• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKIBAT HUKUM KELALAIAN DEBITUR UNTUK MEMENUHI PERJANJIAN PERDAMAIAN DALAM PKPU (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 376/K/Pdt.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "AKIBAT HUKUM KELALAIAN DEBITUR UNTUK MEMENUHI PERJANJIAN PERDAMAIAN DALAM PKPU (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 376/K/Pdt."

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

AKIBAT HUKUM KELALAIAN DEBITUR UNTUK MEMENUHI PERJANJIAN PERDAMAIAN DALAM PKPU

(Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 376/K/Pdt.Sus-Pailit/2017)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

HARY AZHARI 140200168

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)
(3)

ABSTRAK

AKIBAT HUKUM KELALAIAN DEBITUR UNTUK MEMENUHI PERJANJIAN PERDAMAIAN DALAM PKPU

(Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 376/K/Pdt.Sus-Pailit/2017)

*Hary Azhari

** Sunarmi

***Tri Murti Lubis, SH. M.H

Masalah kepailitan selalu menimbulkan akibat, baik bagi kreditur maupun bagi debitur dan juga karyawan suatu perusahaan yang berhubungan dengan pemutusan hubungan kerja. Secara lebih luas kepailitan akan membawa dampak yang besar dan penting terhadap perekonomian suatu negara yang dapat mengancam kerugian perekonomian negara yang bersangkutan. Permasalahan dalam penelitian ini Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang oleh Perseroan Terbatas Sebagai Debitur Menurut Undang-Undang No.37 Tahun 2004.Bagaimanakah pembatalan perjanjian perdamaian yang disahkan dalam penundaan kewajiban pembayaran utang.Apa akibat hukum kelalaian debitur untuk memenuhi perjanjian perdamaian dalam PKPU (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 376/K/Pdt.Sus-Pailit/2017).

Penelitian bersifat deskriptif dan menggunakan pendekatan yuridis normatif.Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan (Library Research) dan dianalisis secara kualitatif.

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Oleh Perseroan Terbatas Sebagai Debitur Menurut Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang PKPU hanya berlaku pada kreditur konkuren sesuai dengan Pasal 222 ayat (2) UUKPKPU. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 244 UUKPKPU bahwa penundaan kewajiban pembayaran utang tidak berlaku terhadap tagihan-tagihan dari kreditur separatis atau tagihan yang diistimewakan terhadap barang-barang tertentu milik kreditur.Pembatalan suatu perdamaian yang telah disahkan, boleh dituntut oleh tiap-tiap kreditur, jika terbukti perdamaian lalai memenuhi isi perdamaian tersebut. Dalam sidang yang memeriksa pembatalan perdamaian itu, si perdamaian (pailit) juga diberikan hak melakukan pembuktian, bahwa ia benar-benar telah memenuhi kewajiban atau sebaliknya. Akibat hukum kelalaian debitur untuk memenuhi perjanjian perdamaian dalam PKPU (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 376/K/Pdt.Sus-Pailit/2017), sesuai fakta persidangan Termohon Pailit terbukti tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Perjanjian Perdamaian (Homologasi), dan karena itu dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya, karena itu terhadap putusan a quo tidak tersedia upaya hukum.

Kata Kunci :Akibat Hukum Kelalaian Debitur, Perjanjian Perdamaian PKPU

*Hary Azhari

** Sunarmi

***Tri Murti Lubis, SH. M.H

(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudu l “AKIBAT HUKUM KELALAIAN DEBITUR UNTUK MEMENUHI PERJANJIAN PERDAMAIAN DALAM PKPU (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 376/K/Pdt.Sus-Pailit/2017)”

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah berusaha sebaik mungkin namun karena keterbatasan yang dimiliki, penulis menyadari masih banyak kekurangan baik dari penyajian materi maupun penyampaiannya.Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran bagi berbagai pihak guna memberikan masukan demi kesempurnaan skripsi ini.

Dalam masa penulisan skripsi ini penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulis banyak sekali menerima bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus dosen pembimbing I, yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, nasehat dan saran mulai dari awal sampai akhir sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

(5)

3. Prof. Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum, selaku wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum, selaku wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum, selaku wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

6. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M.H, selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum, selaku Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, nasehat dan saran mulai dari awal sampai akhir sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

8. Ibu Tri Murti Lubis, SH. M.H, selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, nasehat dan saran mulai dari awal sampai akhir sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

9. Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Ucapan terima kasih yang tiada tara untuk kedua orang tua yaitu ayahanda Surya Wijaya dan ibunda Yuhani Malay, tak lupa juga buat, yang selalu memberikan motivasi, nasehat, cinta, perhatian, dan kasih sayang serta doa yang tentu takkan bisa penulis balas.

11. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya untuk kedua saudara penulis yaitu Rahmi Susanti dan Merisa Andriani yang terus-menerus memberikan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Teman-teman seperjuangan yang telah membantu , memberikan motivasi, dan menghibur penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

(6)

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis sendiri pada khususnya.Semoga amal baik pihak-pihak yang telah memberikan bantuan terhadap penulis, menerima balasan yang setimpal oleh Tuhan Yang Maha Esa, Amin.

Medan, Agustus 2018 Penulis

HARY AZHARI

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Keaslian Penelitian ... 9

E. Tinjauan Pustaka ... 11

F. Metode Penelitian ... 17

G. Sistematika Penulisan ... 20

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH PERSEROAN TERBATAS SEBAGAI DEBITUR MENURUT UNDANG-UNDANG NO.37 TAHUN 2004 A. Pengertian dan Syarat Pengajuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang oleh PT Sebagai Debitur ... 22

B. Maksud Maksud Dan Tujuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ... 32

C. Mekanisme Pengajuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang oleh PT sebagai Debitur menurut UU No.37 Tahun 2004 .. 37

D. Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang Diajukan Oleh PT sebagai Debitur ... 40 BAB III PEMBATALAN PERJANJIAN PERDAMAIAN YANG

DISAHKAN DALAM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

(8)

A. Perjanjian Perdamaian Dalam Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang ... 49 B. Status Perdamaian yang Disahkan Terhadap Para Pihak

dan Berakhirnya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ... 56

C. Pembatalan Perjanjian Perdamaian Yang Disahkan

Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ... 59

BAB IV AKIBAT HUKUM KELALAIAN DEBITUR UNTUK

MEMENUHI PERJANJIAN PERDAMAIAN DALAM PKPU (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor

376/K/Pdt.Sus-Pailit/2017)

A. Posisi Kasus Putusan Mahkamah Agung

Nomor 376/K/Pdt.Sus-Pailit/2017 ... 63

B. Akibat Hukum Kelalaian Debitur Untuk Memenuhi

Perjanjian Perdamaian Dalam PKPU ... 69 C. Analisis PutusanMahkamah Agung

Nomor 376/K/Pdt.Sus-Pailit/2017 ... 73

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 78 B. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA

(9)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Praktik dalam dunia usaha, suatu perusahaan tidak selalu berjalan sebagaimana yang direncanakan.Ada masa-masa tertentu ketika perusahaan tersebut mengalami kesulitan keuangan, sehingga perusahaan tersebut menemui kesulitan atau bahkan tidak sanggup lagi membayarkan utang-utangnya.1

Sering kali pinjaman kepada pihak ketiga tersebut malah menjadi beban tambahan dari perusahaan tersebut mengingat bunga yang melekat pada pinjaman tersebut diiringi dengan kondisi keuangan yang tidak kunjung membaik, sehingga Kreditur juga tidak diberikan kejelasan atas piutang mereka. Hal tersebut merupakan salah satu hal yang melatarbelakangi Undang-Undang Kepailitan sebagai sarana dan instrumen untuk melindungi para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar

Kondisi fundamental perekonomian suatu negara turut melatarbelakangi kesulitan keuangan yang dialami oleh perusahaan tersebut.Kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah juga dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan perusahaan tersebut untuk mencapai stabilitas keuangan. Demi menjaga kesehatan keuangan, lazimnya perusahaan tersebut melakukan pinjaman kepada pihak ketiga, baik berupa obligasi maupun cara-cara lain yang diperkenankan oleh peraturan perundang-undangan dan peraturan teknis lainnya .

