EFEKTIVITAS PELATIHAN PENDIDIK SEBAYA (PEER GROUP) TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP SISWA SMA N 1
PADANGSIDIMPUAN TENTANG PENCEGAHAN NAPZA DI KOTA PADANGSIDIMPUAN
TAHUN 2013
TESIS
Oleh
ENDA MORA DALIMUNTHE 117032134/ IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
EFFECTIVENESS OF PEER GROUP TRAINING ON KNOWLEDGE AND ATTITUDE OF SMA I PADANGSIDEMPUAN STUDENTS ABOUT THE
PREVENTION FROM NAPZA AT PADANGSIDEMPUAN, IN 2013
THESIS
BY
ENDA MORA DALIMUNTHE 117032134/IKM
MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH
UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN
EFEKTIVITAS PELATIHAN PENDIDIK SEBAYA (PEER GROUP) TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP SISWA SMA N 1
PADANGSIDIMPUAN TENTANG PENCEGAHAN NAPZA DI KOTA PADANGSIDIMPUAN
TAHUN 2013
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
ENDA MORA DALIMUNTHE 117032134/ IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : EFEKTIFITAS PELATIHAN PENDIDIK SEBAYA (PEER GROUP) TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP SISWA SMA N 1 PADANGSIDIMPUAN TENTANG
PENCEGAHAN NAPZA DI KOTA PADANGSIDIMPUAN TAHUN 2013 Nama Mahasiswa : Enda Mora Dalimunthe
Nomor Induk Mahasiswa : 117032134
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Namora Lumongga Lubis, M.Sc, Ph.D)
Ketua Anggota
(Drs. Tukiman, M.K.M)
Dekan
Telah diuji
Pada Tanggal : 28 Agustus 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Namora Lumongga Lubis, M.Sc, Ph.D Anggota : 1. Drs. Tukiman, M.K.M
PERNYATAAN
EFEKTIVITAS PELATIHAN PENDIDIK SEBAYA (PEER GROUP) TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP SISWA SMA N 1
PADANGSIDIMPUAN TENTANG PENCEGAHAN NAPZA DI KOTA PADANGSIDIMPUAN
TAHUN 2013
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Oktober 2013
ABSTRAK
NAPZA adalah singkatan dari narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya, meliputi zat alami atau sintetis yang bila dikonsumsi menimbulkan perubahan fungsi fisik dan psikis, serta menimbulkan ketergantungan. Remaja mendapat tekanan begitu besar baik dari kelompok pergaulannya (peer group), rasa keingintahuan atau coba-coba, serta rasa ego yang mendorong untuk pakai narkotika dan zat adiktif.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh sebelum dan sesudah pelatihan pendidik sebaya (peer group) terhadap pengetahuan dan sikap siswa SMA 1 Padangsidimpuan tentang pencegahan NAPZA di Kota Padangsidimpuan. Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimen dengan rancangan Non Equivalent Control Group. Populasi adalah seluruh siswa/i kelas X dan XI Tahun Ajaran 2012/2013 yang berjumlah 414 orang. Sampel berjumlah 26 orang terdiri dari seluruh kelas X (8 kelas) dan XI (5 kelas). Data dianalisis dengan tahapan univariat dan bivariat menggunakan uji wilcoxon.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat efektivitas perbedaan pengetahuan remaja pada kelompok perlakuan sebelum dan sesudah dengan nilai p=0,002, dan terdapat perbedaan efektivitas sikap remaja pada kelompok perlakuan sebelum dan sesudah dengan nilai p=0,001.
Disarankan Sekolah SMA Negeri 1 Padangsidimpuan dapat mengadakan program pengembangan diri yang mungkin dilakukan oleh organisasi supaya ikut berpartisispasi dan terlibat dalam setiap kegiatan sekolah, mengisi waktu luang dengan kegiatan yang positif, serta bekerja sama dengan orang tua agar orang tua dapat mengetahui perkembangan anaknya supaya keberhasilan anak-anak didik di masa akan datang dapat menciptakan kompetensi.
ABSTRACT
NAPZA is the acronym of Narkotika (narcotic), Psikotropika (psychotropic), and Zat Adiktif (addictive substances) which includes natural substances or synthetic which will cause the changes in physical and psychic functions and will also cause dependence if it is consumed. Teenagers are very vulnerable to consume narcotic because of their getting pressure from their peer group, their curiosity to try it, and their ego.
The objective of the research was to know the influence of the pre and post peer group training on knowledge and attitude of SMA I students at Padangsidempuan about the prevention from NAPZA at Padangsidempuan. The type of the research was quasi experiment with non-equivalent control group design. The population was all 414 tenth and eleventh grade students in the academic year of 2012-2013. The samples were 26 students from Class X (eight classes) and Class XI (five classes). The data were analyzed by using univatriate and bivatriate analysis with wilcoxon test.
The result of the analysis showed that there was the disparity of the effectiveness of teenagers’ knowledge in the treatment group before and after the training with p=0.002, and there was the disparity of effectiveness of teenagers’ attitude in the treatment group before and after the training with p=0.001.
It is recommended that the management of SMA Negeri I, Padangsidempuan, perform self-development program which might be run by an organization so that the students can participate or be involved in any school activity, spend their spare time in positive activities, and cooperate with the their parents in order that their parents will know their children’s success in any competition in the future.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat serta pertolonganNya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “Efektivitas Pelatihan Pendidik Sebaya (Peer Group) terhadap Pengetahuan dan Sikap Siswa SMA N 1 Padangsidimpuan tentang Pencegahan Napza di Kota Padangsidimpuan Tahun 2013”.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk
menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 IlmuKesehatan Masyarakat minat
studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini, penulis mendapat bantuan, dukungan dan
bimbingan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk
itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc.(CTM)., Sp.A, (K) selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si, selaku Ketua dan Dr. Ir. Evawany
Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
telah membimbing kami dan memberikan masukan serta saran dalam
penyelesaian tesis ini.
4. Namora Lumongga Lubis, M.Sc, Ph.D dan Drs. Tukiman, M.K.M, selaku
Komisi Pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran
membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing
penulis mulai dari pengajuan judul hingga penulisan Proposal ini selesai.
5. Dr. Drs. R.Kintoko Rochadi, M.K.M dan Drs. Eddy Syahrial, M.S selaku
Komisi Penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi
kesempurnaan penulisan tesis ini.
6. Drs. H.M. Irsyad Hasibuan, selaku Kepala SMA 1 Padangsidimpuan beserta
seluruh staf pegawai yang telah membantu melakukan pengumpulan data
yang dibutuhkan dalam penelitian.
7. Para Dosen dan Staf di Lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
8. Ucapan terima kasih yang tulus saya tujukan kepada Ayahanda Syaiful Bahri
Dalimunthe dan Ibunda Hj. Hafni Sipahutar serta keluarga besar yang telah
memberikan dukungan moril serta doa dan motivasi selama penulis menjalani
pendidikan.
9. Kepada kakak tercinta Enni Dalimunthe dan adik saya Syafrida Dalimunthe
dan Parluhutan Dalimunthe yang telah memberikan dukungan dan doanya
10.Teman-teman seperjuangan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Universitas Sumatera Utara, atas bantuannya dan memberikan semangat
dalam penyusunan tesis ini.
11.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam proses penyelesaian tesis ini.
Akhirnya saya menyadari segala keterbatasan yang ada. Untuk itu, saran dan
kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini, dengan
harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan
dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Medan, Oktober 2013 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Enda Mora Dalimunthe, lahir pada tanggal 10 April 1985 di Padangsidimpuan, beragama Islam, bertempat tinggal di Jl. Benteng Hulu No 17-I Medan. Penulis merupakan anak dari pasangan ayahanda Syaiful Bahri Dalimunthe dan ibunda Hj. Hafni Sipahutar, anak kedua dari empat bersaudara.
