• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Respon Hemodinamik Akibat Tindakan Laringoskopi dan Intubasi pada Pemberian Intravena Fentanyl 2 μg/kgBB + Magnesium Sulfat 30 mg/kgBB dengan Fentanyl 2 μg/kgBB + Lidokain 1,5 mg/kgBB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan Respon Hemodinamik Akibat Tindakan Laringoskopi dan Intubasi pada Pemberian Intravena Fentanyl 2 μg/kgBB + Magnesium Sulfat 30 mg/kgBB dengan Fentanyl 2 μg/kgBB + Lidokain 1,5 mg/kgBB"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN RESPON HEMODINAMIK AKIBAT TINDAKAN LARINGOSKOPI DAN INTUBASI PADA PEMBERIAN INTRAVENA

FENTANYL 2 µg/kgBB + MAGNESIUM SULFAT 30 mg/kgBB DENGAN FENTANYL 2 µg/kgBB + LIDOKAIN 1.5 mg/kgBB

TESIS

O Olleehh::

JEFRI AWALUDDIN PANE 097114005

P

PRROOGRGRAAMM MMAAGGIISSTTEERR KKLLIINNIKIK -- SSPPEESSIIAALLIISS D

DEEPPAARRTTEEMMEENN//SSMMFF AANNEESSTTEESSIIOOLLOOGGII DDAANN TTEERRAPAPII IINNTTEENNSSIIFF F

FAAKKUULLTTAASS KKEEDDOOKKTTEERRAANN UUSSUU//RRSSUUPP.. HH. . AADDAAMM MMAALLIIKK M

M EE DD AA NN 2

(2)

PERBANDINGAN RESPON HEMODINAMIK AKIBAT TINDAKAN LARINGOSKOPI DAN INTUBASI PADA PEMBERIAN INTRAVENA

FENTANYL 2 µg/kgBB + MAGNESIUM SULFAT 30 mg/kgBB DENGAN FENTANYL 2 µg/kgBB + LIDOKAIN 1.5 mg/kgBB

TESIS

O Olleehh::

Jefri Awaluddin Pane 097114005

Pembimbing I : Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn, KIC, KAO

Pembimbing II : dr. Akhyar H. Nasution, SpAn, KAKV

Penelitian ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Klinik – Spesialis Bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif

P

PRROOGGRARAMM MMAAGGIISSTTEERR KKLLIINNIIKK--SSPPEESSIIAALLIISS D

DEEPPAARRTTEEMMEENN//SSMMFF AANNEESSTTEESSIIOOLLOOGGII DDAANN TTEERRAPAPII IINNTTEENNSSIIFF F

FAAKKUULLTTAASS KKEEDDOOKKTTEERRAANN UUSSUU//RRSSUUPP.. HH. . AADDAAMM MMAALLIIKK M

M EE DD AA NN 2

(3)

Telah diuji pada tanggal : 20 Desember 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

1.

dr. Hasanul Arifin, SpAn, KAP, KIC

NIP: 19510423 197902 1 003

2.

dr. Mhd. Ihsan, SpAn, KMN

NIP: 19750414 200801 1 020

(4)

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji dan syukur saya sampaikan kehadirat

Allah SWT, sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat yang

harus dipenuhi dalam menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis Bidang

Anestesilogi dan Terapi Intensif di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara/RSUP H. Adam Malik Medan.

Terima kasih yang setinggi-tinginya saya ucapkan kepada Prof. dr. Achsanuddin

Hanafie, SpAn, KIC, KAO, dan dr. Akhyar H. Nasution, SpAn, KAKV, sebagai

pembimbing saya, yang telah banyak memberikan petunjuk, perhatian serta bimbingan

sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini.

Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada para guru/staf pengajar dijajaran

Departemen/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU/RSUP H. Adam Malik

Medan, yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengetahuan di bidang

Anestesiologi dan Terapi Intensif, baik secara teori maupun keterampilan yang kiranya

sangat bermanfaat bagi saya.

Kepada orang tua saya, H. Bahrum Pane, Hj. Nila Kesuma Srg, dr. H. Syarifuddin

Dalimunthe, Sp.A, dan dr. Hj. Nurhaida Lubis, terima kasih saya yang tidak terhingga

atas dorongan semangat dan doa yang tak putus-putusnya dipanjatkan untuk saya. Terima

kasih juga saya ucapkan kepada istri tercinta Rahmi Wardhani Dalimunthe, ST, atas

pengorbanan, kesabaran, ketabahan dan dorongan semangat yang tiada henti-hentinya

kepada saya.

Yang tercinta teman-teman sejawat peserta pendidikan keahlian Anestesiologi

dan Terapi Intensif yang telah bersama-sama baik dalam suka maupun duka, saling

membantu sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat dengan harapan teman-teman

lebih giat lagi sehingga dapat menyelesaikan studi ini. Semoga Allah SWT selalu

memberkahi kita semua.

Akhirnya izinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas kesalahan dan

kekurangan selama mengikuti pendidikan ini. Semoga segala bantuan, dorongan,

(5)

balasan dari Allah SWT, Yang Maha Pengasih, Maha Pemurah dan Maha Penyayang.

Amin

Medan, Desember 2014

Penulis

(6)

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….i

DAFTAR ISI……….iii

DAFTAR GAMBAR………vii

DAFTAR TABEL………viii

ABSTRAK……….ix

ABSTRACT………x

BAB 1………. 1

PENDAHULUAN………. 1

1.1. LATAR BELAKANG………1

1.2. RUMUSAN MASALAH………..……….6

1.3. HIPOTESIS………. 6

1.4. TUJUAN PENELITIAN………..………. 6

1.5. MANFAAT PENELITIAN…………..………. 7

BAB 2………. 8

TINJAUAN PUSTAKA………. 8

2.1. ANATOMI SALURAN NAFAS………..……… 8

2.2. PENILAIAN SALURAN NAFAS……..……….13

2.3. INTUBASI ENDOTRAKHEA………14

2.3.1. Laringoskop………. 14

2.3.2. Pipa Endotrakhea……… 17

2.3.3. Tindakan Laringoskopi dan Intubasi………18

2.3.4. Komplikasi akibat Laringoskopi dan Intubasi………..21

2.3.5. Respon Fisiologis akibat Instrumentasi Saluran Nafas……….22

2.3.6. Upaya Mengurangi Peningkatan Hemodinamik………...23

2.3.6.1. Fentanyl………26

2.3.6.1.1. Struktur Kimia………..26

2.3.6.1.2. Farmakokinetik……….26

2.3.6.1.3. Metabolisme……….27

2.3.6.1.4. Efek Samping………...28

(7)

2.3.6.2. Lidokain………...………. 31

2.3.6.2.1. Struktur Kimia………31

2.3.6.2.2. Mekanisme Kerja………....31

2.3.6.2.3. Farmakokinetik dan Farmakodinamik………32

2.3.6.2.4. Toksisitas Lidokain……….33

2.3.6.2.5. Penggunaan Klinis………..34

2.3.6.3. Magnesium Sulfat……….………..36

2.3.6.3.1. Fisiologi Magnesium………..36

2.3.6.3.1.1. Hipermagnesemia………37

2.3.6.3.1.2. Hipomagnesemia……….39

2.3.6.3.2. Indikasi Pemakaian Magnesium Sulfat………..40

2.3.6.3.3. Farmakokinetik………...40

2.3.6.3.4. Penggunaan Klinis………..41

KERANGKA TEORI……… 46

KERANGKA KONSEP……… 47

BAB 3………. 48

METODOLOGI PENELITIAN……… 48

3.1. DESAIN PENELITIAN………. 48

3.2. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN……….. 48

3.2.1. Tempat………..48

3.2.2. Waktu………...48

3.3. POPULASI DAN SAMPEL……….. 48

3.3.1. Populasi………..….48

3.3.2. Sampel……….48

3.4. KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI……….. 48

3.4.1. Kriteria Inklusi………..……..48

3.4.2. Kriteria Eksklusi………..………...49

3.4.3. Kriteria drop out………..………....49

3.5. BESAR SAMPEL……….. 49

3.6. ALAT, BAHAN DAN CARA KERJA………. 50

(8)

v

3.6.1.1. Alat………..……….50

3.6.1.2. Bahan………50

3.6.2. Cara Kerja………50

3.6.2.1. Persiapan Pasien dan Obat………...50

3.6.2.2. Pelaksanaan Penelitian……….51

3.7. IDENTIFIKASI VARIABEL………..53

3.7.1. Variabel Independent………...53

3.7.2. Variabel Dependent……….53

3.8. RENCANA ANALISIS DATA……….53

3.9. DEFENISI OPERASIONAL……….53

3.10. MASALAH ETIKA……….55

3.11. ALUR PENELITIAN………..56

BAB 4………. ..57

HASIL PENELITIAN………...57

4.1. Karakteristik Sampel Penelitian………...57

4.2. Perbandingan perubahan TDS, TDD, TAR, DJ dan RPP Kelompok A………. ..58

4.2.1. Perubahan rerata TDS pada kelompok A………..……58

4.2.2. Perubahan rerata TDD pada kelompok A……….………58

4.2.3. Perubahan rerata TAR pada kelompok A………...59

4.2.4. Perubahan rerata DJ pada kelompok A………...60

4.2.5. Perubahan rerata RPP pada kelompok ………..……..60

4.3. Perbandingan perubahan TDS, TDD, TAR, DJ dan RPP Kelompok B………...61

4.3.1. Perubahan rerata TDS pada kelompok B………..…...61

4.3.2. Perubahan rerata TDD pada kelompok B……….…………...62

4.3.3. Perubahan rerata TAR pada kelompok B ………...62

4.3.4. Perubahan rerata DJ pada kelompok B ..………...63

4.3.5. Perubahan rerata RPP pada kelompok B ..………..……....64

4.3. Perbandingan perubahan TDS, TDD, TAR, DJ dan RPP kelompok A dan B.... 64

BAB 5………. 67

PEMBAHASAN……… 67

(9)

