• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERJANJIAN FRANCHISE ANTARA MYSALON DAN RATNASARI LUKITANINGRUM (Studi Putusan Mahkamah Agung No.493/PDT/2018/PT.DKI)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERJANJIAN FRANCHISE ANTARA MYSALON DAN RATNASARI LUKITANINGRUM (Studi Putusan Mahkamah Agung No.493/PDT/2018/PT.DKI)"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

PERJANJIAN FRANCHISE ANTARA MYSALON DAN RATNASARI LUKITANINGRUM

(Studi Putusan Mahkamah Agung No.493/PDT/2018/PT.DKI)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

RAHMAT IVAN SHABRIANSYAH NIM: 1113048000067

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

i

PERJANJIAN FRANCHISE ANTARA MYSALON DAN RATNASARI LUKITANINGRUM

(Studi Putusan Mahkamah Agung No.493/PDT/2018/PT.DKI)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

RAHMAT IVAN SHABRIANSYAH NIM: 1113048000067

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

ii

PERJANJIAN FRANCHISE ANTARA MYSALON DAN RATNASARI LUKITANINGRUM

(Studi Putusan Mahkamah Agung No.493/PDT/2018/PT.DKI)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh

RAHMAT IVAN SHABRIANSYAH NIM: 1113048000067

Pembimbing

Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. NIP. 19650908 199503 1 001

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(4)
(5)
(6)

v

ABSTRAK

Rahmat Ivan Shabriansyah, NIM 1113048000067, “PERJANJIAN

FRANCHISE ANTARA MYSALON DAN RATNASARI

LUKITANINGRUM (Studi Putusan Mahkamah Agung

No.493/PDT/2018/PT.DKI)”. Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum,

Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1441H/2020M. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui inti permasalahan dari kasus wanprestasi pada waralaba antara MYSalon sebagai Pemilik Waralaba atau Franchisor dengan Ratnasari Lukitaningrum sebagai Penerima Waralaba atau Franchisee. Selain itu, Pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara dalam Putusan Nomor 493/PDT/2018/PT.DKI menjadi bagian pentng untuk dianalisis.

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian yang dilakukan berdasarkan pada pendekatan norma hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan (statue approach) dan juga dikombinasikan dengan menggunakan pendekatan analisis (analytical approach). Jenis Penelitian ini menggunakan metode Yuridis Normatif, yaitu dengan menggunakan pendekatan norma hukum dan dikombnasikan dengan pendekatan analytical approach yaitu pendekatan analisis.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa adanya tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh Ratnasari Lukitaningrum selaku franchisee dalam menjalankan perjanjian yang disepakati dengan MYSalon selaku franchisor yang pada awalnya pihak MYSalon selaku franchisor telah beritikad baik untuk memanggil pihak franchisee dan pihak franchisor memberikan pilihan kepada pihak franchisee untuk menyelesaikan tunggakan kewajiban pembayarannya namun ternyata pihak franchisee lebih memilih untuk mangkir dari panggilan pihak franchisor. Pihak franchisee memutuskan untuk menutup Outlet MYSalon yang dijalankan oleh franchisee sekaligus mengajukan tuntutan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Agar gugatan yang diajukan franchisor ini tidak menjadi sia-sia (illusior) dan demi terjaminnya pembayaran ganti rugi materil kepada franchisor, maka dari persidangan ini franchisor meminta kepada Majelis Hakim untuk melakukan Sita Jaminan (conservatoir beslag) terhadap segala benda yang dimiliki franchisee yang pada intinya berupa barang bergerak, peralatan, dan furniture di setiap outlet salon yang dikelola oleh franchisee dan franchisor juga meminta kepada Majelis Hakim agar franchisee tidak lagi menggunakan nama dan merek dagang MYSalon yang notabene nya milik franchisor.

Kata Kunci: Waralaba, Wanprestasi, Putusan.

Pembimbing Skripsi : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Daftar Pustaka : Tahun 1979 Sampai Tahun 2017.

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Segala puji dan syukur dipanjatkan kepda Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya. Sholawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW, beserta seluruh keluarga, sahabat, dan pada seluruh pengikutnya hingga akhir zaman. Atas rasa syukur yang besar ini, peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”PERJANJIAN FRANCHISE ANTARA

MYSALON DAN RATNASARI LUKITANINGRUM (Studi Putusan Mahkamah Agung No.493/PDT/2018/PT.DKI)”. Alhamdulillah, skripsi ini

dapat selesai dikarenakan adanya izin dari Allah SWT serta seluruh pihak yang telah memberikan banyak sumbangsih atas penyusunan skripsi ini. Peneliti ingin sekali mengucapkan rasa terima kasih yang begitu dalam kepada yang terhormat: 1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hdayatullah Jakarta yang telah memberikan arahan serta motivasi yang sangat besar kepada peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Pembimbing Skripsi dan Dr. JM Muslimin, M.A. Pembimbing Akademik yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan kesabaran yang sangat besar dalam membimbing peneliti agar dapat menyelesaikan skripsi dan studi ini.

4. Kepala Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas dan mengizinkan peneliti untuk mencari dan meminjam buku-buku referensi dan sumber-sumber data lainnya yang diperlukan.

(8)

vii

5. Kedua orang tua saya Herman Suharto, S.E. (alm.) dan Adhnijaturridho, S.H. serta kakak dan adik saya Muhammad Caesrianto Wirahmad dan Zelda Mafaza Ramadhania yang selalu memberikan do’a restunya, dukungan, hingga banyak hal yang tak terhitung.

6. Teruntuk teman-teman yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk mengajarkan, menstimulun saya untuk berpikir sekaligus membantu pembuatan skripsi saya dari awal mula penulisan hingga akhir pembuatan: Ahmad Syahroni Fadhil, S.H., Arif Mohamad Azhar Annas, S.H., dan yang terkhusus kepada salah seorang teman yang pada akhirnya paling sering saya repotin untuk banyak hal: Alvan Ridwan, S.H.

7. Kepada rekan-rekan seperjuangan, yang khususnya telah memberikan akomodasi selama pengerjaan skripsi saya: Alvan Ridwan, S.H., Sofwan Arafat, Budi Firmana, Mochamad Hanafi, S.H., Muhammad Luthfi Mayang, Daryanto Wibowo, Hafizh Maulana.

8. Seluruh teman-teman Ilmu Hukum UIN Jakarta angkatan 2013, khususnya teman-teman di Audit Bahagia yang telah memperhatikan sekaligus menyemangati saya agar saya dapat segera lulus dari Ilmu Hukum UIN Jakarta.

9. Semua pihak yang telah terlibat dan telah memberikan kontribusi dalam penelitian ini yang tanpa mengurangi rasa hormat saya tidak bisa saya sebutkan namanya satu per satu.

Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih yang teramat banyak dan mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada semua. Wassalam.

