• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Perbandingan Respon Hemodinamik Akibat Tindakan Laringoskopi dan Intubasi pada Pemberian Intravena Fentanyl 2 μg/kgBB + Magnesium Sulfat 30 mg/kgBB dengan Fentanyl 2 μg/kgBB + Lidokain 1,5 mg/kgBB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Perbandingan Respon Hemodinamik Akibat Tindakan Laringoskopi dan Intubasi pada Pemberian Intravena Fentanyl 2 μg/kgBB + Magnesium Sulfat 30 mg/kgBB dengan Fentanyl 2 μg/kgBB + Lidokain 1,5 mg/kgBB"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI SALURAN NAFAS

Keberhasilan dari tindakan laringoskopi dan intubasi yang dilakukan oleh ahli

anastesi, membutuhkan pengetahuan yang mendalam tentang anatomi dari saluran

nafas. Adapun istilah saluran nafas yang terdapat pada bahasan ini mengacu

kepada saluran nafas atas. Saluran nafas atas tersebut terdiri dari rongga hidung,

rongga mulut, faring, laring, trakhea, dan bronkus utama.1,31

Terdapat dua jalan yang menghubungkan saluran nafas dengan dunia luar,

yaitu: hidung yang akan menuju pada nasofaring, dan mulut yang akan menuju

pada orofaring. Kedua saluran tersebut, pada bagian anterior dipisahkan oleh

palatum, dan kedua saluran tersebut akan bersatu dibagian posterior, yaitu

didalam faring1. Faring merupakan saluran yang dipergunakan bersama oleh saluran nafas dan saluran pencernaan. Faring terbentang dari mulai nares internal

hingga mencapai jalan masuk menuju ke laring dan esofagus (gambar 2.1). Faring

dapat dibagi menjadi nasofaring, orofaring, dan laringofaring (hipofaring)(gambar

2.2)1,32. Nasofaring merupakan bagian paling atas dari faring32, dan dipisahkan dari orofaring oleh garis datar hayal yang membentang dari palatum lunak

(palatum molle) ke arah posterior1,32. Orofaring membentang antara palatum lunak dan dasar lidah (setentang tulang lidah). Laringofaring merupakan bagian paling

bawah dari faring, terletak antara tulang lidah hingga jalan masuk menuju ke

laring dan esofagus.32

Udara dari faring masuk ke laring melalui saluran yang sempit yang

disebut glotis32. Epiglotis berfungsi mencegah aspirasi dengan cara menutup glotis saat menelan makanan. Laring adalah suatu rangka yang dibentuk oleh beberapa

tulang rawan yang dipadukan oleh ligamen dan otot1. Rangka laring disusun dari sembilan tulang rawan (gambar 2.3). Tiga tulang rawan besar yang tidak

berpasangan, yaitu: tiroid, krikoid, dan epiglotis. Kemudian terdapat tiga pasang

(2)

merupakan tulang rawan yang paling besar, yang membentuk hampir keseluruhan

dinding anterior dan dinding lateral laring32. Tulang rawan tiroid ini berfungsi melindungi conus elasticus yang membentuk vocal cords1.

Gambar 2.1 : Anatomi saluran pernafasan atas (potongan sagital)32

(3)

Gambar 2.3 : Struktur tulang rawan laring32

Persarafan sensoris saluran nafas atas berasal dari saraf kranial. Divisi

oftalmik dan divisi maksila dari saraf trigeminus (saraf kranial V) memberikan

persarafan pada mukosa hidung melalui saraf etmoidalis anterior, saraf

nasopalatina, dan saraf sfenopalatina. Saraf palatina yang merupakan percabangan

dari saraf sfenopalatina, memberikan persarafan sensoris kepada palatum keras

(palatum durum) dan palatum lunak (palatum molle). Divisi mandibula dari saraf

trigeminus membentuk saraf lingual yang memberikan persarafan sensoris pada

dua pertiga bagian anterior lidah. Sedangkan sepertiga bagian posterior lidah

dipersarafi oleh saraf glosofaringeal (saraf kranial IX). Orofaring, tonsil dan

bagian dalam dari palatum molle juga dipersarafi oleh saraf glosofaringeal

(gambar 2.4) 1,21.

Saraf laringeal superior yang merupakan cabang dari saraf vagus (saraf

kranial X), terbagi menjadi cabang eksternal (motorik) dan cabang internal

(sensorik). Cabang internal dari saraf laringeal superior memberikan persarafan

sensoris pada daerah laring (antara epiglotis dan vocal cords). Saraf laringeal

(4)

pada laring yang berada dibawah vocal cords dan trakhea. Tabel 2.1 akan

menggambarkan lebih lanjut persarafan motorik dan sensorik dari laring.1,21

Gambar 2.4 : Persarafan sensorik saluran nafas1

Laring pada orang dewasa terletak mulai vertebra C3 dan berakhir pada

vertebra C621. Laring berfungsi dalam modulasi suara dan memisahkan trakhea dari kerongkongan saat menelan21, sehingga mencegah terjadinya aspirasi ke dalam trakhea1. Namun mekanisme perlindungan ini, ketika berlebihan, dapat menyebabkan terjadinya spasme laring21. Otot-otot laring dipersarafi oleh nervus laringeal rekuren, kecuali otot krikotiroid yang dipersarafi nervus laringeal

internal (motorik) yang merupakan cabang dari nervus laringeal superior1. Vocal

cords merupakan celah yang paling sempit pada saluran nafas dewasa, yang dibentuk oleh ligamen tiroaritenoid. Dimensi anterior-posterior vocal cords

(5)

Tabel 2.1 : Persarafan motorik dan sensorik laring21

Nervus Sensorik Motorik

Laringeal superior Epiglotis Tidak ada

(divisi internal) Dasar lidah

Mukosa Supraglotis

Thyroepiglottic joint

Cricothyroid joint

Laringeal superior Mukosa anterior subglotis krikotiroid

(divisi internal) (Adductor Tensor)

Laringeal rekuren Mukosa subglotis Tiroaritenoid

Muscle spindles Krikoaritenoid lateralis

Interaritenoid (adductors)

