• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjalanan Intelektual dan Karirnya

Dalam dokumen HARUT DAN MARUT DALAM AL- QUR AN (Halaman 39-109)

BAB II : PANDANGAN UMUM TENTANG IMAM AL-THABARI IMAM DAN

B. Biografi Wahbah al-Zuhaili

2. Perjalanan Intelektual dan Karirnya

a) Pendidikan dan karir Wahbah al-Zuhaili

Wahbah al-Zuhaili mendapat pendidikan dasar di desanya, pada tahun 1946. Pada tingkat menengah, beliau masuk pada jurusan syariah di damaskus selama 6 tahun. Pada tahun 1952, beliau mendapat ijazah menengahnya, yang di jadikan modal awal masuk pada fakultas Syari‟ah dan Bahasa Arab di Azhar dan fakultas Syariah di Universitas „Ain Syam dalam waktu yang bersamaan.24 Ketika itu Wahbah Zuhaili memperoleh tiga ijazah antara lain:

1) Ijazah B.A dari fakultas Syari‟ah Universitas al-Azhar pada tahun 1956.

2) Ijazah Takhassus pendidikan dari fakultas Bahasa Arab Universitas al-Azhar pada tahun 1957.

3) Ijazah B.A dari fakultas Syari‟ah Universitas „Ain syam pada tahun 1957.

Setelah mendapatkan tiga ijazah, beliau meneruskan jenjang pendidikannya ke tingkat pasca sarjana di Universitas kairo yang di tempuh selama dua tahun dan memperoleh gelar MA dengan tesis yang berjudul: “ al-Zira‟i fi al-Siyasat al-Syar‟iyyāt wa al-Fiqh al-Islām”. Beliau belum merasa

24Muhammad „Ali Ayazi, Mufassirūn Hayātuhum wa Manāhijuhum (Teheran Wizanah al-Tsaqafah wa al-Insyaq al-Islam, 1993) hlm. 684-685.

26

puas dengan pendidikannya, sehingga melanjutkan pendidikannya ke doktoral yang diselesaikannya pada tahun 1963 dengan judul desertasi “Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islami” di bawah bimbingan Dr. Muhammad Salam Madkur.

Pada tahun 1963, beliau di angkat sebagai dosen di fakultas Syariah universitas Damaskus dan secara berturut-turut menjadi wakil dekan, kemudian dekan dan ketua jurusan fiqh al-islami wa madzāhibīn fakultas yang sama. Beliau mengabdi selama lebih dari tujuh tahun dan dikenal alim dalam bidang fiqih, Tafsir dan Dirasah Islamiyah.25

b) Para Guru Wahbah al-Zuhaili

Adapun guru-gurunya ialah Muhammad Hasyim al-khatib as-Syafi‟i, (w. 1958) seorang khatib di masjid Umawi. Beliau belajar darinya fikih imam Syafi‟i, mempelajari ilmu fiqih Abd. Al-Razaq al-Hamasi (w. 1969 M), ilmu Hadits dari Mahmud Yassin (w. 1948 M), ilmu Faraid (waris) dan wakaf dari Judad al-Mardini (w. 1957 M), Hassan ash-shati (w. 1962 M), ilmu Tafsir dari Hassan Habnakah al-madani (w. 1978 M), ilmu Bahasa Arab dari Muhammad Shaleh Farfur (w. 1986 M), ilmu Ushul Fiqh dan Musthalah Hadits dari Muhammad Lufi al-Fayumi (w. 1990 M), ilmu Akidah dan Kalam dari Mahmud al-Rankusi.

Sementara selama di Mesir, beliau berguru pada Muhammad Abu Zuhrah, (w. 1395), Mahmud Shaltut (w.1963), Abdul Rahman Taj Isa Manun (1379) Ali Muhammad Khafif (w.1978 M), Jada ar-Rabb Ramadhan (w.1994 M), Abdul Ghani Abdul Khaliq (w. 1983) dan Muhammad Hafidz Ghanim. Di samping itu, beliau amat terkesan dengan buku-buku tulisan Abdul Rahman „Azam, seperti, “al-Risalat al-Khalidat” dan buku karangan Abu Hassan Nadwi yang berjudul “madza khasira „Alam bi Inkhithat al-Muslimin”.26

c) Karya-Karya Wahbah al-Zuhaili

Wahbah al-Zuhaili menulis buku, paper, dan artikel dalam berbagai ilmu Islam. Buku-bukunya melebihi 133 buah buku dan jika di campur dengan risalah-risalah kecil lebih dari 500 makalah. Satu usaha yang jarang di lakukan oleh ulama masa kini, seolah-olah dia merupakan imam as-suyuti kedua (as-suyuti al-Tsani) pada zaman ini. Diantara buku-bukunya/ karya-karyanya yang terpenting adalah sebagai berikut:

Al-Tafsîr al-Munîr fi al-Aqidah wa al-Syari‟ah wa al-Manhaj, (16 jilid), Dar al-Fikr, Damsiyq, 1991. Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islami, Dirasat

muqaranah, Dar al-Fikr, Damsyiq, 1963, îAl-Wasit fi usul al-Fiqh, Universitas

Damsyiq, 1966. Al-Fiqh al-Islami fi Uslub al-Jadid, Maktabah al-Haditshah,

26 http://www.abim.org.my/minda_madani/user info.php?uid, di akses 21 oktober 2015 jam 18.00 wib.

28

Damsyiq, 1967. Al-Nazhariat al-Darurat al-Syar‟iyyah, Maktabah al-Farabi, Damsyiq, 1969. Al-Nazhariat al-Damman, Dar al-Fikr, Damsyiq 1970.Al-Usul al-Ammah li Wahdah al-Din al-Haq, Maktabah al-Abassiyah, Damsyq, 1972 . Al-„Alaqat al-Dauliah fi al-Islam, Muassasah al-Risalah, Beirut, 1981. Al-Fiqh Islami wa Adilatuh, (8 jilid), Dar Fikr, Damsyiq, 1984. Ushui al-Fiqh al-Islami, (dua jilid), Dar al-Fikr, Damsyiq, 1986.

Mayoritas kitab menyangkut fikih dan ushul fikih. Tetapi, ia juga banyak menulis kitab tafsir seperti: al-Qur‟an syari‟ah al-mujtama‟.27 Tafsir

al-Wajiz.28 Al-Qissat al-Qur‟aniyyat: al- Hidayāt wa al-Bayān, Dar al-Khair,

Damsyq, 1992.29 Hal ini menyebabkan Syaikh Wahbah layak disebut ahli tafsir. Bahkan ia juga menulis tentang akidah, sejarah, pembaharuan pemikiran islam, ekonomi lingkungan hidup dan bidang lainnya. Jadi, Syaikh Wahbah bukan hanya seorang ulama fikih, tetapi ia juga seorang ulama dan pemikir Islam peringkat dunia.30

27

Saiful Amin Ghafur, profil para mufassir al-Qur‟an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008.) hlm. 175.

28

Ahmad al-Kaf Hudaya, Hawa dan Nafsu menurut al-Qur’an kajian Tafsir al-Munir, 2006, hlm.14

29 Ayurahayu2010.wordpress.com/tafsir al-munir-fi-al-„aqidah-wa-asy-syari‟ah-wa-al-manhaj-Wahbah-az-zuhayli, di akses 21 oktober 2015 jam 20 wib

30

Syabra Syatila dalam sebuah artikel “Syaikh Wahbah al-Zuhaili” di

3. Metode dan Corak Penafsirannya

Dengan mengamati beberapa metode yang terdapat dalam beberapa kitab „Ulum al-Qur‟an‟ secara metodis sebelum memasuki bahasan ayat, Wahbah al-Zuhaili pada setiap awal surat selalu mendahulukan penjelasan tentang keutamaan dan kandungan surat tersebut, dan sejumlah tema yang terkait dengannya secara garis besar. Setiap tema yang diangkat dan dibahas mencakup aspek bahasa, dengan menjelaskan beberapa istilah yang termaktub dalam sebuah ayat, dengan menerangkan dari segi-segi balaghat dan gramatika bahasanya.

Sehingga dengan demikian metode penafsiran yang dipakai adalah metode Tahlilli.31 karena beliau menafsirkan al-Qur‟an dari surat al-Fatihah sampai surat an-Nas dan memberi tema dalam setiap kajian ayat yang sesuai dengan kandungannya, seperti dalam menafsirkan surat al-Baqarah ayat satu sampai lima, beliau memberi tema sifat-sifat orang mukmin dan balsan bagi orang-orang yang bertakwa. Dan seterusnya sampai surat an-Nas selalu memberi tema bahasan di setiap kelompok ayat yang saling berhubungan.