Jakarta, 31 Juli 2020

(9)

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……….….i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING………....ii

LEMBAR PERSETUJUAN PANITIA UJIAN SKRIPSI………...iii

LEMBAR PERNYATAAN……….iv

ABSTRAK……….v

KATA PENGANTAR……….vi

DAFTAR ISI………..……viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………...1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah…………..5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……….…6

D. Metode Penelitian……….…8

E. Sistematika Pembahasan……….10

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI WANPRESTASI DALAM WARALABA A. Kerangka Konseptual………..12 1. Franchise………...12 2. Perjanjian………...16 3. Wanprestasi………...24 B. Kerangka Teori………27

1. Tinjauan Tentang Perlindungan Hukum………...27

(10)

ix

BAB III PERKARA MYSALON SEBAGAI BISNIS SALON BERBASIS WARALABA

A. Sejarah Waralaba………...….35

B. Profil MYSalon……….……..38

1. Syarat Pengajuan Kerjasama Waralaba

Outlet MYSalon……….…………...38 C. Kronologi Singkat dalam Isi Putusan Nomor

493/PDT/2018/PT.DKI………...…………....41

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ANTARA

FRANCHISOR DENGAN FRANCHISEE PADA PUTUSAN NOMOR 493/PDT.2018/PT.DKI

A. Analisis tentang Kasus Wanprestasi yang Dilakukan Oleh

Ratnasari Lukitaningrum terhadap MYSalon……..…..…….47

B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan perkara

No.493/PDT/2018/PT.DKI………..……...49

C. Perlindungan Hukum Terhadap Franchisor dalam Sengketa

Perjanjian Waralaba………58

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan……….……..…..62

B. Rekomendasi………..………….63

(11)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini, dunia franchise, yang dalam Bahasa Indonesia disebut dengan waralaba ini telah mengalami perkembangan yang signifikan. Banyak sekali dijumpai berbagai jenis usaha yang menggunakan sistem waralaba. Bisnis waralaba memiliki beberapa keunggulan, yaitu dapat memperluas jaringan usaha dengan cepat, menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan peluang kerja bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM), serta merupakan pilihan berwiraswasta dengan risiko yang kecil namun dapat menggunakan nama merek dagang yang sudah dikenal banyak orang dengan ketentuan yang disepakati bersama.

Banyak brand dagang lokal maupun brand dagang asing, mulai dari brand dagang kelas atas, menengah, hingga kelas bawah telah menggunakan konsep waralaba dalam konsep berbisnisnya yang telah banyak berdiri disetiap sudut pertokoan, kios maupun di dalam pusat perbelanjaan. Seperti pada saat ini khususnya di wilayah Jakarta sedang diramaikan dengan usaha kedai kopi yang mana dari pelaku usaha tersebut ada yang menerapkan sistem waralaba sebagai sistem untuk mengembangkan bisnisnya seperti Kopi Kulo, Anomali Coffee, Coffee Toffee, Janji Jiwa, Lain Hati pada pelaku bisnis kedai kopi lokal maupun kedai kopi asing seperti Starbucks Coffee. Pada bisnis waralaba lainnya yang sudah banyak diketahui seperti McDonald’s, KFC, Circle K pada contoh bisnis waralaba asing ataupun bisnis waralaba lokal seperti Es Teler 77, Indomaret, Alfamart, hingga pada salah satu warung makan sasaran kelas menengah kebawah yang biasa dikenal dengan sebutan “Warteg” pun ada yang telah menggunakan konsep waralaba untuk mengembangkan bisnisnya.

Konsep waralaba atau franchise muncul sejak 200 tahun sebelum Masehi. Saat itu seorang pengusaha Cina memperkenalkan konsep rangkaian toko untuk mendistribusikan produk-produk makanan dengan merek tertentu.

(12)

2

Sebenarnya waralaba dengan pengertian yang kita kenal saat ini berasal dari Amerika Serikat. Di Amerika Serikat waralaba mulai dikenal ketika perusahaan Bir memberikan lisensi kepada perusahaan-perusahaan kecil sebagai bentuk upaya dalam mendistribusikan produk mereka.

Perkembangan waralaba secara pesat dimulai pada akhir abad ke-18, dimana waralaba berkembang sebagai akibat terjadinya revolusi industri. Singer Sewing Machine Company merupakan perusahaan yang pertama kali memperkenalkan teknik distribusi yang pada akhirnya terkenal dengan sebutan franchise (waralaba). Pada selanjutnya sistem ini dikenal sebagai sistem pemberian lisensi bagi penggunaan nama pada industri minuman (Coca Cola), kemudiann berkembang pada sistem pemasaran pada industri mobil (General-Motors). Kemudian sistem waralaba ini dikembangkan oleh produsen bahan bakar, yang memberikan hak waralaba kepada pemilik POM Bensin sehingga terbentuk jaringan peyediaan untuk memenuhi suplai bahan bakar dengan cepat.1

Waralaba diketahui sudah dikenal sekitar satu abad yang lalu di Amerika Serikat. Ketika sebuah perusahaan mesin jahit Singer mulai menerapkan konsep franchising sebagai suatu cara untuk mengembangkan distribusi produknya. Walaupun ada yang mengatakan bahwa jauh sebelumnya konsep waralaba sudah ada yang menerapkan pada tahun 200 SM di Tiongkok dengan sistem waralaba lisensi/merek.

Sistem kerja dari waralaba jika diuraikan secara sederhana yaitu sebuah perjanjian dalam upaya bisnis yang digunakan antara badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk menggunakan atau mendistribusikan barang dan/atau jasa serta memanfaatkan dan/atau menggunakan lisensi atas hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki oleh pihak yang disebut dengan Pemberi Waralaba/Franchisor yang bisa berbentuk badan hukum atau perseorangan.

(13)

Badan usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki Pemberi Waralaba/Franchisor kepada pihak yang disebut dengan Penerima Waralaba/Franchisee yang bisa berbentuk badan hukum atau perseorangan untuk dapat dikelola di tempat yang diinginkan oleh penerima waralaba.

Di Indonesia, waralaba sudah banyak ditekuni oleh banyak pelaku usaha dikarenakan sistemnya yang begitu praktis dan tidak perlu menguras pikiran dan tenaga untuk bagaimana dalam mendistribusikan produknya bagi franchisor serta meringankan franchisee dalam urusan mendapatkan produk yang akan didistribusikan. Karena waralaba secara alamiah telah mengatur secara disiplin siapa yang harus memproduksi dan siapa yang harus mendistribusikan.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, bahwa waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.

Bedasarkan bunyi pasal tersebut, waralaba merupakan kesepakatan antara kedua belah pihak, baik itu berbadan hukum maupun perseorangan yang membolehkan penggunaan hak yang diperoleh penerima waralaba untuk menggunakan segala sistem bisnis yang dipunyai pemberi waralaba. Pemberi waralaba dalam jangka waktu tertentu memberikan lisensi kepada penerima waralaba untuk melakukan usaha pendistribusian barang dan/atau jasa dibawah nama dan identitas pemberi waralaba pada wilayah tertentu. Usaha tersebut harus dijalankan sesuai dengan prosedur dan cara yang ditetapkan pemberi waralaba sesuai dengan penandatanganan kontrak kerjasama waralaba yang telah disepakati. Pemberi waralaba memberikan bantuan

(14)

4

(assistance) terhadap penerima waralaba. Sebagai imbalannya penerima waralaba membayar sejumlah uang berupa initial fee dan royalty2.

Dengan demikian, harus adanya sebuah perjanjian tertulis jika ingin melakukan bisnis waralaba antara calon pemegang waralaba dengan pemilik waralaba dengan membuat sebuah perjanjian yang tertulis yang disepakati dan harus dijalankan dan harus dipatuhi bersama oleh kedua pihak agar tidak timbul adanya kesalahpahaman/wanprestasi di kemudian hari yang biasa dikenal dengan sebutan kontrak. Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yaitu contracts.3 Kontrak/perjanjian di Indonesia diatur dalam pasal 1313

KUH Perdata yang menyebutkan Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

Dari penjelasan singkat barusan, dapat dikatakan kontrak mempunyai pengaruh besar dalam keberlangsungan waralaba untuk memulai kerjasama waralaba antara kedua belah pihak baik itu antara sesama badan hukum, perorangan dengan badan hukum, badan hukum dengan badan hukum, ataupun sesama perorangan agar tidak terjadinya atau setidaknya mengurangi kerugian atau wanprestasi yang dapat dialami baik salah satu pihak atau kedua pihak dikemudian hari.

