• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjanjian Sewa Menyewa dan Dasar Hukumnya

BAB II HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN SEWA

2.1 Perjanjian Sewa Menyewa dan Dasar Hukumnya

Sewa-menyewa seperti halnya jual-beli, adalah suatu perjanjian yang sangat sering di jumpai dalam kehidupan sehari-hari.Sewa- menyewa maupun jual-beli adalah merupakan suatu upaya yang sudah biasa di pergunakan oleh para warga masyarakat dalam rangka memenuhi kepentingan- kepentingannya.

Sewa-menyewa dan jual-beli adalah sama-samamerupakan suatu perjanjian yang dilakukan untuk menyerahkan barang di satu pihak dan pihak lainnya melakukan pembayaran. Menurut Djoko Prakoso dan Bambang Riyadilany perbedaan antara dua macam persetujuan ini ialah bahwa dalam hal jual beli yang di serahkan oleh pemilik barang adalah hak milik atas barang itu, sedang dalam hak sewa menyewa si pemilik barang hanya menyerahkan pemakaian dan pemungutan hasil dari barang, padahal hak milik atas barang itu berada di tangan yang menyewakan.19

Hilman hadikusuma menyebutkan bahwa sewa-menyewa adalah hubungan hukum yang terjadi di karenakan suatu pihak memberikan satu

19

Djoko Prakoso, Bambang Riyadilany, 1998, Dasar Hukum Persetjuan Tertentu Di

17

kenikmatan atas sesuatu (benda) kepada pihak lainnya membayar harga kenikmatan itu.20

Untuk lebih memahami pengertian sewa-menyewa maka dikemukakan beberapa pendapat sarjana yang di anggap perlu guna memberikan gambaran lebih jelas. Menurut Kansil, bahwa sewa menyewa adalah suatu perjanjian untuk menyerahkan suatu barang untuk digunakan dalam waktu yang tertentu dan dengan sewa tertentu.21

Demikian juga Subekti mengetengahkan bahwa sewa menyewa adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk di pakai selama jangka waktu tertentu, sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu-waktuyang ditentukan.22

Menurut pasal 1548 KUHPerdata memberikan pengertian, sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang selama suatu waktu tertentu dan dengan sesuatu harga yang oleh pihak tersebut berakhir ini di sanggupi pembayarannya.23

Dari uraian definisi-definisi tersebut di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur dalam sewa-menyewa yaitu :

20

Hilman Hadikusuma, 1998, Hukum Perjanjiann Adat, Penerbit Alumni Bandung, hal.97

21 CST Kansil, 2000, Modul Hukum Perdata, Penerbit: PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal.241.

22

Subekti, 1999, Op. Cit.hal.39.

18

a) Sebagai perjanjian antara dua belah pihak. Maksudnya bahwa di dalam perjanjian sewa menyewa itu ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan. Pihak yang satu disebut sebagai pihak penyewa, sedangkan pihak yang lainnya di sebut pihak yang menyewakan (pemilik). Dalam perjanjian sewa menyewa ini, kedua pihak yaitu pemilik maupun pihak menyewakan dibebani suatu kewajiban-kewajiban pokok yang harus di laksanakan.

b) Pihak yang satu menyewakan pemakaian atau penggunaan sesuatu barang kepada pihak yang lainnya, maksudnya ialah bahwa pihak yang menyewakan (pemilik) menyerahkan barangnya kepada si penyewa, hanya untuk di pakai atau di pergunakan oleh si penyewa dan bukan untuk dimiliki. Dengan kata lain yang menyewakan (pemilik) hanyalah menyerahkan penggunaan atau pemakaian atas suatu barang kepada penyewa dan hak milik atas barang tersebut teatap berada pada tangan di pemilik barang.

c) Suatu waktu tertentu, maksunya ialah bahwa perjanjian sewa-menyewa itu tidaklah dimaksudkan untuk berlangsung selama-lamanya artinya dalam sewa menyewa itu selalu ada tenggang waktu tertentu untuk berakhirnya sewa-menyewa.