Dan corak penafsirannya adalah al-Adabi, al-„Ijtima‟i (sastra dan sosial kemasyarakatan) serta al-Fiqh (hukuk-hukum islam). Hal ini dikarenakan Wahbah al-Zuhaili mempunyai basic keilmuan dalam bidang

31 Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Muniir fi al- aqadat wa al-Syari‟at wa al-Manhaj, juz I (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), 6.

30

fiqh. Namun, dalam tafsirnya beliau menyajikan dengan gaya bahasa dan redaksi yang sangat teliti, penafsirannya juga sangat disesuaikan dengan situas yang berkembang dan dibutuhkan ditengah-tengah masyarakat. Sedikit sekali dia menyebutkan tafsir al-„Ilmi, karena sudah disebutkan Dalam penulisan tafsirnya bahwa dia akan mengcounter beberapa penyimpangan tafsir kontemporer.

BAB III

SEKILAS TENTANG SURAT AL-BAQARAH AYAT 102

A. Telaah Kebahasaan

Surat Al-Baqarah ayat 102 berisi tentang kisah hārūt dan mārūt. Hārūt berasal dari kata harata yang berarti mencela, dan mencerca, menjadi luas, orang yang tak dapat menyimpan rahasia, dan berkata keji serta yang lebar sudut bibirnya. Sedangkan mārūt berasal dari kata al-Martu yang berarti tanah lapang yang tak bertumbuh-tumbuhan, tanah yang tak bertumbuh-tumbuhan serta badan yang tak berambut.1 Al-Quran menyebut hārūt dan mārūt hanya dalam surat Al-Baqarah ayat 102, yaitu:























































































































































1 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Pustaka Progressif, Surabaya, 1997, hlm. 1322 & 1499

32

“Dan Mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) denga istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka memperlajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya ( kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.

Ibnu Saiyidah menyatakan bahwa kata hārūt dan mārūt mengandung makna kehormatan. Ibnu Muqbal menambahkan bahwa ketika membentuk kata hurta mempunyai makna manusia yang lebar mulutnya. Ketika membentuk kata harit mempunyai makna orang yang tak dapat menyimpan rahasia serta berkata jelek. Sedangkan kata Harut sendiri ada dua kemungkinan, yaitu nama suatu malaikat dan raja Adapun pendapat yang lebih popular adalah malaikat.

Adapun kata mārūt sendiri dari kata al-martu yang berarti kebahagiaan tanpa hasil atau tanah gersang (tanah yang tidak ada tumbuh-tumbahan sama sekali) maupun badan yang tak berambut/berbulu. Sedangkan kata Marut sendiri termasuk nama non Arab. Kata al-Marmarit sendiri mempunyai arti bala’, musibah atau bencana yang hebat. Artinya Marut adalah orang yang membawa bencana yang besar.2

2

Al-Ashfahani sendiri mengemukakan bahwa hārūt dan mārūt terdapat dua pendapat, yaitu dua malaikat, sedangkan mufasir lainnya mengatakan sebagai suatu nama setan. Pendapat terakhir didukung oleh Abu Muslim Ashfahani serta al-Qurthubi. Hal tersebut berkaitan dengan anggapan orang-orang Yahudi yang mengemukakan bahwa Allah telah menurunkan Jibril dan Mikail dengan membawa sihir, akhirnya Allah menampik tuduhan tersebut.

Dilihat dari struktur kalimat ayat tersebut susunannya adalah dan tidaklah Sulaiman kafir serta apa yang dibawa oleh kedua orang tersebut, akan tetapi yang kafir adalah setan yang mengajarkan manusia tentang sihir di Babil. Adapun hārūt dan

mārūt adalah pengganti (substitute) dari setan.3

Berbeda dengan pendapat di atas, Muhammad Ali sebagaimana yang dikutip oleh Umar Hasyim menyatakan bahwa dhamir (kata ganti) huma kepada dua masalah, yaitu pertama kepada Nabi Sulaiman dan Jin „ifrit dan kedua kembali kepada malaikat Harut dan Marut. Sedangkan huruf mā, adalah mā nāfi, jadi berarti bahwa “ilmu sihir itu tidak diturunkan kepada kedua malaikat Harut dan Marut”.4