Namun dalam pengelolaannya, tidak menutup kemungkinan dalam pelaksanaannya akan terjadi wanprestasi. Contohnya pada putusan yang penulis temukan dengan kode entri putusan No.493/PDT/2018/PT.DKI ini dimana sebuah perusahaan waralaba yang bernama MYSalon selaku pemberi waralaba melakukan upaya hukum terhadap Ratnasari Lukitaningrum selaku penerima waralaba dikarenakan telah lalai tidak membayarkan kewajiban yang telah dijanjikan dalam perjanjian waralaba nya kepada pemilik waralaba, sehingga pemilik kerugian mengalami kerugian yang cukup besar dikarenakan lalainya pembayaran yang dilakukan dari penerima waralaba

2 Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa, (Jakarta: Kencana Pramedia Grup 2014). h. 85.

3 Salim, Hukum Kontrak; Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. 4, (Jakarta: Sinar Grafika 2006). h. 25.

(15)

sehingga pihak MYSalon selaku Penggugat mengajukan gugatannya ke PN Jakarta Selatan.

Pada tanggal 25 April 2015 terjadilah kesepakatan waralaba antara pihak MYSalon dengan Ratnasari Lukitaningrum untuk melakukan usaha kerjasama waralaba dimana Ratnasari Lukitaningrum dapat membuka dan menjalankan usaha salon dengan menggunakan merek dagang MYSalon dibawah naungan Thomas Lie di lokasi yang telah disepakati. Lokasi tersebut terletak pada wilayah Jababeka dan wilayah Galaxi Bekasi.

Pada awalnya, kerjasama waralaba ini berjalan dengan baik. Namun hingga sampai awal Januari 2016, dimana pada kala itu Thomas Lie, selaku Direktur Perseroan dari MYSalon tersandung permasalahan hukum. Karena dasar tersebut, membuat Ratnasari lalai dengan kewajiban yang telah disepakati. Diantaranya adalah Ratnasari mulai lalai untuk menunaikan kewajiban membayar Royalty Fee yang telah disepakati. Sejak saat itu pula, pihak MYSalon mulai kesulitan untuk menemui franchisee ini dikarenakan si franchisee ini mulai menghindar ketika franchisor hendak menanyakan kejelasan terkait perhitungan pendapatan usaha dari outlet MYSalon Jababeka per bulan Mei 2016 dengan biaya setoran bulanan sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) per bulannya.

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk membahas lebih jauh mengenai sengketa yang melibatkan antara si pemberi waralaba dengan si penerima waralaba, yang selanjutnya akan peneliti fokuskan dalam sebuah judul “PERJANJIAN FRANCHISE ANTARA MYSALON DAN

RATNASARI LUKITANINGRUM (Studi Putusan Mahkamah Agung No.493/PDT/2018/PT.DKI)”

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah.

Dalam kasus waralaba antara MYSalon dengan Ratnasari Lukitaningrum terdapat beberapa masalah, diantaranya:

(16)

6

b. Ada unsur-unsur kontrak yang tidak terpenuhi.

c. Perlindungan hukum terhadap franchisor yang mengalami kerugian atas tindakan wanprestasi.

d. Pertimbangan putusan hakim dalam putusan No.493/PDT/2018/PT.DKI.

e. Penyelesaian atas sengketa antara franchisor dengan franchisee. 2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan banyaknya pembahasan dalam putusan tersebut, peneliti hanya fokus pada pembahasan perlindungan hukum yang didapat dalam perjanjian waralaba dalam putusan No.493/PDT/2018/PT.DKI serta alasan hakim dalam memutuskan perkara dalam putusan No.493/PDT/2018/PT.DKI.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah dan pembatasan yang telah dijabarkan, maka perumusan masalah yang diangkat adalah perlindungan atas sengketa wanprestasi yang melibatkan MYSalon dengan Ratnasari Lukitaningrum. Untuk mempertegas perumusan masalah, peneliti uraikan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimana analisis tentang Kasus Wanprestasi yang dilakukan oleh Franchisee terhadap Franchisor?

b. Bagaimanakah dasar-dasar pertimbangan hakim dalam putusan perkara No.493/PDT/2018/PT.DKI?

c. Bagaimana perlindungan hukum terhadap franchisor dalam perjanjian waralaba yang melibatkan antara franchisor dengan franchisee?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui tentang bagaimana semestinya penyelesaian sengketa dalam pembagian hasil dalam waralaba sedangkan secara khususnya:

(17)

a. Untuk mengetahui inti permasalahan dari Kasus Wanprestasi yang dilakukan oleh Franchisee terhadap Franchisor.

b. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara dalam Putusan No.493/PDT/2018/PT.DKI sudah sesuai dengan hukum.

c. Untuk mengetahui perlindungan hukum yang didapatkan oleh

franchisor dalam sengketa waralaba pada Putusan No.

493/PDT/2018/PT.DKI antara pihak franchisor dengan pihak franchisee.

2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan menjadi beberapa manfaat. Diantaranya:

1) Diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan di bidang hukum bisnis, hukum waralaba, hukum perjanjian, dan yang terkait.

2) Menambah literatur atau referensi ilmiah agar bisa digunakan untuk penelitian atau kajian berikutnya.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan sebagai berikut:

1) Sebagai bahan pertimbangan kepada setiap pelaku atau calon pelaku usaha waralaba, khususnya penerima waralaba/franchisee agar dapat lebih memperhatikan kewajibannya dalam berbisnis waralaba.

2) Memberi pengetahuan kepada masyarakat secara umum tentang seharusnya pelaku usaha waralaba, khususnya penerima waralaba/franchisee dalam memberikan keuntungan bisnis waralaba sesuai yang telah disepakati.

(18)

8

D. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Peneliti dalam penelitian ini menggunakan pendekatan metode Yuridis Normatif. Yaitu jenis penelitian yang dilakukan berdasarkan pada pendekatan norma hukum yang ada dalam perundang-undangan dan kaitannya dengan permasalahan. Analisis penelitian menggunakan dasar hukum, norma, asas, prinsip, dan doktrin dari para ahli yang berkaitan dengan tajuk penelitian yang diteliti peneliti dan menganalisa permasalahan ini berdasarkan ketentuan yuridis dalam bahan hukum primer.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang peneliti gunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan analisis (analytical approach). Dengan kata lain, adalah hukum sebagai sistem normatif yang tertutup otonom, terlepas dari perilaku kehidupan masyarakat dan mengabaikan norma hukum.4

3. Sumber Data

Sumber data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini antara lain: a. Bahan Hukum Primer

Bahan-bahan hukum primer yang peneliti gunakan adalah semua sumber hukum yang berlaku di Indonesia yang memiliki keterkaitan dengan penelitian yang dilakukan peneliti. Bahan-bahan hukum primer meliputi perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan.5 Bahan hukum primer yang digunakan dalam pemelitian ini adalah:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). 2) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba.

