• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI WANPRESTASI

2. Perjanjian

a. Pengertian Perjanjian

Hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata yang berjudul tentang Perikatan. Hubungan perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Suatu perjanjian juga dinamakan suatu persetujuan karena dua pihak setuju untuk melaksanakan suatu hal atau sama-sama berjanji untuk melaksanakan suatu hal tertentu. Istilah perjanjian merupakan istilah yang umum dalam dunia hukum. Mengenai pengertian perjanjian diatur dalam

pasal 1313 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya pada satu orang atau lebih.” Pengertian perjanjian di atas selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja sedangkan sangat luas karena dipergunakannya perkataan perbuatan tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum.

Sebagai perwujudan tertulis dari perjanjian, perjanjian adalah salah satu dari dua dasar hukum yang ada selain undang-undang yang dapat menimbulkan perikatan. Perikatan adalah suatu keadaan hukum yang mengikat satu atau lebih subjek hukum dengan kewajiban-kewajiban yang berkaitan satu sama lain.8

Sementara itu, menurut M. Yahya Harahap, “Suatu perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk melaksanakan prestasi.”9

Dari pengertian Yahya Harahap diatas menegaskan tentang hubungan hak dan juga kewajiban bagi orang yang melaksanakan perjanjian. Jadi, ketika melakukan suatu perjanjian, ada hak dan kewajiban yang melekat pada masing-masing pihak yang harus dilaksanakan supaya perjanjian tersebut terlaksana. Sedangkan dari pengetian R. Subekti, perjanjian tersebut berisi janji kepada orang lain untuk melaksanakan suatu, dimana janji itu harus ditepati.

Menurut R. Setiawan sehubungan dengan itu perlu diadakan 1 perbaikan pengertian perjanjian, yaitu:

1) Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum.

8 Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan Ke-4, (Jakarta: Citra Aditya Bhakti, 1987), h. 12. 9 Syahmin, Hukum Perjanjian Internasional, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 2.

18

2) Menambah perkataan atau saling mengikatkan dirinya dalam Pasal 1313 KUH Perdata.

Sehingga perumusannya menjadi, persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

Selain dirumuskan oleh para ilmuwan, pengertian perjanjian juga dapat ditemukan dalam peraturan hukum. Dalam KUH Perdata mengartikan bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dalam Buku III Bab Kedua KUH Perdata Indonesia ditemukan istilah perjanjian yang atau persetujuan (contract or agreement) yang memiliki maksud sama dengan perngertian perjanjian, yakni suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.10

Perjanjian erat sekali kaitannya dengan perikatan, sebab ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata menyebutkan bahwa, perikatan dilahirkan baik dari undang-undang maupun perjanjian. Perikatan yang lahir dari perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan oleh undang-undang di luar kemauan para pihak yang bersangkutan.

Apabila dua orang mengadakan perjanjian, maka mereka bermaksud agar antara mereka berlaku suatu perikatan hukum. Berkaitan dengan ketentuan diatas, Subekti berpendapat bahwa perjanjian itu merupakan sumber perikatan yang terpenting karena melihat perikatan sebagai suatu pengertian yang abstrak sedangkan

10 Ahmad Miru, Hukum Perjanjian & Perancangan Perjanjian. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. 2.

perjanjian diartikan sebagai suatu hal yang kongkrit atau suatu peristiwa.11

b. Asas-Asas Perjanjian

Perjanjian tidak terlepas dari asas. Dari terminologi, asas berartikan dasar atau sesuatu yang dijadikan sebagai tumpuan berpikir atau berpendapat. Menurut KBBI, asas adalah prinsip dasar yang menjadi acuan berpikir seseorang dalam mengambil keputusan-keputusan yang penting di dalam hidupnya. Meninjau dari segi hukum, asas merupakan landasan yang bersifat umum yang menjadi sebuah latar belakang kongkrit untuk lahirnya segala sistem hukum dalam peraturan perundang-undangan maupun putusan hakim yang berbentuk hukum positif dengan sifatnya yang umum dalam peraturan yang jelas.