KESIMPULAN DAN SARAN..……….74

6.1. KESIMPULAN……….. .74

6.2. SARAN……….…..…..74

DAFTAR PUSTAKA………..76

(10)

vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Anatomi saluran pernafasan atas 9

Gambar 2.2. Pembagian faring 9

Gambar 2.3. Struktur tulang rawan laring 10

Gambar 2.4. Persarafan sensorik saluran nafas 11

Gambar 2.5. Klasifikasi Mallampati 14

Gambar 2.6. Laringoskop rigid 15

Gambar 2.7. Beberapa jenis bilah laringoskop 15

Gambar 2.8. Pasien dalam posisi sniffing 16

Gambar 2.9. Pipa endotrakhea (Endotracheal tube/ETT) 18

Gambar 2.10. ETT terpasang stylet dibentuk seperti tongkat hoki 19

Gambar 2.11. Posisi sniffing dan laringoskopi dengan bilah lengkung 20

Gambar 2.12. Struktur kimia fentanyl 26

Gambar 2.13. Struktur kimia lidokain 32

Gambar 2.14. Kerangka teori 46

Gambar 2.15. Kerangka konsep 47

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Persarafan motorik dan sensorik laring 12

Tabel 2.2. Panduan ukuran ETT 17

Tabel 2.3. Komplikasi dari tindakan intubasi 22

Tabel 2.4. Morbiditas akibat hipertensi akut dan takikardi 25

Tabel 2.5. Manifestasi dari perubahan konsentrasi magnesium plasma 38

Tabel 2.6. Penyebab hipomagnesemia 39

Tabel 4.1. Karakteristik sampel penelitian pada kedua kelompok 57

Tabel 4.2. Perubahan rerata TDS pada kelompok A dan perbandingannya 58

Tabel 4.3. Perubahan rerata TDD pada kelompok A dan perbandingannya 59

Tabel 4.4. Perubahan rerata TAR pada kelompok A dan perbandingannya 59

Tabel 4.5. Perubahan rerata DJ pada kelompok A dan perbandingannya 60

Tabel 4.6. Perubahan rerata RPP pada kelompok A dan perbandingannya 61

Tabel 4.7. Perubahan rerata TDS pada kelompok B dan perbandingannya 61

Tabel 4.8. Perubahan rerata TDD pada kelompok B dan perbandingannya 62

Tabel 4.9. Perubahan rerata TAR pada kelompok B dan perbandingannya 63

Tabel 4.10. Perubahan rerata DJ pada kelompok B dan perbandingannya 63

Tabel 4.11. Perubahan rerata RPP pada kelompok B dan perbandingannya 64

(12)

ix

ABSTRAK

Latar Belakang. Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea merupakan hal yang rutin dilakukan pada anastesi umum. Namun tindakan laringoskopi dan intubasi tersebut dapat menyebabkan terjadinya peningkatan hemodinamik berupa hipertensi dan takikardi, dan dapat membahayakan pada pasien-pasien yang mempunyai faktor resiko seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, kelainan serebrovaskular, miokard infark dan tirotoksikosis. Berbagai obat dan cara telah digunakan untuk mengurangi peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan pemberian fentanyl + magnesium sulfat dengan fentanyl + lidokain dalam mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea.

Metode. Penelitian ini dilakukan pada 30 pasien berusia 18 – 50 tahun dan tergolong dalam ASA 1, yang menjalani pembedahan elektif dengan anestesi umum intubasi endotrakhea secara acak tersamar ganda dibagi dalam 2 kelompok yang sama besar. Kelompok A mendapatkan premedikasi fentanyl 2 µg/kgBB intravena + MgSO4 30 mg/kgBB intravena, dan kelompok B mendapatkan premedikasi fentanyl 2µg/kgBB intravena + Lidokain 1,5 mg/kgBB intravena sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea. Dilakukan pencatatan nilai tekanan darah sistolik (TDS), diastolik (TDD), tekanan arteri rerata (TAR), denyut jantung (DJ) dan Rate Pressure Product (RPP) pada saat sebelum pemberian obat uji (basal), setelah pemberian obat uji, sebelum induksi, setelah induksi dan setelah tindakan laringoskopi dan intubasi pada menit ke-1, ke-3 dan ke-5.

Hasil. Data karakteristik pasien tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok penelitian (p>0,05). Pada kedua kelompok dijumpai penurunan TDS, TDD, TAR dan dijumpai peningkatan DJ serta RPP setelah tindakan laringoskopi dan intubasi dibandingkan nilai basal. Peningkatan yang bermakna terlihat pada peningkatan frekuensi DJ pada saat menit ke-1 setelah tindakan laringoskopi. Pada kelompok A peningkatan DJ sebesar 12,20% dan pada kelompok B peningkatan sebesar 11,54% bila dibandingkan dengan nilai basal, dan secara statistik bermakna (p<0,05). Namun peningkatan tersebut tidak mencapai 20% dari nilai basal. Tidak dijumpai perbedaan nilai TDS, TDD, TAR, DJ dan RPP yang bermakna antara kelompok A dan kelompok B pada pengamatan menit ke-1, ke-3 dan ke-5 setelah tindakan laringoskopi dan intubasi (p<0,05).

Kesimpulan. Fentanyl + Magnesium Sulfat dan Fentanyl + Lidokain sama-sama efektif dalam mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea.

(13)

ABSTRACT

Background. Laryngoscopy and endotracheal intubation is routine performed in general anesthesia. However laryngoscopy and endotracheal intubation can lead to an increase in hemodynamic that characterized by hypertension and tachycardia, and can endanger the patients who have risk factors such as hypertension, coronary heart disease, cerebrovascular disorders, myocardial infarction, and thyrotoxicosis. Various drugs and methods have been used to reduce the hemodynamic responses due to laryngoscopy and endotracheal intubation. The purpose of this study was to compare the administration of fentanyl + magnesium sulfate with fentanyl + lidocaine in reducing hemodynamic response due to laryngoscopy and endotracheal intubation.

Method. This study was performed on 30 patients aged 18-50 years, ASA 1, who underwent elective surgery with general anesthesia endotracheal intubation. The patients randomly divided into two equal groups. Group A get Fentanyl 2 µg/kg iv + MgSO4 30 mg/kg iv as premedication, and Group B get Fentanyl 2 µg/kg iv + Lidocaine 1.5 mg/kg iv before laryngoscopy and endotracheal intubation. Systolic blood pressure value (SBP), diastolic (DBP), mean arterial pressure (MAP), heart rate (HR) and Rate Pressure Product (RPP) were recorded at the time before administration of the test drug, after administration of the test drug, before induction, after induction and at minute 1st, 3rd, and

5th after laryngoscopy and endotracheal intubation.

Result. Patient characteristic data showed no differences between two groups (p> 0.05). Both groups had decreased SBP, DBP, MAP and had increased HR and RPP after endotracheal intubation compared to baseline value. There was significant rise in HR at the first minute after laryngoscopy and intubation. Maximum rise in HR in Group A was 12.20% and maximum rise in Group B was 11.54%, when compared with baseline value, and statistically significant (p <0.05). However, this rise in HR did not reach 20% of baseline value. There is no significant difference of SBP, DBP, MAP, HR and RPP between group A and group B at minute 1st, 3rd, and 5th after laryngoscopy and

endotracheal intubation (p<0,05).

Conclusion. Fentanyl + Magnesium Sulfate and Fentanyl + Lidocaine are equally effective in reducing hemodynamic response due to laryngoscopy and endotracheal intubation.

(14)

ix

ABSTRAK

Latar Belakang. Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea merupakan hal yang rutin dilakukan pada anastesi umum. Namun tindakan laringoskopi dan intubasi tersebut dapat menyebabkan terjadinya peningkatan hemodinamik berupa hipertensi dan takikardi, dan dapat membahayakan pada pasien-pasien yang mempunyai faktor resiko seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, kelainan serebrovaskular, miokard infark dan tirotoksikosis. Berbagai obat dan cara telah digunakan untuk mengurangi peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan pemberian fentanyl + magnesium sulfat dengan fentanyl + lidokain dalam mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea.