Hal senada juga disampaikan Muhyiddin al-Darwisyi bahwa “wa mā unzila ‘ala al-malakain” adalah athaf (mengikuti) obyek “yu’allimūna‟, yaitu sihir. Sedangkan Babil adalah suatu kota lama di sebelah timur Baghdad. Adapun Harut Marut merupakan badal (kata ganti) dari kata al-malakain. Lebih lanjut ia mengatakan

3 Al-Ashfahani, Mufradat Alfadh al-Qur’an, Dar al-Hadits, Washington Amerika Serikat, t.th., hlm 145.

4 Umar Hasyim, Syetan Sebagai Tertuduh dalam Masalah Sihir, Tahayul, Pedukunan dan Azimat, Bina Ilmu, Surabaya, 1985, hlm. 176.

34

bahwa ayat 102 dari surat al-Baqarah merupakan bagian dari ragam balaghah yang menunjukkan kepastian suatu ilmu, yaitu sihir serta adanya jimat-jimat, walaupun pada akhirnya Allah menegaskan Sulaiman serta melarang beredarnya ilmu tersebut. Artinya pada dasarnya. semua ilmu adalah Allah yang menurunkan dan boleh dilaksanakan, kecuali sihir yang sudah mendapatkan perintah sebagai suatu ilmu yang dilarang.5

Oleh karenanya apa yang dibawa oleh kedua orang tersebut (Harut dan Marut) adalah benar-benar sihir yang telah diajarkan kepada manusia di mana kegunaannya telah dibuktikan. Artinya kedatangan Nabi adalah untuk membersihkan praktek-praktek sihir tersebut. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan al-Qur‟an yang mengatakan bahwa Nabi Sulaiman tidaklah kafir, akan tetapi yang ingkar adalah setan (dalam hal ini sebagai kata ganti setan tersebut adalah kedua orang yang disebut Qur‟an, yaitu Harut dan Marut).

Adapun wujud sihir sendiri tidak terbantahkan oleh akal sehat manusia karena dilihat dari kenyataanya memang orang banyak mengatakan ada. Hal tersebut tidak lepas dari peran Harut dan Marut yang mengajarkan sihir kepada manusia, terutama pada masa Sulaiman yang sampai pada masa kejayaan Paris dan Rum banyak menganut serta mempraktekkan sihir, terutama dari masyarakat Kildanin serta Suryani.

5 Muhyiddin al-Darwisyi, I’rab al-Qur’an al-Karim wa Bayanuhu, Dar al-Irsyad li al-Syu’un al-Jami’iyah, Suriyah, 1994, hlm. 159-160.

Sihir lebih detail dijelaskan bahwa ia dapat diperoleh dengan melakukan latihan-latihan, yaitu dengan memusatkan perhatian pada bintang, setan dengan segenap upacara-upacara agung, ritual, merendahkan diri serta sujud kepada selain Allah. Oleh karenanya perilaku sihir adalah termasuk kufur atau ingkar.6

Adapun cerita yang menerangkan bahwa ada keterlibatan seorang wanita yang menjerumuskan kedua orang yang taat beribadah yaitu Harut dan Marut dengan cara menggoda serta berzina yang pada akhirnya kedua orang tersebut mengucapkan ism al-a’dham kepada wanita tersebut. Akhirnya wanita tersebut membacanya dan langsung dapat terbang serta menjadi bintang yang gemerlapan di langit adalah hasil-hasil dari cerita Israiliyat yang tidak diketahui otentisitasnya. Karena dari banyak kritikus hadits menyatakan bahwa dari jalur periwayatan hadits banyak kelemahan, sehingga riwayat yang menerangkan keberadaan serta keterlibatan wanita tersebut masih dipertanyakan dan lebih mengarah pada lemahnya hadits.7

Al-Zamakhsyari berpendapat bahwa lafadh harut marut adalah mengikuti (athaf) lafadh sebelumnya, yaitu sihir, sehingga keduanya merupakan badal (pengganti) dari lafadh al-malakain. Ada juga yang menyatakan bahwa al-malakain

6 Al-Qanuji, Abjad al-Ulum, Abu al-Nur, Damaskus dalam Dar al-Hadits, Washington Amerika Serikat, t.th., hlm 120.

7 Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Dar al-Hadits, Washington Amerika Serikat, t.th., hlm 85.