Jenjang pendidikan formal penulis dimulai dari SD Negeri 6 Padangsidimpuan tamat tahun 1997, selanjutnya Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Padangsidimpuan tamat tahun 2000, kemudian melanjutkan SMA Negeri 1 Padangsidimpuan tamat tahun 2003, tahun 2003 melanjutkan S1 di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Tahun 2011 penulis melanjutkan pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat minat studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
DAFTAR ISI
2.4. Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) ... 25
2.5.7. Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA ... 39
2.7.1. Definisi Efektifitas ... 50
2.7.2. Cara Pengukuran Efektifitas ... 51
2.7.3. Pendekatan Efektifitas ... 51
2.7.4. Masalah dalam Pengukuran Efektifitas ... 52
2.8. Landasan Teori ... 54
3.3. Populasi dan Kelompok Perlakuan Pelatihan ... 59
3.3.1. Populasi ... 59
4.2.1. Karakteristik Responden ... 70
pada Kelompok Perlakuan sesudah Metode Simulasi
(Pelatihan Pendidik Sebaya) (Post) ... 74
4.2.4 Gambaran Sikap Siswa/i tentang Pencegahan NAPZA pada Kelompok Perlakuan sebelum Metode Simulasi (Pelatihan Pendidik Sebaya) (Pre) ... 77
4.2.5 Gambaran Sikap Siswa/i tentang Pencegahan NAPZA pada Kelompok Perlakuan sesudah Metode Simulasi (Pelatihan Pendidik Sebaya) (Post) ... 80
4.3. Perbandingan Rerata Pengetahuan dan Sikap Siswa/i tentang Pencegahan NAPZA pada Kelompok Perlakuan sebelum dan sesudah Metode Simulasi (Pelatihan Pendidik Sebaya) ... 82
4.4. Uji Perbedaan ... .. 83
4.4.1 Efektivitas Metode Simulasi (Pelatihan Pendidik Sebaya) Terhadap Peningkatan Pengetahuan Siswa/i tentang Pencegahan NAPZA ... 83
4.4.2 Efektivitas Metode Simulasi (Pelatihan Pendidik Sebaya) Terhadap Peningkatan Sikap Siswa/i tentang Pencegahan NAPZA ... 84
BAB 5. PEMBAHASAN ... 87
5.1. Efektivitas Pelatihan Pendidik Sebaya terhadap Pengetahuan Siswa/i tentang Pencegahan NAPZA pada Kelompok Perlakuan sebelum dan sesudah Metode Simulasi ... 87
5.2. Efektivitas Pelatihan Pendidik Sebaya terhadap Sikap Siswa/i tentang Pencegahan NAPZA pada Kelompok Perlakuan sebelum dan sesudah Metode Simulasi ... 93
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 99
6.1. Kesimpulan ... 99
6.2. Sara... 100
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
3.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas dan Instrumen Pengetahuan .... 62
3.2 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas dan Instrumen Sikap ... 63
3.3 Rangkaian Kegiatan ... 64
4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Siswa/i SMA 1
Padangsidimpuan tentang Pencegahan NAPZA di Kota Padangsidimpuan Tahun 2013 ... 71
4.2 Distribusi Frekuensi Item Pernyataan Pengetahuan Siswa/i tentang Pencegahan NAPZA pada Kelompok Perlakuan sebelum Metode Simulasi (Pelatihan Pendidik Sebaya) (Pre) ... 72
4.3 Distribusi Kategori Pengetahuan Siswa/i tentang Pencegahan NAPZA pada Kelompok Perlakuan sebelum Metode Simulasi (Pelatihan Pendidik Sebaya) (Pre) ... 74
4.4 Distribusi Frekuensi Item Pernyataan Pengetahuan Siswa/i tentang Pencegahan NAPZA pada Kelompok Perlakuan sesudah Metode Simulasi (Pelatihan Pendidik Sebaya) (Post) ... 75
4.5 Distribusi Kategori Pengetahuan Siswa/i tentang Pencegahan NAPZA pada Kelompok Perlakuan sesduah Metode Simulasi (Pelatihan Pendidik Sebaya) (Post) ... 77
4.6 Distribusi Frekuensi Item Pernyataan Sikap Siswa/i tentang Pencegahan NAPZA pada Kelompok Perlakuan sebelum Metode Simulasi (Pelatihan Pendidik Sebaya) (Pre) ... 78
4.7 Distribusi Kategori Sikap Siswa/i tentang Pencegahan NAPZA pada Kelompok Perlakuan sebelum Metode Simulasi (Pelatihan Pendidik Sebaya) (Pre) ... 79
4.9 Distribusi Kategori Sikap Siswa/i tentang Pencegahan NAPZA pada Kelompok Perlakuan sesduah Metode Simulasi (Pelatihan Pendidik Sebaya) (Post) ... 81
4.10 Perbandingan Rerata Nilai Pretest dan Postes Pengetahuan dan Sikap pada Kelompok Perlakuan ... 82
4.11 Hasil Uji Beda Proporsi Tingkat Pengetahuan Responden pada Kelompok Perlakuan ... 83
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
2.1 Landasan Teori ... 56
DAFTAR LAMPIRAN
No Judul Halaman
1 Lembar Persetujuan Responden ... 105
2 Lembar Kuesioner Penelitian ... 106
3 Master Data Penelitian ... 113
4 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 114
5 Hasil Statistik ... 117
ABSTRAK
Latar Belakang. Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea merupakan hal yang rutin dilakukan pada anastesi umum. Namun tindakan laringoskopi dan intubasi tersebut dapat menyebabkan terjadinya peningkatan hemodinamik berupa hipertensi dan takikardi, dan dapat membahayakan pada pasien-pasien yang mempunyai faktor resiko seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, kelainan serebrovaskular, miokard infark dan tirotoksikosis. Berbagai obat dan cara telah digunakan untuk mengurangi peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan pemberian fentanyl + magnesium sulfat dengan fentanyl + lidokain dalam mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea.
Metode. Penelitian ini dilakukan pada 30 pasien berusia 18 – 50 tahun dan tergolong dalam ASA 1, yang menjalani pembedahan elektif dengan anestesi umum intubasi endotrakhea secara acak tersamar ganda dibagi dalam 2 kelompok yang sama besar. Kelompok A mendapatkan premedikasi fentanyl 2 µg/kgBB intravena + MgSO4 30 mg/kgBB intravena, dan kelompok B mendapatkan premedikasi fentanyl 2µg/kgBB intravena + Lidokain 1,5 mg/kgBB intravena sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea. Dilakukan pencatatan nilai tekanan darah sistolik (TDS), diastolik (TDD), tekanan arteri rerata (TAR), denyut jantung (DJ) dan Rate Pressure Product (RPP) pada
saat sebelum pemberian obat uji (basal), setelah pemberian obat uji, sebelum induksi, setelah induksi dan setelah tindakan laringoskopi dan intubasi pada menit ke-1, ke-3 dan ke-5.
Hasil. Data karakteristik pasien tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok penelitian (p>0,05). Pada kedua kelompok dijumpai penurunan TDS, TDD, TAR dan dijumpai peningkatan DJ serta RPP setelah tindakan laringoskopi dan intubasi dibandingkan nilai basal. Peningkatan yang bermakna terlihat pada peningkatan frekuensi DJ pada saat menit ke-1 setelah tindakan laringoskopi. Pada kelompok A peningkatan DJ sebesar 12,20% dan pada kelompok B peningkatan sebesar 11,54% bila dibandingkan dengan nilai basal, dan secara statistik bermakna (p<0,05). Namun peningkatan tersebut tidak mencapai 20% dari nilai basal. Tidak dijumpai perbedaan nilai TDS, TDD, TAR, DJ dan RPP yang bermakna antara kelompok A dan kelompok B pada pengamatan menit ke-1, ke-3 dan ke-5 setelah tindakan laringoskopi dan intubasi (p<0,05).
Kesimpulan. Fentanyl + Magnesium Sulfat dan Fentanyl + Lidokain sama-sama efektif dalam mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea.
x
ABSTRACT
Background. Laryngoscopy and endotracheal intubation is routine performed in general anesthesia. However laryngoscopy and endotracheal intubation can lead to an increase in hemodynamic that characterized by hypertension and tachycardia, and can endanger the patients who have risk factors such as hypertension, coronary heart disease, cerebrovascular disorders, myocardial infarction, and thyrotoxicosis. Various drugs and methods have been used to reduce the hemodynamic responses due to laryngoscopy and endotracheal intubation. The purpose of this study was to compare the administration of fentanyl + magnesium sulfate with fentanyl + lidocaine in reducing hemodynamic response due to laryngoscopy and endotracheal intubation.
Method. This study was performed on 30 patients aged 18-50 years, ASA 1, who underwent elective surgery with general anesthesia endotracheal intubation. The patients randomly divided into two equal groups. Group A get Fentanyl 2 µg/kg iv + MgSO4 30 mg/kg iv as premedication, and Group B get Fentanyl 2 µg/kg iv + Lidocaine 1.5 mg/kg iv before laryngoscopy and endotracheal intubation. Systolic blood pressure value (SBP), diastolic (DBP), mean arterial pressure (MAP), heart rate (HR) and Rate Pressure Product (RPP) were recorded at the time before administration of the test drug, after administration of the test drug, before induction, after induction and at minute 1st, 3rd, and 5th after laryngoscopy and endotracheal intubation.
