• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERJALANAN SUARA PERS DI TAPANULI

Dalam dokumen Pers Di Tapanuli 1945 – 1950 (Halaman 26-53)

2. 1. Latar Belakang Munculnya Pers di Tapanuli

Salah satu unsur yang berperan penting dalam menyebarkan informasi serta menumbuhkan kesadaran sekaligus memberi motivasi tentang sesuatu tujuan bagi rakyat adalah pers. Kemampuan yang dimiliki oleh pers dalam menyampaikan informasi kepada seluruh rakyat Tapanuli dalam jangka waktu yang singkat tidak diragukan lagi, oleh karena itu pers atau dalam hal ini surat kabar di Tapanuli berperan aktif sebagai penyebar informasi mengenai seluruh kegiatan ataupun kebijaksanan yang pernah dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda pada masa itu. Disamping itu rakyat juga dapat menjadikan pers sebagai sarana penyalur aspirasi dan pendapat, melakukan kritik (kontorl sosial) terhadap penguasa kolonial di Tapanuli dengan memuat berita-berita yang dianggap penting bagi kepentingan rakyat Tapanuli.

Menyadari sepenuhnya bahwa media massa (surat kabar), mempunyai tugas utama sebagai penyebar luas informasi kepada khalayak ramai, maka peranan dan tanggung jawab ini sesungguhnya tidak terlepas dari peran wartawan dalam mengumpulkan, meliput dan sekaligus menulis berita yang pada akhirnya akan disampaikan kepada para pembacanya di Tapanuli.

Awal kemunculan pers di Tapanuli maupun di daerah lain di Nusantara tidak terlepas kaitannya dengan keadaan pada masa kolonial Belanda. Pada masa itu pers muncul sebagai akibat dari kegiatan perdangan yang membuat orang membutuhkan informasi bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Pada masa itu konsep nasionalisme

sengaja dikesampingkan, sehingga sebagian surat kabar isinya bersifat keagamaan dan kesukuan.

Pada tahun 1906, pengawasan preventif terhadap pers telah ditiadakan lagi. Hal ini dilatarbelakangi karena telah terbukanya kebebasan pers di daerah jajahan Belanda pada waktu itu, sehingga ada anggapan bahwa dunia persuratkabaran sudah dapat menguasai pengaruh peraturan preventif tersebut. Oleh karena itu situasi baru juga ikut mendorong terlaksananya hak preventif tersebut. Menjelang akhir abad ke 19, seorang tokoh politik terkenal Belanda yang bernama Van Deventer melakukan pendobrakan terhadap kekolotan yang dilakukan oleh bangsanya sendiri. Hal ini diupayakan lewat ungkapan bahwa sesungguhnya Belanda telah berhutang budi terhadap rakyat Indonesia, untuk itu mereka wajib membayarnya. Maka pada tahun1903 parlemen Belanda menerima undang-undang desentarlisasi yang isinya adalah membuka kesempatan bagi daerah-daerah jajahan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri khususnya di bidang ekonomi. Maka hak berserikat dan berkumpul perlu diberikan dengan diadakannya dewan-dewan perwakilan, hak tersebut intinya adalah untuk menyatakan pendapat secara tertulis atau dengan media apapun termasuk salah satunya surat kabar6

Perkembangan yang dilakukan oleh persuratkabran di Tapanuli dari waktu ke waktu, tentu saja semuanya mengarah pada tujuan politik perjuangan yakni keinginan terbebas dari penguasa kolonial Belanda. Banyaknya surat kabar yang terbit di Tapanuli setelah kebangkitan nasional, tentu saja berita yang disampaikan tidak lagi sebagai

suara-.