Dari bunyi pasal tersebut tampaklah bahwa yang dapat menyewakan barang itu adalah selalu pemilik barang itu.Apabila seseorang diserahi suatu barang untuk dipakai tanpa membayar suatu apapun, maka yang terjadi adalah perjanjian pinjam pakai. Menurut Subekti, jika si pemakai barang itu di wajiban membayar maka bukan lagi perjanjian pinjam pakai

19

yang terjadi tetapi perjanjian sewa-menyewa.24hal tersebut berarti bahwa pihak yang menyewakan tidak di wajibkan menjamin hak penyewa terhadap gangguan-gangguan yang dilakukan oleh pihak ketiga dengan tidak menunjukan suatu hak atas barang yang disewakan, maka pihak penyewa dapat menuntut sendiri orang tersebut.

Pasal 1556 KUHPerdata menyebutkan bahwa pihak ketiga mengganggu pemakaian barang yang disewakan dengan didasarkan atas suatu hak dari orang ketiga itu maka pihak yang menyewakan tidak bertanggung jawab atas perbuatan tersebut.

Adanya kewajiban pokok dalam perjanjian sewa menyewa baik bagi pihak penyewa maupun menyewakan. Salah satu kewajiban penyewa adalah mengembalikan barang yang disewanya sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan, karena maksud dari perjanjian sewa-menyewa ialah untuk di kemudian hari mengembalikan barang kepada pihak lain yang menyewakan, maka tidak mungkin ada perjanjian sewa-menyewa yang pemakaiannya menyebabkan musnahnya barang itu, misalnya barang-barang makanan.

Menurut wirjono prodjodikoro adakalanya barang-barang makanan dapat di sewa juga, kalau yang dimaksud itu adalah suatu pemakaian istimewa yang berakibat musnahnya barang makanan yaitu untuk dimakan melainkan hanya untuk di perlihatkan pada orng banyak seperti perjanjian sewa-menyewa barang untuk memperlihatkan pada

20

pameran, dalam hal mana buah-buahan itu di kembalikan setelah pameran.25

Dari uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa penting dalam perjanjian sewa-menyewa adalah obyek perjanjian tersebut tidak musnah karena pemakaian. Jadi semua benda atau barang baik yang bertumbuh misalnya hak-hak tertentu dapat di jadikan obyek perjanjian sewa-menyewa asal tidak dilarang oleh undang-undang.26 Berarti bahwa perjanjian sewa-menyewa KUHPerdata tidak memberikan perincian barang apa saja yang dapat dijadikan obyek sewa-menyewa.

Dengan sesuatu harga, maksudnya ialah bahwa dalam sewa-menyewa itu selalu di sertai dengan adanya harga sewa.Pembayaran harga sewa tersebut dilakukan oleh penyewa yang di tunjukan kepada pihak yang menyewakan (si penyewa) barang, sebagai pengganti atas penggunaan atas pemakaian barang sewa.Pembayaran harga sewa adalah merupakan salah satu dari kewajiban utama bagi si penyewa dalamhal hubungan sewa-menyewa.

b. Dasar Hukum Sewa Menyewa

Pada dasarnya, perjanjian mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak dalam perjanjian tersebut seketika pada saat perjanjian tersebut dibuat secara sah.Demikian ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum

25

Wirjono Prodjodikoro, 1999, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu, Penerbit Sumur, Badung, hal.50.

21

Perdata (“KUHPer”).Berdasarkan Pasal 1320 supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:

1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. suatu pokok persoalan tertentu

4. suatu sebab yang tidak terlarang

Akan tetapi, Anda perlu melihat lagi dalam hal perjanjian tersebut digunakan sebagai bukti.Perjanjian termasuk ke dalam salah satu alat bukti berdasarkan Pasal 1866 KUHPer yaitu bukti tertulis. Berdasarkan Pasal 1866 KUHPer dan Pasal 164 Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR)/Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB) (“HIR”), alat-alat bukti itu sendiri dalam hukum perdata ada bermacam-macam yang terdiri atas

1. Bukti tertulis 2. Bukti saksi 3. Persangkaan 4. Pengakuan 5. Sumpah

Berdasarkan Pasal 1867 KUHPer dan Pasal 165 HIR, bukti tertulis dibagi menjadi 2 (dua), yaitu

22

Yaitu suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat (Pasal 1868 KUHPer dan Pasal 165 HIR)

2. Bukti tulisan-tulisan di bawah tangan

Suatu akte yang ditandatangani di bawah tangan dan dibuat tidak dengan perantaraan pejabat umum, seperti misalnya akte jual beli, sewa-menyewa, utang-piutang dan lain sebagainya yang dibuat tanpa perantaraan pejabat umum (Penjelasan Pasal 165 HIR).