Result. Patient characteristic data showed no differences between two groups (p> 0.05). Both groups had decreased SBP, DBP, MAP and had increased HR and RPP after endotracheal intubation compared to baseline value. There was significant rise in HR at the first minute after laryngoscopy and intubation. Maximum rise in HR in Group A was 12.20% and maximum rise in Group B was 11.54%, when compared with baseline value, and statistically significant (p <0.05). However, this rise in HR did not reach 20% of baseline value. There is no significant difference of SBP, DBP, MAP, HR and RPP between group A and group B at minute 1st, 3rd, and 5th after laryngoscopy and endotracheal intubation (p<0,05).
Conclusion. Fentanyl + Magnesium Sulfate and Fentanyl + Lidocaine are equally effective in reducing hemodynamic response due to laryngoscopy and endotracheal intubation.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea merupakan hal yang rutin dilakukan pada anastesi umum. Namun tindakan laringoskopi dan intubasi tersebut dapat menimbulkan resiko dan komplikasi pada pasien. Oleh karena itu, dalam melakukan tindakan tersebut dibutuhkan persiapan dan keterampilan yang baik dari seorang ahli anastesi. Sehingga segala resiko dan komplikasi tersebut dapat dihindari.1
Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakhea merupakan stimulasi noksius yang dapat menyebabkan perangsangan aktifitas simpatis dan pelepasan katekolamin sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan hemodinamik berupa hipertensi dan takikardi (disebut dengan respon pressor)1,2,3,4. Peningkatan
rata-rata tekanan darah akibat tindakan laringoskopi dan intubasi bisa mencapai 40-50%5, dan peningkatan denyut jantung hingga 26-66% bila tidak ada usaha
tertentu yang dilakukan untuk mencegah respon peningkatan hemodinamik.6
Peningkatan hemodinamik yang terjadi tersebut hanya bersifat sementara dan tidak akan mempunyai dampak yang begitu berarti serta dapat ditoleransi oleh pasien yang sehat2,3,7. Namun hal tersebut dapatlah merugikan dan
membahayakan bagi pasien yang mempunyai faktor resiko seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, kelainan serebrovaskular, miokard infark dan tirotoksikosis2,8. Peningkatan tekanan darah yang menetap setelah tindakan
intubasi merupakan bentuk respon yang berlebihan yang sering terlihat pada pasien dengan resiko tinggi yang memiliki penyakit penyerta seperti diabetes, penyakit ginjal, dan penyakit kardiovaskular9.
Beberapa komplikasi yang dijumpai akibat tindakan intubasi seperti hipertensi sebanyak 19%, takikardi 29%, disritmia 6.5% dan henti jantung 0.5-1.9%9.
laringoskopi dan intubasi10,11. Pada pasien dengan penyakit jantung koroner,
walaupun pencegahan terhadap respon hemodinamik telah dilakukan, masih didapati kejadian iskemik miokard sebanyak 10% saat dilakukan tindakan laringoskopi dan intubasi12. Pada pasien-pasien dengan hipertensi, didapati hingga
25% pasien penderita hipertensi dapat mengalami hipertensi berat setelah tindakan intubasi trakhea13. Oleh kerena itu pencegahan terhadap peningkatan
hemodinamik akibat dari laringoskopi dan intubasi sangatlah penting untuk dilakukan2,7.
Rate pressure product (RPP), merupakan hasil perkalian antara tekanan darah sistolik dan denyut jantung. Nilai RPP merupakan indikator untuk menggambarkan kebutuhan oksigen jantung yang telah luas penggunaannya secara klinis. Nilai normalnya kurang dari 12000. Pada pasien-pasien dengan penyakit arteri koroner, RPP haruslah dijaga di bawah 12000.14 RPP yang
meningkat hingga diatas 20000 selalu berkaitan dengan iskemi miokard dan angina.2,15 Jantung yang berdenyut cepat tidak hanya akan meningkatkan
konsumsi oksigen miokard, namun juga memperpendek waktu diastolik dari ventrikel kiri dan akan mengurangi penghantaran oksigen (oxygen delivery) pada miokard.16
Telah banyak usaha yang dilakukan untuk mencegah peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi tersebut, antara lain pemberian hipnotik17, mendalamkan anastesi inhalasi1,5,13,17, opioid2,3,7,13, β
-adrenergic blocker2,3,7,8, anastesi lokal intra vena2,3,8,17, calcium channel
blocker2,3,7, dan vasodilator (hidralazin, nitrogliserin, sodium nitroprusside)5,7,17,18.
Opioid merupakan obat yang sering diberikan sebelum tindakan induksi anastesi. Pemberian opioid ini, selain bertujuan untuk mencegah respon peningkatan tekanan darah (TD) dan peningkatan denyut jantung (DJ) saat tindakan laringoskopi dan intubasi, juga berfungsi sebagai analgesia preemptif.19
akan semakin besar20. Fentanyl dosis besar akan mencegah peningkatan tekanan
darah dan peningkatan denyut jantung akibat laringoskopi, namun dapat menyebabkan kekhawatiran terhadap terjadinya depresi pernafasan (terutama tindakan operasi yang kurang dari 1 jam), bradikardi, hipotensi dan rigiditas.21,22
Fentanyl dosis 5 µg/kgBB efektif dalam mencegah respon simpatis akibat laringoskopi, namun dengan resiko peningkatan efek samping. Dosis yang lebih kecil 2.5 – 3 µg/kgBB dapat menurunkan efek samping dengan kemampuan menurunkan setengah dari respon simpatis.20 Kauto dkk mengatakan fentanil 2
µg/kgBB secara signifikan mengurangi peningkatan hemodinamik dan fentanil 6 µg/kgBB secara sempurna mencegah peningkatan hemodinamik jika diberikan satu setengah dan tiga menit sebelum intubasi, tetapi dosis ini dapat menimbulkan efek samping berupa bradikardi, hipotensi, rigiditas otot dan terlambat pulih. Katoh dkk mengatakan fentanil 4 µg/kgBB lebih efektif dalam mengurangi peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi dibandingkan fentanyl 1 µg/kgBB dan 2 µg/kgBB.23
Malde A dan Sarode V, melakukan penelitian terhadap 90 pasien ASA 1, usia 18-65 tahun yang akan dilakukan pembedahan elektif dengan menggunakan anastesi umum intubasi trakhea. Mereka membandingkan pemberian fentanyl 2 µg/kgBB yang diberikan 5 menit sebelum tindakan intubasi dan dibandingkan dengan pemberian lidokain 1.5 mg/kgBB yang diberikan 5 menit sebelum tindakan intubasi. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa dengan pemberian fentanyl 2 µg/kgBB terbukti efektif dalam mengurangi respon pressor akibat tindakan laringoskopi dan intubasi.6
Dari penelitian Hassani V dkk, yang melakukan penelitian terhadap perubahan hemodinamik pada pasien dengan hipertensi yang diberikan fentanyl 2 µg/kgBB 3 menit sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi. Dari penelitian tersebut didapati bahwa pemberian fentanyl tersebut efektif dalam mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi.3
SJS dkk, dari penelitian mereka mendapati dengan pemberian fentanyl 2 µg/kgBB yang diberikan 3 menit sebelum induksi, tidaklah cukup untuk mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi trakhea. Dari penelitian mereka terjadi peningkatan tekanan darah dan peningkatan denyut jantung sebesar 15-25% setelah tindakan laringoskopi dan intubasi.24 Shin HY
dkk dari penelitiannya mendapatkan hasil dengan pemberian fentanyl 2 µg/kgBB 3 menit sebelum intubasi pada pasien ASA 1 dan 2 masih terjadi peningkatan denyut jantung sebesar 29.2% akibat tindakan laringoskopi dan intubasi.25
Lidokain (lignocaine) merupakan obat anastesi lokal dan penghambat sodium channel yang diketahui memiliki kemampuan mengurangi respon pressor akibat intubasi.26 Lidokain telah lama digunakan untuk mengurangi respon
kardiovaskular akibat intubasi. Lidokain bekerja dengan menghambat sodium channels pada membran sel saraf, mengurangi sensitifitas otot jantung tehadap impuls listrik, dapat mendepresi jantung dan memiliki efek vasodilatasi. Lidokain juga menekan refleks pada saluran nafas.27
Mohseni G dkk menyatakan bahwa pemberian lidokain 1.5 mg/kgBB yang diberikan sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi efektif dalam mengurangi peningkatan hemodinamik.28 Sukron dkk menyatakan pemberian lidokain 1.5
mg/kgBB intravena sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi dapat mengurangi gejolak kardiovaskuler.2 Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Gupta R
dkk, menyatakan bahwa pemberian lidokain 1.5 mg/kgBB yang diberikan 1 menit sebelum tindakan intubasi, efektif dalam mengurangi peningkatan tekanan darah sistolik (TDS), tekanan darah diastolik (TDD) dan tekanan arteri rerata (TAR) dibandingkan dengan basal.27
Magnesium sulfat mempunyai efek menghambat pelepasan katekolamin dari ujung saraf adrenergik dan dari medula adrenal, oleh karena itu magnesium sulfat dapat menjadi salah satu pilihan dalam mengurangi respon kardiovaskular akibat tindakan laringoskopi dan intubasi7,29. Magnesium sulfat juga dapat menyebabkan
vasodilatasi sehingga dapat menurunkan tekanan darah29. Dari penelitian yang
peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi, terlihat bahwa magnesium sulfat lebih efektif daripada lidokain30.