2. 2. Beberapa Surat Kabar Pada Masa Kolonial

6

Moh Said, Sejarah Pers Sumatera Utara Dengan Masyarakat Yang dicerminkan (1885- Maret 1942), Medan : Percetakan Waspada , 1976, hlm. 65.

suara milik Belanda atau pun bagi pendatang Tionghoa tetapi isinya banyak memuat berita mengenai bidang ekonomi baik perdagangan maupun sengketa tanah rakyat, melainkan sudah mengarah pada pemberitaan tentang kepentingan republik, khususnya seputar peristiwa yang terjadi di Tapanuli. Kendatipun Sibolga, Tarutung, Balige dan Padang Sidempuan merupakan kota kecil, namun tidak pernah sepi dari penerbitan surat kabar, karena pada masa itu banyak surat kabar yang pernah terbit di masing-masing wilayahnya. Oleh karena itu orientasi pemberitaannya juga berbeda, antara lain ada yang mengarah pada bidang ekonomi, politik, sosial, dan agama yang akhirnya mengarah ke orientasi tentang cita-cita perjuangan kemerdekaan Indonesia.

2. 2. 1. Postaha

Pada tahun 1914 tidak lama setelah Soetan Casayanang Soripada kembali dari negeri Belanda, maka diterbitkanlah sebuah majalah berbahasa Batak di Padang Sidempuan yang bernama “Poestaha”. Pada kepala surat kabar tersebut terdapat pernyataan Soetan Casayang yang mengatakan bahwa “na ni togoe-togoe ni naoeli

boeloeng Soetan Casayang Soripada”. Penerbit Mangaradja Bangoen yang berasal dari

Padang Sidempuan dan pembantu redaktur bernama Mangradja Tagor Moeda Kemampuan yang dimiliki oleh surat kabar ini tidak kuat untuk membiayai hidupnya sendiri ketika itu. Maka selanjutnya beliau menjadi guru sekolah di Bukit Tinggi, dari sana dikirim karangan-karangan untuk mengisi pemberitaan Poestaha. Dalam perkembangannya surat kabar ini diasuh dengan baik dan akhirnya berhasil masuk dan diterima di kalangan rakyat, yang walaupun oplahanya tidak lebih besar dari 500 eksemplar. Akhirnya pada tahun 1930, surat kabar Poestaha berhenti dalam penerbitannya lantaran kurangnya biaya administrasi.

2. 2. 2. Tapian Na Oeli

Pada tahun 1919 terbit pula sebuah surat kabar bernama “Tapian Na Oeli”, dengan semboyannya “soposio rantjangna godang, paradatan paroehmaen, inganan ni

ratigoran, parosoe-roesoeon nihoela dohot dongan”. Model surat kabar ini mempunyai

format setengah bentuk surat kabar biasa dengan satu setengah lembar, yang terbit 2 kali seminggu. Penerbit surat kabar tersebut adalah Koeriabond di Sibolga dan yang menjadi redakturnya atau Veranwoor delijk yang bernama Achmad Amin, yang pernah menjadi redaktur surat kabar di Pematang Siantar. Surat kabar ini menggunakan bahasa Indonesia dalam pemberitaannya namun sebagian lagi memakai bahasa Batak. Dalam perjalanannya, tidak beberapa lama setelah surat kabar ini terbit, pemimpin redaksinya Achmad Amin mendapat masalah sehubungan dengan karangannya yang berjudul “B” (tidak diketahui apa isi beritanya). Oleh karena itu beliau dihadapkan ke pengadilan rapat di Sibolga, dimana beliau dikenakan sanksi berupa denda sebesar f 200 atau ganti 40 hari kurungan, karena melanggar pasal 156 Hukum Pidana Hindia Belanda (Wetboek

Strafrecht Voor Ned Indie).

Dengan beritanya, Achmad Amin membuat suatu peristiwa yang unik yang merupakan bagian dari catatan sejarah juga. Dimana di depan sidang beliau mempertahankan bahwa karangannya yang menjadi perkara dimuat karena disuruh oleh Mangradja Soangkoepon seorang penasehat koeria Bond, penerbit Tapian Na Oeli dimana beliau itu sendiri yang menjadi tim redaksinya. Tidak puas dengan tuduhan yang dilontarkan oleh Achmad Amin, akhirnya ia bersumpah dimesjid pada hari Jumaat. Maka akhirnya Amin pun dijatuhi hukuman, oleh karena itu kasus ini dijadikan sebagai bahan

diskusi oleh sarjana orientalis Belanda yang mengatakan bahwa mengucapkan sumpah di mesjid tidak dibutuhkan oleh hukum Islam.