Metode. Penelitian ini dilakukan pada 30 pasien berusia 18 – 50 tahun dan tergolong dalam ASA 1, yang menjalani pembedahan elektif dengan anestesi umum intubasi endotrakhea secara acak tersamar ganda dibagi dalam 2 kelompok yang sama besar. Kelompok A mendapatkan premedikasi fentanyl 2 µg/kgBB intravena + MgSO4 30 mg/kgBB intravena, dan kelompok B mendapatkan premedikasi fentanyl 2µg/kgBB intravena + Lidokain 1,5 mg/kgBB intravena sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea. Dilakukan pencatatan nilai tekanan darah sistolik (TDS), diastolik (TDD), tekanan arteri rerata (TAR), denyut jantung (DJ) dan Rate Pressure Product (RPP) pada saat sebelum pemberian obat uji (basal), setelah pemberian obat uji, sebelum induksi, setelah induksi dan setelah tindakan laringoskopi dan intubasi pada menit ke-1, ke-3 dan ke-5.

Hasil. Data karakteristik pasien tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok penelitian (p>0,05). Pada kedua kelompok dijumpai penurunan TDS, TDD, TAR dan dijumpai peningkatan DJ serta RPP setelah tindakan laringoskopi dan intubasi dibandingkan nilai basal. Peningkatan yang bermakna terlihat pada peningkatan frekuensi DJ pada saat menit ke-1 setelah tindakan laringoskopi. Pada kelompok A peningkatan DJ sebesar 12,20% dan pada kelompok B peningkatan sebesar 11,54% bila dibandingkan dengan nilai basal, dan secara statistik bermakna (p<0,05). Namun peningkatan tersebut tidak mencapai 20% dari nilai basal. Tidak dijumpai perbedaan nilai TDS, TDD, TAR, DJ dan RPP yang bermakna antara kelompok A dan kelompok B pada pengamatan menit ke-1, ke-3 dan ke-5 setelah tindakan laringoskopi dan intubasi (p<0,05).

Kesimpulan. Fentanyl + Magnesium Sulfat dan Fentanyl + Lidokain sama-sama efektif dalam mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea.

(15)

ABSTRACT

Background. Laryngoscopy and endotracheal intubation is routine performed in general anesthesia. However laryngoscopy and endotracheal intubation can lead to an increase in hemodynamic that characterized by hypertension and tachycardia, and can endanger the patients who have risk factors such as hypertension, coronary heart disease, cerebrovascular disorders, myocardial infarction, and thyrotoxicosis. Various drugs and methods have been used to reduce the hemodynamic responses due to laryngoscopy and endotracheal intubation. The purpose of this study was to compare the administration of fentanyl + magnesium sulfate with fentanyl + lidocaine in reducing hemodynamic response due to laryngoscopy and endotracheal intubation.

Method. This study was performed on 30 patients aged 18-50 years, ASA 1, who underwent elective surgery with general anesthesia endotracheal intubation. The patients randomly divided into two equal groups. Group A get Fentanyl 2 µg/kg iv + MgSO4 30 mg/kg iv as premedication, and Group B get Fentanyl 2 µg/kg iv + Lidocaine 1.5 mg/kg iv before laryngoscopy and endotracheal intubation. Systolic blood pressure value (SBP), diastolic (DBP), mean arterial pressure (MAP), heart rate (HR) and Rate Pressure Product (RPP) were recorded at the time before administration of the test drug, after administration of the test drug, before induction, after induction and at minute 1st, 3rd, and

5th after laryngoscopy and endotracheal intubation.

Result. Patient characteristic data showed no differences between two groups (p> 0.05). Both groups had decreased SBP, DBP, MAP and had increased HR and RPP after endotracheal intubation compared to baseline value. There was significant rise in HR at the first minute after laryngoscopy and intubation. Maximum rise in HR in Group A was 12.20% and maximum rise in Group B was 11.54%, when compared with baseline value, and statistically significant (p <0.05). However, this rise in HR did not reach 20% of baseline value. There is no significant difference of SBP, DBP, MAP, HR and RPP between group A and group B at minute 1st, 3rd, and 5th after laryngoscopy and

endotracheal intubation (p<0,05).

Conclusion. Fentanyl + Magnesium Sulfate and Fentanyl + Lidocaine are equally effective in reducing hemodynamic response due to laryngoscopy and endotracheal intubation.

(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG

Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea merupakan hal yang rutin dilakukan pada anastesi umum. Namun tindakan laringoskopi dan intubasi tersebut dapat menimbulkan resiko dan komplikasi pada pasien. Oleh karena itu, dalam melakukan tindakan tersebut dibutuhkan persiapan dan keterampilan yang baik dari seorang ahli anastesi. Sehingga segala resiko dan komplikasi tersebut dapat dihindari.1

Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea merupakan stimulasi noksius yang dapat menyebabkan perangsangan aktifitas simpatis dan pelepasan katekolamin sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan hemodinamik berupa hipertensi dan takikardi (disebut dengan respon pressor)1,2,3,4. Peningkatan

rata-rata tekanan darah akibat tindakan laringoskopi dan intubasi bisa mencapai 40-50%5, dan peningkatan denyut jantung hingga 26-66% bila tidak ada usaha

tertentu yang dilakukan untuk mencegah respon peningkatan hemodinamik.6

Peningkatan hemodinamik yang terjadi tersebut hanya bersifat sementara dan tidak akan mempunyai dampak yang begitu berarti serta dapat ditoleransi oleh pasien yang sehat2,3,7. Namun hal tersebut dapatlah merugikan dan

membahayakan bagi pasien yang mempunyai faktor resiko seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, kelainan serebrovaskular, miokard infark dan tirotoksikosis2,8. Peningkatan tekanan darah yang menetap setelah tindakan

intubasi merupakan bentuk respon yang berlebihan yang sering terlihat pada pasien dengan resiko tinggi yang memiliki penyakit penyerta seperti diabetes, penyakit ginjal, dan penyakit kardiovaskular9.

Beberapa komplikasi yang dijumpai akibat tindakan intubasi seperti hipertensi sebanyak 19%, takikardi 29%, disritmia 6.5% dan henti jantung 0.5-1.9%9.

(17)

laringoskopi dan intubasi10,11. Pada pasien dengan penyakit jantung koroner,

walaupun pencegahan terhadap respon hemodinamik telah dilakukan, masih didapati kejadian iskemik miokard sebanyak 10% saat dilakukan tindakan laringoskopi dan intubasi12. Pada pasien-pasien dengan hipertensi, didapati hingga

25% pasien penderita hipertensi dapat mengalami hipertensi berat setelah tindakan intubasi trakhea13. Oleh kerena itu pencegahan terhadap peningkatan

hemodinamik akibat dari laringoskopi dan intubasi sangatlah penting untuk dilakukan2,7.

Rate pressure product (RPP), merupakan hasil perkalian antara tekanan darah sistolik dan denyut jantung. Nilai RPP merupakan indikator untuk menggambarkan kebutuhan oksigen jantung yang telah luas penggunaannya secara klinis. Nilai normalnya kurang dari 12000. Pada pasien-pasien dengan penyakit arteri koroner, RPP haruslah dijaga di bawah 12000.14 RPP yang

meningkat hingga diatas 20000 selalu berkaitan dengan iskemi miokard dan angina.2,15 Jantung yang berdenyut cepat tidak hanya akan meningkatkan

konsumsi oksigen miokard, namun juga memperpendek waktu diastolik dari ventrikel kiri dan akan mengurangi penghantaran oksigen (oxygen delivery) pada miokard.16

Telah banyak usaha yang dilakukan untuk mencegah peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi tersebut, antara lain pemberian hipnotik17, mendalamkan anastesi inhalasi1,5,13,17, opioid2,3,7,13, β -adrenergic blocker2,3,7,8, anastesi lokal intra vena2,3,8,17, calcium channel blocker2,3,7, dan vasodilator (hidralazin, nitrogliserin, sodium nitroprusside)5,7,17,18.

Opioid merupakan obat yang sering diberikan sebelum tindakan induksi anastesi. Pemberian opioid ini, selain bertujuan untuk mencegah respon peningkatan tekanan darah (TD) dan peningkatan denyut jantung (DJ) saat tindakan laringoskopi dan intubasi, juga berfungsi sebagai analgesia preemptif.19

(18)

akan semakin besar20. Fentanyl dosis besar akan mencegah peningkatan tekanan

darah dan peningkatan denyut jantung akibat laringoskopi, namun dapat menyebabkan kekhawatiran terhadap terjadinya depresi pernafasan (terutama tindakan operasi yang kurang dari 1 jam), bradikardi, hipotensi dan rigiditas.21,22

Fentanyl dosis 5 µg/kgBB efektif dalam mencegah respon simpatis akibat laringoskopi, namun dengan resiko peningkatan efek samping. Dosis yang lebih kecil 2.5 – 3 µg/kgBB dapat menurunkan efek samping dengan kemampuan menurunkan setengah dari respon simpatis.20 Kauto dkk mengatakan fentanil 2

µg/kgBB secara signifikan mengurangi peningkatan hemodinamik dan fentanil 6 µg/kgBB secara sempurna mencegah peningkatan hemodinamik jika diberikan satu setengah dan tiga menit sebelum intubasi, tetapi dosis ini dapat menimbulkan efek samping berupa bradikardi, hipotensi, rigiditas otot dan terlambat pulih. Katoh dkk mengatakan fentanil 4 µg/kgBB lebih efektif dalam mengurangi peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi dibandingkan fentanyl 1 µg/kgBB dan 2 µg/kgBB.23