Krikoaritenoid posterior

(adductor)

Trakhea dimulai dari vertebra C6 dan berakhir pada carina yang berada di

mediastinum setingkat vertebra T5. Panjang trakhea sekitar 11 cm dengan

diameter 2.5 cm. Trakhea memiliki 15-20 tulang rawan. Tulang rawan yang

paling atas merupakan satu-satunya tulang rawan yang berbetuk cincin, sedangkan

sisanya berbentuk ladam kuda (bentuk C). Tulang rawan tersebut berfungsi untuk

melindungi saluran nafas, dan menjaga kekakuan dari trakhea sehingga tidak mengempis ataupun terlalu mengembang akibat adanya perubahan tekanan pada

saluran nafas.1,21,32

Trakhea bercabang di carina, membentuk bronkus utama kanan dan

bronkus utama kiri. Seperti halnya trakhea, bronkus utama juga memiliki tulang

rawan yang berbentuk C. Bronkus utama kanan memberi pasokan udara ke paru

kanan, sedangkan bronkus utama kiri memberikan pasokan udara ke paru kiri.

Diameter bronkus utama kanan lebih besar dari bronkus utama kiri, dengan sudut

yang lebih curam menuju bronkus utama kanan. Karena alasan tersebut

kebanyakan benda asing yang masuk ke dalam trakhea akan lebih mudah masuk

(6)

2.2.PENILAIAN SALURAN NAFAS

Penilaian saluran nafas merupakan langkah awal agar sukses dalam melakukan

manajemen saluran nafas. Beberapa manuver dapat dilakukan untuk menilai

kesulitan saat melakukan tindakan intubasi endotrakhea. Untuk menghindari

mortalitas dan morbiditas, seorang ahli anastesi haruslah dapat melakukan

ventilasi (dengan atau tanpa intubasi)1. Penilaian tersebut antara lain:1

• Pembukaan mulut : Pada dewasa diharapkan jarak antara gigi seri atas dan bawah 3 cm atau lebih

• Tes menggigit bibir atas : gigi bagian bawah diletakkan didepan gigi atas, hal ini untuk menilai pergerakan dari sendi temporomandibula

• Klasifikasi Mallampati : merupakan tes yang sering dilakukan untuk memeriksa ukuran lidah didalam rongga mulut. Semakin besar lidah menghalangi pandangan terhadap struktur faring, maka kemungkinan

kesulitan intubasi akan semakin besar (gambar 2.5).

• Jarak Thyromental : jarak antara mental dan superior thyroid notch diharapkan lebih dari 3 jari

• Lingkar leher : lingkar leher lebih dari 27 inchi diduga akan kesulitan dalam visualisasi glotis.

Klasifikasi Mallampati:1

• Kelas I : palatum molle (soft palate), tenggorokan, uvula, dan pilar tonsil dapat terlihat

• Kelas II : palatum molle, tenggorokan dan uvula dapat terlihat

• Kelas III : palatum molle dan dasar dari uvula dapat terlihat

(7)

Gambar 2.5 : A : Klasifikasi Mallampati B: Penilaian visualisasi laring1

2.3.INTUBASI ENDOTRAKHEA

Intubasi endotrakhea dibutuhkan untuk menjamin patensi dari saluran nafas pada

pasien yang memiliki resiko terjadinya aspirasi, ataupun pada pasien yang sulit

menjaga saluran nafasnya dengan menggunakan sungkup, ataupun juga bagi

pasien yang memerlukan kontrol ventilasi dalam waktu yang lama. Intubasi juga

diperlukan pada tindakan pembedahan khusus seperti pada pembedahan

kepala/leher, pembedahan intratoraks, dan pada pembedahan intra abdomen.33

2.3.1.Laringoskop

Intubasi endotrakhea biasanya dilakukan dengan menggunakan laringoskop rigid

(gambar 2.6). Penggunaan laringoskop rigid disukai karena kemudahannya,

tingkat kesuksesan yang tinggi, dan dapat memberikan visualisasi yang baik34. Selain itu laringoskop dapat juga dipergunakan untuk melakukan pemeriksaan

(8)

untuk menghidupkan bola lampu (bulb) yang terdapat pada ujung bilah (blade),

ataupun pada ujung dari gagang tersebut1,34. Bilah yang sering digunakan pada laringskop adalah bilah Macintosh dan bilah Miller (gambar 2.7)1,33.

Gambar 2.6 : Laringoskop rigid1

Gambar 2.7 : Beberapa jenis bilah laringoskop1

Bilah Macintosh adalah bilah yang lengkung yang ujungnya diletakkan pada

vallecula (ruang antara dasar lidah dan epiglotis)(gambar 2.8). Bilah Macintosh

(9)

juga dapat memberikan ruang yang cukup untuk masuknya pipa endotrakhea

dengan kemungkinan yang kecil terjadinya trauma pada epiglotis. Ukuran bilah

ini dibuat dari mulai bilah no.1 sampai no.4, dimana kebanyakan orang dewasa

memakai bilah no. 3.31,33

Bilah Miller adalah bilah yang lurus yang ujungnya diletakkan dibawah

epiglotis (gambar 2.8). Dengan bilah ini, epiglotis dapat diangkat untuk bisa

melihat vocal cords. Bilah Miller memberikan paparan yang baik terhadap glotis,

namun memberikan ruang yang lebih kecil untuk bisa melewati orofaring dan

hipofaring. Ukuran bilah ini dibuat dari bilah no. 1 sampai no. 4, dimana

kebanyakan orang dewasa memakai bilah no. 2 ataupun no. 3.31,33

Gambar 2.8 : Pasien dalam posisi sniffing. A. Bilah lurus diletakkan dibawah epiglotis,

(10)

Selain itu, masih banyak bentuk modifikasi tertentu dari laringoskop

(misalnya Bullard, Upsher, Wu) dan juga bilah laringoskop (misalnya McCoy,

Siker) yang bisa digunakan untuk melakukan intubasi endotrakhea pada kondisi

yang sulit ataupun pada kondisi yang lain dari biasanya33. Karena tidak ada bilah yang cocok untuk segala situasi, maka setiap ahli anastesi haruslah terbiasa

dengan berbagai macam bentuk bilah1.