Ketika tahun 1920, surat kabar Tapian Na Oeli dalam pemberitaannya terbit dengan mempergunakan slogan ‘rawe-rawe rantas’ dan akhirnya penerbitannya berakhir, hal ini disebabkan karena terbitnya surat kabar baru di Sibolga bernama Hindia Sepakat 2. 2. 3. Hindia Sepakat

Pada tanggal 31 Agustus 1920, terbit sebuah surat kabar baru di Sibolga bernama Hindia Sepakat, yang terbit setiap hari Selasa, Kamis dan Sabtu, dibawah penerbitan

N.V.Handel Maatschappij Boekhandel en Drukkerij Kemadjoan Bangsa Sibolga, dengan

direkturnya Dja Endar Bongsoe, sedangkan yang menjadi pemimpin redaksinya adalah Abdul Manap gelar Mangaradja Hoetagogar, sementara yang menjadi redakturnya adalah Achmad Amin7

7

Abdul Manap berasal dari seorang pendidik dan pernah menjadi Onder Wijer (kepala sekolah di Lokseumawe), kemudian beliau pindah ke Sibolga lalu terjun dalam bidang pergerakan rakyat, dalam kedudukannya itu beliau berhasil menjadi anggota dewan local di Padang Sidempuan. Ibid., hlm. 85.

. Surat kabar ini mempunyai sebuah slogan yang cukup membawa pengaruh terhadap upaya perkembangannya yakni “penjokong dan pembantoe

kemadjoean jang lajak bagi koetamaannja bangsa dengan pendoedoek”. Dalam

perkembangan selanjutnya surat kabar ini cukup memberi kesan yang dapat dipercaya oleh para pembacanya, hal ini disebabkan karena tulisan-tulisan yang dimuat oleh pimpinan redaksi cukup berani serta berjiwa kerakyatan. Hal ini tercermin dari kata-kata

‘sama rata dan sama rasa’ yang selalu diperhatikan dalam memuat berita. Dalam setiap

tulisannya surat kabar ini juga memakai istilah-istilah dalam bahasa Indonesia seperti pemakaian kata ralat, lajur, dan istilah ruas untuk kata ganti alinea. Oleh karena ituhal ini menunjukkan adanya kenginan dari si pemimpin untuk memperkaya pemakaian kata

dalam bahasa Indonesia, dengan tujuan agar fungsinya dapat lebih ditingkatkan menjadi bahasa pers dalam arti luas.

Dalam setiap pemberitaannya surat kabar Hindia Sepakat selalu memuat tulisan yang mengandung ungkapan rasa nasionalisme terhadap bangsa, seperti judul tulisan

“sayangilah bangsamu, dan cintailah tanah airmu’yang ditulis oleh tim redaktur

Achmad Amin. Selain tulisan beliau terdapat juga tulisan seorang tokoh yang cukup terkenal di Tapanuli ketika itu bernama Soetan Koemala Boelan, dimana beliau sering memuat tulisan dan kritikan yang bernada tajam kepada pihak Belanda. Berikutnya ada juga yang bernama Parada Harahap beliau adalah anggota pimpinan redaksi wartawan. Beliau pernah memuat tulisan dalam surat kabar Hindia Sepakat, tulisannya mengarah pada peraturan pidana yang baru berlaku pada waktu itu dengan judul ‘pers dengan artikel 315 Wetboek Van Strafrecht’. Tulisan dari Parada Harahap mencatat perubahan kedudukan seorang wartawan yang apabila dituntut pasti selalu dihadapkan kepada pengadilan rad justisi, maka dengan adanya peraturan baru tersebut setiap wartawan tertuduh tidak lagi dibawa ke pengadilan Rad Justisi tetapi ke lanrat atau magi

straatsgerecht atau ke tempat rapat.

