dijelaskan sebagaimana berikut:

1. Permohonan Izin Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi

1) Anggaran dasar perusahaan yang telah mendapat pengesahan dari instansi yang berwenang;

2) Susunan organisasi dan kepengurusan perusahaan yang menggambarkan pemisahan fungsi dan uraian tugas. Susunan organisasi tersebut harus dilengkapi dengan fungsi, uraian tugas, wewenang, dan tanggung jawab, serta prosedur kerja dari masing- masing unit organisasi;

3) Tenaga ahli yang memiliki kualifikasi sesuai dengan bidang usahanya; 4) Perjanjian kerjasama dengan pihak asing, dalam hal terdapat

penyertaan langsung oleh pihak asing. Perjanjian kerjasama ini harus dinyatakan dalam bahasa Indonesia dan telah ditandatangani oleh pihak Indonesia dan pihak asing;

58

5) Bagi perusahaan asuransi, spesifikasi program asuransi yang akan dipasarkan beserta program reasuransinya;

6) Bagi perusahaan reasuransi, program retrosesi;

b) Bagi perusahaan yang di dalamnya terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing :

1) Rekomendasi dari badan pembina dan pengawas asuransi pihak asing yang menyatakan bahwa pihak asing memiliki reputasi baik dan izin usahanya masih berlaku;

2) Laporan keuangan yang telah diaudit untuk 2 (dua) tahun terakhir baik bagi pihak asing maupun pihak Indonesia. Laporan keuangan pihak asing harus menggambarkan pemilikan modal sendiri sekurang- kurangnya 2 (dua) kali dari besarnya penyertaan langsung pada perusahaan yang dimintakan izin usahanya;

c) Daftar riwayat hidup dan bukti pendukungnya dari Pengurus dan Tenaga Ahli yang dipekerjakan;

d) Pernyataan bahwa Direksi bagi Perseroan Terbatas atau Pengurus bagi Koperasi tidak merangkap jabatan eksekutif pada perusahaan lain;

e) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi perusahaan yang dimintakan izin usaha berikut NPWP Pengurus perusahaan, Dewan Komisaris dan pemegang sahamnya, kecuali bagi wajib pajak luar negeri;

f) Bukti bahwa sekurang-kurangnya separo dari jumlah Pengurus perusahaan telah memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang usaha perasuransian sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun;

g) Bukti bahwa Pengurus Perusahaan yang bertanggung jawab pada fungsi pengelolaan resiko telah memiliki pengalaman di bidang tersebut sekurangkurangnya 5 (lima) tahun;

h) Bukti pemenuhan modal disetor berupa fotokopi deposito atas nama Menteri Keuangan untuk kepentingan perusahaan yang bersangkutan yang telah dilegalisasi oleh bank penerima deposito tersebut;

i) Laporan Keuangan yang meliputi Neraca Pembukaan dan Laporan Labarugi;

j) Program kerja serta rincian persiapan yang telah dilakukan oleh perusahaan yang sekurang-kurangnya meliputi:

1) Proyeksi neraca, perhitungan laba rugi, dan arus kas, berikut asumsi- asumsinya yang mendukungnya, untuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun mendatang;

2) Realisasi pemenuhan sumber daya manusia dan prasarana berikut rencana di bidang kepegawaian, termasuk rencana pengembangan sumber daya manusia, untuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun mendatang;

3) Sistem pengolahan data yang dapat menghasilkan informasi yang akurat dan dapat dipertanggung-jawabkan dalam pengambilan keputusan berikut formulir yang dipergunakan;

4) Sistem admnistrasi yang memenuhi pengendalian intern;

5) Pedoman operasional yang akan dijadikan pedoman kerja bagi masing- masing unit organisasi;

6) Pernyataan tertulis dari perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi yang memuat dukungan kerja sama reasuransi. Selanjutnya, selambat- lambatnya 30 (tiga puluh hari) sejak tanggal pemberian izin usaha, perusahaan harus menyampaikan realisasi program dukungan reasuransi tersebut.