2

1Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm. 3.

2Erman Radjagukuguk, Latar Belakang dan Ruang Lingkup Undang -‐Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan, dalam Rudhy A. Lontoh dkk,Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001), hlm. 181

(10)

Pada umumnya, secara teoritik debitur yang memiliki masalah utang piutang berkaitan dengan kemampuan membayar utang, menempuh berbagai alternatif penyelesaian.Debitur dapat merundingkan permintaan penghapusan utang baik untuk sebagian atau seluruhnya.Debitur dapat pula menjual sebagian aset atau bahkan usahanya, serta dapat pula mengubah pinjaman tersebut menjadi penyertaan saham. Selain kemungkinan tadi, debitur dapat pula merundingkan permintaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), sebagai upaya terakhir barulah ditempuh melalui proses kepailitan.3

Secara umum gugatan yang diterapkan pada hukum kepailitan merupakan proses yang sama dengan gugatan yang ada pada hukum perdata.4Hal ini dapat dikatakan, karena kepailitan itu sendiri diawali dengan adanya suatu hubungan hukum perdata antara kreditur dan debitur walaupun secara khusus telah diaturdidalam undang-undang tersendiri yang mengatur tentang hukum kepailitan.5

Sejalan dengan perkembangan perdagangan yang semakin cepat meningkat dan dalam skala yang lebih luas mengglobal, masalah utang piutang perusahaan juga semakin rumit, dan membutuhkan aturan hukum yang efektif.Perkembangan perekonomian global membutuhkan aturan hukum kepailitan untuk menyelesaikan masalah utang piutang perusahaan yang berguna untuk memenuhi kebutuhan hukum para pelaku bisnis dalam menyelesaikan

3Bambang Koeswoyo, Perpu No. 1 Tahun 1998, Latar Belakang dan Arahnya dalam:

Rudhy A. Lontoh, et.al, hlm 101

4Sri Rejeki Hartono, Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepailitan Modern, (Jakarta:

Majalah Hukum Nasional, 2000), hlm. 81

5Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia, Dualism Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbtrase, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm.

100

(11)

permasalahan utang piutang.Globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi, dalam arti substansi berbagai undang-undang dan perjanjian-perjanjian menyebar melewati batas-batas negara.6

Masalah kepailitan selalu menimbulkan akibat, baik bagi kreditur maupun bagi debitur dan juga karyawan suatu perusahaan yang berhubungan dengan pemutusan hubungan kerja. Secara lebih luas kepailitan akan membawa dampak yang besar dan penting terhadap perekonomian suatu negara yang dapat mengancam kerugian perekonomian negara yang bersangkutan. Kerugian tersebut ditimbulkan akibat banyaknya perusahaan-perusahaan yang menghadapi ancaman kesulitan membayar utang-utangnya terhadap para krediturnya.7Apabila seorang debitur diputuskan menjadi debitur pailit oleh Pengadilan Niagamembawa konsekuensi hukum, yaitu pada debitur akan dijatuhkan sita umum terhadapseluruh harta debitur pailit dan hilangnya kewenangan debitur pailit untuk menguasai dan mengurusi harta pailitnya. Sementara itu, bagi krediturakan mengalami ketidakpastian tentang hubungan hukum yang ada antara debitur pailit dan kreditur.8

Selama ini yang diketahui bahwa banyak pihak yang kurang puas terhadap pelaksanaan kepailitan.Seperti banyaknya urusan kepailitan yang tidak tuntas, lamanya waktu persidangan yang diperlukan, tidak adanya kepastian hukum yang jelas, merupakan beberapa dari sekian banyak alasan yang ada.Selain itu, beberapa kelemahan penyelesaian sengketa di pengadilan merupakan

6Sunarmi, Hukum Kepailitan. Edisi Kedua, (Jakarta: Sofmedia, 2010), hlm 1

7Ibid

8Imran Nating, Peranan dan Tanggug Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 5

(12)

penyelesaian sengketa sangat lambat, biaya berperkara mahal, peradilan tidak responsif, putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah dan yang terakhir kadang-kadang para Hakim bersifat generalis.9

1. Untuk menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu yangsama ada beberapa kreditur yang menagih piutangnya dari debitur.

Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU) dikemukakan beberapa faktor mengenai perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, antara lain :

2. Untuk menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaanyangmenuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpamemperhatikan kepentingan debitur atau para kreditur lainnya.

3. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan olehsalah seorang kreditur atau debitur sendiri. Misalnya, debitur berusahauntuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang krediturtertentu sehingga kreditur lainnya dirugikan, atau adanya perbuatancurang dari debituruntuk melarikan semua harta kekayaannya denganmaksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditur.10

Perubahan dan perkembangan peraturan perundang-undangan mengenai Kepailitan dan PKPU memiliki dampak yang sangat besar dalam meningkatkan

9Ahmad Muliadi, Alternative Dispute Resolution Sebagai Penyelesaian Sengketa Perdagangan, (Jakarta: Diktat Kuliah Fakultas Hukum Universitas Jayabaya,2002),hlm.4.

10Meidita Andriani, “Kepailitan Penjamin (Guarantor) karena Debitor Tidak membayar Utangnya”,Tesis, Fakultas Hukum Universita Airlangga, Surabaya, 2015, hlm13

(13)

penyelesaian hutang piutang antara debitur dan kreditur.Tujuan akhir dari Kepailitan dan PKPU adalah terciptanya perdamaian antara debitur dan kreditur.

Perdamaian tersebut dapat diajukan oleh debitur dalam bentuk Rencana Perdamaian.Pengaturan mengenai Perdamaian dalam UUK-PKPU diatur dalam Bagian Kedua dari Bab III yaitu dari Pasal 265 sampai Pasal 294.11

Frans Hendra Winarta dalam bukunya hukum penyelesaian sengketa sengatakan secara konvensional, penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis, seperti dalam perdagangan, perbankan, proyek pertambangan, minyak dan gas, energi, infrastruktur, dan sebagainya dilakukan melalui proses litigasi. Dalam proses litigasi menempatkan parapihak saling berlawanan satu sama lain, selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remidium) setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil.12

Kepailitan merupakan sengketa perdata khusus yang memiliki yurisdiksi tersendiri dan hanya dapat diputus oleh Pengadilan Niaga.Pasal 303 UUK-PKPU menegaskan bahwa Pengadilan Niaga tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak sekalipun perjanjian utang piutang di antara para pihak memuat klausul arbitrase.Ketentuan tersebut membuka kemungkinanterjadinya kepailitan debitur yang terikat dalam kontrak yang memuat klausula arbitrase maupun debitur yang sedang berpekara sebagai pemohon di forum arbitrase.Permasalahan muncul ketika permohonan pernyataan pailityang terikat klausul arbitrase dikabulkan. Di satu sisi, arbitrase merupakan

11Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, Cetakan keempat (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2010), hlm 363

12Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm 1-2.