Dalam langkah selanjutnya, di Sibolga Abdul Manap terkenal sebagai seorang tokoh pemimpin rakyat dan namanya sangat populer dalam mengatasi setiap permasalahan, bahkan namanya terkenal sampai ke Loekseumawe untuk itu beliau diminta untuk datang kesana, namun dalam pemberitaan sebuah surat kabar dikatakan tidak boleh sembarangan untuk masuk ke Aceh karena adanya peraturan ‘passenstelsel’. Peranan yang ditunjukkan oleh Abdul Manap dapat terlihat dari keikutsertaannya dalam memprakarsai suatu peraturan rakyat Sumatera yang akhirnya dilaksanakanlah rapat

raksasa di Sibolga. Sebagai seorang pemimpin beliau sangat disegani dan dihormati oleh rakyat karena dianggap dapat mengatasi setiap permasalahan dalam setiap organisasi Syarekat Islam di Sibolga. Dalam setiap pemberitaanya, surat kabar Hindia Sepakat dikenal sebagai surat kabar yang cukup ekstrims serta dicap sangat radikal, hal ini disebabkan karena surat kabar tersebut banyak menentang tindakan-tindakan pihak kolonialisme Barat di Tapanuli.

Pada akhir tahun 1921 Abdul Manap dihadapkan ke pengadilan rapat di Sibolga atas tuntutan penyelidikan terhadap tulisan yang berjudul ‘Madona’, yang dimuat dalam surat kabar Hindia Sepakat pada tanggal 28 Oktober tahun 1920 no 13, yang isinya mengecam praktek residen Vortsman. Oleh karena itu Abdul Manap tidak bersedia untuk memberikan penjelasan siapa sebenarnya penulis dari karangan Madona tersebut, bahkan ia tidak bertanggung jawab terhadap semua tulisan yang dimuat oleh surat kabar Hindia Sepakat8

Di dalam pengadilan tersebut ia menolak untuk duduk dibangku persidangan, maka ia hanya berdiri dan akhirnya Abdul Manap dijatuhi hukuman 1 tahun penjara, tetapi beliau naik banding dan oleh pihak pengadilan dia hanya dihukum 3 bulan penjara, di penjara Cipinang Jakarta. Oleh karena itu, maka surat kabar Hindia Sepakat akhirnya dipimpin oleh Abdul Xarim, beliau merupakan bekas pimpinan N.I.P yang berada di Langsa yang sebelumnya pernah berhenti dari B.O.W di Padang. Selama memimpin surat kabar ini, Abdul Xarim pernah mengalami masalah dalam pemberitaannya, oleh karena

8

Surat kabar ini dicetak di Tapanuli pada percetakakan Tapanoeli Drukkerij, pada penerbitan pertamanya Xarim berkomunikasi dengan pembacanya dimulai dengan ucapan ‘Assalamoe Alaikoem’. Di bagian atas surat kabar itu bersemboyan Chotbah Merdeka, dan kata perkenalannya berjudul Matahari Terbit yang menyebutkan bahwa Indonesia harus dimerdekakan oleh Nederland dan mudah-mudahan dikabulkan oleh Allah Tuhan Yang Maha Kuasa, beliau juga menganjurkan agar bangsa Indonesia jangan dianggap sebagai timun terhadap Belanda, tetapi sebaliknya Indonesia harus dapat menjadi durian terhadap siapa pun. Ibid., hlm. 96.

itu beliau harus berurusan dengan pihak yang berwajib untuk mempertanggung jawabkan tindakannya. Maka akhirnya Xarim dan rekannya Pedo Al Mansur berhenti dari surat kabar tersebut dan selanjutnya mereka kembali ke Langsa untuk menerbitkan sebuah surat kabar baru bernama ‘Oetoesan Raiat’.