Akan tetapi, walaupun akta otentik dan akta di bawah tangan atau perjanjian di bawah tangan sama-sama merupakan alat bukti, kekuatan pembuktiannya dapat menjadi berbeda. Kekuatannya dapat menjadi berbeda karena:

1. Akte otentik itu merupakan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak dari padanya, tentang segala hal yang disebutkan dalam akte itu dan juga tentang yang ada dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja. Isi dari akte otentik itu dianggap tidak dapat disangkal kebenarannya, kecuali jika dapat dibuktikan, bahwa apa yang oleh pejabat umum itu dicatat sebagai benar, tetapi tidaklah demikian halnya (Penjelasan Pasal 165 HIR). Hal serupa juga dikatakan dalam Pasal 1870 KUHPer, bahwa bagi para yang berkepentingan beserta para ahli warisnya ataupun bagi orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya.

23

2. Sedangkan untuk suatu akta di bawah tangan atau perjanjian di bawah tangan, akan berlaku sebagai suatu akta otentik jika diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai (Pasal 1875 KUHPer dan Penjelasan Pasal 165 HIR). Jika salah satu pihak memungkiri tulisan atau tanda tangannya, atau ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak daripadanya menerangkan tidak mengakuinya, maka Hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka Pengadilan.

3. Perbedaan lain adalah: apabila pihak lain mengatakan, bahwa isi akta otentik itu tidak benar, maka pihak yang mengatakan itulah yang harus membuktikan, bahwa akta itu tidak benar, sedangkan pihak yang memakai akta itu tidak usah membuktikan, bahwa isi akta itu betul, sedangkan pada akta bawah tangan, apabila ada pihak yang meragukan kebenaran akta tersebut, maka pihak ini tidak perlu membuktikan, bahwa akta itu tidak betul, akan tetapi pihak yang memakai akta itulah yang harus membuktikan bahwa akta itu adalah betul (Penjelasan Pasal 165 HIR).

Jadi yang menentukan kekuatan pembuktian suatu akta atau perjanjian bukanlah adanya materai atau tidak pada perjanjian yang telah ditandatangani tersebut.Tetapi kekuatan pembuktian terletak pada siapa yang membuat akta atau perjanjian tersebut.Materai digunakan agar perjanjian tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. (Mengenai materai, Anda dapat membaca artikel Keabsahan PKWT Tanpa Meterai)

24

Berdasarkan uraian di atas, pada dasarnya perjanjian sewa menyewa tersebut tetap mengikat kedua belah pihak, dan berdasarkan Pasal 1576 KUHPer, dengan dijualnya barang yang disewa, persewaan tidak menjadi putus (kecuali telah diperjanjikan sebelumnya pada waktu menyewakan barang).

Apabila perjanjian sewa menyewa rumah tersebut bukan dibuat dalam bentuk akta otentik (bukan dibuat oleh notaris atau dibuat di hadapan notaris), maka sebagai akta di bawah tangan, perjanjian sewa menyewa tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna seperti akta otentik selama para pihak mengakui akta tersebut. Akan tetapi apabila salah satu pihak tidak mengakui adanya akta tersebut, dalam hal ini misalnya pihak yang menyewakan tidak mengakui perjanjian sewa menyewa, maka Anda sebagai pihak yang memakai akta itu untuk membuktikan bahwa ada hubungan sewa menyewa atas rumah tersebut, harus membuktikan bahwa perjanjian itu benar adanya.

2.2 Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Sewa Menyewa

Dokumen terkait