(14)

proses penyelesaian sengketa di luar peradilan umum (non litigasi) mengenai hak yang tercakup dalam hukum kekayaan. Di sisi lain, kepailitan mengakibatkandebitur yang dinyatakan pailit demi hukum kehilangan haknya untuk mengurus dan menguasai harta kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit.13

Perdamaian merupakan tujuan dari dilaksanakannya PKPU. Perdamaian tersebut berupa perjanjian antara debitur dan para kreditur dimana debitur menawarkan untuk melakukan pembayaran utangnya dengan syarat bahwa ia setelah melakukan pembayaran baik sepenuhnya ataupun sebagian, maka debitur telah melaksanakan perjanjian perdamaian, sehingga debitur tidak mempunyai utang kembali. 14 Hal ini dibenarkan, karena secara hukum UUK-PKPU memberikan hak kepada debitur untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua kreditur.15

Berdasarkan perjanjian perdamaian tanggal 27 Januari 2015, sisa utang Termohon Pembatalan kepada Pemohon Pembatalan adalah sebesar Rp8.288.724.050,- (delapan miliar dua ratus delapan puluh delapan juta tujuh ratus dua puluh empat ribu lima puluh rupiah) diangsur selama 24 (dua puluh empat) bulan dengan Grace Period selama 2 (dua) bulan, sebagai dituangkan dalam Daftar Angsuran. Termohon Pembatalan ternyata tidak mentaati isi dari Perjanjian Perdamaian, karena sudah tidak melakukan pembayaran kepada Pemohon Pembatalan, maka telah menunggak pembayaran-pembayaranyang

13Ibid

14Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan (Malang: UMM Press, 2008),hlm. 175

15Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang.Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.Pasal 222 ayat (2).

(15)

sudah jatuh tempo angsuran bulan kelima dan angsuran bulan keenam, maka untuk mengingatkanTermohon Pembatalan, agar melakukan pembayaran, Kuasa Hukum Pemohon Pembatalan telah mengirimkan beberapa kali Surat Peringatan.16

Pemohon pembatalan telah beberapa kali mengirimkan Surat Peringatan kepada Termohon Pembatalan, namun Termohon Pembatalan, namun tetap belum juga melakukan pembayaran kepada Pemohon Pembatalan, sampai dengan Permohon ini diajukan total tunggakan angsuran pembayaran Termohon Pembatalan adalah sebesar Rp4.449.600.000,-(Bukti P-4). Dengan demikian sudah terbukti Termohon Pembatalan sudah“default” terhadap Perjanjian Perdamaian/Homologasi tanggal 27 Januari 2015, maka sudah cukup terbukti kalau Termohon Pembatalan sudah tidak dapat lagi melanjutkan pembayaran utangnya kepada Pemohon Pembatalan. Dengantelah terbuktinyaadanya kelalaian yang telah dilakukanTermohon Pembatalan, maka secara hukumPemohon Pembatalandapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang sudah disahkanapabila bila debitur lalai memenuhi isi perdamaian tersebut,sebagaimana diatur dalam Pasal 291junctoPasal 170 dan Pasal 171Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU.17

Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian berjudul Akibat Hukum Kelalaian Debitur Untuk Memenuhi Perjanjian Perdamaian Dalam PKPU (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 376/K/Pdt.Sus- Pailit/2017).

16Putusan Nomor 376K/Pdt.Sus-Pailit/2017

17Ibid

(16)

B. RumusanMasalah

Berdasarkan latar belakang dan penjelasan di atas maka, permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang oleh Perseroan Terbatas Sebagai Debitur Menurut Undang-Undang No.37 Tahun 2004?

2. Bagaimanakah pembatalan perjanjian perdamaian yang disahkan dalam penundaan kewajiban pembayaran utang?

3. Apa akibat hukum kelalaian debitur untuk memenuhi perjanjian perdamaian dalam PKPU (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 376/K/Pdt.Sus-Pailit/2017)?

C. TujuandanManfaatPenulisan

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini sehingga dapat memberikan manfaat dan penyelesaian serta penilaian yang dilakukan adalah:

1. Untuk mengetahui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang oleh Perseroan Terbatas Sebagai Debitur menurut Undang-Undang No.37 Tahun 2004.

2. Untuk mengetahui pembatalan perjanjian perdamaian yang disahkan dalam penundaan kewajiban pembayaran utang.

3. Untuk mengetahui akibat hukum kelalaian debitur untuk memenuhi perjanjian perdamaian dalam PKPU (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 376/K/Pdt.Sus-Pailit/2017).

(17)

Adapun yang menjadi manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Secara teoretis

Penulisan skripsi ini dapat bermanfaat untuk memberikan masukan sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan dan literatur dalam dunia akademis, khususnya mengenaiakibat hukum kelalaian debitur untuk memenuhi perjanjian perdamaian dalam PKPU.

2. Secara praktis

Secara praktis penulisan skripsi ini dapat memperjelas praktik tentang akibat hukum kelalaian debitur untuk memenuhi perjanjian perdamaian dalam PKPU.

D. KeaslianPenulisan

Berdasarkan penelusuran di Fakultas Hukum Sumatera Utara dan Fakultas Hukum di universitas yang ada di Indonesia baik secara fisik maupun online tidak terdapat judul Akibat Hukum Kelalaian Debitur Untuk Memenuhi Perjanjian Perdamaian Dalam PKPU (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 376/K/Pdt.Sus-Pailit/2017), belum pernah dilakukan, namun ada beberapa judul yang berkaitan dengan akibat hukum kelalaian debitur untuk memenuhi perjanjian perdamaian.

Naomi Tri Yuristia Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan (2015), dengan judul penelitian Akibat Hukum Kelalaian Debitur Untuk Memenuhi Perjanjian Perdamaian Dalam PKPU (Study putusan NO.01/ Pdt.

(18)

Khusus /Pembatalan /2014/PN.Niaga.Mdn Jo.03/PKPU/2013/PN.Niaga.Mdn).

Adapun permasalahan dalam penelitian ini :

1. Pengaturan PKPU oleh Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut PT) sebagai debitur menurut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.

2. Pembatalan perjanjian perdamaian yang disahkan dalam PKPU.

3. Akibat hukum atas kelalaian PT sebagai debitur untuk memenuhi perjanjian perdamaian dalam PKPU

Febri Yanti Casanova.Fakultas Hukum Universitas Lampung Bandar Lampung (2017), dengan judul penelitian Analisis Putusan Homologasi Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Sebagai Upaya Pencegah Terjadinya Kepailitan (Studi Putusan No. 59/Pdt.Sus-PKPU /2014/ PN.

Niaga.Jkt.Pst). Adapun permasalahan dalam penelitian ini :

1. Proses permohonan PKPU dalam putusan No.59/Pdt.Sus-PKPU/ 2014/

PN.Niaga.Jkt.Pst.

2. Proses penyelesaian utang melalui putusan homologasi dalam PKPU 3. Akibat hukum yang ditimbulkan dari putusan homologasi.