2. 2. 4. Sinar Merdeka

Parada Harahap merupakan orang ke-2 di Sumatera Utara yang menggunakan kata atau istilah “Merdeka” pada nama surat kabarnya. Hal ini menunjukkan bahwa Parada Harahap sejak zaman kebangkitan sudah memiliki kesadaran yang kuat untuk segera menjadi bangsa yang merdeka. Maka keinginan beliau pun segera terwujud dengan menerbitkan sebuah surat kabar ternama yakni ‘Sinar Merdeka’ pada tahun 1914 yang terbit di Padang Sidempuan. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan persuratkabaran selanjutnya, maka Parada Harahap ikut aktif dalam menceritakan suka dan duka diawal permulaan kegiatannya pada waktu itu.

Parada Harahap merupakan seorang sosok yang selfmademen/otodidak, sejak dari masa mudanya Parada Harahap sudah terlihat aktif dalam arti ingin mengetahui apa saja tentang sesuatu yang belum pernah diketahuinya. Maka di Padang Sidempuan, sebuah kota yang tidak terlalu jauh dari kampung halaman atau tempat kelahirannya (Pargarutan), sudah terbit sejak tahun 1914 sebuah mingguan berbahasa Batak bernama ‘Postaha’, dan dari penerbitan inilah Parada Harahap telah mengenal surat kabar sejak ia masih kecil.

Dalam perkembangan selanjutnya, dengan pengetahuan yang sederhana timbul keinginan dalam hatinya untuk segera merantau dari Tapanuli ke Sumatera Timur pada tahun 1916. Maka akhirnya ia bekerja menjadi krani pada perkebunan Soengai Dapdap

milik H.A.P Mij, sebuah kantor besar Boenoet di daerah Kisaran. Dari sini beliau mengirim berbagai tulisan ke Pewarta Deli, dan dengan memakai nama terang ‘Parada Harahap Soengai dadapeer’. Maka akhirnya beliau dikenal oleh para pembaca surat kabar karena tulisannya yang pernah dimuat oleh harian Pewarta Deli yang berjudul “Ach, naib

Bangsaku”, yang membahas mengenai persoalan ekonomi dimana ia telah mengatakan

kelemahan posisi bangsa Indonesia dalam menghadapi pihak asing terutama orang Tionghoa. Parada Harahap juga menyoroti soal masalah perkawinan bangsa Indonesia yang dikatakannya terlalu cepat menikah, namun akhirnya beliau tidak betah tinggal di Kisaran dan akhirnya pindah ke Medan dan tinggal di Krugerstraat 12. Selanjutnya muncul keinginan darinya untuk segera membangun sebuah ormas perkebunan dan akhirnya pada tanggal 16 November 1918 ia berhasil mengumpulkan para anggota untuk membentuk sebuah organisasi perkebunan dengan nama ‘Estate Klerken Bond’, maka dari usahanya tersebut terbitlah sebuah majalah pembawa suara karyawan bernama “De

Cranie”. Disamping itu beliau juga mensponsori penerbitan sebuah majalah khusus

wanita, dimana seorang tokoh wanita yang menjadi guru bernama Tengku A. Sabariah sangat tertarik dengan rencananya tersebut, maka terbitlah nomor percobaan pada tanggal 15 Mei 1919 dengan direksinya adalah T.A Sabariah dan redaksinya bernama Butet Satidjah dan tim pembantunya adalah A.S Hamidah, sedangkan yang menjadi pemimpin umumnya adalah Parada Harahap sendiri, selanjutnya setelah beliau menikah dengan istrinya bernama Setiaman, maka nama istrinya pun ikut tercantum dalam dewan redaksi9