2. Permohonan Izin Usaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi yang berbentuk Badan Hukum

a. Bukti pemenuhan persyaratan izin usaha sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 yang meliputi:

1) Anggaran Dasar perusahaan yang telah mendapat pengesahan dari instansi yang berwenang;

2) Tenaga Ahli yang memiliki kualifikasi sesuai dengan bidang usahanya; 3) Polis Asuransi Indemnitas Profesi;

4) Perjanjian Kerjasama dengan pihak asing, dalam hal terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing. Perjanjian kerjasama ini harus dinyatakan dalam bahasa Indonesia dan telah ditandatangani oleh pihak Indonesia dan pihak asing;

5) Bagi Perusahaan Agen Asuransi, Perjanjian Keagenan dengan Perusahaan Asuransi yang diageni.

b. Bagi perusahaan yang di dalamnya terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing :

1) Rekomendasi dari badan pembina dan pengawas asuransi pihak asing yang menyatakan bahwa pihak asing memiliki reputasi baik dan izin usahanya masih berlaku;

2) Laporan keuangan yang telah diaudit untuk 2 (dua) tahun terakhir baik bagi pihak asing maupun pihak Indonesia. Laporan keuangan pihak asing harus menggambarkan pemilikan modal sendiri sekurang- kurangnya 2 (dua) kali dari besarnya penyertaan langsung pada perusahaan yang dimintakan izin usahanya (khusus bagi perusahaan pialang asuransi, pialang reasuransi, dan penilai kerugian);

3) Daftar riwayat hidup dan bukti pendukungnya dari Pengurus dan Tenaga Ahli yang dipekerjakan;

4) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi perusahaan yang dimintakan izin usaha berikut NPWP Pengurus perusahaan, Dewan Komisaris dan pemegang sahamnya, kecuali bagi wajib pajak luar negeri;

5) Laporan Keuangan yang meliputi Neraca Pembukaan dan Laporan Labarugi;

6) Bukti bahwa Pengurus perusahaan telah memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang usaha perasuransian sesuai dengan bidang usaha yang diselenggarakannya, sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun;

7) Bukti pemenuhan modal disetor berupa fotokopi deposito atas nama Menteri Keuangan untuk kepentingan perusahaan yang bersangkutan yang telah dilegalisasi oleh bank penerima deposito tersebut;

8) Program kerja serta rincian persiapan yang telah dilakukan oleh perusahaan yang sekurang-kurangnya meliputi:

a) Proyeksi neraca, perhitungan laba rugi, dan arus kas, berikut asumsi- asumsinya yang mendukungnya, untuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun mendatang;

b) Rencana di bidang kepegawaian, termasuk rencana pengembangan sumber daya manusia, untuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun mendatang;

c) Sistem administrasi dan pengolahan data.

3.Permohonan Izin Usaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi yang Berbentuk Perorangan

a. Bukti pemenuhan persyaratan izin usaha sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 yang meliputi:

1) Tenaga Ahli yang memiliki kualifikasi sesuai dengan bidang usahanya; 2) Bagi Perusahaan Agen Asuransi, Perjanjian Keagenan dengan

Perusahaan Asuransi yang diageni. b. Identitas diri;

c. Bukti tanda lulus ujian keagenan dari agen yang dipekerjakan bagi pendiri yang dikeluarkan oleh aosiasi asuransi di Indonesia;

Perusahaan Perasuransian yang telah mendapatkan izin usaha, diharuskan menjalankan kegiatan usaha perasuransian secara terus menerus, hal ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, selanjutnya dijelaskan lebih rinci Pasal 10 yaitu:

1) Perusahaan Perasuransian harus menjalankan kegiatan usaha perasuransian secara terus menerus sejak diperolehnya izin usaha.