Jobby Cresna Parlindungan Fakultas Hukum Unversitas Indonesia (2014), dengan judul Perdamaian Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang:

Pembentukan Badan Usaha Baru Sebagai Restrukturisasi Utang (Analisis Yuridis Putusan No. 21/Pdt.Sus/PKPUU/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst). Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Tanggung jawab hukum koperasi Cipaganti Karya Guna Persada selama masa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

(19)

2. Kedudukan hukum dan akibat hukum Perseroan Terbatas Pooling Asset sebagai Debitur baru dalam Restrukturisasi Utang Koperasi Cipaganti Karya Guna Persada.

3. Upaya hukum bagi Kreditur yang tidak menyetujui Perjanjian Perdamaian dengan Debitur ditinjau dari Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Dengan demikian, jika dilihat kepada permasalahan yang ada dalam penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah yang asli, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maupun akademi.

E. TinjauanPustaka 1. PKPU

Pengertian Utang dalam Hukum Kepailitan sebelumnya tidak diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, yaitu undang-undang sebelum berlakunyaUndang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.sebelumberlakunya UUK- PKPU,utang dalam kasus-kasus kepailitan didefinisikan secara berbeda dalam berbagaiputusan pengadilan. Dari beberapa putusan yang ada, dapat diketahui bahwabahkan Mahkamah Agung sendiri tidak konsisten dengan pendiriannya mengenaipengertianutang.18

Penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) ini merupakan suatu periode waktu tertentu yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan pengadilan niaga, dimana dalam periode waktu tersebut kepada kreditur dan debitur diberikan kesepakatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran

18Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm 73

(20)

utang-utangnya dengan memberikan rencana perdamaian (composition plan) terhadap seluruh atau sebagian utangnya itu, termasuk apabila perlu merestrukturisasi utangnya tersebut. Dengan demikian PKPU merupakan semacam moratorium dalam hal ini legalmoratorium.19

PKPUpadadasarnyamerupakan penawaranrencanaperdamaian oleh debitur, makasesungguhnya PKPUinipemberian kesempatan kepada debitur untuk melakukan restrukturisasi utang-utangnyayangdapatmeliputi pembayaran seluruhatausebagianutangkepadakrediturkonkuren.20

yang dituangkan ke dalam perjanjian perdamaian.Perdamaian tersebut dapat

mengakhiri kepailitan debiturhanya apabila perdamaianitudibicarakandanmelibatkansemua krediturbaik separatis dan

konkuren.

Jadi,PKPUtidakhanyasekedar memberikan penundaan utang kepada debitur, tetapi yang terpentingadalahmelakukan pembayaran utang yang diwujudkan dalam rencana perdamaian

21

Sehingga dapat dikatakan maksud dari PKPU ini dimohonkan itu merupakan bagian dari rencana perdamaian dalam menyelesaikan sengketa pailit dengan menawarkan pembayaran kepada kreditur baik nantinya akan dibayar sebagian atau seluruh utangnya.22

19Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 82

20M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, (Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2001), hlm.9

21Ibid

22Sutan Remy Syahdeini, Op., Cit., hlm. 328

Proses ini dapat diajukan secara sukarela oleh debitur yang telah memperkirakan bahwa ke depan dapat melunasi utang-

(21)

utangnya.23Dalam khasanah ilmu pengetahuan hukum, “pailit” diartikan sebagai debitur (yang berutang) yang berhenti membayar utang-utangnya. Hal ini tercermin di dalam Pasal 1 Faillisement verordening (Peraturan Kepailitan) yang menentukan Setiap pihak yang berutang (debitur) yang berada dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya, dengan Putusan Hakm, baik atas permintaan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih pihak berutangnya (krediturnya), dinyatakan dalam keadaan pailit”24

2. Perjanjian

Istilah perjanjian sering disebut juga dengan persetujuan, yang berasal dari bahasa Belanda yakni overeenkomst.25Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dinyatakan bahwa “Perjanjian merupakan suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih lainnya”.26

a. Rumusan tersebut hanya cocok untuk perjanjian sepihak, karena kata mengikatkan‟ hanya datang dari salah satu pihak

Menurut Abdul Kadir Muhammad definisi perjanjian dalam Pasal 1313 kurang lengkap dan memiliki beberapa kelemahan antara lain:

b. Definisi tersebut terlalu luas, karena tidak disebutkan mengikatkan diri terbatas dalam lapangan hukum harta kekayaan, sehingga dapat pula mencakup perjanjian perkawinan dalam lapangan hukum keluarga;

23Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan,(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), hlm. 3

24Sunarmi, Hukum Kepailitan.Op.Cit.,,hlm . 2

25Leli Joko Suryono, Pokok-pokok Perjanjian Indonesia, (Yogyakarta, LP3M UMY, 2014), hlm. 43

26Ibid

(22)

c. Tanpa menyebut tujuan, sehingga tidak jelas untuk apa para pihak mengikatkan diri. Sehingga dari kekurangan-kekurangan tersebut, beliau melengkapi definisi perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih yang mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan hukum harta kekayaan.27

Ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian sah apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Kesepakatan

Syarat pertama sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan atau consensus para pihak.Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata.Kesepakatan merupakan.penyesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataan, karena kehendak itu tidak dilihat/diketahui orang lain. Dengan diperlakukannnya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak.Para pihak tidak mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut.28

b. Kecakapan

Kecakapan merupakan adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.Menurut hukum, kecakapan termasuk kewenangan untuk melakukan tindakan hukum pada umumnya, dan menurut hukum setiap orang

27Muhammad, Abdulkadir, Hukum Pengangkutan Niaga, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013), hlm. 80-81

28Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, (Jakarta, Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 73.

(23)

adalah cakap untuk membuat perjanjian kecuali orang-orang yang menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap.Adapun orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa, orang yang dibawah pengampuan dan perempuan yang telah kawin.29

c. Suatu hal tertentu

Menurut KUH Perdata hal tertentu adalah :

1) Suatu hal tertentu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian adalah harus suatu hal atau barang yang cukup jelas atau tertentu yakni paling sedikit ditentukan jenisnya (Pasal 1333 KUH Perdata);

2) Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian (Pasal 1332 KUH Perdata);

d. Suatu sebab yang halal

Meskipun siapa saja dapat membuat perjanjian apa saja, tetapi ada pengecualiannya yaitu sebuah perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketentuan umum, moral dan kesusilaan (Pasal 1335 KUHPerdata)

3. Perdamaian

Kata perdamaian artinya penghentian permusuhan, tidak bermusuhan, keadaan tidak bermusuhan, berbaik kembali, tenteram aman.Berdamai, artinya berbaik kembali, berunding untuk menyelesaikan perselisihan.Mendamaikan atau memperdamaikan, artinya menyelesaikan permusuhan, merundingkan supaya

29R. Soeroso, Perjanjian di Bawah Tangan (Pedoman Pembuatan dan Aplikasi Hukum), (Bandung: Alumni, 1999), hlm 12

(24)

mendapat persetujuan.30Kata damai dipadankan dalam bahasa Inggris peace, tranquility. Berdamai disesuaikan dengan kata be peaceful, be on good terms.