2.3.2. Pipa Endotrakhea

Pipa endotrakhea (Endotracheal Tube/ETT) biasanya terbuat dari polyvinyl

chloride (PVC). Panjang dari ETT diberi tanda dalam satuan centimeters.

Sedangkan ukuran diameter dalam (ID) dari ETT dalam satuan millimeters atau

bisa juga dengan skala French (diameter luar ETT dalam satuan millimeters dikali

tiga).1

Tahanan terhadap aliran udara, utamanya bergantung pada diameter dari

ETT, namun dapat juga dipengaruhi oleh panjang dari ETT dan kelengkungannya.

Pilihan diameter yang dipakai adalah dengan memperhitungkan antara

penggunaan ukuran ETT yang besar agar aliran udara lebih maksimal, atau

menggunakan ETT dengan ukuran yang lebih kecil agar mengurangi resiko

trauma pada saluran nafas. Pada kebanyakan kasus, ETT yang digunakan pada

wanita adalah ETT dengan diameter internal 7.0 mm atau 7.5 mm, dan pada pria

digunakan ETT dengan diameter internal 8.0 mm. Panduan dalam pemakaian

ukuran ETT akan dijabarkan pada tabel 2.2.1,34

Tabel 2.2 : Panduan ukuran ETT1

Usia Diameter Internal (mm) Panjang (cm)

Bayi cukup bulan 3.5 12

Anak-anak 4+(usia/4) 14+(usia/2)

Dewasa

Wanita 7.0-7.5 24

(11)

ETT pada dewasa biasanya memiliki valve pada sistem inflasi cuff, balon

pilot, selang inflasi dan cuff (gambar 2.9). Valve berfungsi untuk mencegah

keluarnya udara inflasi pada cuff. Balon pilot berguna untuk memperkirakan

tekanan yang ada pada cuff. Selang inflasi menghubungkan valve dengan cuff.

Dengan dikembangkannya cuff, maka terjadilah tracheal seal. Dan dengan adanya

tracheal seal tersebut, akan mencegah terjadinya aspirasi dan akan memudahkan

untuk memberikan ventilasi tekanan positif.1

Gambar 2.9 : Pipa endotrakhea (Endotracheal tube/ETT)1

Terdapat dua macam cuff pada ETT: high pressure (low volume), dan low

pressure (high volume). ETT cuff yang high pressure sering menyebabkan iskemik pada mukosa trakhea dan kurang sesuai bila digunakan untuk intubasi

jangka lama. ETT cuff yang low pressure sering menyebabkan aspirasi, ekstubasi

spontan, dan sore throat oleh karena daerah mukosa yang kontak dengan cuff

lebih luas. Namun, karena insidensi yang rendah terjadinya iskemik pada mukosa

trakhea maka ETT cuff yang low pressure lebih sering digunakan.1

2.3.3. Tindakan Laringoskopi dan Intubasi

Untuk melakukan tindakan laringoskopi dan intubasi dibutuhkan beberapa

persiapan. Persiapan tersebut berupa pemeriksaan dari peralatan yang akan

(12)

ETT haruslah diperiksa untuk mengetahui apakah ada kebocoran pada cuff

ataupun pada valve. Konektor pada ETT harus terpasang dengan baik dan kuat,

sehingga tidak terlepas pada saat dipakai nanti. Jika menggunakan stylet, maka

setelah stylet dimasukkan kedalam ETT, kemudian dibentuk menyerupai tongkat

hoki (gambar 2.10). Tujuan dari membentuk ETT menyerupai tongkat hoki adalah

untuk melakukan intubasi pada pasien dengan posisi laring yang anterior. Bilah

laringoskop yang dipakai haruslah sudah terpasang, dan bola lampu laringoskop

harus menyala dengan baik. ETT dengan ukuran yang lebih kecil harus disediakan

sebagai cadangan. Alat penghisap (suction) juga harus dipersiapkan untuk

membersihkan jalan nafas dari cairan ataupun darah.1

Gambar 2.10 : ETT terpasang stylet dibentuk seperti tongkat hoki1

Kesuksesan tindakan intubasi juga bergantung pada posisi pasien yang

baik. Kepala pasien haruslah sejajar atau lebih tinggi dari pinggang ahli anastesi,

agar mencegah terjadinya nyeri pinggang pada ahli anastesi. Kepala pasien

menggunakan bantal (alas yang lunak) yang tingginya sekitar 10 cm, kemudian

pasien diatur dalam posisi sniffing (gambar 2.11). Sebelum tindakan induksi dan

intubasi, terlebih dahulu dilakukan preoksigenasi dengan oksigen 100%.

Perlindungan terhadap mata pasien juga harus dilakukan dengan memakaikan

(13)

Intubasi orotrakhea dilakukan dengan cara laringoskop dipegang ditangan

kiri, mulut pasien dibuka dengan cara mendorong gigi premolar pada mandibula

pasien dengan ibu jari kanan. Bilah laringoskop dimasukkan ke dalam sisi kanan

mulut pasien, dengan berhati-hati agar tidak terkena gigi pasien34. Lidah pasien disisihkan ke sisi kiri dengan menggunakan sayap (flange) pada bilah, sehingga

dapat memberikan lapangan pandang yang baik untuk memasukkan dan

menempatkan ETT. Saat mencapai dasar lidah, dan terlihat epiglotis, maka ujung

dari bilah lengkung diletakkan pada vallecula dan ujung dari bilah lurus menekan

epiglotis ke dasar lidah sehingga epiglotis akan tertutupi oleh bilah lurus1,31. Kemudian tangan kiri mengangkat gagang laringoskop dengan arah menjauhi

pasien untuk menampakkan vocal cords1 (gambar 2.11). ETT dipegang dengan tangan kanan seperti memegang pensil dan kemudian dimasukkkan ke dalam

vocal cords33. Cuff ETT diletakkan kira-kira 2 cm setelah melewati vocal cords31. Kemudian laringoskop ditarik dan dikeluarkan dari mulut secara perlahan-lahan

agar tidak merusak gigi. Cuff dikembangkan secukupnya sehingga tidak terjadi

kebocoran udara saat dilakukan ventilasi positif.1

(14)