Nooraei N dkk, melakukan penelitian terhadap 60 pasien ASA 1 dan 2, umur 20-40 tahun, yang menjalani operasi elektif. Mereka membandingkan perubahan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi antara pasien yang mendapatkan magnesium sulfat 60 mg/kgBB (berdasarkan Lean Body Mass) dengan lidokain 1.5 mg/kgBB yang diberikan sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi. Dari hasil penelitian mereka menyimpulkan bahwa pemberian magnesium sulfat lebih efektif dibandingkan dengan lidokain dalam mengurangi peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi.29
Panda NB dkk, melakukan penelitian terhadap 80 pasien dewasa yang menderita hipertensi terkontrol yang akan menjalani operasi elektif. Pasien-pasien tersebut dibagi dalam 4 kelompok penelitian. Sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi dilakukan, kelompok I mendapatkan magnesium sulfat 30 mg/kgBB, kelompok II mendapatkan magnesium sulfat 40 mg/kgBB, kelompok III mendapatkan magnesium sulfat 50 mg/kgBB, dan kelompok IV mendapatkan lidokain 1.5 mg/kgBB. Keseluruhan kelompok dinilai dan dibandingkan perubahan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi. Dari hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa magnesium 30 mg/kgBB merupakan dosis yang optimal dalam mengurangi peningkatan tekanan darah saat tindakan intubasi pada pasien-pasien hipertensi. Dengan pemberian magnesium sulfat 30mg/kgBB, stabilitas jantung lebih baik bila dibandingkan pemberian lidokain 1.5 mg/kgBB. Dosis magnesium lebih dari 30 mg/kgBB dapat menyebabkan terjadinya hipotensi yang bermakna.7
hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi, dan membandingkannya dengan pemberian fentanyl 2 µg/kgBB dan lidokain 1.5 mg/kgBB. Dan dari berbagai literatur, belum pernah ada yang membandingkan pemberian fentanyl 2 µg/kgBB + magnesium sulfat 30 mg/kgBB dengan pemberian fentanyl 2 µg/kgBB + lidokain 1.5 mg/kgBB untuk mengurangi peningkatan respon hemodinamik akibat tindakan laringoskopi.
1.2.RUMUSAN MASALAH
Apakah ada perbedaan efek intravena fentanyl 2 µg/kgBB + magnesium sulfat 30 mg/kgBB dibandingkan dengan fentanyl 2 µg/kgBB + lidokain 1.5 mg/kgBB dalam mengurangi respon peningkatan hemodinamik (TDS, TDD, DJ, TAR, RPP) akibat tindakan laringoskopi dan intubasi?
1.3.HIPOTESIS
Ada perbedaan efek intravena fentanyl 2 µg/kgBB + magnesium sulfat 30 mg/kgBB dibandingkan dengan fentanyl 2 µg/kgBB + lidokain 1.5 mg/kgBB dalam mengurangi respon peningkatan hemodinamik (TDS, TDD, DJ, TAR, RPP) akibat tindakan laringoskopi dan intubasi
1.4.TUJUAN PENELITIAN
1.4.1. Tujuan umum
Untuk mendapatkan obat alternatif yang lebih efektif dalam mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi.
1.4.2. Tujuan Khusus
• Untuk mengetahui efek pemberian intravena fentanyl 2 µg/kgBB + lidokain 1.5 mg/kgBB dalam mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi.
• Untuk membandingkan efek pemberian intravena fentanyl 2 µg/kgBB + magnesium sulfat 30 mg/kgBB dengan fentanyl 2 µg/kgBB + lidokain 1.5 mg/kgBB dalam mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi.
1.5. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dalam bidang akademis, pelayanan masyarakat, dan perkembangan penelitian
1.5.1. Bidang Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bidang akademis dengan mendapatkan obat yang lebih efektif dalam mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi.
1.5.2. Bidang Pelayanan Masyarakat
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dalam pelayanan masyarakat dalam mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi
1.5.3. Bidang Penelitian
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. ANATOMI SALURAN NAFAS
Keberhasilan dari tindakan laringoskopi dan intubasi yang dilakukan oleh ahli anastesi, membutuhkan pengetahuan yang mendalam tentang anatomi dari saluran nafas. Adapun istilah saluran nafas yang terdapat pada bahasan ini mengacu kepada saluran nafas atas. Saluran nafas atas tersebut terdiri dari rongga hidung, rongga mulut, faring, laring, trakhea, dan bronkus utama.1,31
Terdapat dua jalan yang menghubungkan saluran nafas dengan dunia luar, yaitu: hidung yang akan menuju pada nasofaring, dan mulut yang akan menuju pada orofaring. Kedua saluran tersebut, pada bagian anterior dipisahkan oleh palatum, dan kedua saluran tersebut akan bersatu dibagian posterior, yaitu didalam faring1. Faring merupakan saluran yang dipergunakan bersama oleh
saluran nafas dan saluran pencernaan. Faring terbentang dari mulai nares internal hingga mencapai jalan masuk menuju ke laring dan esofagus (gambar 2.1). Faring dapat dibagi menjadi nasofaring, orofaring, dan laringofaring (hipofaring)(gambar 2.2)1,32. Nasofaring merupakan bagian paling atas dari faring32, dan dipisahkan
dari orofaring oleh garis datar hayal yang membentang dari palatum lunak (palatum molle) ke arah posterior1,32. Orofaring membentang antara palatum lunak
dan dasar lidah (setentang tulang lidah). Laringofaring merupakan bagian paling bawah dari faring, terletak antara tulang lidah hingga jalan masuk menuju ke laring dan esofagus.32
Udara dari faring masuk ke laring melalui saluran yang sempit yang disebut glotis32. Epiglotis berfungsi mencegah aspirasi dengan cara menutup glotis
saat menelan makanan. Laring adalah suatu rangka yang dibentuk oleh beberapa tulang rawan yang dipadukan oleh ligamen dan otot1. Rangka laring disusun dari
sembilan tulang rawan (gambar 2.3). Tiga tulang rawan besar yang tidak berpasangan, yaitu: tiroid, krikoid, dan epiglotis. Kemudian terdapat tiga pasang tulang rawan yang lebih kecil, yaitu: aritenoid, kornikulata dan kuneiformis1,31,32.
merupakan tulang rawan yang paling besar, yang membentuk hampir keseluruhan dinding anterior dan dinding lateral laring32. Tulang rawan tiroid ini berfungsi
melindungi conus elasticus yang membentuk vocal cords1.