4 Roni Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), h. 13.

(19)

3) Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Waralaba.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang akan peneliti gunakan berupa bahan-bahan hukum diluar hierarki perundang-undangan namun memiliki kekuatan akademis yang mumpuni yang dapat menunjang penelitian peneliti. Seperti halnya buku-buku tentang hukum, kamus hukum, jurnal hukum, dan literasi hukum.

c. Bahan Bahan Non Hukum

Bahan-bahan non hukum yang akan peneliti gunakan adalah bahan-bahan yang tidak ada kaitannya dengan hukum namun dapat memungkinkan untuk dijadikan bahan dalam penelitian. Seperti ensiklopedia, tulisan media massa, maupun tulisan yang ada dalam internet. Dengan kata lain adalah bahan diluar hukum primer dan bahan hukum sekunder yang dipandang perlu.6

4. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini dalam pengumpulan data akan menggunakan teknik pendekatan normatif yang mengandalkan sumber hukum serta setiap literasi yang berkaitan dengan hukum dan juga menggunakan sebuah putusan yang akan dianalisa dengan maksud agar menjadi penguat penulisan karya ilmiah ini.

5. Teknik Pengolahan Data

Penelitian ini dalam pengelolaan datanya menggunakan pendekatan Pemeriksaan Data. Maksudnya dengan cara meneliti data dari sumber yang ada, lalu dikaitkan dengan isi putusan yang digunakan oleh peneliti yang dalam hal ini adalah Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 493/PDT/2018/PT.DKI, juga menggunakan pendekatan Sistematisasi Data, dan Analisa Data.

(20)

10

6. Teknik Analisa Data

Penelitian ini menggunakan teknik Analisis Deskriptif. Adalah metode yang mengelompokkan data yang diperoleh dari penelitian menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan teori-teori, asas-asas, dan kaidah-kaidah hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga dapat menemukan jawaban atas permasalahan yang telah dirumuskan.

7. Teknik Penulisan

Teknik penulisan yang peneliti gunakan dalam skripsi ini merujuk pada buku “Pedoman Penelitian Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017”.

E. Sistematika Pembahasan

Dalam memaparkan isi penelitian ini secara menyeluruh, maka peneliti menggunakan sistematika penelitian skripsi sebagai berikut:

BAB 1, PENDAHULUAN. Dalam Bab ini peneliti menjelaskan

terkait latar belakang masalah, identifikasi pembatasan serta perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, serta sistematika pembatasan penelitian.

BAB II, TINJAUAN UMUM MENGENAI WANPRESTASI DALAM WARALABA. Dalam Bab ini peneliti akan menjelaskan

terkait tinjauan umum mengenai kerangka konsep dan teori serta review kajian terdahulu yang digunakan. Pada konsep, peneliti memasukkan waralaba, perjanjian, dan wanprestasi sebagai dasar konsep penelitian. Sedangkan pada teori, peneliti menggunakan Teori Perlindungan Hukum sebagai acuan teori dalam penelitian ini.

(21)

BAB III, PERKARA MYSALON SEBAGAI BISNIS SALON BERBASIS WARALABA. Dalam Bab ini peneliti akan menguraikan

sejarah singkat tentang waralaba dan profil singkat sekaligus persyaratan untuk melakukan kerjasama waralaba dengan MYSalon serta kronologi dari sengketa waralaba yang terjadi dalam Putusan Nomor 493/PDT/2018/PT.DKI.

BAB IV, PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI

ANTARA FRANCHISOR DENGAN FRANCHISEE PADA PUTUSAN NOMOR 493/PDT/2018/PT.DKI. Dalam Bab ini peneliti

menguraikan hasil analisa peneliti terkait penelitian yang peneliti lakukan pada Putusan Nomor 493/PDT/2018/PT.DKI.

BAB V, PENUTUP. Dalam Bab ini peneliti memaparkan kesimpulan

serta rekomendasi penelitian berdasarkan penelitian yang telah peneliti lakukan.

(22)

12

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI WANPRESTASI DALAM WARALABA

A. Kerangka Konseptual

Kerangka konsep merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih kongkret dari kerangka teoritis yang seringkali bersifat abstrak.1 Dengan demikian, dari pengertian tersebut dengan adanya teori-teori yang dipaparkan, maka diperlukan penyatuan dari beberapa teori dengan beberapa istilah umum yang digunakan dalam penelitian ini agar dapat menyamakan inti dari penelitian ini. Sedangkan istilah umum yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Franchise

a. Pengertian Franchise

Franchise atau Waralaba adalah sebuah sistem kegiatan usaha yang memiliki hak paten dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil agar dapat dimanfaatkan secara komersil berdasarkan perjanjian yang disepakati. Waralaba juga diartikan sebagai pemberian sebuah lisensi usaha oleh suatu pihak (perorangan atau perusahaan) kepada pihak lain sebagai penerima waralaba. Dengan kata lain, waralaba adalah pengaturan bisnis dengan sistem pemberian hak pemakaian nama dagang oleh pewaralaba kepada pihak terwaralaba untuk menjual produk atau jasa sesuai dengan standarisasi kesepakatan untuk membuka usaha dengan menggunakan merek dagang/nama dagangnya.2

Kata franchise berasal dari Bahasa Perancis yang berarti “bebas”, adalah hak-hak untuk menjual suatu produk atau jasa maupun layanan. Sedangkan menurut pemerintah Indonesia, yang dimaksud

1 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2006), h. 124. 2 Nistains Odop, Berbisnis Waralaba Murah, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2006), h. 16-17.

(23)

dengan waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak memanfaatkan atau menggunakan Hak dari Kekayaan Intelektual (HAKI) atau pertemuan dari ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan atau penjualan barang dan jasa.3

Menurut PH Collin dalam Law Dictionary mendefinisikan waralaba sebagai bentuk lisensi untuk menjual dengan menggunakan sebuah nama dari sebuah perusahaan dan sebagai timbal balik atas ini adalah dengan membayar royalty. Waralaba juga sebagai sebuah tindakan menjual sebuah lisensi untuk diperdagangkan sebagai bentuk waralaba itu sendiri. Definisi tersebut menekankan pada pentingnya peran nama dagang dalam pemberian waralaba dengan imbalan royalty.

Kemudian dalam Dictionary of Marketing Term oleh Betsy-Ann Toffler dan Jane Imber, waralaba diartikan sebagai lisensi yang diberikan oleh sebuah perusahaan (franchisor) kepada seorang atau perusahaan untuk menjalankan outlet penjualan retail, makanan, atau obat-obatan dimana penerima lisensi (franchisee) setuju untuk menggunakan nama franchisor, produk, pelayanan, pelayanan promosi, penjualan, distribusi, dan cara-cara periklanan, serta hal-hal lain yang merupakan pendukung dari perusahaan. Dalam pengertian ini dijelaskan bahwa waralaba menekankan suatu kewajiban untuk menggunakan suatu sistem dan metode yang ditetapkan oleh pemberi waralaba termasuk didalamnya hak untuk mempergunakan merek dagang.

Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, menyebutkan bahwa:

(24)

14

Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. Berdasarkan pengertian Pasal 1 di atas, dapat diperjelas bahwa terdapat unsur-unsur pengertian waralaba yaitu hak khusus, para pihak franchisor dan franchisee perseorangan atau badan hukum, sistem bisnis, ciri khas usaha, pemasaran barang dan/atau jasa dan perjanjian waralaba. Waralaba sendiri berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 memiliki kriteria seperti memiliki ciri khas usaha, terbukti sudah memberikan keuntungan, memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis, mudah diajarkan dan diaplikasikan, adanya dukungan yang berkesinambungan, dan adanya hak kekayaan intelektual yang didaftarkan.