Jika dikaitkan dengan unsur perjanjian, maka asas yang berkaitan dengan perjanjian meliputi beberapa macam, diantaranya:

1) Asas Perjanjian

Dalam menyusun suatu perjanjian atau perjanjian, baik perjanjian itu bersifat bilateral dan multilateral maupun perjanjian dalam lingkup nasional, regional, dan internasional, harus didasari pada prinsip hukum dan klausul tertentu. Dalam Hukum Perdata dikenal beberapa prinsip dasar yang harus diterapkan dalam penyusunan perjanjian sehingga akan terhindar dari unsur-unsur yang dapat merugikan para pihak pembuat suatu perjanjian yang mereka sepakati.

2) Asas Konsensualisme

Dalam hukum perjanjian, asas konsensualisme berasal dari kata consensus yang berarti sepakat antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian. Menurut Subekti asas consensus itu dilahirkan sejak 7 detik tercapainya kesepakatan. Dengan kata lain perjanjian itu mempunyai akibat hukum sejak saat tercapainya kata sepakat

20

dari para pihak yang bersangkutan. Asas konsensualisme ini diatur dalam Pasal 1338 (1) jo. Pasal 1320 angka I KUH Perdata. Konsensus antara pihak dapat diketahui dari kata “dibuat secara sah” sedangkan untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yang tercantum di dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang salah satunya menyebutkan “Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya” (Pasal 1320 angka 1 KUH Perdata). Kata sepakat itu sendiri timbul apabila ada pernyataan kehendak dari satu pihak dan pihak lain menyatakan menerima atau menyetujuinya.

Asas konsesualisme merupakan ‘nyawa’ dari suatu perjanjian. Hal ini tersimpul dari kesepakatan para pihak, namun demikian pada situasi tertentu terdapat perjanjian yang tidak mencerminkan wujud kesepakatan yang sesungguhnya. Hal ini disebabkan karena adanya cacat kehendak (wilsgebreke) yang mempengaruhi timbulnya perjanjian. Dalam BW cacat kehendak meliputi tiga hal, yaitu:

a) Kesesatan atau dwaling. b) Penipuan atau bedrog. c) Paksaan atau dwang. 3) Asas Kebebasan Berperjanjian

Asas kebebasan berperjanjian dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”12 Asas kebebasan berperjanjian adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

a) Membuat perjanjian atau tidak membuat perjanjian.

b) Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

12 Salim, Hukum Perjanjian, Teori dan Praktik Penyusunan Perjanjian, (Jakarta: Sinar Gafika, 2008), h. 9.

c) Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

d) Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

4) Asas Itikad Baik

Asas itikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) bahwa perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Sementara itu, Arrest H.R. dari Belanda mengatakan peranan tertinggi terhadap itikad baik dalam tahapan pra-perjanjian bahkan kesesatan ditempatkan di bawah asas itikad baik, bukan lagi pada teori kehendak.13

c. Unsur-Unsur Perjanjian

Suatu perjanjian memiliki unsur-unsur yang mendukung terjadinya suatu perjanjian tersebut. Dalam dataran teori, unsur-unsur itu dapat dikelompok menjadi tiga kelompok sebagai berikut:14

1) Unsur Essensialia

Adalah unsur perjanjian yang harus ada di dalam perjanjian, unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian tidak mungkin ada. Contohnya adalah sebagai berikut:

a) “Sebab yang Halal” merupakan essensialia untuk adanya perjanjian. Dalam perjanjian jual beli harga dan barang yang disepakati kedua belah pihak harus sama.

b) Pada perjanjian riil, syarat penyerahan objek perjanjian merupakan essensialia, sama seperti bentuk tertentu merupakan essensialia dari perjanjian formal.

13 Ahmad Miru, Hukum Perjanjian dan Perancangan Perjanjian, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Pesada, 2008), h. 5.

14 J. Satrio, Hukum Perjanjian, Ctk. Pertama, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992), h. 57-58.

22

2) Unsur Naturalia.