Malde A dan Sarode V, melakukan penelitian terhadap 90 pasien ASA 1, usia 18-65 tahun yang akan dilakukan pembedahan elektif dengan menggunakan anastesi umum intubasi trakhea. Mereka membandingkan pemberian fentanyl 2 µg/kgBB yang diberikan 5 menit sebelum tindakan intubasi dan dibandingkan dengan pemberian lidokain 1.5 mg/kgBB yang diberikan 5 menit sebelum tindakan intubasi. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa dengan pemberian fentanyl 2 µg/kgBB terbukti efektif dalam mengurangi respon pressor akibat tindakan laringoskopi dan intubasi.6

Dari penelitian Hassani V dkk, yang melakukan penelitian terhadap perubahan hemodinamik pada pasien dengan hipertensi yang diberikan fentanyl 2 µg/kgBB 3 menit sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi. Dari penelitian tersebut didapati bahwa pemberian fentanyl tersebut efektif dalam mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi.3

(19)

SJS dkk, dari penelitian mereka mendapati dengan pemberian fentanyl 2 µg/kgBB yang diberikan 3 menit sebelum induksi, tidaklah cukup untuk mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi trakhea. Dari penelitian mereka terjadi peningkatan tekanan darah dan peningkatan denyut jantung sebesar 15-25% setelah tindakan laringoskopi dan intubasi.24 Shin HY

dkk dari penelitiannya mendapatkan hasil dengan pemberian fentanyl 2 µg/kgBB 3 menit sebelum intubasi pada pasien ASA 1 dan 2 masih terjadi peningkatan denyut jantung sebesar 29.2% akibat tindakan laringoskopi dan intubasi.25

Lidokain (lignocaine) merupakan obat anastesi lokal dan penghambat sodium channel yang diketahui memiliki kemampuan mengurangi respon pressor akibat intubasi.26 Lidokain telah lama digunakan untuk mengurangi respon

kardiovaskular akibat intubasi. Lidokain bekerja dengan menghambat sodium channels pada membran sel saraf, mengurangi sensitifitas otot jantung tehadap impuls listrik, dapat mendepresi jantung dan memiliki efek vasodilatasi. Lidokain juga menekan refleks pada saluran nafas.27

Mohseni G dkk menyatakan bahwa pemberian lidokain 1.5 mg/kgBB yang diberikan sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi efektif dalam mengurangi peningkatan hemodinamik.28 Sukron dkk menyatakan pemberian lidokain 1.5

mg/kgBB intravena sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi dapat mengurangi gejolak kardiovaskuler.2 Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Gupta R

dkk, menyatakan bahwa pemberian lidokain 1.5 mg/kgBB yang diberikan 1 menit sebelum tindakan intubasi, efektif dalam mengurangi peningkatan tekanan darah sistolik (TDS), tekanan darah diastolik (TDD) dan tekanan arteri rerata (TAR) dibandingkan dengan basal.27

Magnesium sulfat mempunyai efek menghambat pelepasan katekolamin dari ujung saraf adrenergik dan dari medula adrenal, oleh karena itu magnesium sulfat dapat menjadi salah satu pilihan dalam mengurangi respon kardiovaskular akibat tindakan laringoskopi dan intubasi7,29. Magnesium sulfat juga dapat menyebabkan

vasodilatasi sehingga dapat menurunkan tekanan darah29. Dari penelitian yang

(20)

peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi, terlihat bahwa magnesium sulfat lebih efektif daripada lidokain30.

Nooraei N dkk, melakukan penelitian terhadap 60 pasien ASA 1 dan 2, umur 20-40 tahun, yang menjalani operasi elektif. Mereka membandingkan perubahan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi antara pasien yang mendapatkan magnesium sulfat 60 mg/kgBB (berdasarkan Lean Body Mass) dengan lidokain 1.5 mg/kgBB yang diberikan sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi. Dari hasil penelitian mereka menyimpulkan bahwa pemberian magnesium sulfat lebih efektif dibandingkan dengan lidokain dalam mengurangi peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi.29

Panda NB dkk, melakukan penelitian terhadap 80 pasien dewasa yang menderita hipertensi terkontrol yang akan menjalani operasi elektif. Pasien-pasien tersebut dibagi dalam 4 kelompok penelitian. Sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi dilakukan, kelompok I mendapatkan magnesium sulfat 30 mg/kgBB, kelompok II mendapatkan magnesium sulfat 40 mg/kgBB, kelompok III mendapatkan magnesium sulfat 50 mg/kgBB, dan kelompok IV mendapatkan lidokain 1.5 mg/kgBB. Keseluruhan kelompok dinilai dan dibandingkan perubahan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi. Dari hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa magnesium 30 mg/kgBB merupakan dosis yang optimal dalam mengurangi peningkatan tekanan darah saat tindakan intubasi pada pasien-pasien hipertensi. Dengan pemberian magnesium sulfat 30mg/kgBB, stabilitas jantung lebih baik bila dibandingkan pemberian lidokain 1.5 mg/kgBB. Dosis magnesium lebih dari 30 mg/kgBB dapat menyebabkan terjadinya hipotensi yang bermakna.7

(21)

hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi, dan membandingkannya dengan pemberian fentanyl 2 µg/kgBB dan lidokain 1.5 mg/kgBB. Dan dari berbagai literatur, belum pernah ada yang membandingkan pemberian fentanyl 2 µg/kgBB + magnesium sulfat 30 mg/kgBB dengan pemberian fentanyl 2 µg/kgBB + lidokain 1.5 mg/kgBB untuk mengurangi peningkatan respon hemodinamik akibat tindakan laringoskopi.

1.2.RUMUSAN MASALAH

Apakah ada perbedaan efek intravena fentanyl 2 µg/kgBB + magnesium sulfat 30 mg/kgBB dibandingkan dengan fentanyl 2 µg/kgBB + lidokain 1.5 mg/kgBB dalam mengurangi respon peningkatan hemodinamik (TDS, TDD, DJ, TAR, RPP) akibat tindakan laringoskopi dan intubasi?

1.3.HIPOTESIS

Ada perbedaan efek intravena fentanyl 2 µg/kgBB + magnesium sulfat 30 mg/kgBB dibandingkan dengan fentanyl 2 µg/kgBB + lidokain 1.5 mg/kgBB dalam mengurangi respon peningkatan hemodinamik (TDS, TDD, DJ, TAR, RPP) akibat tindakan laringoskopi dan intubasi

1.4.TUJUAN PENELITIAN

1.4.1. Tujuan umum

Untuk mendapatkan obat alternatif yang lebih efektif dalam mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi.

1.4.2. Tujuan Khusus

• Untuk mengetahui efek pemberian intravena fentanyl 2 µg/kgBB + lidokain 1.5 mg/kgBB dalam mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi.

(22)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI SALURAN NAFAS

Keberhasilan dari tindakan laringoskopi dan intubasi yang dilakukan oleh ahli anastesi, membutuhkan pengetahuan yang mendalam tentang anatomi dari saluran nafas. Adapun istilah saluran nafas yang terdapat pada bahasan ini mengacu kepada saluran nafas atas. Saluran nafas atas tersebut terdiri dari rongga hidung, rongga mulut, faring, laring, trakhea, dan bronkus utama.1,31

Terdapat dua jalan yang menghubungkan saluran nafas dengan dunia luar, yaitu: hidung yang akan menuju pada nasofaring, dan mulut yang akan menuju pada orofaring. Kedua saluran tersebut, pada bagian anterior dipisahkan oleh palatum, dan kedua saluran tersebut akan bersatu dibagian posterior, yaitu didalam faring1. Faring merupakan saluran yang dipergunakan bersama oleh

saluran nafas dan saluran pencernaan. Faring terbentang dari mulai nares internal hingga mencapai jalan masuk menuju ke laring dan esofagus (gambar 2.1). Faring dapat dibagi menjadi nasofaring, orofaring, dan laringofaring (hipofaring)(gambar 2.2)1,32. Nasofaring merupakan bagian paling atas dari faring32, dan dipisahkan

dari orofaring oleh garis datar hayal yang membentang dari palatum lunak (palatum molle) ke arah posterior1,32. Orofaring membentang antara palatum lunak

dan dasar lidah (setentang tulang lidah). Laringofaring merupakan bagian paling bawah dari faring, terletak antara tulang lidah hingga jalan masuk menuju ke laring dan esofagus.32

Udara dari faring masuk ke laring melalui saluran yang sempit yang disebut glotis32. Epiglotis berfungsi mencegah aspirasi dengan cara menutup glotis

saat menelan makanan. Laring adalah suatu rangka yang dibentuk oleh beberapa tulang rawan yang dipadukan oleh ligamen dan otot1. Rangka laring disusun dari

sembilan tulang rawan (gambar 2.3). Tiga tulang rawan besar yang tidak berpasangan, yaitu: tiroid, krikoid, dan epiglotis. Kemudian terdapat tiga pasang tulang rawan yang lebih kecil, yaitu: aritenoid, kornikulata dan kuneiformis1,31,32.

(23)

merupakan tulang rawan yang paling besar, yang membentuk hampir keseluruhan dinding anterior dan dinding lateral laring32. Tulang rawan tiroid ini berfungsi

melindungi conus elasticus yang membentuk vocal cords1.