Gambar 2.1 : Anatomi saluran pernafasan atas (potongan sagital)32
Gambar 2.3 : Struktur tulang rawan laring32
Persarafan sensoris saluran nafas atas berasal dari saraf kranial. Divisi oftalmik dan divisi maksila dari saraf trigeminus (saraf kranial V) memberikan persarafan pada mukosa hidung melalui saraf etmoidalis anterior, saraf nasopalatina, dan saraf sfenopalatina. Saraf palatina yang merupakan percabangan dari saraf sfenopalatina, memberikan persarafan sensoris kepada palatum keras (palatum durum) dan palatum lunak (palatum molle). Divisi mandibula dari saraf trigeminus membentuk saraf lingual yang memberikan persarafan sensoris pada dua pertiga bagian anterior lidah. Sedangkan sepertiga bagian posterior lidah dipersarafi oleh saraf glosofaringeal (saraf kranial IX). Orofaring, tonsil dan bagian dalam dari palatum molle juga dipersarafi oleh saraf glosofaringeal (gambar 2.4) 1,21.
pada laring yang berada dibawah vocal cords dan trakhea. Tabel 2.1 akan menggambarkan lebih lanjut persarafan motorik dan sensorik dari laring.1,21
Gambar 2.4 : Persarafan sensorik saluran nafas1
Laring pada orang dewasa terletak mulai vertebra C3 dan berakhir pada vertebra C621. Laring berfungsi dalam modulasi suara dan memisahkan trakhea
dari kerongkongan saat menelan21, sehingga mencegah terjadinya aspirasi ke
dalam trakhea1. Namun mekanisme perlindungan ini, ketika berlebihan, dapat
menyebabkan terjadinya spasme laring21. Otot-otot laring dipersarafi oleh nervus
laringeal rekuren, kecuali otot krikotiroid yang dipersarafi nervus laringeal internal (motorik) yang merupakan cabang dari nervus laringeal superior1. Vocal
Tabel 2.1 : Persarafan motorik dan sensorik laring21
Nervus Sensorik Motorik
Laringeal superior Epiglotis Tidak ada (divisi internal) Dasar lidah
Mukosa Supraglotis Thyroepiglottic joint Cricothyroid joint
Laringeal superior Mukosa anterior subglotis krikotiroid (divisi internal) (Adductor Tensor) Laringeal rekuren Mukosa subglotis Tiroaritenoid
Muscle spindles Krikoaritenoid lateralis Interaritenoid (adductors) Krikoaritenoid posterior (adductor)
Trakhea dimulai dari vertebra C6 dan berakhir pada carina yang berada di mediastinum setingkat vertebra T5. Panjang trakhea sekitar 11 cm dengan diameter 2.5 cm. Trakhea memiliki 15-20 tulang rawan. Tulang rawan yang paling atas merupakan satu-satunya tulang rawan yang berbetuk cincin, sedangkan sisanya berbentuk ladam kuda (bentuk C). Tulang rawan tersebut berfungsi untuk melindungi saluran nafas, dan menjaga kekakuan dari trakhea sehingga tidak mengempis ataupun terlalu mengembang akibat adanya perubahan tekanan pada saluran nafas.1,21,32
2.2.PENILAIAN SALURAN NAFAS
Penilaian saluran nafas merupakan langkah awal agar sukses dalam melakukan manajemen saluran nafas. Beberapa manuver dapat dilakukan untuk menilai kesulitan saat melakukan tindakan intubasi endotrakhea. Untuk menghindari mortalitas dan morbiditas, seorang ahli anastesi haruslah dapat melakukan ventilasi (dengan atau tanpa intubasi)1. Penilaian tersebut antara lain:1
• Pembukaan mulut : Pada dewasa diharapkan jarak antara gigi seri atas dan bawah 3 cm atau lebih
• Tes menggigit bibir atas : gigi bagian bawah diletakkan didepan gigi atas, hal ini untuk menilai pergerakan dari sendi temporomandibula
• Klasifikasi Mallampati : merupakan tes yang sering dilakukan untuk memeriksa ukuran lidah didalam rongga mulut. Semakin besar lidah menghalangi pandangan terhadap struktur faring, maka kemungkinan kesulitan intubasi akan semakin besar (gambar 2.5).
• Jarak Thyromental : jarak antara mental dan superior thyroid notch diharapkan lebih dari 3 jari
• Lingkar leher : lingkar leher lebih dari 27 inchi diduga akan kesulitan dalam visualisasi glotis.
Klasifikasi Mallampati:1
• Kelas I : palatum molle (soft palate), tenggorokan, uvula, dan pilar tonsil dapat terlihat
Gambar 2.5 : A : Klasifikasi Mallampati B: Penilaian visualisasi laring1
2.3.INTUBASI ENDOTRAKHEA
Intubasi endotrakhea dibutuhkan untuk menjamin patensi dari saluran nafas pada pasien yang memiliki resiko terjadinya aspirasi, ataupun pada pasien yang sulit menjaga saluran nafasnya dengan menggunakan sungkup, ataupun juga bagi pasien yang memerlukan kontrol ventilasi dalam waktu yang lama. Intubasi juga diperlukan pada tindakan pembedahan khusus seperti pada pembedahan kepala/leher, pembedahan intratoraks, dan pada pembedahan intra abdomen.33
2.3.1.Laringoskop
Intubasi endotrakhea biasanya dilakukan dengan menggunakan laringoskop rigid (gambar 2.6). Penggunaan laringoskop rigid disukai karena kemudahannya, tingkat kesuksesan yang tinggi, dan dapat memberikan visualisasi yang baik34.
untuk menghidupkan bola lampu (bulb) yang terdapat pada ujung bilah (blade), ataupun pada ujung dari gagang tersebut1,34. Bilah yang sering digunakan pada
laringskop adalah bilah Macintosh dan bilah Miller (gambar 2.7)1,33.
Gambar 2.6 : Laringoskop rigid1
Gambar 2.7 : Beberapa jenis bilah laringoskop1
juga dapat memberikan ruang yang cukup untuk masuknya pipa endotrakhea dengan kemungkinan yang kecil terjadinya trauma pada epiglotis. Ukuran bilah ini dibuat dari mulai bilah no.1 sampai no.4, dimana kebanyakan orang dewasa memakai bilah no. 3.31,33
Bilah Miller adalah bilah yang lurus yang ujungnya diletakkan dibawah epiglotis (gambar 2.8). Dengan bilah ini, epiglotis dapat diangkat untuk bisa melihat vocal cords. Bilah Miller memberikan paparan yang baik terhadap glotis, namun memberikan ruang yang lebih kecil untuk bisa melewati orofaring dan hipofaring. Ukuran bilah ini dibuat dari bilah no. 1 sampai no. 4, dimana kebanyakan orang dewasa memakai bilah no. 2 ataupun no. 3.31,33
Selain itu, masih banyak bentuk modifikasi tertentu dari laringoskop (misalnya Bullard, Upsher, Wu) dan juga bilah laringoskop (misalnya McCoy, Siker) yang bisa digunakan untuk melakukan intubasi endotrakhea pada kondisi yang sulit ataupun pada kondisi yang lain dari biasanya33. Karena tidak ada bilah
yang cocok untuk segala situasi, maka setiap ahli anastesi haruslah terbiasa dengan berbagai macam bentuk bilah1.