36

adalah athaf pada wa ittaba’u. Ini artinya mempelajarinya akan tetapi tidak untuk diamalkan, maka orang tersebut masuh dalam kondisi mukmin.8

Al-Thaba‟thabai juga berpendapat bahwa lafadh mā unzila terdapat dua pemahaman. Pertama: kata mā merupakan isim maushul serta athaf, yaitu kata benda yang menghubungkan antara satu obyek dengan obyek yang lain. Ini berarti kedua orang tersebut (Harut dan Marut) memang mengajarkan sihir kepada manusia. Kedua: kata ma adalah nafi/ negasi (ingkar), yang berarti dan tidak diturunkan sihir kepada kedua orang tersebut.

Lebih lanjut al-Thaba‟thabi lebih cenderung kepada pendapat bahwa lafadh al-malakain dibaca fathah. Hal tersebut disandarkan pada kalimat sesudahnya, yaitu innamā nahnu fitnatun falā takfur. Jadi kedua malaikat tersebut hanya menjalankan tugas dari Allah, yaitu sebagai ujian kepada manusia.9

Itulah keragaman pemahaman lafadzh harut dan marut, yang tidak terlepas dari kata sebelumnya yaitu al-malakain. Pemahaman inilah yang melandasi perbedaan dalam menafsirkan harut dan marut, apakah keduanya merupakan dari jenis manusia, atau malaikat.

8Abu al-Qasim Mahmud bin Umar al-Zamakhsyari al-Khawarizy, al-Kasysyaf, Dar al-Fikr, Beirut, t.th., hlm. 301

9 Muhammad Husain, al-Thaba‟thab‟i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, tp., Beirut, t.th., Juz I, hlm. 230-231 16

B. Asbab al-Nuzul dan Komentar Para Ulama

Islam dalam menanggapi permasalahan klasik yang selalu mencuat baik dalam agama Yahudi maupun Nasrani yang dikatakan bahwa mereka adalah malaikat yang durhaka dan mengajarkan sihir kepada manusia adalah dengan adanya ayat yang telah diturunkan Allah dalam surat al-Baqarah: 102.

Ayat tersebut secara jelas menyatakan bahwa posisi dan tugas dari kedua malaikat yang diturunkan ke negeri Babil adalah sebagai ujian belaka, yang membawa pengetahuan akan ilmu sihir, yang di antara fungsinya adalah mampu mencerai-beraikan hubungan suami istri. Sehingga dengan adanya cerita yang mengatakan bahwa Harut dan Marut adalah malaikat yang memberontak, adalah tidak berdasar sama sekali.10

Hal ini disebabkan malaikat tidak diberi nafsu syahwat dan karena manusia dikaruniai kemauan (syahwat) serta pengetahuan di mana malaikat tidak memiliknya, maka manusia lebih tinggi dari pada malaikat, keunggulan manusia ini dibuktikan dengan adanya kenyataan bahwa malaikat disuruh bersujud kepada manusia.

Al-Qur‟an menyebut kata Harut dan Marut hanya pada satu tempat, yaitu pada surat al-Baqarah ayat 102. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Syahr bin Hausab, ayat tersebut turun berkaitan dengan pertanyaan orang-orang Yahudi yang menuduh Nabi Muhammad yang mencampur-baurkan antara yang hak dan

10 Maulana Muhammad Ali, Islamologi (Din al- Islam), Terj R. Kaelani & Bachrun.,Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1977, hlm. 120

38

yang batil yaitu menerangkan Nabi Sulaiman digolongkan sebagai Nabi dimana anggapan mereka bahwa sulaiman seorang ahli sihir yang mengendarai angin. Maka Allah menurunkan ayat 102 Surat al-Baqarah yang menegaskan bahwa kaum yahudi lebih mempercayai syaitan dari pada iman kepada Allah.11

Dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Abul „Aliyah, dikemukakan bahwa kaum yahudi bertanya kepada Nabi SAW. tentang beberapa hal dalam Taurat . Semua pertanyaan mengenai isi taurat, dijawab oleh Allah dengan menurunkan ayat. Ketika itu mereka menganggap bahwa ayat tersebut dirasakan sebagai bantahan terhadap mereka. Diantara masalah yang ditanyakan kepada Nabi SAW. ialah tentang sihir dan mereka berbantah-bantahan dengan Rasulullah tentang masalah tersebut.12

Kaum Yahudi didalam upaya memojokkan posisi Nabi, mereka menciptakan gerakan yang menghalangi agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Mereka meminta pertolongan kepada setan dan jin untuk melakukan sihir, jampi-jampi dan klenik yang mereka nisbatkan kepada Nabi Sulaiman. Mereka menduga bahwa kerajaan Nabi Sulaiman dibangun berdasarkan hal-hal tersebut.