Gambar 2.1 : Anatomi saluran pernafasan atas (potongan sagital)32

(24)

Gambar 2.3 : Struktur tulang rawan laring32

Persarafan sensoris saluran nafas atas berasal dari saraf kranial. Divisi oftalmik dan divisi maksila dari saraf trigeminus (saraf kranial V) memberikan persarafan pada mukosa hidung melalui saraf etmoidalis anterior, saraf nasopalatina, dan saraf sfenopalatina. Saraf palatina yang merupakan percabangan dari saraf sfenopalatina, memberikan persarafan sensoris kepada palatum keras (palatum durum) dan palatum lunak (palatum molle). Divisi mandibula dari saraf trigeminus membentuk saraf lingual yang memberikan persarafan sensoris pada dua pertiga bagian anterior lidah. Sedangkan sepertiga bagian posterior lidah dipersarafi oleh saraf glosofaringeal (saraf kranial IX). Orofaring, tonsil dan bagian dalam dari palatum molle juga dipersarafi oleh saraf glosofaringeal (gambar 2.4) 1,21.

(25)

pada laring yang berada dibawah vocal cords dan trakhea. Tabel 2.1 akan menggambarkan lebih lanjut persarafan motorik dan sensorik dari laring.1,21

Gambar 2.4 : Persarafan sensorik saluran nafas1

Laring pada orang dewasa terletak mulai vertebra C3 dan berakhir pada vertebra C621. Laring berfungsi dalam modulasi suara dan memisahkan trakhea

dari kerongkongan saat menelan21, sehingga mencegah terjadinya aspirasi ke

dalam trakhea1. Namun mekanisme perlindungan ini, ketika berlebihan, dapat

menyebabkan terjadinya spasme laring21. Otot-otot laring dipersarafi oleh nervus

(26)

Tabel 2.1 : Persarafan motorik dan sensorik laring21

Nervus Sensorik Motorik

Laringeal superior Epiglotis Tidak ada (divisi internal) Dasar lidah

Mukosa Supraglotis Thyroepiglottic joint Cricothyroid joint

Laringeal superior Mukosa anterior subglotis krikotiroid (divisi internal) (Adductor Tensor) Laringeal rekuren Mukosa subglotis Tiroaritenoid

Muscle spindles Krikoaritenoid lateralis Interaritenoid (adductors) Krikoaritenoid posterior (adductor)

Trakhea dimulai dari vertebra C6 dan berakhir pada carina yang berada di mediastinum setingkat vertebra T5. Panjang trakhea sekitar 11 cm dengan diameter 2.5 cm. Trakhea memiliki 15-20 tulang rawan. Tulang rawan yang paling atas merupakan satu-satunya tulang rawan yang berbetuk cincin, sedangkan sisanya berbentuk ladam kuda (bentuk C). Tulang rawan tersebut berfungsi untuk melindungi saluran nafas, dan menjaga kekakuan dari trakhea sehingga tidak mengempis ataupun terlalu mengembang akibat adanya perubahan tekanan pada saluran nafas.1,21,32

(27)

2.2.PENILAIAN SALURAN NAFAS

Penilaian saluran nafas merupakan langkah awal agar sukses dalam melakukan manajemen saluran nafas. Beberapa manuver dapat dilakukan untuk menilai kesulitan saat melakukan tindakan intubasi endotrakhea. Untuk menghindari mortalitas dan morbiditas, seorang ahli anastesi haruslah dapat melakukan ventilasi (dengan atau tanpa intubasi)1. Penilaian tersebut antara lain:1

• Pembukaan mulut : Pada dewasa diharapkan jarak antara gigi seri atas dan bawah 3 cm atau lebih

• Tes menggigit bibir atas : gigi bagian bawah diletakkan didepan gigi atas, hal ini untuk menilai pergerakan dari sendi temporomandibula

• Klasifikasi Mallampati : merupakan tes yang sering dilakukan untuk memeriksa ukuran lidah didalam rongga mulut. Semakin besar lidah menghalangi pandangan terhadap struktur faring, maka kemungkinan kesulitan intubasi akan semakin besar (gambar 2.5).

• Jarak Thyromental : jarak antara mental dan superior thyroid notch diharapkan lebih dari 3 jari

• Lingkar leher : lingkar leher lebih dari 27 inchi diduga akan kesulitan dalam visualisasi glotis.

Klasifikasi Mallampati:1

• Kelas I : palatum molle (soft palate), tenggorokan, uvula, dan pilar tonsil dapat terlihat

(28)

Gambar 2.5 : A : Klasifikasi Mallampati B: Penilaian visualisasi laring1

2.3.INTUBASI ENDOTRAKHEA

Intubasi endotrakhea dibutuhkan untuk menjamin patensi dari saluran nafas pada pasien yang memiliki resiko terjadinya aspirasi, ataupun pada pasien yang sulit menjaga saluran nafasnya dengan menggunakan sungkup, ataupun juga bagi pasien yang memerlukan kontrol ventilasi dalam waktu yang lama. Intubasi juga diperlukan pada tindakan pembedahan khusus seperti pada pembedahan kepala/leher, pembedahan intratoraks, dan pada pembedahan intra abdomen.33

2.3.1.Laringoskop

Intubasi endotrakhea biasanya dilakukan dengan menggunakan laringoskop rigid (gambar 2.6). Penggunaan laringoskop rigid disukai karena kemudahannya, tingkat kesuksesan yang tinggi, dan dapat memberikan visualisasi yang baik34.

(29)

untuk menghidupkan bola lampu (bulb) yang terdapat pada ujung bilah (blade), ataupun pada ujung dari gagang tersebut1,34. Bilah yang sering digunakan pada

laringskop adalah bilah Macintosh dan bilah Miller (gambar 2.7)1,33.

Gambar 2.6 : Laringoskop rigid1

Gambar 2.7 : Beberapa jenis bilah laringoskop1

(30)

juga dapat memberikan ruang yang cukup untuk masuknya pipa endotrakhea dengan kemungkinan yang kecil terjadinya trauma pada epiglotis. Ukuran bilah ini dibuat dari mulai bilah no.1 sampai no.4, dimana kebanyakan orang dewasa memakai bilah no. 3.31,33

Bilah Miller adalah bilah yang lurus yang ujungnya diletakkan dibawah epiglotis (gambar 2.8). Dengan bilah ini, epiglotis dapat diangkat untuk bisa melihat vocal cords. Bilah Miller memberikan paparan yang baik terhadap glotis, namun memberikan ruang yang lebih kecil untuk bisa melewati orofaring dan hipofaring. Ukuran bilah ini dibuat dari bilah no. 1 sampai no. 4, dimana kebanyakan orang dewasa memakai bilah no. 2 ataupun no. 3.31,33

(31)

Selain itu, masih banyak bentuk modifikasi tertentu dari laringoskop (misalnya Bullard, Upsher, Wu) dan juga bilah laringoskop (misalnya McCoy, Siker) yang bisa digunakan untuk melakukan intubasi endotrakhea pada kondisi yang sulit ataupun pada kondisi yang lain dari biasanya33. Karena tidak ada bilah

yang cocok untuk segala situasi, maka setiap ahli anastesi haruslah terbiasa dengan berbagai macam bentuk bilah1.

2.3.2. Pipa Endotrakhea

Pipa endotrakhea (Endotracheal Tube/ETT) biasanya terbuat dari polyvinyl chloride (PVC). Panjang dari ETT diberi tanda dalam satuan centimeters. Sedangkan ukuran diameter dalam (ID) dari ETT dalam satuan millimeters atau bisa juga dengan skala French (diameter luar ETT dalam satuan millimeters dikali tiga).1

Tahanan terhadap aliran udara, utamanya bergantung pada diameter dari ETT, namun dapat juga dipengaruhi oleh panjang dari ETT dan kelengkungannya. Pilihan diameter yang dipakai adalah dengan memperhitungkan antara penggunaan ukuran ETT yang besar agar aliran udara lebih maksimal, atau menggunakan ETT dengan ukuran yang lebih kecil agar mengurangi resiko trauma pada saluran nafas. Pada kebanyakan kasus, ETT yang digunakan pada wanita adalah ETT dengan diameter internal 7.0 mm atau 7.5 mm, dan pada pria digunakan ETT dengan diameter internal 8.0 mm. Panduan dalam pemakaian ukuran ETT akan dijabarkan pada tabel 2.2.1,34

Tabel 2.2 : Panduan ukuran ETT1

Usia Diameter Internal (mm) Panjang (cm)

Bayi cukup bulan 3.5 12

Anak-anak 4+(usia/4) 14+(usia/2)

Dewasa

Wanita 7.0-7.5 24

(32)

ETT pada dewasa biasanya memiliki valve pada sistem inflasi cuff, balon pilot, selang inflasi dan cuff (gambar 2.9). Valve berfungsi untuk mencegah keluarnya udara inflasi pada cuff. Balon pilot berguna untuk memperkirakan tekanan yang ada pada cuff. Selang inflasi menghubungkan valve dengan cuff. Dengan dikembangkannya cuff, maka terjadilah tracheal seal. Dan dengan adanya tracheal seal tersebut, akan mencegah terjadinya aspirasi dan akan memudahkan untuk memberikan ventilasi tekanan positif.1