Setelah tindakan intubasi, untuk memastikan intubasi trakhea berhasil,

maka dilakukan inspeksi dan auskultasi pada thoraks dan epigastrium1, serta dilakukan pemasangan capnograph1,33. Adanya CO

2 pada capnograph merupakan konfirmasi berhasilnya intubasi trakhea1,33. Jika suara pernafasan hanya terdengar pada satu sisi thoraks saja, maka kemungkinan ETT telah masuk ke bronkus dan

harus ditarik sampai udara terdengar di kedua sisi thoraks33. Kemudian ETT difiksasi untuk menjaga agar tidak bergeser1.

Intubasi nasotrakhea mirip dengan tindakan intubasi oral, hanya saja

sebelum dilakukan laringoskopi, ETT terlebih dahulu dimasukkan melalui hidung

menuju nasofaring dan kemudian mencapai orofaring. Lubang hidung yang dipilih

adalah yang paling leluasa dipakai bernafas oleh pasien. Sebelum ETT

dimasukkan ke dalam hidung, terlebih dahulu hidung ditetesi dengan

Phenylephrine (0.25% atau 0.5%) sebagai vasokonstriktor dan juga menciutkan

membran mukosa. ETT diolesi dengan jeli terlebih dahulu sebelum dimasukkan

ke dalam hidung. ETT dimasukkan perlahan-lahan hingga terlihat di orofaring.

Kemudian dilakukan laringoskopi untuk melihat vocal cords, dan ETT diarahkan

masuk ke dalam vocal cords. Jika terjadi kesulitan mengarahkan ETT untuk

masuk ke dalam vocal cords, maka bisa digunakan Magill forceps sebagai alat

bantu untuk mengarahkan ETT tersebut. Hati-hati saat menggunakan Magill

forceps agar tidak merusak cuff ETT.1

2.3.4. Komplikasi akibat Laringoskopi dan Intubasi

Komplikasi dari tindakan laringoskopi dan intubasi berupa hipoksia, hiperkarbi,

trauma pada gigi dan saluran nafas, munculnya respon fisiologis akibat dari

instrumentasi pada saluran nafas, ataupun malfungsi dari ETT.

Komplikasi-komplikasi tersebut dapat terjadi saat dilakukan tindakan laringoskopi dan

intubasi, saat ETT sudah terpasang, ataupun setelah tindakan ekstubasi

(15)

Tabel 2.3 : Komplikasi dari tindakan intubasi21 Komplikasi intubasi trakea

Saat dilakukan laringoskopi dan intubasi

Trauma pada jaringan lunak gigi dan mulut Hipertensi sistemik dan takikardi

Disritmia jantung

Komplikasi segera dan komplikasi lambat setelah ekstubasi

Spasme Laring

Dislokasi tulang rawan arytenoid

2.3.5. Respon fisiologis akibat instrumentasi saluran nafas

Telah diketahui bahwa laringoskopi dan intubasi endotrakhea akan menyebabkan

munculnya respon simpatis yang akan melepaskan katekolamin, dan akhirnya

akan menimbulkan perubahan hemodinamik berupa hipertensi dan takikardi2,3,35. Peningkatan hemodinamik tersebut dapat dikurangi dengan pemberian intravena

lidokain, opioid, β-blocker, ataupun dengan mendalamkan anastesi inhalasi

sebelum melakukan tindakan laringoskopi. Obat-obat hipotensif seperti sodium

nitroprusside, nitrogliserin, esmolol dan nikardipin juga efektif untuk mengurangi

(16)

Spasme laring merupakan spasme involunter otot-otot laring akibat

perangsangan sensoris dari nervus laringeal superior. Laringospasme dapat

muncul oleh karena adanya cairan pada faring, ataupun karena ETT melewati

laring saat ekstubasi. Spasme laring biasanya bisa dicegah dengan cara melakukan

ekstubasi dalam, ataupun ekstubasi sadar penuh. Penanganan pada spasme laring

adalah dengan memberikan ventilasi tekanan posistif dengan menggunakan

oksigen 100%, atau dengan memberikan lidokain (1-1.5mg/kgBB). Jika spasme

laring masih menetap dan terjadi hipoksia, diberikan suksinilkolin dosis kecil

(0.25-0.5 mg/kgBB) dan dapat ditambahkan propofol dosis kecil untuk relaksasi

dari otot-otot laring sehingga dapat melakukan kontrol ventilasi.1

Spasme bronkus juga merupakan reflek akibat intubasi yang sering terjadi

pada pasien penderita asma. Terjadinya spasme bronkus juga dapat menjadi

petunjuk terjadinya intubasi bronkus.1

2.3.6. Upaya mengurangi peningkatan hemodinamik

Tindakan laringoskopi dan intubasi trakhea merupakan stimulasi noksius yang

sangat kuat, yang akan menyebabkan symphatetic discharge dan akan

menyebabkan hipertensi dan takikardi (disebut dengan respon pressor).36 Laringoskopi dan intubasi trakhea menstimulasi reseptor aferen nosisepsi viseral

dan somatik dari epiglotis, hipofaring, daerah peri trakhea dan vocal cords,

sehingga terjadi augmentasi aktivitas simpatis cervical dan mengakibatkan

peningkatan amine simpatis (adrenalin dan noreadrenalin).3,7

Respon pressor merupakan bagian dari respon stress, berasal dari peningkatan

aktifitas simpatis dan simpatoadrenal yang akan meningkatkan konsentrasi

katekolamin plasma.24 Respon pressor akibat laringoskopi dan intubasi merupakan refleks simpatis yang diprovokasi oleh stimulasi pada

oro-laringofaring.15 Faring bagian bawah (hipofaring), epiglotis dan laring mengandung sejumlah reseptor sensorik yang bertanggung jawab terhadap