2) Perusahaan Perasuransian dinilai tidak menjalankan kegiatan usaha perasuransian secara terus menerus apabila dalam jangka waktu (enam) bulan tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan.

3) Menteri mencabut izin usaha Perusahaan Perasuransian apabila perusahaan tidak menjalankan kegiatan usaha Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

4) Pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memperhatikan tahapan pengenaan sanksi

5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria tidak menjalankan kegiatan usaha secara terus menerus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pemberian atau penolakan permohonan izin usaha yang disampaikan akan diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima secara lengkap. Untuk penolakan atas permohonan izin usaha tersebut akan disampaikan disertai dengan alasan tertulis. Perusahaan yang telah memperoleh

izin usaha dapat mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan untuk mencairkan modal disetor yang ditempatkan dalam bentuk deposito atas nama Menteri Keuangan. Bagi perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan reasuransi, pencairan deposito tersebut di atas tidak termasuk pencairan deposito jaminan (deposito wajib). Permohonan untuk mencairkan deposito tersebut di atas dapat juga dilakukan oleh pemohon yang ditolak izin usahanya atau pemohon yang membatalkan permohonannya.59

59

Dinda Anasthasia, Perasuransian, Makalah Hukum Dagang, Jakarta, 2012, hlm. 8, diakses pada 20:13:28 WIB)

BAB III

AKIBAT HUKUM PENCABUTAN IZIN USAHA PERUSAHAAN REASURANSI TERHADAP PERUSAHAAN ASURANSI

A. Penyebab Pencabutan Izin Usaha Perusahaan Reasuransi

Perusahaan asuransi adalah suatu perusahaan yang mau menerima atau mengambil alih resiko-resiko yang ada pada pihak lain secara profesional. Perusahaan asuransi pada satu sisi merupakan suatu lembaga yang mengejar produktivitas dan memperoleh keuntungan maksimal, sedangkan sisi lain perusahaan asuransi menjadi pusat konsentrasi resiko dari berbagai pihak. Dengan demikian perusahaan asuransi secara bersamaan harus mencapai suatu keseimbangan yang wajar antara mengejar produktivitas dan keuntungan dengan kemampuan penampungan resiko yang wajar pula, agar tetap dalam batas tanggung jawabnya sebagai pihak dalam perjanjian asuransi. Salah satu cara efektif untuk mencapai keseimbangan yang wajar tadi adalah dengan cara reasuransi. Dengan adanya reasuransi ini, maka perusahaan asuransi dapat meniadakan konsentrasi resiko, karena perusahaan reasuransi adalah perusahaan yang menerima pertanggungan ulang dari perusahaan asuransi atas sebagian atau keseluruhan resiko yang telah atau tidak dapat ditanggung kembali oleh perusahaan asuransi.

Perusahaan reasuransi dalam melakukan kegiatannya adalah sama hal menerima pemindahan resiko. Pemindahan resiko yang berasal dari perusahaan asuransi sehingga fungsi underwriting perusahaan asuransi dan tidak secara langsung atas resiko yang akan diterimanya. Dengan demikian perusahaan

reasuransi tidak mempunyai hubungan langsung dengan masyarakat (tertanggung) melainkan dengan penanggung pertama (perusahaan asuransi).60

Peranan reasuransi yang mempunyai jangkauan luas tersebut memungkinkan perusahaan asuransi makin mengembangkan fungsinya sebagaimana seharusnya sesuai dengan posisinya sebagai penanggung pertama. Perusahaan asuransi dapat menutup perjanjian asuransi yang bervariasi dan mencakup jenis asuransi yang luas.

Menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 424/KMK/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, dipertegas bahwa Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus memiliki retensi sendiri untuk setiap penutupan resiko. Penetapan retensi sendiri harus didasarkan pada profil resiko yang dibuat secara tertib, teratur, relevan dan akurat. Dan besarnya retensi sendiri untuk setiap resiko didasarkan pada modal sendiri. Pada dasarnya besar atau kecilnya perusahaan asuransi ditentukan dengan kemampuannya dalam menahan resiko atau retensi sendiri (own retention). Jika dirasa kemampuan memikul resiko melebihi kapasitasnya maka sebaiknya perusahaan tersebut mencari kapasitas tambahan melalui cara reasuransi.