Kata memperdamaikan, mendamaikan dipadankan dengan kata resolve, peacefully.31

Secara umum suatu putusan baru memiliki kekuatan hukum tetap, apabila terhadapnya sudah tertutup upaya hukum.Biasanya agar suatu putusan memiliki kekuatan yang demikian, apabila telah ditempuh upaya banding dan kasasi.Namun terhadap putusan akta perdamaian, undang-undang sendiri yang melekatkan kekuatan itu secara langsung kepadanya. Segera setelah putusan diucapkan, langsung secara inheren pada dirinya berkekuatan hukum tetap, sehingga perdamaian itu mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.32

Ketentuan Pasal 1858 ayat (1) KUHPerdata, bahwa segala perdamaian di antara pihak suatu kekuatan seperti putusan Hakim dalam tingkat yang penghabisan. Hal ini pun ditegaskan pada kalimat terakhir Pasal 130 ayat (2) HIR, 33

30W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Diolah Kembali Oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 259

31John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Indonesia- Inggris, (Jakarta: Gramedia, 1994), hlm. 129

32M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Cetakan kedelapan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 279-280

bahwa putusan akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sifat kekuatan yang demikian merupakan penyimpangan dari ketentuan konvensional.Secara umum suatu putusan baru

33HIR merupakan singkatan dari Herzien Inlandsch Reglement yang sering diterjemahkan menjadi Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui, yaitu hukum acara dalam persidangan perkara perdata maupun pidana yang berlaku di pulau Jawa dan Madura.Reglemen ini berlaku di jaman Hindia Belanda, tercantum di Berita Negara (staatblad) No. 16 tahun 1848.

(25)

memiliki kekuatan hukum tetap, apabila terhadapnya sudah tertutup upaya hukum.Biasanya agar suatu putusan memiliki kekuatan yang demikian, apabila telah ditempuh upaya banding dan kasasi.Namun terhadap putusan akta perdamaian, undang-undang sendiri yang melekatkan kekuatan itu secara langsung kepadanya. Segera setelah putusan diucapkan, langsung secara inherenpada dirinya berkekuatan hukum tetap, sehingga perdamaian itu mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.34

putusan hakim dikatakan in krach ialah apabila upaya hukum seperti verzet, banding, dan kasasi tidak dipergunakan dan tenggang waktu untuk itu sudah habis atau sudah mempergunakan upaya hukum tersebut atau sudah selesai.

Upayahukum terhadap putusan yang sudah in krach atau memiliki kekuatan hukum tetap tidak ada lagi, kecuali permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung tetapi hanya dengan alasan-alasan tertentu sekali.Putusan yang sudah in krach apabila ditinjau kembali tidak tidak terhalang untuk dieksekusi, dengan itu kekuatan hukum akta perdamaian mempunyai kekuatan eksekusi.

Kekuatan hukum akta perdamaian termasuk kedalam putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan mengikat, kekuatan bukti dan kekuatan eksekusi.Suatu

35

F. MetodePenelitian

Langkah-langkah penelitian merupakan suatu cara untuk mendapatkan sumber-sumber data dan informasi terkait dengan topik permasalahan yang akan

34Ibid.,hlm . 279-280

35Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 213-214

(26)

dibahas dalam suatu karya tulis ilmiah. Adapun langkah-langkah penelitian yang penulis tempuh adalah sebagai berikut :

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini penelitian normatif.

Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.36

2. Spesifikasi penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian hukum yang deskriptif, yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan.37Deskriptif karena dalam penelitian inidiharapkan akan diperoleh gambaran yang menyeluruh dan sistematis tentang Fokus penelitian. Sedangkan analitis karena dari data-data yang diperoleh akan dianalisis.38

3. Sumber data

Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder39

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum adat yang tidak dikodifikasikan, yurisprudensi, traktat, bahan hukum

Data sekunder merupakan data-data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka yang meliputi:

36Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan kesebelas, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 13–14

37Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 1998), hlm. 35

38Ibid

39 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit., hlm 24

(27)

dari zaman penjajahan yang masih berlaku hingga kini. Dalam penulisan ini, yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Putusan Mahkamah Agung Nomor 376/K/Pdt.Sus- Pailit/2017.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya. Dalam penelitian ini yaitu buku- buku tentang PKPU.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus bahasa, kamus hukum, majalah, surat kabar, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.

4. Analisis data

Analisis data merupakan tahap yang sangat penting dan menentukan dalam setiap penelitian.Dalam tahap ini penulis harus melakukan pemilahan data-data yang telah diperoleh.Penganalisisan data pada hakikatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi bahan-bahan hukum tertulis untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.40

Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang dianalisis secara kualitatif dan disajikan dengan deskriptif. Analisa kualitatif ini untuk

40Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2014), hlm. 251- 252

(28)

mengungkapkan secara mendalam tentang pandangan dan konsep yang diperlukan dan akan diurai secara komperhensif untuk persoalan yang ada dalam skripsi ini.

G. SistematikaPenulisan

Skripsi ini berjudu l Akibat Hukum Kelalaian Debitur Untuk Memenuhi Perjanjian Perdamaian Dalam PKPU (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 376/K/Pdt.Sus-Pailit/2017).Penulisan ini dibuat dalam 5 (lima) bab untuk memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latarbelakang, rumusanmasalah, tujuandanmanfaatpenulisan, keaslianpenulisan, tinjauanpustaka, dan metodepenelitian serta sistematikapenulisan

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH PERSEROAN TERBATAS SEBAGAI DEBITUR MENURUT UNDANG-UNDANG NO.37 TAHUN 2004

Bab ini berisikan pengertian dan syarat Pengajuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang oleh PT Sebagai Debitur. Maksud Maksud Dan Tujuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Mekanisme Pengajuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang oleh PT sebagai Debitur menurut UU No.37 Tahun 2004 dan Akibat Hukum

(29)

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang Diajukan Oleh PT sebagai Debitur

BAB III PEMBATALAN PERJANJIAN PERDAMAIAN YANG DISAHKAN DALAM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG Bab ini berisikan Perjanjian Perdamaian Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Status Perdamaian yang Disahkan Terhadap Para Pihak dan Berakhirnya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Pembatalan Perjanjian Perdamaian Yang Disahkan Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

BAB IV AKIBAT HUKUM KELALAIAN DEBITUR UNTUK MEMENUHI PERJANJIAN PERDAMAIAN DALAM PKPU (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 376/K/Pdt.Sus-Pailit/2017)

Bab ini berisikan Posisi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 376/K/Pdt.Sus-Pailit/2017.akibat hukum kelalaian debitur untuk memenuhi perjanjian perdamaian dalam PKPU. Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 376/K/Pdt.Sus-Pailit/2017

BAB V PENUTUP

Dalam bab ini diuraikan mengenai kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan yang dikemukakan serta saran-saran atas jawaban permasalahan tersebut.

(30)

BAB II

PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH PERSEROAN TERBATAS SEBAGAI DEBITUR MENURUT

UNDANG-UNDANG NO.37 TAHUN 2004

E. Pengertian dan Syarat Pengajuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang oleh PT Sebagai Debitur

Ketentuan PKPU yang berlaku di Indonesia masih menjadi satu dengan Undang-Undang Kepailitan, baik semasa Faillissement Verordening Stb 1905No.217 Jo.Stb. 1906 No.348, setelah terjadinya krisis moneter di Indonesia Juli 1997, maka dirubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan tanggal 9 September 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 135) dan diganti dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran, dimana instrumen hukurn tersebut diperlukan untuk memfasilitasi permasalahan hukum pembayaran utang dan pernyataan pailit.41

Istilah PKPU (suspension of payment) sangat akrab dalam hukum kepailitan. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU) tidak merumuskan pengertian apa yang dimaksud dengan PKPU,oleh karena itu perlu dibuatkan definisi tentang PKPU dalam UUK-PKPU.42

Menurut Syamsudin M. Sinaga, PKPU merupakan suatu masa tertentu yang diberikan oleh Pengadilan Niaga kepada debitur yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang

41Sunarmi, Hukum Kepailitan, Op.Cit, hlm. 200

42Syamsudin M.Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia (Jakarta: Tatanusa,2012), hlm. 8.