rangsangan kimia, panas dan mekanik. Reseptor mekanik banyak terdapat pada

dinding faring bagian bawah, epiglotis dan vocal cords. Perangsangan reseptor

(17)

refleks perangsangan simpatis.4 Munculnya respon simpatoadrenal terhadap intubasi endotrakhea adalah adanya rangsangan area supraglotik akibat iritasi pada

jaringan yang terkena laringoskop. Rangsangan di area infraglotik berupa

sentuhan pipa endotrakhea melintasi pita suara dan pengembangan balon

memberikan kontribusi lebih rendah.2

Peningkatan rata-rata tekanan darah akibat tindakan laringoskopi dan intubasi

bisa mencapai 40-50%5, dan peningkatan denyut jantung hingga 26-66% bila tidak ada usaha tertentu yang dilakukan untuk mencegah respon peningkatan

hemodinamik.6 Respon ini biasanya bersifat sementara, dan terjadi pada 30 detik setelah tindakan laringoskopi dan intubasi, dan bertahan lebih kurang selama 10

menit8. Respon ini tidaklah berbahaya bagi pasien yang sehat7,8,21. Tetapi hal tersebut bisa berbahaya bila terjadi pada pasien-pasien dengan faktor resiko

seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, kelainan serebrovaskuler, miokard

infark dan tirotoksikosis2,8,21. Peningkatan tekanan darah yang menetap setelah tindakan intubasi merupakan bentuk respon yang berlebihan yang sering terlihat

pada pasien dengan resiko tinggi yang memiliki penyakit penyerta seperti

diabetes, penyakit ginjal, dan penyakit kardiovaskular9.

Rate pressure product (RPP), merupakan hasil perkalian antara tekanan

darah sistolik dan denyut jantung. Nilai RPP merupakan indikator untuk

menggambarkan kebutuhan oksigen jantung yang telah luas penggunaannya

secara klinis. Nilai normalnya kurang dari 12000. RPP yang meningkat hingga

diatas 20000 selalu berkaitan dengan iskemi miokard dan angina.2 Pada pasien-pasien dengan penyakit arteri koroner, RPP haruslah dijaga di bawah 12000.14

Jantung yang berdenyut cepat tidak hanya akan meningkatkan konsumsi

oksigen miokard, namun juga memperpendek waktu diastolik dari ventrikel kiri

dan akan mengurangi penghantaran oksigen (oxygen delivery) pada miokard.16 Peningkatan tekanan darah tanpa peningkatan denyut jantung masih lebih baik

untuk oksigenasi miokard bila dibandingkan peningkatan tekanan darah yang

terjadi bersamaan dengan peningkatan denyut jantung.2,15

Beberapa komplikasi yang dijumpai akibat tindakan intubasi seperti hipertensi

(18)

komplikasi akibat tindakan intubasi9. Miokard infark merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas paska operasi pada pasien-pasien normotensi.

Miokard infark tersebut terjadi karena iskemi yang disebabkan oleh hipertensi

dan takikardi akibat tindakan laringoskopi dan intubasi10,11 (tabel 2.4). Pada pasien dengan penyakit jantung koroner, walaupun pencegahan terhadap respon

hemodinamik telah dilakukan, masih didapati kejadian iskemik miokard sebanyak

10% saat dilakukan tindakan laringoskopi dan intubasi12.

Tabel 2.4 : Morbiditas akibat hipertensi akut dan takikardi9 Potensi morbiditas akibat hipertensi akut dan takikardi

Miokard strain, iskemi, infark

Gagal ventrikel kiri akut, gagal ventrikel kanan akut Gagal jantung kongestif

Pada pasien-pasien dengan hipertensi, didapati hingga 25% pasien

penderita hipertensi dapat mengalami hipertensi berat setelah tindakan intubasi

trakhea13. Oleh kerena itu pencegahan terhadap perubahan hemodinamik akibat dari laringoskopi dan intubasi sangatlah penting untuk dilakukan2,7. Tindakan laringoskopi yang berlama-lama haruslah dihindari pada pasien-pasien tersebut.

Tindakan intubasi haruslah dilakukan dengan anastesi yang dalam.13

Telah banyak upaya yang dilakukan untuk mengurangi respon peningkatan

hemodinamik tersebut, diantaranya adalah dengan melakukan intubasi dengan

(19)

anastesi lokal intra vena2,3,8,17, calcium channel blocker2,3,7, vasodilator (hidralazin, nitrogliserin, sodium nitroprusside)5,7,17,18, dan magnesium sulfat7,29,35. Opioid (misalnya fentanyl) merupakan obat yang sering diberikan sebelum

tindakan induksi anastesi. Pemberian opioid ini, selain bertujuan untuk

mengurangi respon peningkatan tekanan darah dan denyut jantung saat tindakan

laringoskopi dan intubasi, juga berfungsi untuk analgesia preemptif.19

2.3.6.1. Fentanyl

2.3.6.1.1. Struktur kimia

Fentanyl merupakan turunan dari agonis opioid fenilpiperidin sintetik yang

strukturnya mirip mepiridin (gambar 2.12). Sebagai analgetik fentanil 75 – 125x

lebih poten daripada morfin.39

Gambar 2.12 : Struktur kimia fentanyl39

2.3.6.1.2. Farmakokinetik

Opioid sintetik ini bersifat larut dalam lemak, mulai kerjanya cepat, durasi

kerjanya singkat, dan efek puncak obat terjadi dalam waktu 3 – 5 menit40. Setelah pemberian secara intra vena, fentanyl akan cepat berdistribusi ke otak, paru-paru,

jantung dan organ lain yang memiliki perfusi jaringan yang besar39,40. Dalam waktu singkat, fentanyl akan berdistribusi ke seluruh tubuh, sehingga kadarnya di

(20)

Terminasi efek dari fentanyl terjadi bila fentanyl mengalami redistribusi dari

susunan saraf pusat40.

Konsentrasi plasma menurun lebih lambat pada saat fase eliminasi.