61

Pencabutan izin usaha perusahaan reasuransi terjadi karena perseroan lalai dalam menyampaikan laporan keuangan dan/atau kegagalan memenuhi persyaratan modal minimum perusahaan pialang asuransi. Dengan dicabutnya izin usaha perusahaan reasuransi kerugian dimaksud, perusahaan reasuransi tersebut dilarang melakukan kegiatan usaha di bidang asuransi kerugian. Perusahaan

60

Safri Ayat, Pengantar Reasuransi (Jakarta: Akademi Asuransi Trisakti, 2000), hlm. 2.

61

Sri Rezeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 1995), hlm. 18.

reasuransi dimaksud diwajibkan untuk membubarkan dan melakukan likuidasi perusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta menyelesaikan seluruh hutang dan kewajibannya.

Sejak tanggal pencabutan izin usaha tersebut, perusahaan reasuransi yang bersangkutan wajib menutup seluruh kantornya untuk umum dan menghentikan segala kegiatan reasuransi serta pengurus asuransinya dilarang melakukan perbuatan hukum berkaitan dengan aset dan kewajiban reasuransi, kecuali atas persetujuan dan/atau penugasan perusahaan reasuransi.62

Untuk mendukung suatu kegiatan usaha reasuransi yang bertanggung jawab, perlu adanya anggaran dasar, susunan organisasi yang baik, jumlah modal yang memadai, status kepemilikan yang jelas, tenaga ahli asuransi yang diperlukan sesuai dengan bidangnya, rencana kerja yang layak sesuai dengan kondisi, dan hal-hal lain yang dikemudian hari diperkirakan dapat mendukung pertumbuhan usaha perasuransian secara sehat.

Perusahaan reasuransi menjalankan kegiatan usaha berlandaskan pada asas-asas dan prinsip-prinsip dalam perjanjian pada umumnya, karena asuransi merupakan satu di antara perjanjian pada umumnya. Kedua, kepailitan perusahaan reasuransi dilakukan dengan pencabutan izin usaha dengan prosedur khusus melalui kewenangan Kementerian Keuangan. Pencabutan izin perusahaan reasuransi bukan berarti perusahaan reasuransi tersebut secara serta merta dapat mengajukan pailit atas dirinya sendiri, tetapi pencabutan izin perusahaan reasuransi tetap berada di bawah kewenangan Menteri Keuangan.

62

Tuti Rastuti, Aspek Hukum Perjanjian Asuransi, (Yogyakarta : Penerbit Pustaka Yustisia. 2011), hlm. 172.

Pemberian atau penolakan permohonan izin usaha yang disampaikan akan diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima secara lengkap. Untuk penolakan atas permohonan izin usaha tersebut akan disampaikan dan disertai dengan alasan tertulis. Perusahaan reasuransi yang telah memperoleh izin usaha dapat mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan untuk mencairkan modal yang ditempatkan dalam bentuk deposito atas nama Menteri Keuangan. Bagi perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan reasuransi, pencairan deposito tersebut di atas tidak termasuk pencairan deposito jaminan (deposito wajib). Permohonan untuk mencairkan deposito tersebut di atas dapat juga dilakukan oleh pemohon yang ditolak izin usahanya atau pemohon yang membatalkan permohonannya.

Dalam rangka pelaksanaan pembinaan dan pengawasan, perusahaan reasuransi diwajibkan untuk menyampaikan laporan secara periodik. Laporan yang wajib disampaikan meliputi laporan keuangan dan laporan operasional. Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai pelaporan dikenakan sanksi baik berupa sanksi administrasi maupun sanksi denda.