Gambar 2.9 : Pipa endotrakhea (Endotracheal tube/ETT)1

Terdapat dua macam cuff pada ETT: high pressure (low volume), dan low pressure (high volume). ETT cuff yang high pressure sering menyebabkan iskemik pada mukosa trakhea dan kurang sesuai bila digunakan untuk intubasi jangka lama. ETT cuff yang low pressure sering menyebabkan aspirasi, ekstubasi spontan, dan sore throat oleh karena daerah mukosa yang kontak dengan cuff lebih luas. Namun, karena insidensi yang rendah terjadinya iskemik pada mukosa trakhea maka ETT cuff yang low pressure lebih sering digunakan.1

2.3.3. Tindakan Laringoskopi dan Intubasi

(33)

ETT haruslah diperiksa untuk mengetahui apakah ada kebocoran pada cuff ataupun pada valve. Konektor pada ETT harus terpasang dengan baik dan kuat, sehingga tidak terlepas pada saat dipakai nanti. Jika menggunakan stylet, maka setelah stylet dimasukkan kedalam ETT, kemudian dibentuk menyerupai tongkat hoki (gambar 2.10). Tujuan dari membentuk ETT menyerupai tongkat hoki adalah untuk melakukan intubasi pada pasien dengan posisi laring yang anterior. Bilah laringoskop yang dipakai haruslah sudah terpasang, dan bola lampu laringoskop harus menyala dengan baik. ETT dengan ukuran yang lebih kecil harus disediakan sebagai cadangan. Alat penghisap (suction) juga harus dipersiapkan untuk membersihkan jalan nafas dari cairan ataupun darah.1

Gambar 2.10 : ETT terpasang stylet dibentuk seperti tongkat hoki1

(34)

Intubasi orotrakhea dilakukan dengan cara laringoskop dipegang ditangan kiri, mulut pasien dibuka dengan cara mendorong gigi premolar pada mandibula pasien dengan ibu jari kanan. Bilah laringoskop dimasukkan ke dalam sisi kanan mulut pasien, dengan berhati-hati agar tidak terkena gigi pasien34. Lidah pasien

disisihkan ke sisi kiri dengan menggunakan sayap (flange) pada bilah, sehingga dapat memberikan lapangan pandang yang baik untuk memasukkan dan menempatkan ETT. Saat mencapai dasar lidah, dan terlihat epiglotis, maka ujung dari bilah lengkung diletakkan pada vallecula dan ujung dari bilah lurus menekan epiglotis ke dasar lidah sehingga epiglotis akan tertutupi oleh bilah lurus1,31.

Kemudian tangan kiri mengangkat gagang laringoskop dengan arah menjauhi pasien untuk menampakkan vocal cords1 (gambar 2.11). ETT dipegang dengan

tangan kanan seperti memegang pensil dan kemudian dimasukkkan ke dalam vocal cords33. Cuff ETT diletakkan kira-kira 2 cm setelah melewati vocal cords31.

Kemudian laringoskop ditarik dan dikeluarkan dari mulut secara perlahan-lahan agar tidak merusak gigi. Cuff dikembangkan secukupnya sehingga tidak terjadi kebocoran udara saat dilakukan ventilasi positif.1

(35)

Setelah tindakan intubasi, untuk memastikan intubasi trakhea berhasil, maka dilakukan inspeksi dan auskultasi pada thoraks dan epigastrium1, serta

dilakukan pemasangan capnograph1,33. Adanya CO2 pada capnograph merupakan

konfirmasi berhasilnya intubasi trakhea1,33. Jika suara pernafasan hanya terdengar

pada satu sisi thoraks saja, maka kemungkinan ETT telah masuk ke bronkus dan harus ditarik sampai udara terdengar di kedua sisi thoraks33. Kemudian ETT

difiksasi untuk menjaga agar tidak bergeser1.

Intubasi nasotrakhea mirip dengan tindakan intubasi oral, hanya saja sebelum dilakukan laringoskopi, ETT terlebih dahulu dimasukkan melalui hidung menuju nasofaring dan kemudian mencapai orofaring. Lubang hidung yang dipilih adalah yang paling leluasa dipakai bernafas oleh pasien. Sebelum ETT dimasukkan ke dalam hidung, terlebih dahulu hidung ditetesi dengan Phenylephrine (0.25% atau 0.5%) sebagai vasokonstriktor dan juga menciutkan membran mukosa. ETT diolesi dengan jeli terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam hidung. ETT dimasukkan perlahan-lahan hingga terlihat di orofaring. Kemudian dilakukan laringoskopi untuk melihat vocal cords, dan ETT diarahkan masuk ke dalam vocal cords. Jika terjadi kesulitan mengarahkan ETT untuk masuk ke dalam vocal cords, maka bisa digunakan Magill forceps sebagai alat bantu untuk mengarahkan ETT tersebut. Hati-hati saat menggunakan Magill forceps agar tidak merusak cuff ETT.1

2.3.4. Komplikasi akibat Laringoskopi dan Intubasi

(36)

Tabel 2.3 : Komplikasi dari tindakan intubasi21

Komplikasi intubasi trakea

Saat dilakukan laringoskopi dan intubasi

Trauma pada jaringan lunak gigi dan mulut Hipertensi sistemik dan takikardi

Disritmia jantung

Komplikasi segera dan komplikasi lambat setelah ekstubasi

Spasme Laring

Dislokasi tulang rawan arytenoid

2.3.5. Respon fisiologis akibat instrumentasi saluran nafas

Telah diketahui bahwa laringoskopi dan intubasi endotrakhea akan menyebabkan munculnya respon simpatis yang akan melepaskan katekolamin, dan akhirnya akan menimbulkan perubahan hemodinamik berupa hipertensi dan takikardi2,3,35.

(37)

Spasme laring merupakan spasme involunter otot-otot laring akibat perangsangan sensoris dari nervus laringeal superior. Laringospasme dapat muncul oleh karena adanya cairan pada faring, ataupun karena ETT melewati laring saat ekstubasi. Spasme laring biasanya bisa dicegah dengan cara melakukan ekstubasi dalam, ataupun ekstubasi sadar penuh. Penanganan pada spasme laring adalah dengan memberikan ventilasi tekanan posistif dengan menggunakan oksigen 100%, atau dengan memberikan lidokain (1-1.5mg/kgBB). Jika spasme laring masih menetap dan terjadi hipoksia, diberikan suksinilkolin dosis kecil (0.25-0.5 mg/kgBB) dan dapat ditambahkan propofol dosis kecil untuk relaksasi dari otot-otot laring sehingga dapat melakukan kontrol ventilasi.1

Spasme bronkus juga merupakan reflek akibat intubasi yang sering terjadi pada pasien penderita asma. Terjadinya spasme bronkus juga dapat menjadi petunjuk terjadinya intubasi bronkus.1

2.3.6. Upaya mengurangi peningkatan hemodinamik

Tindakan laringoskopi dan intubasi trakhea merupakan stimulasi noksius yang sangat kuat, yang akan menyebabkan symphatetic discharge dan akan menyebabkan hipertensi dan takikardi (disebut dengan respon pressor).36

Laringoskopi dan intubasi trakhea menstimulasi reseptor aferen nosisepsi viseral dan somatik dari epiglotis, hipofaring, daerah peri trakhea dan vocal cords, sehingga terjadi augmentasi aktivitas simpatis cervical dan mengakibatkan peningkatan amine simpatis (adrenalin dan noreadrenalin).3,7

Respon pressor merupakan bagian dari respon stress, berasal dari peningkatan aktifitas simpatis dan simpatoadrenal yang akan meningkatkan konsentrasi katekolamin plasma.24 Respon pressor akibat laringoskopi dan intubasi

merupakan refleks simpatis yang diprovokasi oleh stimulasi pada oro-laringofaring.15 Faring bagian bawah (hipofaring), epiglotis dan laring

(38)

refleks perangsangan simpatis.4 Munculnya respon simpatoadrenal terhadap

intubasi endotrakhea adalah adanya rangsangan area supraglotik akibat iritasi pada jaringan yang terkena laringoskop. Rangsangan di area infraglotik berupa sentuhan pipa endotrakhea melintasi pita suara dan pengembangan balon memberikan kontribusi lebih rendah.2

Peningkatan rata-rata tekanan darah akibat tindakan laringoskopi dan intubasi bisa mencapai 40-50%5, dan peningkatan denyut jantung hingga 26-66% bila

tidak ada usaha tertentu yang dilakukan untuk mencegah respon peningkatan hemodinamik.6 Respon ini biasanya bersifat sementara, dan terjadi pada 30 detik

setelah tindakan laringoskopi dan intubasi, dan bertahan lebih kurang selama 10 menit8. Respon ini tidaklah berbahaya bagi pasien yang sehat7,8,21. Tetapi hal

tersebut bisa berbahaya bila terjadi pada pasien-pasien dengan faktor resiko seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, kelainan serebrovaskuler, miokard infark dan tirotoksikosis2,8,21. Peningkatan tekanan darah yang menetap setelah

tindakan intubasi merupakan bentuk respon yang berlebihan yang sering terlihat pada pasien dengan resiko tinggi yang memiliki penyakit penyerta seperti diabetes, penyakit ginjal, dan penyakit kardiovaskular9.