Pada tahap ini pengertian franchise masih sederhana, franchise hanya dikenal sebagai pemberian hak untuk mendistribusikan produk serta menjual produk-produk hasil manufaktur. Setelah bertahun-tahun mengalami perkembangan, akhirnya pengertian franchise dan kegiatannya tidak hanya sebatas pada pendistribusian dan penjualan produk-produk manufaktur, melainkan mencakup segala jenis produk, baik itu jasa, perhotelan, dan termasuk industri makanan dan minuman. Pada awalnya franchise dipandang bukan sebagai bisnis, melainkan suatu konsep, metode, atau sistem pemasaran yang dapat digunakan oleh suatu perusahaan (franchisor) untuk mengembangkan pemasarannya tanpa melakukan investasi langsung pada tempat penjualan (outlet), melainkan dengan melibatkan kerjasama pihak lain (franchisee) sebagai pemilik outlet.

Suharnoko mengemukakan bahwa waralaba pada dasarnya adalah “sebuah perjanjian mengenai metode pendistribusian barang dan jasa

(25)

kepada konsumen.” Pemberi Waralaba dalam jangka waktu tertentu memberikan lisensi kepada Penerima Waralaba untuk melakukan usaha pendistribusian barang dan jasa di bawah nama dan identitas Pemberi Waralaba dalam wilayah tertentu.4

Waralaba adalah konfigurasi bisnis dengan sistem pemberian hak pemakaian nama dagang oleh franchisor kepada pihak independen atau franchisee untuk menjual produk atau jasa sesuai dengan kesepakatan.5 Dalam waralaba, pihak-pihak yang terlibat dalam waralaba disebut dengan franchisor (pemberi hak waralaba) dan franchisee (penerima waralaba). Kemudian ketika kedua belah pihak bersepakat melakukan kegiatan waralaba maka secara langsung perjanjian pun telah dibuat. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dua orang itu berjanji untuk suatu hal.6 Dalam pasal 1313 KUH Perdata menyatakan “Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih dengan mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Perjanjian yang menganut azas kebebasan berkontrak. Kebebasan berkontrak adalah dimana para pihak bebas untuk membuat dan menentukanisi dari kontrak yang mereka sepakati.7

b. Perjanjian Franchise

Pengertian perjanjian berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan nama satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Pasal 1313 KUH Perdata menyiratkan bahwa dari suatu perjanjian, lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi bahwa dalam

4 Suharnoko, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 83.

5 Adrian Sutedi, Hukum Waralaba, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), h. 6.

6 Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, (Bandung: Mandar Maju, 2002), h. 4.

7 Abdul Rasyid Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 10.

(26)

16

satu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor).

Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata suatu perjanjian dapat dianggap sah apabila perjanjian itu telah memenuhi syarat sebagai berikut:

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2) Cakap untuk membuat suatu perjanjian. 3) Mengenai suatu hal tertentu.

4) Suatu sebab yang halal.

Dalam melakukan perjanjian waralaba, setidaknya harus ada dua pihak yang hendak melakukan sebuah perjanjian waralaba. Diantaranya:

1) Franchisor

Franchisor atau Pemberi Waralaba adalah perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak kepemilikan waralabanya secara penuh agar dapat digunakan oleh Franchisee.

2) Franchisee

Franchisee atau Penerima Waralaba adalah perseorangan atau badan usaha yang menerima hak kepemilikan waralabanya secara penuh agar dapat digunakan berdasarkan perjanjian yang telah dibuat bersama Franchisor.

2. Perjanjian

a. Pengertian Perjanjian

Hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata yang berjudul tentang Perikatan. Hubungan perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Suatu perjanjian juga dinamakan suatu persetujuan karena dua pihak setuju untuk melaksanakan suatu hal atau sama-sama berjanji untuk melaksanakan suatu hal tertentu. Istilah perjanjian merupakan istilah yang umum dalam dunia hukum. Mengenai pengertian perjanjian diatur dalam

(27)

pasal 1313 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya pada satu orang atau lebih.” Pengertian perjanjian di atas selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja sedangkan sangat luas karena dipergunakannya perkataan perbuatan tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum.

Sebagai perwujudan tertulis dari perjanjian, perjanjian adalah salah satu dari dua dasar hukum yang ada selain undang-undang yang dapat menimbulkan perikatan. Perikatan adalah suatu keadaan hukum yang mengikat satu atau lebih subjek hukum dengan kewajiban-kewajiban yang berkaitan satu sama lain.8

Sementara itu, menurut M. Yahya Harahap, “Suatu perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk melaksanakan prestasi.”9

Dari pengertian Yahya Harahap diatas menegaskan tentang hubungan hak dan juga kewajiban bagi orang yang melaksanakan perjanjian. Jadi, ketika melakukan suatu perjanjian, ada hak dan kewajiban yang melekat pada masing-masing pihak yang harus dilaksanakan supaya perjanjian tersebut terlaksana. Sedangkan dari pengetian R. Subekti, perjanjian tersebut berisi janji kepada orang lain untuk melaksanakan suatu, dimana janji itu harus ditepati.

Menurut R. Setiawan sehubungan dengan itu perlu diadakan 1 perbaikan pengertian perjanjian, yaitu:

1) Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum.

8 Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan Ke-4, (Jakarta: Citra Aditya Bhakti, 1987), h. 12. 9 Syahmin, Hukum Perjanjian Internasional, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 2.

(28)

18

2) Menambah perkataan atau saling mengikatkan dirinya dalam Pasal 1313 KUH Perdata.

Sehingga perumusannya menjadi, persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

Selain dirumuskan oleh para ilmuwan, pengertian perjanjian juga dapat ditemukan dalam peraturan hukum. Dalam KUH Perdata mengartikan bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dalam Buku III Bab Kedua KUH Perdata Indonesia ditemukan istilah perjanjian yang atau persetujuan (contract or agreement) yang memiliki maksud sama dengan perngertian perjanjian, yakni suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.10

Perjanjian erat sekali kaitannya dengan perikatan, sebab ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata menyebutkan bahwa, perikatan dilahirkan baik dari undang-undang maupun perjanjian. Perikatan yang lahir dari perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan oleh undang-undang di luar kemauan para pihak yang bersangkutan.

Apabila dua orang mengadakan perjanjian, maka mereka bermaksud agar antara mereka berlaku suatu perikatan hukum. Berkaitan dengan ketentuan diatas, Subekti berpendapat bahwa perjanjian itu merupakan sumber perikatan yang terpenting karena melihat perikatan sebagai suatu pengertian yang abstrak sedangkan

10 Ahmad Miru, Hukum Perjanjian & Perancangan Perjanjian. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. 2.

(29)

perjanjian diartikan sebagai suatu hal yang kongkrit atau suatu peristiwa.11

b. Asas-Asas Perjanjian

Perjanjian tidak terlepas dari asas. Dari terminologi, asas berartikan dasar atau sesuatu yang dijadikan sebagai tumpuan berpikir atau berpendapat. Menurut KBBI, asas adalah prinsip dasar yang menjadi acuan berpikir seseorang dalam mengambil keputusan-keputusan yang penting di dalam hidupnya. Meninjau dari segi hukum, asas merupakan landasan yang bersifat umum yang menjadi sebuah latar belakang kongkrit untuk lahirnya segala sistem hukum dalam peraturan perundang-undangan maupun putusan hakim yang berbentuk hukum positif dengan sifatnya yang umum dalam peraturan yang jelas.

Jika dikaitkan dengan unsur perjanjian, maka asas yang berkaitan dengan perjanjian meliputi beberapa macam, diantaranya:

1) Asas Perjanjian

Dalam menyusun suatu perjanjian atau perjanjian, baik perjanjian itu bersifat bilateral dan multilateral maupun perjanjian dalam lingkup nasional, regional, dan internasional, harus didasari pada prinsip hukum dan klausul tertentu. Dalam Hukum Perdata dikenal beberapa prinsip dasar yang harus diterapkan dalam penyusunan perjanjian sehingga akan terhindar dari unsur-unsur yang dapat merugikan para pihak pembuat suatu perjanjian yang mereka sepakati.