Untuk perusahaan reasuransi, kewajiban penyampaian laporan tersebut terdiri dari laporan keuangan triwulanan, laporan keuangan tahunan yang telah diaudit, dan laporan penyelenggaraan usaha tahunan. Selain itu, perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi diwajibkan pula untuk mengumumkan laporan keuangannya (neraca dan laporan laba rugi) pada surat kabar harian yang mempunyai peredaran luas di Indonesia. Selain penyampaian laporan secara periodik, dalam rangka pelaksanaan pembinaan dan pengawasan tersebut, Menteri

Keuangan dapat melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap perusahaan perasuransian.63

Pasal 6G ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian menentukan bahwa Menteri Keuangan mencabut izin usaha perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, perusahaan pialang asuransi, dan perusahaan pialang reasuransi yang tidak menyampaikan rencana kerja dan belum memenuhi ketentuan permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6B, Pasal 6C, dan Pasal 6E harus menyampaikan rencana kerja untuk memenuhi ketentuan pentahapan permodalan paling lambat tanggal 30 September tahun berjalan. Pencabutan izin usaha perusahaan asuransi,perusahaan reasuransi, perusahaan pialang asuransi, dan perusahaan pialang reasuransi dilakukan Menetri Keuangan dengan tetap memperhatikan tahapan pengenaan sanksi.

Kegiatan pertanggungan atau asuransi berakhir karena perusahaan yang menjalankan kegiatan perasuransian (perusahaan perasuransian) tersebut dipailitkan atau dicabut izin usahanya.

Persyaratan untuk mempailitkan atau mencabut izin perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20 ayat (1) UUP, mempersyaratkan bahwa pencabutan izin usaha perusahaan yang bersangkutan oleh Kementerian Keuangan harus berdasarkan kepentingan umum. Syarat karena pertimbangan kepentingan umum atau kepentingan para kreditur dapat memintakan kepada Pengadilan agar perusahaan yang bersangkutan dinyatakan pailit.

tanggal 20 April 2014, pukul 02:10:54 WIB)

Dalam pasal 23 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian dijelaskan bahwa “perusahaan asuransi atau reasuransi dilarang melakukan tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim, atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan yang dapat mengakibatkan kelambatan penyelesaian atau pembayaran klaim.” Berdasarkan pasal di atas, maka masyarakat (pihak tertanggung) dapat bertanya kepada perusahaan asuransi mengenai klaim asuransinya.

Berdasarkan Pasal 27 Keputusan Menteri Keuangan No. 422/KMK.06/2003 tahun 2003 tentang penyelenggaraan usaha perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi menyebutkan bahwa “perusahaan asuransi harus membayar klaim paling lama 30 hari sejak adanya kesepakatan antara tertanggung dan penanggung atau kepastian mengenai jumlah klaim yang harus dibayar.” Jadi, jika sudah lewat dari 30 hari pasca penyerahan dokumen klaim, maka nasabah bisa memberikan somasi untuk mengingatkan pihak asuransi atas tanggung jawab mereka dan tuntutan hukum yang akan diajukan.64

Jangka waktu pembayaran klaim asuransinya sendiri diatur dalam Pasal 27 Keputusan Menteri Keuangan No. 422/KMK.06/2003 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi Dan Perusahaan Reasuransi yang berbunyi: “Perusahaan Asuransi harus telah membayar klaim paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak adanya kesepakatan antara tertanggung dan penanggung atau kepastian mengenai jumlah klaim yang harus dibayar.