Kebatilan-kebatilan yang mereka lakukan ini digunakan untuk mengelabuhi kaum muslimin, sehingga ada sebagian mereka yang percaya dan menolak tuduhan-tuduhan yang mengkafirkan mereka.

11 Q. Shaleh, H.A.A. Dahlan, M.D. Dahlan, Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya ayat-ayat al-Qur’an, CV.Penerbit Diponegoro, Bandung, 2000, hlm. 27

12 Abdurrahman al-Kamal Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Dur al-Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur, Dar al-Fikr, Beirut, t.th., hlm. 234

Al-Qur‟an menyajikan cerita ini agar dijadikan sebagai peringatan bagi umat Islam. Disamping itu juga merupakan penjelasan tentang apa yang dilakukan oleh budak-budak nafsu terhadap diri Nabi Sulaiman. Mereka justru menggunakn sihir yang dinisbatkan kepada Nabi Sulaiman sebagai alasan untuk tidak mengamalkan agama dan hukum-hukumnya. Dan karenanya, tidaklah mengherankan jika mereka tidak mau menggunakan petunjuk Nabi Muhammmad SAW. yang telah diberikan didalam kitab mereka. Maka Allah menurunkan ayat 101 dan 102.13

Ini artinya ayat di atas yang berkaitan dengan orang Yahudi serta orang munafik yang menyatakan keingkarannya atas kenabian Sulaiman, akhirnya Allah menolak alibi yang disampaikan orang-orang Yahudi serta orang Munafik dengan menurunkan ayat tersebut. Hal tersebut berawal dari berkataan para pendeta Yahudi yang menyatakan bahwa Sulaiman ibn Dawud bukanlah Nabi, demi Allah dia adalah seorang penyihir. Inilah yang melatarbelakangi ayat tersebut.14

C. Berbagai pandangan para Ulama tentang Harut dan Marut

Adanya dua pendapat yang berlawanan berangkat dari pemahaman akan kata al-malakain, karena bacaan ini ada dua macam qira’ah. Ibnu Abbas membacanya dengan kasrah, yaitu al-malikain yang berarti dua raja dan ahli qira‟ah yang lain membaca dengan fathah, yaitu al-malakain yang berarti dua malaikat.

13 Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, CV. Toha Putra, Semarang, 1992, hlm.327-328

14

40

Adanya beberapa pendapat di kalangan ulama Islam berkaitan dengan Harut dan Marut, yaitu:

a. Harut dan Marut adalah benar-benar malaikat dan taat kepada Allah seperti malaikat yang lain. Pendapat inilah yang paling masyhur di kalangan mufasir. Hal ini disandarkan pada dua bacaan dalam kalimat al-malakain, yaitu dibaca fathah pada huruf lam-nya (jumhur ulama) serta dibaca kasrah.

b. Harut dan Marut adalah manusia biasa, bukan malaikat dan bukan raja. Tetapi kedua-duanya dipandang oleh masyarakat pada waktu itu sebagai malaikat karena kesalehan dan ketakwaannya atau dipandang sebagai raja, karena pengaruh dan wibawanya sehingga kedua-duanya sangat dihormati dan ditaati oleh masyarakat. Pendapat ini disandarkan pada pembacaan al-malikain, yaitu dengan dibaca kasrah pada huruf lamnya. Bacaan ini dipelopori oleh Ibnu Abbas, Hasan, Abu Aswad dan al-Dhahak.15

Malaikat pada dasarnya adalah immateri, terkadang juga menampakkan dirinya sebagimana manusia biasa. Sebagaimana contoh ketika Nabi Ibrahim didatangi tamu yang ketika disuguhi makan mereka tidak mau. Dengan demikian, karena manusia juga mempunyai unsur immateri, yaitu roh, maka pada dasarnya di

15

balik bentuk fisik manusia, unsur ke-Ilahi-an (immateri) adalah sangat mungkin untuk bisa bertemu dengan unsur malaikat yang sama-sama immateri.16

Akhirnya untuk menjaga ke-ma’shum-an inilah banyak para ulama‟ lebih

Dalam dokumen HARUT DAN MARUT DALAM AL- QUR AN (Halaman 39-109)

Dokumen terkait