2) Asas Konsensualisme

Dalam hukum perjanjian, asas konsensualisme berasal dari kata consensus yang berarti sepakat antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian. Menurut Subekti asas consensus itu dilahirkan sejak 7 detik tercapainya kesepakatan. Dengan kata lain perjanjian itu mempunyai akibat hukum sejak saat tercapainya kata sepakat

(30)

20

dari para pihak yang bersangkutan. Asas konsensualisme ini diatur dalam Pasal 1338 (1) jo. Pasal 1320 angka I KUH Perdata. Konsensus antara pihak dapat diketahui dari kata “dibuat secara sah” sedangkan untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yang tercantum di dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang salah satunya menyebutkan “Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya” (Pasal 1320 angka 1 KUH Perdata). Kata sepakat itu sendiri timbul apabila ada pernyataan kehendak dari satu pihak dan pihak lain menyatakan menerima atau menyetujuinya.

Asas konsesualisme merupakan ‘nyawa’ dari suatu perjanjian. Hal ini tersimpul dari kesepakatan para pihak, namun demikian pada situasi tertentu terdapat perjanjian yang tidak mencerminkan wujud kesepakatan yang sesungguhnya. Hal ini disebabkan karena adanya cacat kehendak (wilsgebreke) yang mempengaruhi timbulnya perjanjian. Dalam BW cacat kehendak meliputi tiga hal, yaitu:

a) Kesesatan atau dwaling. b) Penipuan atau bedrog. c) Paksaan atau dwang. 3) Asas Kebebasan Berperjanjian

Asas kebebasan berperjanjian dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”12 Asas kebebasan berperjanjian adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

a) Membuat perjanjian atau tidak membuat perjanjian.

b) Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

12 Salim, Hukum Perjanjian, Teori dan Praktik Penyusunan Perjanjian, (Jakarta: Sinar Gafika, 2008), h. 9.

(31)

c) Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

d) Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

4) Asas Itikad Baik

Asas itikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) bahwa perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Sementara itu, Arrest H.R. dari Belanda mengatakan peranan tertinggi terhadap itikad baik dalam tahapan pra-perjanjian bahkan kesesatan ditempatkan di bawah asas itikad baik, bukan lagi pada teori kehendak.13

c. Unsur-Unsur Perjanjian

Suatu perjanjian memiliki unsur-unsur yang mendukung terjadinya suatu perjanjian tersebut. Dalam dataran teori, unsur-unsur itu dapat dikelompok menjadi tiga kelompok sebagai berikut:14

1) Unsur Essensialia

Adalah unsur perjanjian yang harus ada di dalam perjanjian, unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian tidak mungkin ada. Contohnya adalah sebagai berikut:

a) “Sebab yang Halal” merupakan essensialia untuk adanya perjanjian. Dalam perjanjian jual beli harga dan barang yang disepakati kedua belah pihak harus sama.

b) Pada perjanjian riil, syarat penyerahan objek perjanjian merupakan essensialia, sama seperti bentuk tertentu merupakan essensialia dari perjanjian formal.

13 Ahmad Miru, Hukum Perjanjian dan Perancangan Perjanjian, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Pesada, 2008), h. 5.

14 J. Satrio, Hukum Perjanjian, Ctk. Pertama, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992), h. 57-58.

(32)

22

2) Unsur Naturalia.

Adalah unsur perjanjian yang telah diatur oleh undang-undang, tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan atau diganti. unsur tersebut oleh undang-undang diatur dengan hukum yang mengatur atau menambah (regelend/aanvullend recht). Contoh: kewajiban penjual untuk menanggung biaya penyerahan (Pasal 1476 KUH Perdata) dan untuk menjamin atau vrywaren (Pasal 1491 KUH Perdata) dapat disimpangi atas kesepakatan kedua belah pihak. Dalam perjanjian, para pihak dapat mencantumkan klausula yang isinya menyimpangi kewajiban penjual, misalnya dalam pasal 1476 KUH Perdata dengan menetapkan: “Menyimpang dari apa yang ditetapkan dalam pasal 1476 KUH Perdata, para pihak sepakat untuk menetapkan bahwa biaya pengiriman objek perjanjian ditanggung oleh pembeli sepenuhnya.”

Penyimpangan atas kewajiban penjual, misalnya pada Pasal 1491 KUH Perdata dapat diberikan dalam bentuk sebagai berikut: “para pihak dengan ini menyatakan, bahwa para pihak telah mengetahui dengan bentuk-bentuk, warna serta keadaan dari objek perjanjian dan karenanya para pihak sepakat untuk menetapkan, bahwa segala tuntutan atas dasar cacat tersembunyi tidak lagi dibenarkan.”

3) Unsur Accidentalia

Adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak, undang-undang sendiri tidak mengatur mengenai hal tersebut. Contohnya dalam perjanjian jual beli rumah, para pihak sepakat untuk menetapkan bahwa jual beli tersebut tidak meliputi pintu pagar besi yang ada di halaman depan rumah.

(33)

d. Syarat Sah Perjanjian

Suatu perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang diatur oleh undang-undang. Perjanjian tersebut diakui sah dan mendapat akibat hukum (legally concluded contract). Menurut ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, syarat-syarat sah perjanjian: 1) Ada persetujuan kehendak (consensus).

Persetujuan kehendak adalah kesepakatan atau kesetujuan para pihak mengenai pokok-pokok isi perjanjian yang dikehendaki oleh pihak yang satu dan juga dikehendaki oleh pihak lainya. Persetujuan tersebut sudah mutlak, tidak lagi dalam proses perundingan. Sebelum ada persetujuan, biasanya para pihak mengadakan perundingan, pihak yang satu menyampaikan keinginan dan syarat-syaratnya mengenai objek perjanjian kepada pihak yang lain dan pihak yang lainya menyatakan kehendaknya mengenai objek perjanjian sehingga tercapai persetujuan yang mantap bagi kedua pihak.

Persetujuan kehendak itu sifatnya bebas, artinya tidak ada paksaan ataupun tekanan dari pihak manapun juga, sepenuhnya atas kemauan sukarela para pihak. Juga termasuk persetujuan kehendak tidak dikarenakan ada kehilafan dan tidak ada penipuan. 2) Kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian (capacity).

Kecakapan bertindak merupakan salah satu cakap hukum, yaitu kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang yang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin walaupun belum berumur 21 tahun.

3) Ada suatu hal tertentu (objek).

Suatu hal tertentu yang terdapat dalam isi perjanjian yang wajib dipenuhi/prestasi disebut sebagai objek perjanjian. Kejelasan mengenai isi pokok perjanjian atau objek perjanjian adalah untuk

(34)

24

memastikan pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak. Jika isi pokok perjanjian, atau objek perjanjian, atau prestasi perjanjian tidak jelas, atau sulit bahkan tidak mungkin untuk dilaksanakan, maka perjanjian itu batal (nietig void).

4) Ada suatu sebab yang halal (causa).

Adalah sebuah hal yang menyebabkan atau mendorong seseorang untuk membuat perjanjian. Menurut KUH Perdata Pasal 1335 disebutkan bahwa ”Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.” Tetapi dalam Pasal 1336 KUH Perdata disebutkan “Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang halal, ataupun jika ada suatu sebab lain, daripada yang dinyatakan, perjanjianya namun demikian adalah sah.” Sebab yang halal menurut Pasal 1337 KUH Perdata adalah sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang, tidak berlawanan dengan kesusilaan ataupun ketertiban umum.15

3. Wanprestasi

a. Pengertian Wanprestasi

Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda “wanprestastie”, yang artinya tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undang-undang.