2.3.2. Pipa Endotrakhea
Pipa endotrakhea (Endotracheal Tube/ETT) biasanya terbuat dari polyvinyl chloride (PVC). Panjang dari ETT diberi tanda dalam satuan centimeters. Sedangkan ukuran diameter dalam (ID) dari ETT dalam satuan millimeters atau bisa juga dengan skala French (diameter luar ETT dalam satuan millimeters dikali tiga).1
Tahanan terhadap aliran udara, utamanya bergantung pada diameter dari ETT, namun dapat juga dipengaruhi oleh panjang dari ETT dan kelengkungannya. Pilihan diameter yang dipakai adalah dengan memperhitungkan antara penggunaan ukuran ETT yang besar agar aliran udara lebih maksimal, atau menggunakan ETT dengan ukuran yang lebih kecil agar mengurangi resiko trauma pada saluran nafas. Pada kebanyakan kasus, ETT yang digunakan pada wanita adalah ETT dengan diameter internal 7.0 mm atau 7.5 mm, dan pada pria digunakan ETT dengan diameter internal 8.0 mm. Panduan dalam pemakaian ukuran ETT akan dijabarkan pada tabel 2.2.1,34
Tabel 2.2 : Panduan ukuran ETT1
Usia Diameter Internal (mm) Panjang (cm)
Bayi cukup bulan 3.5 12
Anak-anak 4+(usia/4) 14+(usia/2)
Dewasa
Wanita 7.0-7.5 24
ETT pada dewasa biasanya memiliki valve pada sistem inflasi cuff, balon pilot, selang inflasi dan cuff (gambar 2.9). Valve berfungsi untuk mencegah keluarnya udara inflasi pada cuff. Balon pilot berguna untuk memperkirakan tekanan yang ada pada cuff. Selang inflasi menghubungkan valve dengan cuff. Dengan dikembangkannya cuff, maka terjadilah tracheal seal. Dan dengan adanya tracheal seal tersebut, akan mencegah terjadinya aspirasi dan akan memudahkan untuk memberikan ventilasi tekanan positif.1
Gambar 2.9 : Pipa endotrakhea (Endotracheal tube/ETT)1
Terdapat dua macam cuff pada ETT: high pressure (low volume), dan low pressure (high volume). ETT cuff yang high pressure sering menyebabkan iskemik pada mukosa trakhea dan kurang sesuai bila digunakan untuk intubasi jangka lama. ETT cuff yang low pressure sering menyebabkan aspirasi, ekstubasi spontan, dan sore throat oleh karena daerah mukosa yang kontak dengan cuff lebih luas. Namun, karena insidensi yang rendah terjadinya iskemik pada mukosa trakhea maka ETT cuff yang low pressure lebih sering digunakan.1
2.3.3. Tindakan Laringoskopi dan Intubasi
ETT haruslah diperiksa untuk mengetahui apakah ada kebocoran pada cuff ataupun pada valve. Konektor pada ETT harus terpasang dengan baik dan kuat, sehingga tidak terlepas pada saat dipakai nanti. Jika menggunakan stylet, maka setelah stylet dimasukkan kedalam ETT, kemudian dibentuk menyerupai tongkat hoki (gambar 2.10). Tujuan dari membentuk ETT menyerupai tongkat hoki adalah untuk melakukan intubasi pada pasien dengan posisi laring yang anterior. Bilah laringoskop yang dipakai haruslah sudah terpasang, dan bola lampu laringoskop harus menyala dengan baik. ETT dengan ukuran yang lebih kecil harus disediakan sebagai cadangan. Alat penghisap (suction) juga harus dipersiapkan untuk membersihkan jalan nafas dari cairan ataupun darah.1
Gambar 2.10 : ETT terpasang stylet dibentuk seperti tongkat hoki1
Intubasi orotrakhea dilakukan dengan cara laringoskop dipegang ditangan kiri, mulut pasien dibuka dengan cara mendorong gigi premolar pada mandibula pasien dengan ibu jari kanan. Bilah laringoskop dimasukkan ke dalam sisi kanan mulut pasien, dengan berhati-hati agar tidak terkena gigi pasien34. Lidah pasien
disisihkan ke sisi kiri dengan menggunakan sayap (flange) pada bilah, sehingga dapat memberikan lapangan pandang yang baik untuk memasukkan dan menempatkan ETT. Saat mencapai dasar lidah, dan terlihat epiglotis, maka ujung dari bilah lengkung diletakkan pada vallecula dan ujung dari bilah lurus menekan epiglotis ke dasar lidah sehingga epiglotis akan tertutupi oleh bilah lurus1,31.
Kemudian tangan kiri mengangkat gagang laringoskop dengan arah menjauhi pasien untuk menampakkan vocal cords1 (gambar 2.11). ETT dipegang dengan
tangan kanan seperti memegang pensil dan kemudian dimasukkkan ke dalam vocal cords33. Cuff ETT diletakkan kira-kira 2 cm setelah melewati vocal cords31.
Kemudian laringoskop ditarik dan dikeluarkan dari mulut secara perlahan-lahan agar tidak merusak gigi. Cuff dikembangkan secukupnya sehingga tidak terjadi kebocoran udara saat dilakukan ventilasi positif.1
Setelah tindakan intubasi, untuk memastikan intubasi trakhea berhasil, maka dilakukan inspeksi dan auskultasi pada thoraks dan epigastrium1, serta
dilakukan pemasangan capnograph1,33. Adanya CO2 pada capnograph merupakan
konfirmasi berhasilnya intubasi trakhea1,33. Jika suara pernafasan hanya terdengar
pada satu sisi thoraks saja, maka kemungkinan ETT telah masuk ke bronkus dan harus ditarik sampai udara terdengar di kedua sisi thoraks33. Kemudian ETT
difiksasi untuk menjaga agar tidak bergeser1.
Intubasi nasotrakhea mirip dengan tindakan intubasi oral, hanya saja sebelum dilakukan laringoskopi, ETT terlebih dahulu dimasukkan melalui hidung menuju nasofaring dan kemudian mencapai orofaring. Lubang hidung yang dipilih adalah yang paling leluasa dipakai bernafas oleh pasien. Sebelum ETT dimasukkan ke dalam hidung, terlebih dahulu hidung ditetesi dengan Phenylephrine (0.25% atau 0.5%) sebagai vasokonstriktor dan juga menciutkan membran mukosa. ETT diolesi dengan jeli terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam hidung. ETT dimasukkan perlahan-lahan hingga terlihat di orofaring. Kemudian dilakukan laringoskopi untuk melihat vocal cords, dan ETT diarahkan masuk ke dalam vocal cords. Jika terjadi kesulitan mengarahkan ETT untuk masuk ke dalam vocal cords, maka bisa digunakan Magill forceps sebagai alat bantu untuk mengarahkan ETT tersebut. Hati-hati saat menggunakan Magill forceps agar tidak merusak cuff ETT.1
2.3.4. Komplikasi akibat Laringoskopi dan Intubasi
Tabel 2.3 : Komplikasi dari tindakan intubasi21
Komplikasi intubasi trakea
Saat dilakukan laringoskopi dan intubasi
Trauma pada jaringan lunak gigi dan mulut Hipertensi sistemik dan takikardi
Disritmia jantung
Komplikasi segera dan komplikasi lambat setelah ekstubasi
Spasme Laring
Dislokasi tulang rawan arytenoid
2.3.5. Respon fisiologis akibat instrumentasi saluran nafas
Telah diketahui bahwa laringoskopi dan intubasi endotrakhea akan menyebabkan munculnya respon simpatis yang akan melepaskan katekolamin, dan akhirnya akan menimbulkan perubahan hemodinamik berupa hipertensi dan takikardi2,3,35.
Spasme laring merupakan spasme involunter otot-otot laring akibat perangsangan sensoris dari nervus laringeal superior. Laringospasme dapat muncul oleh karena adanya cairan pada faring, ataupun karena ETT melewati laring saat ekstubasi. Spasme laring biasanya bisa dicegah dengan cara melakukan ekstubasi dalam, ataupun ekstubasi sadar penuh. Penanganan pada spasme laring adalah dengan memberikan ventilasi tekanan posistif dengan menggunakan oksigen 100%, atau dengan memberikan lidokain (1-1.5mg/kgBB). Jika spasme laring masih menetap dan terjadi hipoksia, diberikan suksinilkolin dosis kecil (0.25-0.5 mg/kgBB) dan dapat ditambahkan propofol dosis kecil untuk relaksasi dari otot-otot laring sehingga dapat melakukan kontrol ventilasi.1
Spasme bronkus juga merupakan reflek akibat intubasi yang sering terjadi pada pasien penderita asma. Terjadinya spasme bronkus juga dapat menjadi petunjuk terjadinya intubasi bronkus.1
2.3.6. Upaya mengurangi peningkatan hemodinamik
Tindakan laringoskopi dan intubasi trakhea merupakan stimulasi noksius yang sangat kuat, yang akan menyebabkan symphatetic discharge dan akan menyebabkan hipertensi dan takikardi (disebut dengan respon pressor).36
Laringoskopi dan intubasi trakhea menstimulasi reseptor aferen nosisepsi viseral dan somatik dari epiglotis, hipofaring, daerah peri trakhea dan vocal cords, sehingga terjadi augmentasi aktivitas simpatis cervical dan mengakibatkan peningkatan amine simpatis (adrenalin dan noreadrenalin).3,7
Respon pressor merupakan bagian dari respon stress, berasal dari peningkatan aktifitas simpatis dan simpatoadrenal yang akan meningkatkan konsentrasi katekolamin plasma.24 Respon pressor akibat laringoskopi dan intubasi
merupakan refleks simpatis yang diprovokasi oleh stimulasi pada oro-laringofaring.15 Faring bagian bawah (hipofaring), epiglotis dan laring
refleks perangsangan simpatis.4 Munculnya respon simpatoadrenal terhadap
intubasi endotrakhea adalah adanya rangsangan area supraglotik akibat iritasi pada jaringan yang terkena laringoskop. Rangsangan di area infraglotik berupa sentuhan pipa endotrakhea melintasi pita suara dan pengembangan balon memberikan kontribusi lebih rendah.2
Peningkatan rata-rata tekanan darah akibat tindakan laringoskopi dan intubasi bisa mencapai 40-50%5, dan peningkatan denyut jantung hingga 26-66% bila
tidak ada usaha tertentu yang dilakukan untuk mencegah respon peningkatan hemodinamik.6 Respon ini biasanya bersifat sementara, dan terjadi pada 30 detik
setelah tindakan laringoskopi dan intubasi, dan bertahan lebih kurang selama 10 menit8. Respon ini tidaklah berbahaya bagi pasien yang sehat7,8,21. Tetapi hal
tersebut bisa berbahaya bila terjadi pada pasien-pasien dengan faktor resiko seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, kelainan serebrovaskuler, miokard infark dan tirotoksikosis2,8,21. Peningkatan tekanan darah yang menetap setelah
tindakan intubasi merupakan bentuk respon yang berlebihan yang sering terlihat pada pasien dengan resiko tinggi yang memiliki penyakit penyerta seperti diabetes, penyakit ginjal, dan penyakit kardiovaskular9.