(diakses pada tanggal 20 April 2014, pukul 02:19:54 WIB)

Sedangkan, sanksi terhadap pelanggaran ketentuan tersebut di atas dapat kita lihat dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang menentukan : “Setiap perusahaan perasuransian yang tidak memenuhi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dan peraturan pelaksanaannya tentang perizinan usaha, kesehatan keuangan, penyelenggaraan usaha, penyampaian laporan, pengumuman neraca dan perhitungan laba rugi, atau tentang pemeriksaan langsung, dikenakan sanksi peringatan, sanksi pembatasan kegiatan usaha, dan sanksi pencabutan izin usaha.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, perusahaan reasuransi yang melakukan tindakan memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim, atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan sehingga mengakibatkan keterlambatan penyelesaian atau pembayaran klaim asuransi dapat dikenai sanksi berupa peringatan, pembatasan kegiatan usaha, dan sanksi pencabutan izin usaha.65

B. Kewenangan Pencabutan Izin

Kewenangan yang diberikan kepada Panitera Pengadilan Niaga untuk menolak permohonan pailit yang diajukan oleh pemohon pailit, antara lain, terhadap perusahaan asuransi, pada dasarnya adalah untuk membangun ketegasan sikap Pengadilan Niaga terhadap pemohon pailit yang tidak sesuai ketentuan hukum acara yang telah secara imperatif diatur dalam Pasal 2 ayat (5) UUKPKPU. Karena bila bentuk penolakan terhadap pelanggaran Pasal 2 ayat (5)

pukul 02:35:54 WIB)

tersebut harus dilakukan melalui putusan persidangan, maka keadaan tersebut akan memberikan akibat yang menimbulkan kegoncangan terhadap perusahaan asuransi di dalam masyarakat, khususnya para pemegang polis yang jumlahnya sangat banyak.66

Kekayaan perusahaan asuransi yang telah dicabut izin usahanya tersebut perlu dilindungi agar para pemegang polis tetap dapat memperoleh haknya secara Tindakan untuk memenuhi rencana mengatasi penyebab dari pembatasan kegiatan usaha telah dilaksanakan dan dalam hal pelaksanaan tersebut dapat disimpulkan bahwa perusahaan yang bersangkutan tidak mampu atau tidak bersedia menghilangkan hal-hal yang menyebabkan pembatasan termaksud, maka Menteri Keuangan mencabut izin usaha perusahaan. Pencabutan izin usaha diumumkan oleh Menteri Keuangan dalam surat kabar harian di Indonesia yang memiliki peredaran yang luas (Pasal 18 UUP). Akan tetapi, apabila perusahaan telah berhasil melakukan tindakan dalam rangka mengatasi penyebab dari pembatasan kegiatan usahanya dalam jangka waktu 4 (empat) bulan, maka perusahaan yang bersangkutan dapat melakukan usahanya kembali (Pasal 19 UUP). Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam UUKPKPU, dalam hal terdapat pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 18, maka Menteri Keuangan berdasarkan kepentingan umum dapat meminta kepada pengadilan agar perusahaan yang bersangkutan dinyatakan pailit. Hak pemegang polis atas pembagian harta kekayaan perusahaan asuransi kerugian atau perusahaan asuransi jiwa yang dilikuidasi merupakan hak utama (Pasal 20 UUP).

66

(diakses pada tanggal 20 April 2014, pukul 02:56:54 WIB)

proporsional. Untuk melindungi kepentingan para pemegang polis tersebut, Menteri Keuangan diberi wewenang berdasarkan undang-undang ini untuk meminta pengadilan agar perusahaan asuransi yang bersangkutan dinyatakan pailit, sehingga kekayaan perusahaan tidak dipergunakan untuk kepentingan pengurus atau pemilik perusahaan tanpa mengindahkan kepentingan para pemegang polis.

Kewenangan untuk mengajukan permintaan pailit tersebut, maka Menteri Keuangan dapat mencegah berlangsungnya kegiatan tidak sah dari perusahaan yang telah dicabut izin usahanya, sehingga kemungkinan terjadi kerugian yang lebih luas pada masyarakat dapat dihindarkan. Dalam hal terjadi kepailitan, pemegang polis mempunyai hak utama, artinya hak pemegang polis mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak pihak-pihak lain, kecuali dalam hal kewajiban untuk Negara, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

Dokumen terkait