(31)

telah jatuh tempo dan dapatditagih, untuk menegosiasikan cara pembayarannya kepada kreditur, baik sebagian maupun seluruhnya, termasuk merestrukturisasinya apabila dianggap perlu, dengan mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utangnya kepada kreditur.43

PKPU adalah prosedur hukum (atau upaya hukum) yang memberikan hak kepada setiap debitur maupun kreditur yang tidak dapat memperkirakan melanjutkan pembayaran utangnya, yang sudah jatuh tempo.44

Penundaan pembayaran utang (suspension of payment atau surseance van betaling) adalah suatu masa yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan hakim niaga di mana dalam masa tersebut kepada pihak kreditur dan debitur diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran utangnya dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian utangnya, termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi utangnya tersebut.Jadi penundaan kewajiban pembayaran utang sebenarnya merupakan sejenis moratorium, dalam hal ini legal moratorium.45

sampai Pasal 294 UUK-PKPU, adalah prosedur hukum atau (upaya hukum) yang memberikan hak kepada setiap debitur yang tidak dapat atau memperkirakan tidak dapat melanjutkan pembayaran utang yang sudah jatuh tempo, untuk memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) diatur dalam Pasal 222

43Ibid

44Adrian Sutedi, Op.Cit, hlm 37

45Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori & Praktek, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2014), hlm 175

(32)

rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditur.46

a) Debitur memiliki dua kreditur atau lebih syarat bahwa debitur harus mempunyai minimal dua kreditur, sangat terkait dengan filosofis lahirnya hukum kepailitan. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, hukum kepailitan merupakan realisasi dari Pasal 1132 KUHPerdata. Dengan adanya pranata hukum kepailitan, diharapkan pelunasan utang-utang debitur kepada kreditur-kreditur (lebih dari satu kreditur) dapat dilakukan secara seimbang dan adil. Setiap kreditur (konkuren) mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pelunasan dari harta kekayaan debiturjika debitur hanya mempunyai satu Kreditur, maka seluruh harta kekayaan debitur otomatis menjadi jaminan atas pelunasan utang debitur tersebut dan tidak diperlukan pembagian secara pro ratadan pari passu. Dengan demikian, jelas bahwa debitur tidak dapat dituntut pailit, jika debitur tersebut hanya mempunyai satu Kreditur

Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, syarat permohonan pernyataan pailit yaitu apabila debitur memiliki dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya. Jadi dapat dijelaskan bahwa untuk dapat dinyatakan pailit, seorang debitur harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

46Adrian Sutedi, Op.Cit., hlm.34

(33)

Istilah “Kreditur” juga sering kali menimbulkan multitafsir, apalagi di era UUK-PKPU 1998 yang tidak memberikan definisi terhadap “kreditur”. Secara umum, ada 3 (tiga) macam kreditur yang dikenal dalam KUHPerdata yaitu sebagai berikut:

1) Krediturkonkuren

Krediturkonkuren ini diatur dalam Pasal1132 KUHPerdata.Krediturkonkuren merupakan para kreditur dengan hak pari

passudan pro rata, artinya para kreditur secara bersama-sama memperoleh pelunasan (tanpa ada yang didahulukan) yang dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan, terhadap seluruh harta kekayaan debitur tersebut.

Dengan demkian, para Kreditur konkuren mempunyai kedudukan yang sama atas pelunasan utang dari harta debitur tanpa ada yang didahulukan.

2) Kreditur preferen (yang diistimewakan)

Kredituryang oleh undang-undang, semata-mata karena sifat piutangnya, mendapatkan pelunasan terlebih dahulu. Krediturpreferen merupakan kreditur yang mempunyai hak istimewa, yaitu suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya,semata-mata berdasarkan sifat piutangnya, sesuai Pasal1133 dan Pasal1134 KUHPerdataPiutang- piutang yang diistimewakan tersebut yaitu yang terdapat dalam Pasal1139 dan Pasal1149 KUH Perdata

(34)

3) Krediturseparatis

Kreditur pemegang hak jaminan kebendaan inrem, yang dalam KUHPerdata disebut dengan nama gadai dan hipotek. Pada saat ini, sistem hukum jaminan Indonesia mengenal 4 (empat) macam jaminan kebendaan, yaitu hipotek, gadai/pand, hak tanggungan, dan fidusia.

Sehubungan dengan UUK-PKPU 1998, tidak terdapat definisi terhadap

“Kreditur”. Menurut Sutan Remy Sjahdeini: “...harus dibedakan antara pengertian Kreditur dalam kalimat” ....mempunyai dua atau lebih Kreditur....”, dan Kreditur dalam kalimat ”...atas permohonan seorang atau lebih krediturnya”.47

Kata “Kreditur” yang dimaksud dalam kalimat pertama itu merupakan sembarangan Kreditur, yaitu baik Krediturkonkuren maupun Krediturpreferen.Adapun kata “kreditur” dalam kalimat yang kedua adalah Krediturkonkuren.Mengapa harus kreditur konkuren, karena seorang kreditur separatis tidak mempunyai kepentingan untuk diberi hak mengajukan permohonan pernyataan pailit mengingat Krediturseparatis telah terjamin sumber pelunasan tagihannya, yaitu dari barang agunan yang dibebani dengan hak jaminan. Apabila seorang kreditur separatis merasa kurang terjamin sumber pelunasan piutangnya dan apabila kreditur separatis menghendaki untuk memperoleh sumber pelunasan dari harta pailit, maka kreditur separatis itu harus terlebih dahulu melepaskan hak separatisnya, sehingga dengan demikian berubah statusnya menjadi

47Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm.8

(35)

kreditur konkuren” Pendapattersebut juga diperkuat dengan Putusan Kasasi MA RI No. 07/K/N/1999 tanggal 4 Februari 1999 yang mengemukakan dalam pertimbangan hukumnya bahwa Krediturseparatis yang tidak melepaskan haknya terlebih dahulu sebagai Krediturseparatis, bukanlah Kreditursebagaimana dimaksud dalam Pasal1 ayat (1) UUK- PKPU 1998. Pendirian MA itu terbatas pada pengertian kreditur sebagai permohon pernyataan pailit.48

Berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (1) di atas, maka yurisprudensi dari Putusan Kasasi MA RI No. 07.PK/N/1999 tanggal 4 Februari 1999 tersebut di atas menjadi tidak terpakai, dan jelaslah bahwa UUK- PKPU2004 memperbolehkan seorang kreditur separatis untuk mengajukan permohonan pailit kepada debitur tanpa harus melepaskan hak agunan atas kebendaan. Hal ini tampak lebih jelas lagi dalam Pasal138 UUK-PKPU, Dengan disahkannyaUUK-PKPU2004, sebagai pencabutan UUK-PKPU 1998 telah terdapat kepastian mengenai pengertian “Kreditur”.Bagian Penjelasan Pasal2 ayat (1) UUK-PKPU memberikan definisi Kreditursebagai berikut Kreditur dalam ayat ini adalah baik Krediturkonkuren,Krediturseparatis maupun kreditur preferen.Khusus mengenai Krediturseparatis dan Krediturpreferen, mereka dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debiturdan haknya untuk didahulukan”.