Biotransformasi fentanyl menjadi metabolit yang tidak aktif terjadi didalam hati,

yang biasanya dalam bentuk norfentanyl dan beberapa produk hidroksilasi. Hanya

sekitar 6-8% yang diekskresikan dalam bentuk yang tidak berubah melalui urin.

Nilai clearance fentanyl pada hati sangat tinggi, sehingga lebih dari 60% fentanyl

dibersihkan pada first pass. Oleh karena volume distribusinya yang besar, maka

kebanyakan obat ini akan berada pada ekstra vaskuler dan tidak mengalami

biotransformasi. Waktu paruh fentanyl mendekati 8 jam lamanya40. Waktu paruh yang lama tersebut mencerminkan dari volume distribusinya yang besar. Volume

distribusi yang besar tersebut oleh karena sifatnya yang sangat mudah larut dalam

lemak, sehingga lebih cepat masuk ke dalam jaringan.39

Pada pasien lansia, pemanjangan dari waktu paruh fentanyl dikarenakan

oleh menurunnya clearance di hati. Hal ini mencerminkan menurunnya aliran

darah hati, menurunnya aktifitas enzim mikrosom, ataupun menurunnya produksi

albumin (79-87% fentanyl berikatan dengan protein). Oleh karena itu pemberian

fentanyl yang diberikan akan efektif dalam waktu yang lebih lama pada pasien

lansia dibandingkan pada pasien yang lebih muda.39

2.3.6.1.3. Metabolisme

Fentanil kebanyakan di metabolisme oleh N-demethylation yang menghasilkan

norfentanyl, hidroxyproprionyl-fentanyl dan hidroxyproprionyl-norfentanyl.

Norfentanil secara struktur sama dengan normeperidine dan merupakan metabolit

utama fentanyl pada manusia. Fentanyl diekskresikan oleh ginjal dan dijumpai

pada urin dalam waktu 72 jam setelah pemberian dosis tunggal fentanyl intravena.

Sekitar 10% fentanyl yang diekskresikan dalam bentuk yang tidak berubah

(21)

2.3.6.1.4. Efek samping

Fentanyl dapat menyebabkan depresi pernafasan yang dapat menjadi masalah

paska operasi. Efek depresi pernafasan akibat pemberian fentanyl lebih bertahan

lama daripada efek analgesiknya41. Kombinasi fentanyl dan benzodiazepin bersifat sinergis dalam hal hipnosis dan depresi pernafasan39. Bahkan dengan dosis kecil fentanyl (50 µg) yang dikombinasikan dengan sedatif dapat

menimbulkan depresi pernafasan41. Bradikardi dapat terjadi pada pemberian fentanyl, dan terkadang akibat dari bradikardi ini dapat menyebabkan penurunan

tekanan darah dan curah jantung39. Rigiditas otot sering terjadi pada pemberian fentanyl. Awalnya rigiditas otot ini disangkakan hanya terbatas pada otot-otot

abdomen dan otot-otot toraks. Namun belakangan diketahui bahwa otot-otot pada

leher dan otot-otot pada ekstremitas bisa juga ikut terlibat. Dengan pemberian

fentanyl dosis 1-2 µg/kgBB, rigiditas otot dapat terjadi. Kejadian rigiditas ini

biasanya muncul pada saat dilakukan induksi anastesi. Rigiditas ini sepertinya

lebih sering terjadi pada pasien lansia dan juga pada saat pemberian fentanyl

(opioid) bersamaan dengan nitrous oxide.40

2.3.6.1.5. Penggunaan Klinis

Pada penggunaan secara klinis, fentanyl digunakan dengan rentang dosis yang

lebar. Contohnya fentanyl dosis kecil (low dose), 1-2 µg/kgBB intra vena,

diberikan sebagai analgetik. Dosis 2-20 µg/kgBB, dapat diberikan sebagai

adjuvant anastesi inhalasi untuk mengurangi respon sirkulasi pada saat

laringoskopi dan intubasi trakhea ataupun pada saat stimulasi pembedahan.

Pemberian fentanyl sebelum munculnya rangsang nyeri akibat pembedahan, dapat

mengurangi dosis fentanyl yang dibutuhkan sebagai analgetik paska operasi.39 Opioid dengan dosis yang besar terbukti efektif dalam mencegah respon

hemodinamik pada tindakan laringoskopi dan intubasi24, namun penggunaannya dibatasi oleh karena efek sampingnya yang besar42. Fentanyl dosis besar terbukti efektif dalam mencegah respon simpatis akibat laringoskopi dan intubasi, namun

dengan dosis yang besar sering terjadi efek samping seperti bradikardi, hipotensi,

(22)

tambahan (adjunct) bagi opioid agar dosis opioid yang digunakan dapat

berkurang, namun hal itu juga tidak sepenuhnya bebas dari efek samping24. Dalam penggunannya, fentanyl sering digabungkan dengan sedatif untuk mengurangi

respon hemodinamik akibat intubasi3.

Penggunaan fentanyl dosis 5 µg/kgBB efektif dalam mengurangi respon

simpatis akibat laringoskopi, namun dengan resiko peningkatan efek samping.

Penggunaan dengan dosis yang lebih kecil 2.5 – 3 µg/kgBB dapat menurunkan

efek samping dengan kemampuan mengurangi setengah dari respon simpatis.20 Pada pasien dengan penyakit arteri koroner, tindakan induksi dan intubasi trakhea

merupakan saat resiko terbesar terjadinya iskemi miokard. Pemberian fentanyl

dosis tinggi sering digunakan pada pasien-pasien tersebut dan efektif dalam

mencegah peningkatan hemodinamik dan perubahan EKG saat dilakukan intubasi.