Menurut Kamus Hukum, wanprestasi berarti kelalaian, kealpaan, cidera janji, tidak menepati kewajibannya dalam perjanjian. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa. Adapun yang menyatakan bahwa wanprestasi

15 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. (Jakarta: Pradnya Paramita. Cetakan ke-37. 2006), h. 341.

(35)

adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.16

Pengertian umum mengenai wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Wanprestasi adalah pelaksanaan perjanjian yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya atau tidak dilaksanakan sama sekali.17

Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa adapun yang menyatakan bahwa wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur. Wanprestasi atau tidak dipenuhinnya janji dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja.18

Jika dalam pelaksanaannya ada salah satu pihak yang menyalahi kontrak yamg telah disepakati, maka dapat pula dikatakan sebagai sebuah wanprestasi. Wanprestasi adalah tidak terpenuhinya atau lalai melaksanakan kewajiban (prestasi) sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat. Wanprestasi dapat berupa:19

1) Tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilakukannya. 2) Melaksanakan apa yamg dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana

mestinya.

3) Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.

16 Salim H.S., Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h. 96.

17 Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Cetakan Kedua, (Bandung: Alumni, 1986), h. 60.

18 Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 180.

(36)

26

Melakukan suatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Mengenai pengertian dari wanprestasi, menurut Ahmadi Miru wanprestasi itu dapat berupa perbuatan:

1) Sama sekali tidak memenuhi prestasi. 2) Prestasi yang dilakukan tidak sempurna. 3) Terlambat memenuhi prestasi.

4) Melakukan apa yang dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan.20 Sedangkan menurut A. Qirom Syamsudin Meliala wanprestasi itu dapat berupa:

1) Tidak memenuhi prestasi sama sekali. Sehubungan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasi maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.

2) Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya. Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktu, sehingga dapat dikatakan wanprestasi.

3) Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru. Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi, maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.21

b. Berakhirnya Perjanjian

Suatu perjanjian dikatakan berakhir apabila segala sesuatu yang menjadi isi perjanjian telah dilaksanakan. Semua kesepakatan diantara para pihak menjadi berakhir setelah apa yang menjadi tujuan diadakannya perjanjian telah tercapai oleh para pihak. Berakhirnya perjanjian harus dibedakan dengan berakhirnya perikatan, karena

20 Ahmadi Miru, Sakka Pati, Hukum Perikatan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 74. 21 A. Qirom Syamsuddin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, (Yogyakarta: Liberty, 1985), h. 26.

(37)

perjanjian baru berakhir apabila seluruh perikatan yang timbul karenanya telah terlaksana.22

B. Kerangka Teori

Ketika sedang melakukan sebuah penelitian, maka teori sangat diperlukan untuk melangsungkan sebuah penelitian agar dapat tercapainya tujuan dari penelitian tersebut. Teori berasal dari kata theoria, dimana dalam Bahasa Latin artinya perenungan, sedangkan dalam Bahasa Yunani berasal dari kata

thea yang artinya cara atau hasil pandang.23

Karena penelitian ini bertajuk penelitian hukum, maka teori yang digunakan adalah teori hukum. Teori Hukum dapat digunakan untuk menganalisis dan menerangkan pengertian hukum dan konsep yuridis, yang relevan untuk menjawab permasalahan yang muncul dalam penelitian hukum.24 Jadi, dalam penulisan ini teori yang digunakan untuk menunjang penulisan ini adalah Teori Perlindungan Hukum.

Perlindungan hukum itu sendiri adalah upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu Hak Asasi Manusia kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam kepentingannya tersebut.25

1. Tinjauan Tentang Perlindungan Hukum a. Pengertian Tentang Perlindungan Hukum

Pada dasarnya, perlindungan sangat dibutuhkan bagi setiap orang ataupun kelompok agar dapat terlindungi dalam melakukan hal apapun. Maka dari itu, untuk dapat mewujudkan sebuah perlindungan, maka diperlukan sebuah perangkat yang mampu menghadirkan wujud dari perlindungan tersebut. Hukum merupakan sebuah perangkat ideal umtuk mewujudkan setiap perlindungan yang dibutuhkan. Menurut

22 Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 30.

23 Otje Salman dan Anto Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan, dan

Membuka Kembali, (Bandung: Refika Aditama, 2004), h. 21.

24 Salim HS, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h. 54.

25 Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2003), h. 121.

(38)

28

Satjipto Rahardjo, Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.26 Hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antipatif.27

Menurut Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum adalah sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya. Berkaitan dengan konsumen, berarti hukum memberikan perlindungan terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut.28 Apeldoorn mengatakan bahwa kepastian hukum memiliki dua segi yaitu dapat ditentukannya hukum dalam hal yang konkret dan keamanan hukum. Hal ini berarti pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui apa yang menjadi hukum dalam suatu hal tertentu sebelum ia memulai perkara dan perlindungan bagi para pihak dalam kesewenangan hakim.29

Dari sekian pengertian dari para ahli yang telah dijabarkan, maka jika diizinkan untuk menyimpulkan, maka perlindungan hukum adalah perwujudan dari cara kerja hukum untuk menjamin hak-hak yang dipunyai setiap orang ataupun kelompok agar hak-hak tersebut tetap terlindungi.

Dengan hadirnya hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berguna untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang biasa bertentangan antara satu sama lain. Maka dari

26 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), h. 53. 27 Lili Rasjidi dan I. B. Wysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rusdakarya, 1993), h. 118.

28 Setiono, Rule Of Law (Supremasi Hukum), (Surakarta: Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2004) h. 3.

29 A. Madjedi Hasan, Kontrak Minyak dan Gas Bumi Berazas Keadilan dan Kepastian

(39)

itu, hukum harus bisa mengintegrasikannya sehingga benturan-benturan kepentingan itu dapat ditekan seminimal mungkin. Pengertian terminologi hukum dalam Bahasa Indonesia menurut KBBI adalah peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa ataupun pemerintah, undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat, patokan atau kaidah tentang peristiwa alam tertentu, keputusan atau pertimbangan yang ditetapkan oleh hakim dalam pengadilan, atau vonis.30 Pendapat mengenai pengertian untuk memahami arti hukum yang dinyatakan oleh Dr. O. Notohamidjojo, S.H. Hukum ialah keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya beersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat negara serta antara negara yang berorientasi pada dua asas, yaitu keadilan dan daya guna, demi tata dan damai dalam masyarakat.31 Menurut Prof. Mahadi, S.H. Pengertian hukum adalah seperangkat norma yang mengatur laku manusia dalam masyarakat. Menurut Soedjono Dirdjosisworo bahwa pengertian hukum dapat dilihat dari delapan arti, yaitu hukum dalam arti penguasa, hukum dalam arti para petugas, hukum dalam arti sikap tindakan, hukum dalam arti sistem kaidah, hukum dalam arti jalinan nilai, hukum dalam arti tata hukum, hukum dalam arti ilmu hukum, dan hukum dalam arti disiplin hukum.

Perlindungan hukum bagi setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali, dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), untuk itu setiap produk yang dihasilkan oleh legislatif harus senantiasa mampu memberikan jaminan perlindungan hukum bagi semua orang, bahkan harus mampu menangkap aspirasi-aspirasi hukum dan keadilan yang berkembang di

30 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, Edisi kedua, cet. 1, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 595.