Rate pressure product (RPP), merupakan hasil perkalian antara tekanan darah sistolik dan denyut jantung. Nilai RPP merupakan indikator untuk menggambarkan kebutuhan oksigen jantung yang telah luas penggunaannya secara klinis. Nilai normalnya kurang dari 12000. RPP yang meningkat hingga diatas 20000 selalu berkaitan dengan iskemi miokard dan angina.2 Pada
pasien-pasien dengan penyakit arteri koroner, RPP haruslah dijaga di bawah 12000.14
Jantung yang berdenyut cepat tidak hanya akan meningkatkan konsumsi oksigen miokard, namun juga memperpendek waktu diastolik dari ventrikel kiri dan akan mengurangi penghantaran oksigen (oxygen delivery) pada miokard.16
Peningkatan tekanan darah tanpa peningkatan denyut jantung masih lebih baik untuk oksigenasi miokard bila dibandingkan peningkatan tekanan darah yang terjadi bersamaan dengan peningkatan denyut jantung.2,15
komplikasi akibat tindakan intubasi9. Miokard infark merupakan salah satu
penyebab morbiditas dan mortalitas paska operasi pada pasien-pasien normotensi. Miokard infark tersebut terjadi karena iskemi yang disebabkan oleh hipertensi dan takikardi akibat tindakan laringoskopi dan intubasi10,11 (tabel 2.4). Pada
pasien dengan penyakit jantung koroner, walaupun pencegahan terhadap respon hemodinamik telah dilakukan, masih didapati kejadian iskemik miokard sebanyak 10% saat dilakukan tindakan laringoskopi dan intubasi12.
Tabel 2.4 : Morbiditas akibat hipertensi akut dan takikardi9 Potensi morbiditas akibat hipertensi akut dan takikardi
Miokard strain, iskemi, infark
Gagal ventrikel kiri akut, gagal ventrikel kanan akut Gagal jantung kongestif
Disritmia, iskemi
Kolaps kardiovaskular paska hipertensi Peningkatan aliran/tekanan darah serebral Perdarahan cerebral
Diseksi aorta
Ruptur aneurisma pada toraks, abdomen, serebral, mata Akselerasi perdarahan
Perubahan pada dinamika aliran katup
Pada pasien-pasien dengan hipertensi, didapati hingga 25% pasien penderita hipertensi dapat mengalami hipertensi berat setelah tindakan intubasi trakhea13. Oleh kerena itu pencegahan terhadap perubahan hemodinamik akibat
dari laringoskopi dan intubasi sangatlah penting untuk dilakukan2,7. Tindakan
laringoskopi yang berlama-lama haruslah dihindari pada pasien-pasien tersebut. Tindakan intubasi haruslah dilakukan dengan anastesi yang dalam.13
Telah banyak upaya yang dilakukan untuk mengurangi respon peningkatan hemodinamik tersebut, diantaranya adalah dengan melakukan intubasi dengan waktu sesingkat mungkin13,, dengan menggunakan bilah laringoskop jenis tertentu
(McCoy lebih baik dari Macintosh)37,38, ataupun dengan obat-obatan tertentu.
Adapun dengan pemberian obat-obatan antara lain dengan pemberian hipnotik17,
anastesi lokal intra vena2,3,8,17, calcium channel blocker2,3,7, vasodilator
(hidralazin, nitrogliserin, sodium nitroprusside)5,7,17,18, dan magnesium sulfat7,29,35.
Opioid (misalnya fentanyl) merupakan obat yang sering diberikan sebelum tindakan induksi anastesi. Pemberian opioid ini, selain bertujuan untuk mengurangi respon peningkatan tekanan darah dan denyut jantung saat tindakan laringoskopi dan intubasi, juga berfungsi untuk analgesia preemptif.19
2.3.6.1. Fentanyl
2.3.6.1.1. Struktur kimia
Fentanyl merupakan turunan dari agonis opioid fenilpiperidin sintetik yang strukturnya mirip mepiridin (gambar 2.12). Sebagai analgetik fentanil 75 – 125x lebih poten daripada morfin.39
Gambar 2.12 : Struktur kimia fentanyl39
2.3.6.1.2. Farmakokinetik
Opioid sintetik ini bersifat larut dalam lemak, mulai kerjanya cepat, durasi kerjanya singkat, dan efek puncak obat terjadi dalam waktu 3 – 5 menit40. Setelah
pemberian secara intra vena, fentanyl akan cepat berdistribusi ke otak, paru-paru, jantung dan organ lain yang memiliki perfusi jaringan yang besar39,40. Dalam
waktu singkat, fentanyl akan berdistribusi ke seluruh tubuh, sehingga kadarnya di dalam plasma akan sangat menurun40. Lebih dari 80% dari dosis yang
Terminasi efek dari fentanyl terjadi bila fentanyl mengalami redistribusi dari susunan saraf pusat40.
Konsentrasi plasma menurun lebih lambat pada saat fase eliminasi. Biotransformasi fentanyl menjadi metabolit yang tidak aktif terjadi didalam hati, yang biasanya dalam bentuk norfentanyl dan beberapa produk hidroksilasi. Hanya sekitar 6-8% yang diekskresikan dalam bentuk yang tidak berubah melalui urin. Nilai clearance fentanyl pada hati sangat tinggi, sehingga lebih dari 60% fentanyl dibersihkan pada first pass. Oleh karena volume distribusinya yang besar, maka kebanyakan obat ini akan berada pada ekstra vaskuler dan tidak mengalami biotransformasi. Waktu paruh fentanyl mendekati 8 jam lamanya40. Waktu paruh
yang lama tersebut mencerminkan dari volume distribusinya yang besar. Volume distribusi yang besar tersebut oleh karena sifatnya yang sangat mudah larut dalam lemak, sehingga lebih cepat masuk ke dalam jaringan.39
Pada pasien lansia, pemanjangan dari waktu paruh fentanyl dikarenakan oleh menurunnya clearance di hati. Hal ini mencerminkan menurunnya aliran darah hati, menurunnya aktifitas enzim mikrosom, ataupun menurunnya produksi albumin (79-87% fentanyl berikatan dengan protein). Oleh karena itu pemberian fentanyl yang diberikan akan efektif dalam waktu yang lebih lama pada pasien lansia dibandingkan pada pasien yang lebih muda.39
2.3.6.1.3. Metabolisme
2.3.6.1.4. Efek samping
Fentanyl dapat menyebabkan depresi pernafasan yang dapat menjadi masalah paska operasi. Efek depresi pernafasan akibat pemberian fentanyl lebih bertahan lama daripada efek analgesiknya41. Kombinasi fentanyl dan benzodiazepin
bersifat sinergis dalam hal hipnosis dan depresi pernafasan39. Bahkan dengan
dosis kecil fentanyl (50 µg) yang dikombinasikan dengan sedatif dapat menimbulkan depresi pernafasan41. Bradikardi dapat terjadi pada pemberian
fentanyl, dan terkadang akibat dari bradikardi ini dapat menyebabkan penurunan tekanan darah dan curah jantung39. Rigiditas otot sering terjadi pada pemberian
fentanyl. Awalnya rigiditas otot ini disangkakan hanya terbatas pada otot-otot abdomen dan otot-otot toraks. Namun belakangan diketahui bahwa otot-otot pada leher dan otot-otot pada ekstremitas bisa juga ikut terlibat. Dengan pemberian fentanyl dosis 1-2 µg/kgBB, rigiditas otot dapat terjadi. Kejadian rigiditas ini biasanya muncul pada saat dilakukan induksi anastesi. Rigiditas ini sepertinya lebih sering terjadi pada pasien lansia dan juga pada saat pemberian fentanyl (opioid) bersamaan dengan nitrous oxide.40
2.3.6.1.5. Penggunaan Klinis
Pada penggunaan secara klinis, fentanyl digunakan dengan rentang dosis yang lebar. Contohnya fentanyl dosis kecil (low dose), 1-2 µg/kgBB intra vena, diberikan sebagai analgetik. Dosis 2-20 µg/kgBB, dapat diberikan sebagai adjuvant anastesi inhalasi untuk mengurangi respon sirkulasi pada saat laringoskopi dan intubasi trakhea ataupun pada saat stimulasi pembedahan. Pemberian fentanyl sebelum munculnya rangsang nyeri akibat pembedahan, dapat mengurangi dosis fentanyl yang dibutuhkan sebagai analgetik paska operasi.39
Opioid dengan dosis yang besar terbukti efektif dalam mencegah respon hemodinamik pada tindakan laringoskopi dan intubasi24, namun penggunaannya
dibatasi oleh karena efek sampingnya yang besar42. Fentanyl dosis besar terbukti
tambahan (adjunct) bagi opioid agar dosis opioid yang digunakan dapat berkurang, namun hal itu juga tidak sepenuhnya bebas dari efek samping24. Dalam
penggunannya, fentanyl sering digabungkan dengan sedatif untuk mengurangi respon hemodinamik akibat intubasi3.