Namun pemakaian fentanyl dosis tinggi dapat menyebabkan waktu untuk pulih

sadar menjadi lebih lama dan sering dibutuhkan penggunaan dukungan pernafasan

paska pembedahan. Karena itu penggunaan fentanyl dosis tinggi tidaklah

dianjurkan pada pasien dengan penyakit arteri koroner yang menjalani

pembedahan yang singkat, ataupun yang membutuhkan penilaian status

neurologis paska pembedahan.12

Kauto dkk mengatakan fentanil 2 µg/kgBB secara signifikan mengurangi

peningkatan hemodinamik dan fentanil 6 µg/kgBB secara sempurna mencegah

peningkatan hemodinamik jika diberikan satu setengah dan tiga menit sebelum

intubasi, tetapi dosis ini dapat menimbulkan efek samping berupa bradikardi,

hipotensi, rigiditas otot dan terlambat pulih. Katoh dkk mengatakan fentanil 4

µg/kgBB lebih efektif dalam mengurangi peningkatan hemodinamik akibat

tindakan laringoskopi dan intubasi dibandingkan fentanyl 1 µg/kgBB dan 2

µg/kgBB.23

Malde A dan Sarode V, melakukan penelitian terhadap 90 pasien ASA 1, usia

18-65 tahun yang akan dilakukan pembedahan elektif dengan menggunakan

anastesi umum intubasi trakhea. Mereka membandingkan pemberian fentanyl 2

µg/kgBB yang diberikan 5 menit sebelum tindakan intubasi dan dibandingkan

(23)

intubasi. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa dengan pemberian fentanyl 2

µg/kgBB terbukti efektif dalam mengurangi respon pressor akibat tindakan

laringoskopi dan intubasi.6

Hassani V dkk, melakukan penelitian terhadap 37 pasien dengan penderita

hipertensi, ASA 2, umur 20-65 tahun yang menjalani operasi elektif. Mereka

membandingkan perubahan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi antara

pasien yang diberikan fentanyl 2 µg/kg BB dengan fentanyl 2 µg/kg BB +

lidokain 1.5 mg/kg BB yang diberikan 3 menit sebelum tindakan laringoskopi

dan intubasi. Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa fentanyl atau

fentanyl + lidokain efektif dalam mengurangi respon hemodinamik akibat

laringoskopi dan intubasi.3

Namun terdapat juga beberapa penelitian negatif tentang penggunaan fentanyl.

Helfman dkk mengatakan dengan pemberian fentanyl 200 µg tidak dapat

mengurangi peningkatan hemodinamik saat laringoskopi dan intubasi.6 Haidry MA dan Khan FA dari penelitiannya mendapati bahwa dengan pemberian

fentanyl 2 µg/kgBB pada pasien dewasa ASA 1 dan 2, yang diberikan 3 menit

sebelum intubasi, masih terjadi peningkatan tekanan darah sistolik sebesar 22.9%

dan peningkatan tekanan darah diastolik sebesar 27% setelah tindakan

laringoskopi dan intubasi dengan laringoskop Macintosh.38 Shah RB dkk, dari penelitiannya terhadap pasien usia 20-50 tahun ASA 1 dan 2 yang diberikan

fentanyl 2 µg/kgBB 3 menit sebelum induksi anastesi masih terjadi peningkatan

denyut jantung sebesar 21.1% setelah tindakan laringoskopi dan intubasi.43

Bajwa SJS dkk, melakukan penelitian pada 100 pasien asa 1 dan 2, umur

25-50 tahun yang menjalani operasi elektif. Dari penelitian mereka mendapati dengan

pemberian fentanyl 2 µg/kgBB yang diberikan 3 menit sebelum induksi, tidaklah

cukup untuk mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat tindakan

laringoskopi dan intubasi trakhea. Dari penelitian mereka terjadi peningkatan

tekanan darah dan peningkatan denyut jantung sebesar 15-25% setelah tindakan

laringoskopi dan intubasi.24

Shin HY dkk melakukan penelitian terhadap 150 pasien ASA 1 dan 2, usia

(24)

umum intubasi trakhea. Pasien tersebut dibagi dalam 5 kelompok yang

masing-masing kelompok diberikan lidokain 2 mg/kgBB 3 menit sebelum intubasi,

fentanyl 2 µg/kgBB 4 menit sebelum intubasi, nicardipin 30 µg/kgBB 2 menit

sebelum intubasi, esmolol 1 mg/kgBB 90 detik sebelum intubasi, dan kelompok

kontrol mendapatkan normal salin sebelum intubasi. Dari penelitiannya

mendapatkan hasil dengan pemberian fentanyl 2 µg/kgBB 3 menit sebelum

intubasi terjadi peningkatan denyut jantung sebesar 29.2%, peningkatan tekanan

arteri rerata 19.95% dan peningkatan RPP sebesar 47.47% (nilainya mencapai

14600) akibat tindakan laringoskopi dan intubasi.25

2.3.6.2. Lidokain

Lidokain telah digunakan sebagai obat anastesi dan analgesi selama lebih dari

setengah abad. Lidokain pertama kali dibuat oleh Logfren pada tahun 1943 dan

telah digunakan bertahun-tahun sebagai obat anatesi lokal. Lidokain merupakan

obat anestesi lokal dari golongan amida. Selain sebagai obat anastesi lokal,

lidokain juga dipakai oleh ahli anastesi untuk penanganan aritmia yang terjadi saat

tindakan pembedahan. Sejak tahun 1963 lidokain digunakan untuk penanganan

aritmia pada saat dan sesudah tindakan pembedahan jantung. Sejak saat itu

lidokain telah digunakan secara luas secara intravena sebagai penanganan aritmia

jantung akibat infark miokard akut.44,45,46

2.3.6.2.1. Struktur kimia

Struktur kimia lidokain terdiri dari gugus aromatik (2,6-xylidine) yang

berpasangan dengan diethylglycine melalui ikatan amida. Lidokain merupakan

basa lemah dengan pKa 7.85.45

2.3.6.2.2. Mekanisme kerja

Lidokain merupakan anastesi lokal golongan amida yang bekerja menghambat

voltage gated sodium channels pada membran sel neuron paska sinaptik yang akan mencegah terjadinya depolarisasi dan menghambat munculnya impuls pada

(25)

sensorik, sedangkan pada konsentrasi yang besar lidokain akan memberi efek

yang lebih luas. Lidokain juga memiliki efek anti inflamasi dan imunomodulasi.