Adalah unsur perjanjian yang telah diatur oleh undang-undang, tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan atau diganti. unsur tersebut oleh undang-undang diatur dengan hukum yang mengatur atau menambah (regelend/aanvullend recht). Contoh: kewajiban penjual untuk menanggung biaya penyerahan (Pasal 1476 KUH Perdata) dan untuk menjamin atau vrywaren (Pasal 1491 KUH Perdata) dapat disimpangi atas kesepakatan kedua belah pihak. Dalam perjanjian, para pihak dapat mencantumkan klausula yang isinya menyimpangi kewajiban penjual, misalnya dalam pasal 1476 KUH Perdata dengan menetapkan: “Menyimpang dari apa yang ditetapkan dalam pasal 1476 KUH Perdata, para pihak sepakat untuk menetapkan bahwa biaya pengiriman objek perjanjian ditanggung oleh pembeli sepenuhnya.”

Penyimpangan atas kewajiban penjual, misalnya pada Pasal 1491 KUH Perdata dapat diberikan dalam bentuk sebagai berikut: “para pihak dengan ini menyatakan, bahwa para pihak telah mengetahui dengan bentuk-bentuk, warna serta keadaan dari objek perjanjian dan karenanya para pihak sepakat untuk menetapkan, bahwa segala tuntutan atas dasar cacat tersembunyi tidak lagi dibenarkan.”

3) Unsur Accidentalia

Adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak, undang-undang sendiri tidak mengatur mengenai hal tersebut. Contohnya dalam perjanjian jual beli rumah, para pihak sepakat untuk menetapkan bahwa jual beli tersebut tidak meliputi pintu pagar besi yang ada di halaman depan rumah.

d. Syarat Sah Perjanjian

Suatu perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang diatur oleh undang-undang. Perjanjian tersebut diakui sah dan mendapat akibat hukum (legally concluded contract). Menurut ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, syarat-syarat sah perjanjian: 1) Ada persetujuan kehendak (consensus).

Persetujuan kehendak adalah kesepakatan atau kesetujuan para pihak mengenai pokok-pokok isi perjanjian yang dikehendaki oleh pihak yang satu dan juga dikehendaki oleh pihak lainya. Persetujuan tersebut sudah mutlak, tidak lagi dalam proses perundingan. Sebelum ada persetujuan, biasanya para pihak mengadakan perundingan, pihak yang satu menyampaikan keinginan dan syarat-syaratnya mengenai objek perjanjian kepada pihak yang lain dan pihak yang lainya menyatakan kehendaknya mengenai objek perjanjian sehingga tercapai persetujuan yang mantap bagi kedua pihak.

Persetujuan kehendak itu sifatnya bebas, artinya tidak ada paksaan ataupun tekanan dari pihak manapun juga, sepenuhnya atas kemauan sukarela para pihak. Juga termasuk persetujuan kehendak tidak dikarenakan ada kehilafan dan tidak ada penipuan. 2) Kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian (capacity).

Kecakapan bertindak merupakan salah satu cakap hukum, yaitu kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang yang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin walaupun belum berumur 21 tahun.

3) Ada suatu hal tertentu (objek).

Suatu hal tertentu yang terdapat dalam isi perjanjian yang wajib dipenuhi/prestasi disebut sebagai objek perjanjian. Kejelasan mengenai isi pokok perjanjian atau objek perjanjian adalah untuk

24

memastikan pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak. Jika isi pokok perjanjian, atau objek perjanjian, atau prestasi perjanjian tidak jelas, atau sulit bahkan tidak mungkin untuk dilaksanakan, maka perjanjian itu batal (nietig void).

4) Ada suatu sebab yang halal (causa).

Adalah sebuah hal yang menyebabkan atau mendorong seseorang untuk membuat perjanjian. Menurut KUH Perdata Pasal 1335 disebutkan bahwa ”Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.” Tetapi dalam Pasal 1336 KUH Perdata disebutkan “Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang halal, ataupun jika ada suatu sebab lain, daripada yang dinyatakan, perjanjianya namun demikian adalah sah.” Sebab yang halal menurut Pasal 1337 KUH Perdata adalah sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang, tidak berlawanan dengan kesusilaan ataupun ketertiban umum.15

Dokumen terkait