Rate pressure product (RPP), merupakan hasil perkalian antara tekanan darah sistolik dan denyut jantung. Nilai RPP merupakan indikator untuk menggambarkan kebutuhan oksigen jantung yang telah luas penggunaannya secara klinis. Nilai normalnya kurang dari 12000. RPP yang meningkat hingga diatas 20000 selalu berkaitan dengan iskemi miokard dan angina.2 Pada

pasien-pasien dengan penyakit arteri koroner, RPP haruslah dijaga di bawah 12000.14

Jantung yang berdenyut cepat tidak hanya akan meningkatkan konsumsi oksigen miokard, namun juga memperpendek waktu diastolik dari ventrikel kiri dan akan mengurangi penghantaran oksigen (oxygen delivery) pada miokard.16

Peningkatan tekanan darah tanpa peningkatan denyut jantung masih lebih baik untuk oksigenasi miokard bila dibandingkan peningkatan tekanan darah yang terjadi bersamaan dengan peningkatan denyut jantung.2,15

(39)

komplikasi akibat tindakan intubasi9. Miokard infark merupakan salah satu

penyebab morbiditas dan mortalitas paska operasi pada pasien-pasien normotensi. Miokard infark tersebut terjadi karena iskemi yang disebabkan oleh hipertensi dan takikardi akibat tindakan laringoskopi dan intubasi10,11 (tabel 2.4). Pada

pasien dengan penyakit jantung koroner, walaupun pencegahan terhadap respon hemodinamik telah dilakukan, masih didapati kejadian iskemik miokard sebanyak 10% saat dilakukan tindakan laringoskopi dan intubasi12.

Tabel 2.4 : Morbiditas akibat hipertensi akut dan takikardi9 Potensi morbiditas akibat hipertensi akut dan takikardi

Miokard strain, iskemi, infark

Gagal ventrikel kiri akut, gagal ventrikel kanan akut Gagal jantung kongestif

Disritmia, iskemi

Kolaps kardiovaskular paska hipertensi Peningkatan aliran/tekanan darah serebral Perdarahan cerebral

Diseksi aorta

Ruptur aneurisma pada toraks, abdomen, serebral, mata Akselerasi perdarahan

Perubahan pada dinamika aliran katup

Pada pasien-pasien dengan hipertensi, didapati hingga 25% pasien penderita hipertensi dapat mengalami hipertensi berat setelah tindakan intubasi trakhea13. Oleh kerena itu pencegahan terhadap perubahan hemodinamik akibat

dari laringoskopi dan intubasi sangatlah penting untuk dilakukan2,7. Tindakan

laringoskopi yang berlama-lama haruslah dihindari pada pasien-pasien tersebut. Tindakan intubasi haruslah dilakukan dengan anastesi yang dalam.13

Telah banyak upaya yang dilakukan untuk mengurangi respon peningkatan hemodinamik tersebut, diantaranya adalah dengan melakukan intubasi dengan waktu sesingkat mungkin13,, dengan menggunakan bilah laringoskop jenis tertentu

(McCoy lebih baik dari Macintosh)37,38, ataupun dengan obat-obatan tertentu.

Adapun dengan pemberian obat-obatan antara lain dengan pemberian hipnotik17,

(40)

anastesi lokal intra vena2,3,8,17, calcium channel blocker2,3,7, vasodilator

(hidralazin, nitrogliserin, sodium nitroprusside)5,7,17,18, dan magnesium sulfat7,29,35.

Opioid (misalnya fentanyl) merupakan obat yang sering diberikan sebelum tindakan induksi anastesi. Pemberian opioid ini, selain bertujuan untuk mengurangi respon peningkatan tekanan darah dan denyut jantung saat tindakan laringoskopi dan intubasi, juga berfungsi untuk analgesia preemptif.19

2.3.6.1. Fentanyl

2.3.6.1.1. Struktur kimia

Fentanyl merupakan turunan dari agonis opioid fenilpiperidin sintetik yang strukturnya mirip mepiridin (gambar 2.12). Sebagai analgetik fentanil 75 – 125x lebih poten daripada morfin.39

Gambar 2.12 : Struktur kimia fentanyl39

2.3.6.1.2. Farmakokinetik

Opioid sintetik ini bersifat larut dalam lemak, mulai kerjanya cepat, durasi kerjanya singkat, dan efek puncak obat terjadi dalam waktu 3 – 5 menit40. Setelah

pemberian secara intra vena, fentanyl akan cepat berdistribusi ke otak, paru-paru, jantung dan organ lain yang memiliki perfusi jaringan yang besar39,40. Dalam

waktu singkat, fentanyl akan berdistribusi ke seluruh tubuh, sehingga kadarnya di dalam plasma akan sangat menurun40. Lebih dari 80% dari dosis yang

(41)

Terminasi efek dari fentanyl terjadi bila fentanyl mengalami redistribusi dari susunan saraf pusat40.

Konsentrasi plasma menurun lebih lambat pada saat fase eliminasi. Biotransformasi fentanyl menjadi metabolit yang tidak aktif terjadi didalam hati, yang biasanya dalam bentuk norfentanyl dan beberapa produk hidroksilasi. Hanya sekitar 6-8% yang diekskresikan dalam bentuk yang tidak berubah melalui urin. Nilai clearance fentanyl pada hati sangat tinggi, sehingga lebih dari 60% fentanyl dibersihkan pada first pass. Oleh karena volume distribusinya yang besar, maka kebanyakan obat ini akan berada pada ekstra vaskuler dan tidak mengalami biotransformasi. Waktu paruh fentanyl mendekati 8 jam lamanya40. Waktu paruh

yang lama tersebut mencerminkan dari volume distribusinya yang besar. Volume distribusi yang besar tersebut oleh karena sifatnya yang sangat mudah larut dalam lemak, sehingga lebih cepat masuk ke dalam jaringan.39

Pada pasien lansia, pemanjangan dari waktu paruh fentanyl dikarenakan oleh menurunnya clearance di hati. Hal ini mencerminkan menurunnya aliran darah hati, menurunnya aktifitas enzim mikrosom, ataupun menurunnya produksi albumin (79-87% fentanyl berikatan dengan protein). Oleh karena itu pemberian fentanyl yang diberikan akan efektif dalam waktu yang lebih lama pada pasien lansia dibandingkan pada pasien yang lebih muda.39

2.3.6.1.3. Metabolisme

(42)

2.3.6.1.4. Efek samping

Fentanyl dapat menyebabkan depresi pernafasan yang dapat menjadi masalah paska operasi. Efek depresi pernafasan akibat pemberian fentanyl lebih bertahan lama daripada efek analgesiknya41. Kombinasi fentanyl dan benzodiazepin

bersifat sinergis dalam hal hipnosis dan depresi pernafasan39. Bahkan dengan

dosis kecil fentanyl (50 µg) yang dikombinasikan dengan sedatif dapat menimbulkan depresi pernafasan41. Bradikardi dapat terjadi pada pemberian

fentanyl, dan terkadang akibat dari bradikardi ini dapat menyebabkan penurunan tekanan darah dan curah jantung39. Rigiditas otot sering terjadi pada pemberian

fentanyl. Awalnya rigiditas otot ini disangkakan hanya terbatas pada otot-otot abdomen dan otot-otot toraks. Namun belakangan diketahui bahwa otot-otot pada leher dan otot-otot pada ekstremitas bisa juga ikut terlibat. Dengan pemberian fentanyl dosis 1-2 µg/kgBB, rigiditas otot dapat terjadi. Kejadian rigiditas ini biasanya muncul pada saat dilakukan induksi anastesi. Rigiditas ini sepertinya lebih sering terjadi pada pasien lansia dan juga pada saat pemberian fentanyl (opioid) bersamaan dengan nitrous oxide.40

2.3.6.1.5. Penggunaan Klinis

Pada penggunaan secara klinis, fentanyl digunakan dengan rentang dosis yang lebar. Contohnya fentanyl dosis kecil (low dose), 1-2 µg/kgBB intra vena, diberikan sebagai analgetik. Dosis 2-20 µg/kgBB, dapat diberikan sebagai adjuvant anastesi inhalasi untuk mengurangi respon sirkulasi pada saat laringoskopi dan intubasi trakhea ataupun pada saat stimulasi pembedahan. Pemberian fentanyl sebelum munculnya rangsang nyeri akibat pembedahan, dapat mengurangi dosis fentanyl yang dibutuhkan sebagai analgetik paska operasi.39

Opioid dengan dosis yang besar terbukti efektif dalam mencegah respon hemodinamik pada tindakan laringoskopi dan intubasi24, namun penggunaannya

dibatasi oleh karena efek sampingnya yang besar42. Fentanyl dosis besar terbukti

(43)

tambahan (adjunct) bagi opioid agar dosis opioid yang digunakan dapat berkurang, namun hal itu juga tidak sepenuhnya bebas dari efek samping24. Dalam

penggunannya, fentanyl sering digabungkan dengan sedatif untuk mengurangi respon hemodinamik akibat intubasi3.