9

Wawancara dengan Mangaraja Siahaan tanggal 12 April 2008 di Sibolga

Merasa tidak puas tinggal di Medan dengan segala kegiatannya itu, akhirnya Parada Harahap kembali ke Tapanuli dan menjadi pemimpin redaksi surat kabar berbahasa Batak bernama Poestaha. Sambil memimpin mingguan tersebut, Parada Harahap berhasil membangkitkan animo Mangradja Bangun Batari yang merupakan direktur ‘N.V.Partopan Tapanoeli’, untuk segera menerbitkan surat kabar baru, maka lahirlah surat kabar Sinar Merdeka. Disini Parada Harahap mulai menonjolkan bakatnya sebagai pejuang pena. Dalam penerbitan surat kabarnya nomor pertama pada tanggal 3 Agustus, beliau mendapatkan masalah yang akhirnya harus dirasakannya juga, karena menjelang surat kabar tersebut terbit sudah banyak bahan-bahan yang terkumpul di mejanya. Satu diantara berita tersebut adalah kasus seorang manteri-polisi Sutan Naparas di Sipirok.

Dalam kasus ini Parada Harahap banyak mengungkapkan sisi buruk dari Sutan Naparas yang juga sangat kejam. Pengalaman pahit yang didapatkan oleh Parada Harahap selama beliau mendirikan surat kabar ini, bukan merupakan suatu penghalang baginya untuk tetap menerbitkan berita pada masa itu. Beliau juga merupakan salah satu tokoh pers yang paling sering diperkarakan dan diadili oleh pemerintah kolonial Belanda, namun sedikit pun tidak terlihat kegentaran dihatinya. Hal ini dilakukan dengan mengancam kesombongan penjajahan, yang dimuat dalam satu tulisannya yang mengatakan bahwa ‘kontrolir Belanda Van de Meulen ini adalah tidak lebih muda dari

seorang babu yang menjaga anak-anak’, oleh karena itu dari pemberitaan ini akhirnya

menimbulkan pertengkaran antara Parada Harahap dengan Belanda. Sejak berita itu diturunkan ada saja hantaman dan masalah yang dilancarkan oleh pihak Belanda terhadapnya. Selain berita itu, Parada Harahap juga pernah menulis dan menceritakan

dalam surat kabarnya bahwa beliau pernah ditangkap di tengah jalan sehinnga dia tidak diperbolehkan untuk pulang. Parada Harahap akhirnya ditahan dalam tahanan selama 2 hari, selanjutnya dia di keluarkan kembali karena berita yang dimuatnya telah dibaca oleh Residen yang menyebabkan Residen tersebut turun tangan.

Akibat dari tindakan pemerintah kolonial Belanda terhadap dirinya, selanjutnya bukan membuat beliau menjadi jera bahkan berita-berita yang dimuat oleh surat kabarnya pun semakin radikal dan sangat keras menghantam pemimpinan Belanda di Tapanuli. Oleh sebab itu hal ini sangat dirasakan di kalangan pegawai-pegawai Belanda, untuk itu mereka menjadi sangat hati-hati terhadap apa saja yang dimuat oleh surat kabar Sinar Merdeka, sebab berita itu akan sampai kepada parket pokrol jendaral (Jaksa Agung). Setiap nomor yang terbit selalu saja ada terdapat kolom yang digaris merah dan dikirim kepada pembesar justisi Belanda. Oleh karena itu wajar saja kalau masyarakat rendahan Suara Merdeka menjadi tumpuan harapan untuk menyampaikan segala keluh kesah mereka dan ratap tangis terhadap perbuatan serta tindakan sewenang-wenang para pegawai-pegawai Belanda. Dimana saat itu Tapanuli dalam suasana gelap dari keadilan. Tampilnya Parada Harahap oleh rakyat dianggap sebagai pahlawan pena yang sangat berperan dalam merebut kemenangan di medan perang. Selama 2 tahun Parada Harahap berada di Padang Sidempuan, maka tidak kurang 12 kali beliau menghadapi delik pers. Untuk itu tidak kurang dari 7 bulan juga ia harus keluar masuk penjara.