48Ibid., hlm 9

(36)

yaitu kreditur yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau yang mempunyai hak yang diistimewakan atas suatu benda tertentu dalam harta pailit dan dapat membuktikan bahwa sebagian piutangnya tersebut kemungkinan tidak akan dapat dilunasi dari hasil penjualan benda yang menjadi agunan, dapat meminta diberikan hak-hak yang dimiliki Kreditur konkuren atas bagian piutang tersebut, tanpa mengurangi hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas piutangnya”.

Ini berarti UUK-PKPU memberikan hak kepada Kreditur separatis dan Kreditur preferen untuk dapat tampil sebagai Kreditur konkuren tanpa harus melepaskan hak-hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas piutangnya, tetapi dengan catatan bahwa Kreditur separatis dan Kreditur preferen dapat membuktikan bahwa benda yang menjadi agunan tersebut tidak cukup untuk melunasi utangnya debitur pailit. Tidak cukupnya harta debitur untuk melunasi utang-utangnya dari hasil penjualan benda yang menjadi agunan atas piutang tersebut, haruslah dibuktikan.Beban pembuktian atas kemungkinan tidak dapat terlunasinya utang debiturdari penjualan benda tersebut berada di pundak Krediturseparatis atau Krediturpreferen.

b) Harus Adanya Utang Undang-Undang Nomor 4 tahun 1998 tentang Kepailitan tidak memberikan definisi sama sekali mengenai utang.

Oleh karena itu, telah menimbulkan penafsiran yang beraneka ragam dan para hakim juga menafsirkan utang dalam pengertian yang berbeda-beda (baik

(37)

secara sempit maupun luas). Apakah pengertian “utang” hanya terbatas pada utang yang lahir dari perjanjian utang piutang atau perjanjian pinjam- meminjam ataukah pengertian ”utang” merupakan suatu prestasi/kewajiban yang tidak hanya lahir dari perjanjian utang piutang saja, seperti perjanjian jual beli.

Menurut Kartini dan Gunawan Widjaja, utang adalah perikatan yang merupakan prestasi atau kewajiban dalam lapangan harta kekayaan yang harus dipenuhi oleh setiap debitur dan bila tidak dipenuhi, Kreditur berhak mendapat pemenuhannya dari harta debitur.Pada dasarnya UU No. 4 Tahun 1998 tidak hanya membatasi utang sebagian suatu bentuk utang yang bersumber dari perjanjian pinjam-meminjam uang saja.49

Menurut pengertian utang di dalam UU No. 4 Tahun 1998 tidak seyogianya diberi arti yang sempit, yaitu tidak seharusnya hanya diberi arti berupa kewajiban membayar utang yang timbul kerena perjanjian utang- piutang saja, tetapi merupakansetiap kewajiban debituryang berupa kewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada Kreditur, baik kewajiban itu karena perjanjian apa pun juga (tidak terbatas hanya kepada perjanjian utang piutang saja), maupun timbul karena ketentuan undang-undang, dan timbul karena putusan hakim yangtelah memiliki kekuatan hukum tetapkarena putusan hakim yangtelah memiliki kekuatan hukum tetap.50

Menurut Kartini dan Gunawan Widjaja, utang merupakan perikatan yang merupakan prestasi atau kewajiban dalam lapangan harta kekayaan yang harus

49Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta:Rajawali Pers, 2003), hlm.11

50 Sutan Remy Sjahdeini., Op.CIt., hlm 66

(38)

dipenuhi oleh setiap debiturdan bila tidak dipenuhi, Krediturberhak mendapat pemenuhannya dari harta debitur.Pada dasarnya UU No. 4 Tahun 1998 tidak hanya membatasi utang sebagian suatu bentuk utang yang bersumber dari perjanjian pinjam-meminjam uang saja.51

c) Tidak membayar sedikitnya satu utang jatuh waktu dan dapat ditagih

Pasal1 butir 6 UUK-PKPU yaitu”Utang merupakan kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.

Syarat bahwa utang harus telah jatuh waktu dan dapat ditagih menunjukkan bahwa Kreditur sudah mempunyai hakuntuk menuntut debitur untuk memenuhi prestasinya.Syarat ini menunjukkan bahwa utang harus lahir dari perikatan sempurna (adanya schuld dan haftung).Dengan demikian, jelas bahwa utang yang lahir dari perikatan alamiah.

Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menentukan tidak semua debitur dapat mengajukan sendiri permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang.

Dalam hal debitur adalah bank, perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan asuransi, perusahaan re-asuransi, dana pensiun, dan badan usaha milik negara yang

51Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit.hlm 28

(39)

bergerak di bidang kepentingan publik maka yang dapat mengajukan permohonan PKPU yaitu:

1. Bank Indonesia dalam hal debitur adalah bank,

2. Badan Pengawas Pasar Modal dalam hal debitur adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan

3. Menteri Keuangan dalam hal debitur adalah perusahaan asuransi, perusahaan re-asuransi dan dana pensiun, dan badan usaha milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik.52

Permohonan PKPU dapat diajukan oleh debitur baik sebelum permohonan pernyataan pailit diajukan maupun setelah permohonan pernyataan pailit diajukan sebagimana ketentuan Pasal 222 jo Pasal 229 ayat 4 UU Kepailitan dan PKPU, yang penting sebelum adanya keputusan hakim yang tetap menyatakan debitur pailit. Sehubungan dengan dimungkinkannya permohonan PKPU diajukan setelah Pengadilan Niaga menerima permohonan pernyataan pailit, dapat terjadi kemungkinan sebagai berikut:

1. Permohonan pernyataan pailit telah diterima oleh Pengadilan Niaga tetapi belum diperiksa, dan sementara permohonan pernyataan pailit belum diperiksa, Pengadilan Niaga menerima pula permohonan PKPU dari debitur atau dari kreditur yang bukan pemohon kepailitan

2. Permohonan pernyataan pailit telah diterima oleh Pengadilan Niaga, dan sementara permohonan pernyataan pailit itu sedang diperiksa oleh

52 Nurabdirusdy.Prosedur-Pengajuan-Permohonan-Penundaan-Kewajiban-Pembayaran- Utang-PKPU/ https://.wordpress.com/2017/08/29/diakses tanggal 11 Juli 2018.

(40)

Pengadilan Niaga, Debitur atau Kreditur yang bukan pemohon kepailitan juga mengajukan PKPU.53

F. Maksud dan Tujuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Pada hakekatnya tujuan PKPU adalah untuk perdamaian. Fungsi perdamaian dalam proses PKPU sangat penting artinya, bahkan merupakan tujuan utama bagi si debitur, dimana si debitur sebagai orang yang paling mengetahui keberadaan perusahaan, bagaimana keberadaan perusahaannya ke depan baik potensi maupun kesulitan membayar utang-utangnya dari kemungkinan- kemungkinan masih dapat bangkit kembali dari jeratan utang-utang terhadap sekalian krediturnya.54

1. Harta debitur, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan benda, jauh lebih besar dari pada jumlah yang disetujui dalam perdamaian

Apabila rencana perdamaian tidak tercapai atau Pengadilan menolak rencana perdamaian, maka pengadilan wajib menyatakan debitur dalam keadaan Pailit. Pengadilan dapat menolak rencana perdamaian karena:

2. Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin.

3. Perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persengkokolan dengan satu atau lebih kreditur, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah debitur atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal ini.