31 Syamsul Arifin, Pengantar Hukum Indonesia, (Medan: Medan area University Press, 2012), h. 5-6.

(40)

30

masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur tentang adanya persamaan kedudukan hukum bagi setiap warga negara. Perlindugan hukum juga dapat diartikan sebagai tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.32

b. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum

Dalam prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat yang berdasarkan Pancasila, dibedakan menjadi dua antara lain sebagai berikut:33

1) Prinsip Pengakuan dan Perlindungan terhadap Hak-Hak Asasi Manusia. Prinsip perlindugan hukum bagi rakyat terhadap tindak pemerintahan yang bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban pada masyarakat dan pemerintah. Dengan demikian dalam usaha merumuskan prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat berdasarkan Pancasila, diawali dengan uraian tentang konsep dan deklarasi tentang hak-hak asasi manusia.

2) Prinsip Negara Hukum Prinsip kedua yang melandasi perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dikatakan sebagai tujuan daripada negara hukum.

32 Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum), (Surakarta: Tesis Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2004), h. 3.

33 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), h. 19.

(41)

c. Bentuk dan Sarana Perlindungan Hukum

Menurut R. La Porta dalam Jurnal of Financial Economics, bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh suatu negara memiliki dua sifat, yaitu bersifat pencegahan (prohibited) dan bersifat hukuman (sanction). Bentuk perlindungan hukum yang paling nyata adalah adanya institusi-institusi penegak hukum seperti pengadilan, kejaksaan, kepolisian, dan lembaga-lembaga penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non-litigasi) lainnya. Perlindungan yang di maksud dengan bersifat pencegahan (prohibited) yaitu membuat peraturan. Sedangkan Perlindungan yang di maksud bersifat hukuman (sanction) yaitu menegakkan peraturan.

Adapun tujuan serta cara pelaksanananya antara lain sebagai berikut: 1) Membuat peraturan yang bertujuan untuk:

a) Memberikan hak dan kewajiban. b) Menjamin hak-hak pra subyek hukum. 2) Menegakkan peraturan Melalui:

a) Hukum administrasi negara yang berfungsi untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak dengan perizinan dan pengawasan.

b) Hukum pidana yang berfungsi untuk menanggulangi setiap pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, dengan cara mengenakan sanksi hukum berupa sansksi pidana dan hukuman.

c) Hukum perdata yang berfungsi untuk memulihkan hak dengan membayar kompensasi atau ganti kerugian.34

Perlindungan hukum dalam konteks Hukum Administrasi Negara merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada

34 Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2007), h. 31.

(42)

32

subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif (pencegahan) maupun dalam bentuk yang bersifat represif (pemaksaan), baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum.

Perlindungan hukum bagi rakyat meliputi dua hal, yakni:

1) Perlindungan Hukum Preventif, yakni bentuk perlindungan hukum di mana kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapat sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif.

2) Perlindungan Hukum Represif, yakni bentuk perlindungan hukum di mana lebih ditujukan dalam penyelesian sengketa.35

Perlindungan hukum yang diberikan bagi rakyat Indonesia merupakan implementasi atas prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila. Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum. Hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari hukum. Oleh karena itu terdapat banyak macam perlindungan hukum.

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Peneliti sangat menyadari bahwa penulisan tentang waralaba (franchise) sudah dilakukan sebelum penulisan ini dibuat. Maka dari itu, peneliti melakukan telaah pustaka untuk mencari literatur yang memiliki korelasi dengan penelitian yang akan dilakukan. Apabila dibandingkan akan terlihat perbedaannya sehingga tampak orisinalitas dari judul dan permasalahan yang akan dibuat oleh peneliti.36 Berkut adalah tinjauan kajian terdahulu yang peneliti temukan:

35 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009), h. 41.

36 I Made Pasek Diantha, Metode Penelitian Hukum Normatif, Cet. 2, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2017). h. 179.

(43)

1. Annisa Dyah Utami37 Pada skripsinya yang berjudul Konsep Franchise Fee dan Royalty Fee pada Waralaba Bakmi Tebet Menurut Prnsip Syariah. Menerangkan bagaimana konsep ini ditinjau dari Hukum Islam. Skripsi ini dikeluarkan oleh Univrsitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada Tahun 2010. Skripsi ini membahas atau mengkaji bagaimana penerapan konsep Franchise Fee dan Royalty Fee dari Bakmi Tebet dengan dilihat dari perspektif Ekonomi dan penerapannya pada konsep Syariah.

Kesamaan dalam penulisan skripsi ini adalah sama-sama menganalisa tentang sistem dan penerapan dalam Franchise Fee dan Royalty Fee yang merupakan bagian-bagian dari hasil perjanjian waralaba. Perbedaan di dalam skripsi ini adalah peneliti berfokus pada kerugian hasil yang disepakati dalam perjanjian waralaba dari segi keseluruhan dengan meninjau dari aspek hukum positif yang berdasarkan pada Undang-Undang yang berlaku di Indonesia.

2. Adhitya Bagus Kuncoro38 Pada skripsinya yang berjudul Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual dalam Perjanjian Waralaba (Studi Perlindungan Hukum Bagi Franchisee dan Franchisor Pada Produk Bebek Goreng Haji Slamet). Menerangkan tentang perlindungan waralaba dalam konteks pembahasan Hak Atas Kekayaan Intelektual. Skripsi ini dikeluarkan oleh Universitas Muhammadiyah Surakarta pada tahun 2014. Skripsi ini membahas tentang bagaimana perlindungan hukum atas hak kekayaan intelektual yang harus dilakukan dalam konteks waralaba.

Kesamaan dalam penulisan skripsi terletak pada sama-sama menganalisa perlindungan hukum yang diberikan kepada pelaku

37 Annisa Dyah Utami, Konsep Franchse Fee dan Royalty Fee pada Waralaba Bakmi Tebet Menurut Prinsip Syariah, (Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010) Diakses pada tanggal 1 Agustus 2019 pukul 22.10 WIB.

38 Aditya Bagus Kuncoro, Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual dalam Perjnjian Waralaba (Studi Perlindungan Hukum Bagi Franchisee dan Franchisor Pada Produk Bebek Goreng Haji Slamet), (Skripsi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2014) Diakses pada tanggal 1 Agustus 2019 pukul 22.17 WIB.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pembahasan, dapat diperoleh kesimpulan bahwa pertimbangan hukum hakim terhadap gugatan wanprestasi dalam penandatanganan surat kontrak pemborongan pekerjaan

Dan pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam perkara ini adalah menolak permohonan kasasi dari para pemohon kasasi (ahli waris dari penyewa) dan mereka

Dengan demikian, maka menurut hukum acara pidana patutlah bagi Majelis Hakim Agung pada tingkat Pemeriksaan Peninjauan Kembali untuk membatalkan putusan judex pacti Pengadilan Tinggi

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut di atas menurut Hakim pemeriksa perkara permohonan ini, alasan pemohon untuk merubah/ mengganti nama pada

Pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 493/K/Pdt/2012 tersebut memang sudah sesuai dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat

Judex Facti Majelis Hakim pada Pengadilan Hubungan Industrial telah keliru serta tidak berdasarkan ketentuan hukum dalam memberikan pertimbangan untuk menjatuhkan putusan

Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini berkenan untuk membatalkan semua perbuatan hukum yang dilakukan oleh Tergugat I kepada Tergugat II sampai dengan Tergugat

Penulis meneliti mengenai keabsahan Akta Notariil Perjanjian Pengikatan Jual Beli PPJB menurut pertimbangan hukum hakim di tiap tingkat peradilan yang berbeda, dengan judul “ Keabsahan