Penggunaan fentanyl dosis 5 µg/kgBB efektif dalam mengurangi respon simpatis akibat laringoskopi, namun dengan resiko peningkatan efek samping. Penggunaan dengan dosis yang lebih kecil 2.5 – 3 µg/kgBB dapat menurunkan efek samping dengan kemampuan mengurangi setengah dari respon simpatis.20
Pada pasien dengan penyakit arteri koroner, tindakan induksi dan intubasi trakhea merupakan saat resiko terbesar terjadinya iskemi miokard. Pemberian fentanyl dosis tinggi sering digunakan pada pasien-pasien tersebut dan efektif dalam mencegah peningkatan hemodinamik dan perubahan EKG saat dilakukan intubasi. Namun pemakaian fentanyl dosis tinggi dapat menyebabkan waktu untuk pulih sadar menjadi lebih lama dan sering dibutuhkan penggunaan dukungan pernafasan paska pembedahan. Karena itu penggunaan fentanyl dosis tinggi tidaklah dianjurkan pada pasien dengan penyakit arteri koroner yang menjalani pembedahan yang singkat, ataupun yang membutuhkan penilaian status neurologis paska pembedahan.12
Kauto dkk mengatakan fentanil 2 µg/kgBB secara signifikan mengurangi peningkatan hemodinamik dan fentanil 6 µg/kgBB secara sempurna mencegah peningkatan hemodinamik jika diberikan satu setengah dan tiga menit sebelum intubasi, tetapi dosis ini dapat menimbulkan efek samping berupa bradikardi, hipotensi, rigiditas otot dan terlambat pulih. Katoh dkk mengatakan fentanil 4 µg/kgBB lebih efektif dalam mengurangi peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi dibandingkan fentanyl 1 µg/kgBB dan 2 µg/kgBB.23
intubasi. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa dengan pemberian fentanyl 2 µg/kgBB terbukti efektif dalam mengurangi respon pressor akibat tindakan laringoskopi dan intubasi.6
Hassani V dkk, melakukan penelitian terhadap 37 pasien dengan penderita hipertensi, ASA 2, umur 20-65 tahun yang menjalani operasi elektif. Mereka membandingkan perubahan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi antara pasien yang diberikan fentanyl 2 µg/kg BB dengan fentanyl 2 µg/kg BB + lidokain 1.5 mg/kg BB yang diberikan 3 menit sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi. Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa fentanyl atau fentanyl + lidokain efektif dalam mengurangi respon hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi.3
Namun terdapat juga beberapa penelitian negatif tentang penggunaan fentanyl. Helfman dkk mengatakan dengan pemberian fentanyl 200 µg tidak dapat mengurangi peningkatan hemodinamik saat laringoskopi dan intubasi.6 Haidry
MA dan Khan FA dari penelitiannya mendapati bahwa dengan pemberian fentanyl 2 µg/kgBB pada pasien dewasa ASA 1 dan 2, yang diberikan 3 menit sebelum intubasi, masih terjadi peningkatan tekanan darah sistolik sebesar 22.9% dan peningkatan tekanan darah diastolik sebesar 27% setelah tindakan laringoskopi dan intubasi dengan laringoskop Macintosh.38 Shah RB dkk, dari
penelitiannya terhadap pasien usia 20-50 tahun ASA 1 dan 2 yang diberikan fentanyl 2 µg/kgBB 3 menit sebelum induksi anastesi masih terjadi peningkatan denyut jantung sebesar 21.1% setelah tindakan laringoskopi dan intubasi.43
Bajwa SJS dkk, melakukan penelitian pada 100 pasien asa 1 dan 2, umur 25-50 tahun yang menjalani operasi elektif. Dari penelitian mereka mendapati dengan pemberian fentanyl 2 µg/kgBB yang diberikan 3 menit sebelum induksi, tidaklah cukup untuk mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi trakhea. Dari penelitian mereka terjadi peningkatan tekanan darah dan peningkatan denyut jantung sebesar 15-25% setelah tindakan laringoskopi dan intubasi.24
umum intubasi trakhea. Pasien tersebut dibagi dalam 5 kelompok yang masing-masing kelompok diberikan lidokain 2 mg/kgBB 3 menit sebelum intubasi, fentanyl 2 µg/kgBB 4 menit sebelum intubasi, nicardipin 30 µg/kgBB 2 menit sebelum intubasi, esmolol 1 mg/kgBB 90 detik sebelum intubasi, dan kelompok kontrol mendapatkan normal salin sebelum intubasi. Dari penelitiannya mendapatkan hasil dengan pemberian fentanyl 2 µg/kgBB 3 menit sebelum intubasi terjadi peningkatan denyut jantung sebesar 29.2%, peningkatan tekanan arteri rerata 19.95% dan peningkatan RPP sebesar 47.47% (nilainya mencapai 14600) akibat tindakan laringoskopi dan intubasi.25
2.3.6.2. Lidokain
Lidokain telah digunakan sebagai obat anastesi dan analgesi selama lebih dari setengah abad. Lidokain pertama kali dibuat oleh Logfren pada tahun 1943 dan telah digunakan bertahun-tahun sebagai obat anatesi lokal. Lidokain merupakan obat anestesi lokal dari golongan amida. Selain sebagai obat anastesi lokal, lidokain juga dipakai oleh ahli anastesi untuk penanganan aritmia yang terjadi saat tindakan pembedahan. Sejak tahun 1963 lidokain digunakan untuk penanganan aritmia pada saat dan sesudah tindakan pembedahan jantung. Sejak saat itu lidokain telah digunakan secara luas secara intravena sebagai penanganan aritmia jantung akibat infark miokard akut.44,45,46
2.3.6.2.1. Struktur kimia
Struktur kimia lidokain terdiri dari gugus aromatik (2,6-xylidine) yang berpasangan dengan diethylglycine melalui ikatan amida. Lidokain merupakan basa lemah dengan pKa 7.85.45
2.3.6.2.2. Mekanisme kerja
sensorik, sedangkan pada konsentrasi yang besar lidokain akan memberi efek yang lebih luas. Lidokain juga memiliki efek anti inflamasi dan imunomodulasi. Bila dibandingkan dengan obat lain pada kelasnya, lidokain memiliki mula kerja yang cepat dan masa kerja yang tergolong menengah (intermediate).46
Gambar 2.13 : Struktur kimia lidokain44
2.3.6.2.3. Farmakokinetik dan farmakodinamik
Lidokain didistribusikan keseluruh tubuh setelah pemberian secara intravena, dengan volume distribusi pada dewasa 0.7-2.7 l/kg.46 Pemberian lidokain secara
intravena akan mencapai kadar terapi dalam 1-2 menit.45 Lidokain dapat
menembus plasenta dan juga sawar darah otak. Pada kadar terapi, 60-80% lidokain berikatan dengan protein, utamanya berikatan dengan alpha-1-acid glycoprotein. Dosis lidokain yang menimbulkan efek analgesia belumlah diketahui secara pasti, namun dari beberapa penelitian menunjukkan kadar pada plasma yang lebih rendah untuk penanganan aritmia (1.5-5 µg/ml) dan jauh dibawah kadar toksik (6 µg/ml).46 Lidokain intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB,
menghasilkan kadar lidokain plasma sebesar 3 µg/ml, dan dapat menekan refleks batuk. Namun durasi Lidokain intravena adalah pendek (5-20 menit).47