53Ibid

54Juditia Damlah. Akibat Hukum Putusan Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Jurnal Lex Crimen Vol.

VI/No. 2/Mar-Apr/2017, hlm 94

(41)

4. Imbalan jasa dan biaya dikeluarkan oleh ahli dan pengurus belum dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk pembayaran.55

Maksud dari PKPU pada umunya adalah untuk mengajukan penawaran rencana perdamaian oleh debitur.Rencana perdamaian ini sejatinya memberikan kesempatan kepada debitur untuk melakukan restrukturisasi utang-utangnya, yang dapat meliputi pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditur konkuren.Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa PKPU mengandung tujuan untuk memungkinkan Debitur meneruskan usahanya meskipun terdapat kesukaran pembayaran dan untuk menghindari kepailitan.56

1. Debitur dalam jangka waktu yang cukup, dapat memperbaiki kesulitannya, dan akhirnya akan dapat melunasi/ membayar utang-utangnya di kemudian hari.

PKPU memiliki tujuan, antara lain :

2. Bagi pihak kreditur karena adanya PKPU ini, kemungkinan dibayarkan piutangnya dari debitur secara penuh, sehingga tidak merugikannya.57

Sementara itu dalam UUK yang baru yaitu UUK-PKPU sebagaimana diatur dalam yang terdiri dari dua bagian, yakni: Bagian Kesatu tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan akibatnya (Pasal 222 Pasal 264) dan bagian kedua : tentang Perdamaian (Pasal 265-Pasal 294)

a) Maksud dan Tujuan

Pasal 212 Perpu Nomor 1 Tahun 1998 yang telah ditetapkan menjadi Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1998 menyebutkan bahwa: debitur yang tidak dapat atau

55Ibid

56Rahayu Hartini, Op.Cit, hlm. 190

57Sunarmi, Op.Cit., hlm. 200

(42)

memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagaian utang kreditur konkuren. Maksud penundaan kewajiban pembayaran utang, pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditur konkuren.58

b) Yang berhak memintaPKPU yang dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang adalah debitur yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jauh waktu dan dapat ditagih (lampiran Pasal 213 UU No. 4 Tahun 1998),akan tetapi berdasarkan ketentuan pasal 222 ayat (1) UUK-PKPU dapat diajukan oleh Debitur maupun oleh kreditur. Dalam hal debitur adalah bank, perusahan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan Di dalam UUK-PKPUPasal 222 ayat (2) dan (3) pada prinsipnya mengatur hal yang sama dengan UUK 1998, hanya dalam UUK No. 4 Tahun 1998 langsung menunjuk “kreditur” saja. Menurut penjelasan pasal 222 ayat (2) yang dimaksud dengan “kreditur” adalah setiap kreditur baik konkuren maupun kreditur yang didahulukan, berarti termasuk Kreditur Preferen maupun Kreditur Separatis.

Tujuan penundaan kewajiban pembayaran utang pembayaran utang adalah untuk memungkinkan seorang debitur meneruskan usahanya meskipun ada kesukaran pembayaran dan untuk menghindari kepailitan.

58 Andi.pkpu-kepailitan-penundaan-kewajiban-dan.htmlhttp://www.landasanteori. com/

2015/09/diakses tanggal 12 Juli 2018

(43)

penyelesaian, perusahan asuransi, perusahan reasuransi, dana pensiun, dan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang kepentingan publik, maka yang dapat mengajukan permohonan penundaan kewajiban dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) ayat (4), ayat (5).

Permohonan PKPU sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 222 UU No.

4 Tahun 1998 harus diajukan debitur kepada pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU No. 4 Tahun 1998 yang ditanda tangani oleh debitur sendiri dan oleh pemohon advokatnya (dalam UU No. 4 Tahun 1998 oleh penasehat hukumnya) atau disertai daftar yang memuat sifat, jumlah piutang dan utang debitur serta surat bukti secukupnya59

Pasal 224 ayat (5) UUK-PKPU (hal ini sebelumnya diatur dalam Pasal 213 ayat (2)UU No. 4 Tahun 1998), bahwa pada surat permohonan. Permohonan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dapat dilampirkan rencana perdamaian.

Dalam ayat (6), Pasal 224 UUK-PKPU disebutkan, bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) berlaku mutatis mutandis sebagai tata cara pengajuan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang. Dalam hal debitur adalah Perseroan Terbatas (PT) maka

Dalam hal pemohon adalah kreditur, pengadilan wajib memanggil debitur melalui juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang. Dan pada sidang sebagaimana tersebut di atas, debitur mengajukan daftar yang memuat sifat, jumlah piutang dan utang debitur beserta surat bukti secukupnya dan bila ada, rencana perdamaian (ayat 3 dan 4).

59Ibid

(44)

permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang atas prakarsanya sendiri hanya dapat diajukan setelah mendapat persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dengan kuorum kehadiran dan sahnya keputusan sama dengan yang diperlukan untukmengajukan permohonan pailit.

PKPU pada hakikatnya bertujuan untuk melakukan perdamaian antara debitur dengan para krediturnya dan menghindarkan debitir yang telah atau akan mengalami insolven dari pernyataan pailit, akan tetapi apabila kesepakatan perdamaian dalam rangka perdamaian PKPU tidak tercapai, maka debitur pada hari berikutnya dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.60

1. Dalam haldebiturmempunyai lebih dari 1 (satu) kreditur.Debitur yang mengajukan PKPU merupakan debitur yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon PKPU, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditur(vide Pasal 222 ayat (1) dan (2) UUK- PKPU)

Beberapa yang berhak meminta PKPU, antara lain

2. Kredituryang mengajukan PKPU, memperkirakan bahwa debitur tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon agar debitur diberikan penundaan kewajiban membayar utang, untuk memungkinkan debitur mengajukan rencana perdamaian yang

60Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit, hlm. 328

Referensi

Dokumen terkait

Pengertian sistem menurut para ahli.. Diperoleh

seharusnya kamu dapat membandingkan bahkan mengurutkan benda dari yang paling berat atau yang paling ringan bahkan kamu juga dapat melakukan pengukuran berat yang ada di sekitarmu.. b

Ta’aruf di sini artinya luas, bukan hanya untuk mengenal calon suami atau istri, tetapi juga bisa dijadikan sarana pendekatan dalam hal berbisnis seperti yang dilakukan

1 01 21 05 T^EAVpHiaaA haAtiiOA APAaPAiViaAwaA APfAUctakaaA HaA AiiAat tiapa Hi Hapi-ah JrCliyCUEddU UdJllUdll ^CEl^CEUUdllf^dll fJCl pUO LcaJUtd 11 UdlE ElillldL

Surat Permohonan rencana membangun Apartemen menjadi Hotel dan Pusat Perbelanjaan Cikini (dari PT. NNL ke Gub. Berita Acara Pemeriksaan dan Penaksiran bangunan Gedung Asrama

(2004 dalam Larivie`re, Aksoy, Cooil, dan Keiningham, 2011: 47-48) juga mengamati bahwa, "Dibandingkan dengan konsumen yang tidak puas yang bisa beralih dalam

Penelitian dilaksanakan pada April hingga Oktober 2012 dengan mengambil tanaman terinfeksi bulai dari Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Lampung, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Jawa

Demikian Adendum Dokumen Pengadaan ini disampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.. SUB PEKERJAAN TRAFO DISTRIBUSI