2. 2. 5. SOARA BATAK

Tepat bulan November 1919 lahirlah sebuah surat kabar bernama “Soara Batak”. Surat kabar ini diterbitkan oleh Saban Sabtu oleh suatu badan hokum yang sengaja dibentuk sebagai oleh N.V. Soara Batak yang terbit di Tarutung. Tujuan dari penerbitan

surat kabar ini adalah sebagai pembawa suara kumpulan “Hatopan Kristen Batak”. Surat kabar ini kemudian dicetak oleh Philemon bin Haroen Siregar di Tarutung, sedangkan yang menjadi pimpinan redaksinya adalah M.H Manulang, beliau adalah seorang tokoh yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Tapanuli sebagai pemimpin rakyat, dimana sebelumnya beliau juga pernah mendirikan surat kabar tersebut di Balige.

Terkesan dari nomor permulaan awal terbitnya, surat kabar ini lahir karena hasil dorongan hati yang keras supaya daerah tanah Batak memiliki sarana media pers sendiri. Soara Batak lahir karena masyarakat Kristen Batak di Tapanuli sudah mulai jenuh dan bosan terhadap dominasi yang berasal dari Rijnsche Zending, yakni sebuah organisasi Kristen Protestan yang berpusat di Barmen Jerman. Sehubungan dengan kesediaan pemerintah Hindia Belanda untuk menyerahkan konsesi perkebunan besar asing di wilayahnya kepada H.V.A.(Handles Vereeniging Amsterdam) yang sudah terdengar beritanya sejak tahun 1916 dan akhirnya terjadi juga. Oleh karena itu masyarakat Tapanuli hanya bisa terdiam melihat tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda di Tapanuli, khususnya bagi masyarakat di bagian Utara yang merupakan penduduk asli Batak yang homogen terhadap hukum-hukum adat yang sudah mereka rasakan dari abad ke abad. Maka dari itu, melalui surat kabar Soara Batak akhirnya M.H. Manullang berusaha untuk ikut bergerak memperjuangkan segala tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda yang dianggap telah merugikan rakyat Tapanuli. Perasaan anti kolonialisme M.H. Manullang sangat tajam sebagaimana dapat dilihat pada kupasan berikut:

“Saudara-saudara kita jang menjadi koeli selamanja hidoep sebagai kerbau

pedati dan kerbau badjak, kena hantam poekoel, tjoetji maki dan berbagai siksaan kaoem planters (toean-toean keboen) sedjak dari ketjil sampai chef-nja semoea memandang sebagai perkakas jang tidak berperasaan boleh dipengapakan sadja”.

Gaya tulisan M.H. Manullang memang bisa dibilang provokatif untuk ukuran masa itu. Barangkali ini juga sebagai cerminan dari tipologi masyarakat Batak yang kalau bicara biasanya lugas dan tagas. Ketika Soara Batak pertama kali terbit, surat kabar ini juga sudah langsung menyatakan solidaritasnya dan menyindir pedas atas penangkapan dan penahanan terhadap Parada Harahap. Sebagaimana diketahui, Parada Harahap dikenal sebagai raja delik pers dari Sumatera Utara.

Kehidupan bermasyarakat dan berpolitik yang ia lalui selama tujuh tahun (1910-1917) di Pulau Jawa, membuat MH Manullang cukup matang untuk berjuang melawan kekejaman pemerintah kolonial dan gaya otoriterisme petinggi Zending. Pergaulannya dengan tokoh-tokoh Syarikat Islam seperti, H. Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, dan Abdul Muis telah memberikan manifest baru dalam perjuangan. Dukungan mereka menebalkan tekad M.H. Manullang untuk meninggalkan sekolah Methodist, dan kembali ke Tarutung, Tapanuli, daerah asalnya. Model organisasi Syarikat Islamlah yang

Dalam dokumen Pers Di Tapanuli 1945 – 1950 (Halaman 26-53)

Dokumen terkait