Penggunaan fentanyl dosis 5 µg/kgBB efektif dalam mengurangi respon simpatis akibat laringoskopi, namun dengan resiko peningkatan efek samping. Penggunaan dengan dosis yang lebih kecil 2.5 – 3 µg/kgBB dapat menurunkan efek samping dengan kemampuan mengurangi setengah dari respon simpatis.20

Pada pasien dengan penyakit arteri koroner, tindakan induksi dan intubasi trakhea merupakan saat resiko terbesar terjadinya iskemi miokard. Pemberian fentanyl dosis tinggi sering digunakan pada pasien-pasien tersebut dan efektif dalam mencegah peningkatan hemodinamik dan perubahan EKG saat dilakukan intubasi. Namun pemakaian fentanyl dosis tinggi dapat menyebabkan waktu untuk pulih sadar menjadi lebih lama dan sering dibutuhkan penggunaan dukungan pernafasan paska pembedahan. Karena itu penggunaan fentanyl dosis tinggi tidaklah dianjurkan pada pasien dengan penyakit arteri koroner yang menjalani pembedahan yang singkat, ataupun yang membutuhkan penilaian status neurologis paska pembedahan.12

Kauto dkk mengatakan fentanil 2 µg/kgBB secara signifikan mengurangi peningkatan hemodinamik dan fentanil 6 µg/kgBB secara sempurna mencegah peningkatan hemodinamik jika diberikan satu setengah dan tiga menit sebelum intubasi, tetapi dosis ini dapat menimbulkan efek samping berupa bradikardi, hipotensi, rigiditas otot dan terlambat pulih. Katoh dkk mengatakan fentanil 4 µg/kgBB lebih efektif dalam mengurangi peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi dibandingkan fentanyl 1 µg/kgBB dan 2 µg/kgBB.23

(44)

intubasi. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa dengan pemberian fentanyl 2 µg/kgBB terbukti efektif dalam mengurangi respon pressor akibat tindakan laringoskopi dan intubasi.6

Hassani V dkk, melakukan penelitian terhadap 37 pasien dengan penderita hipertensi, ASA 2, umur 20-65 tahun yang menjalani operasi elektif. Mereka membandingkan perubahan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi antara pasien yang diberikan fentanyl 2 µg/kg BB dengan fentanyl 2 µg/kg BB + lidokain 1.5 mg/kg BB yang diberikan 3 menit sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi. Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa fentanyl atau fentanyl + lidokain efektif dalam mengurangi respon hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi.3

Namun terdapat juga beberapa penelitian negatif tentang penggunaan fentanyl. Helfman dkk mengatakan dengan pemberian fentanyl 200 µg tidak dapat mengurangi peningkatan hemodinamik saat laringoskopi dan intubasi.6 Haidry

MA dan Khan FA dari penelitiannya mendapati bahwa dengan pemberian fentanyl 2 µg/kgBB pada pasien dewasa ASA 1 dan 2, yang diberikan 3 menit sebelum intubasi, masih terjadi peningkatan tekanan darah sistolik sebesar 22.9% dan peningkatan tekanan darah diastolik sebesar 27% setelah tindakan laringoskopi dan intubasi dengan laringoskop Macintosh.38 Shah RB dkk, dari

penelitiannya terhadap pasien usia 20-50 tahun ASA 1 dan 2 yang diberikan fentanyl 2 µg/kgBB 3 menit sebelum induksi anastesi masih terjadi peningkatan denyut jantung sebesar 21.1% setelah tindakan laringoskopi dan intubasi.43

Bajwa SJS dkk, melakukan penelitian pada 100 pasien asa 1 dan 2, umur 25-50 tahun yang menjalani operasi elektif. Dari penelitian mereka mendapati dengan pemberian fentanyl 2 µg/kgBB yang diberikan 3 menit sebelum induksi, tidaklah cukup untuk mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi trakhea. Dari penelitian mereka terjadi peningkatan tekanan darah dan peningkatan denyut jantung sebesar 15-25% setelah tindakan laringoskopi dan intubasi.24

(45)

umum intubasi trakhea. Pasien tersebut dibagi dalam 5 kelompok yang masing-masing kelompok diberikan lidokain 2 mg/kgBB 3 menit sebelum intubasi, fentanyl 2 µg/kgBB 4 menit sebelum intubasi, nicardipin 30 µg/kgBB 2 menit sebelum intubasi, esmolol 1 mg/kgBB 90 detik sebelum intubasi, dan kelompok kontrol mendapatkan normal salin sebelum intubasi. Dari penelitiannya mendapatkan hasil dengan pemberian fentanyl 2 µg/kgBB 3 menit sebelum intubasi terjadi peningkatan denyut jantung sebesar 29.2%, peningkatan tekanan arteri rerata 19.95% dan peningkatan RPP sebesar 47.47% (nilainya mencapai 14600) akibat tindakan laringoskopi dan intubasi.25

2.3.6.2. Lidokain

Lidokain telah digunakan sebagai obat anastesi dan analgesi selama lebih dari setengah abad. Lidokain pertama kali dibuat oleh Logfren pada tahun 1943 dan telah digunakan bertahun-tahun sebagai obat anatesi lokal. Lidokain merupakan obat anestesi lokal dari golongan amida. Selain sebagai obat anastesi lokal, lidokain juga dipakai oleh ahli anastesi untuk penanganan aritmia yang terjadi saat tindakan pembedahan. Sejak tahun 1963 lidokain digunakan untuk penanganan aritmia pada saat dan sesudah tindakan pembedahan jantung. Sejak saat itu lidokain telah digunakan secara luas secara intravena sebagai penanganan aritmia jantung akibat infark miokard akut.44,45,46

2.3.6.2.1. Struktur kimia

Struktur kimia lidokain terdiri dari gugus aromatik (2,6-xylidine) yang berpasangan dengan diethylglycine melalui ikatan amida. Lidokain merupakan basa lemah dengan pKa 7.85.45

2.3.6.2.2. Mekanisme kerja

(46)

sensorik, sedangkan pada konsentrasi yang besar lidokain akan memberi efek yang lebih luas. Lidokain juga memiliki efek anti inflamasi dan imunomodulasi. Bila dibandingkan dengan obat lain pada kelasnya, lidokain memiliki mula kerja yang cepat dan masa kerja yang tergolong menengah (intermediate).46

Gambar 2.13 : Struktur kimia lidokain44

2.3.6.2.3. Farmakokinetik dan farmakodinamik

Lidokain didistribusikan keseluruh tubuh setelah pemberian secara intravena, dengan volume distribusi pada dewasa 0.7-2.7 l/kg.46 Pemberian lidokain secara

intravena akan mencapai kadar terapi dalam 1-2 menit.45 Lidokain dapat

menembus plasenta dan juga sawar darah otak. Pada kadar terapi, 60-80% lidokain berikatan dengan protein, utamanya berikatan dengan alpha-1-acid glycoprotein. Dosis lidokain yang menimbulkan efek analgesia belumlah diketahui secara pasti, namun dari beberapa penelitian menunjukkan kadar pada plasma yang lebih rendah untuk penanganan aritmia (1.5-5 µg/ml) dan jauh dibawah kadar toksik (6 µg/ml).46 Lidokain intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB,

menghasilkan kadar lidokain plasma sebesar 3 µg/ml, dan dapat menekan refleks batuk. Namun durasi Lidokain intravena adalah pendek (5-20 menit).47

Gambar

Gambar 2.1 :  Anatomi saluran pernafasan atas (potongan sagital)32
Gambar 2.3 : Struktur tulang rawan laring32
Gambar 2.4 : Persarafan sensorik saluran nafas1
Tabel 2.1 : Persarafan motorik dan sensorik laring21
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan: Penambahan lidokain 40 mg intravena yang ditambahkan natrium bikarbonat 1 mEq memiliki efektivitas yang sama dengan ketamin 100 µg/kgBB intravena

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas pemberian MgSO 4 30 mg/kgBB intravena dibanding dengan fentanil 2 mcg/ kgBB intravena dalam menekan respons kardiovaskular

Tujuan umum pada penelitian ini adalah untuk menilai pengaruh pemberian bolus Lidokain 2% 1,5 mg/kgBB intravena setelah intubasi endotrakeal pada intensitas

Hasil: Pada menit pertama, ketiga, dan kelima setelah laringoskopi dan intubasi endotrakea magnesium sulfat efektif mengurangi peningkatan tekanan darah (sistolik dan diastolik),

Madi dkk dalam penelitiannya membandingkan efek lidokain dosis kecil dan dosis besar terhadap gejolak kardiovaskuler pada laringoskopi dan intubasi endotrakhea, dinyatakan

Hasil: Pada menit pertama, ketiga, dan kelima setelah laringoskopi dan intubasi endotrakea magnesium sulfat efektif mengurangi peningkatan tekanan darah (sistolik dan

Tesis yang berjudul PENGARUH PEMBERIAN PROPOFOL INTRAVENA 10 mg/kgBB, 25 mg/kgBB dan 50 mg/kgBB TERHADAP EKSPRESI KASPASE 3 MENCIT BALB/C DENGAN CEDERA ini

ii LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH PERBANDINGAN PEMBERIAN LIDOKAIN 1,5 MG/KGBB/JAM DENGAN MORFIN 0.1MG/KGBB INTRAVENA SEBAGAI ANALGETIK INTRAOPERATIF PADA