Bila dibandingkan dengan obat lain pada kelasnya, lidokain memiliki mula kerja

yang cepat dan masa kerja yang tergolong menengah (intermediate).46

Gambar 2.13 : Struktur kimia lidokain44

2.3.6.2.3. Farmakokinetik dan farmakodinamik

Lidokain didistribusikan keseluruh tubuh setelah pemberian secara intravena,

dengan volume distribusi pada dewasa 0.7-2.7 l/kg.46 Pemberian lidokain secara intravena akan mencapai kadar terapi dalam 1-2 menit.45 Lidokain dapat menembus plasenta dan juga sawar darah otak. Pada kadar terapi, 60-80%

lidokain berikatan dengan protein, utamanya berikatan dengan alpha-1-acid

glycoprotein. Dosis lidokain yang menimbulkan efek analgesia belumlah

diketahui secara pasti, namun dari beberapa penelitian menunjukkan kadar pada

plasma yang lebih rendah untuk penanganan aritmia (1.5-5 µg/ml) dan jauh

dibawah kadar toksik (6 µg/ml).46 Lidokain intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB, menghasilkan kadar lidokain plasma sebesar 3 µg/ml, dan dapat menekan refleks

batuk. Namun durasi Lidokain intravena adalah pendek (5-20 menit).47

Lidokain utamanya dimetabolisme di hati, dengan proses degradasi

utamanya adalah konversi menjadi monoethylglycinexylidide (MEGX) oleh

oksidatif N-deethylation, dan akan dimetabolisme lebih jauh glycinexylidide (GX).

Kedua senyawa tersebut merupakan senyawa yang aktif, namun potensinya tidak

sama dengan lidokain. Setelah pemberian lidokain secara intravena, konsentrasi

(26)

lidokain yang diberikan. Baik lidokain dan metabolitnya diekskresikan melalui

ginjal.46 Sekitar 10% dari dosis lidokain yang diberikan akan diekskresikan melalui urin dalam bentuk yang tidak berubah, bergantung pada pH urin.45,46

Clearance dari lidokain adalah 0.95 l/menit.44 Nilai rata-rata waktu paruh lidokain adalah 1.5-2 jam, namun dapat memanjang pada pasien-pasien yang mendapat

infus lidokain lebih dari 24 jam.46 Penyakit hati ataupun penurunan aliran darah hati dapat menurunkan laju metabolisme dari lidokain, waktu paruh lidokain bisa

mencapai lebih dari dua kali lipat dari orang dewasa yang sehat.44,46 Disfungsi ginjal dapat menyebabkan terjadinya akumulasi dari MEGX dan GX. Lidokain

tidak dapat dihilangkan melalui dialisa.46

2.3.6.2.4. Toksisitas lidokain

Tanda awal toksisitas lidokain adalah eksitasi susunan saraf pusat, gugup, kepala

terasa ringan atau pusing, cemas, tinnitus, pandangan kabur atau pandangan

ganda, rasa panas ataupun rasa dingin, ataupun mati rasa, twitching, tremor,

muntah. Waktu terjadinya eksitasi susunan saraf pusat bisa singkat pada beberapa

pasien, namun ada juga yang tidak mengalami fase tersebut dan langsung terjadi

gejala-gejala depresi susunan saraf pusat. Pasien juga dapat mengalami takipnea,

takikardi, demam, dan metabolic asidosis. Gejala-gejala dapat berlanjut pada

konsentrasi yang lebih tinggi (> 5 µg/ml), berupa kejang tonik-klonik, tekanan

darah dan denyut jantung yang labil, depresi nafas, dan sistem kardiovaskular

menjadi kolaps.46

Pasien-pasien yang mengalami gejala-gejala awal toksisitas haruslah

dikurangi pemakaian dari infus lidokain. Bila tidak juga ada perbaikan dari gejala

yang terjadi, maka infus lidokain haruslah dihentikan. Pasien dengan gejala yang

berat, maka pemakaian lidokain haruslah segera dihentikan dan diberikan terapi

suportif. 46 Penanganan terhadap gejala-gejala toksisitas pada susunan saraf pusat dapat diberikan sedatif. Kejang dapat diberikan penanganan dengan barbiturat

ataupun diazepam.45

Pemberian emulsi lipid intra vena merupakan cara yang efektif dalam

(27)

and Pain Medicine (ASRA) menganjurkan pemberian emulsi lipid pada

pasien-pasien yang mengalami toksisitas anastesi lokal yang diikuti dengan penanganan

jalan nafas, pemberian benzodiazepin untuk penanganan kejang, dan

mengendalikan aritmia jantung. Panduan dari ASRA menganjurkan bolus emulsi

lipid 20% sebanyak 1.5 ml/kgBB yang diikuti pemberian secara infus 0.25

ml/kgBB/menit dengan penyesuaian yang bergantung pada respon pasien.46

2.3.6.2.5. Penggunaan Klinis

Lidokain telah digunakan sebagai anastesi lokal dan sebagai analgetik selama

lebih dari setengah abad. Lidokain telah dipakai dengan berbagai metode

pemberian seperti intravena, intramuskular dan topikal.46 Lidokain telah lama digunakan untuk mengurangi respon kardiovaskular akibat intubasi. Lidokain

bekerja dengan menghambat sodium channels pada membran sel saraf,

mengurangi sensitifitas otot jantung tehadap impuls listrik, dapat mendepresi

jantung dan memiliki kemampuan melakukan vasodilatasi. Lidokain juga

menekan refleks saluran nafas.27

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat efek dari lidokain untuk

mengurangi respon peningkatan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi.

Lidokain telah dicoba dengan berbagai bentuk antara lain gel, semprotan dan

inhalasi sebelum tindakan induksi anastesi. Beberapa penelitian menunjukkan

bahwa lidokain memang memberikan efek dalam mengurangi respon peningkatan

hemodinamik.6 Penelitian yang dilakukan Mohseni G dkk menyatakan bahwa pemberian lidokain 1.5 mg/kgBB yang diberikan 90 detik sebelum tindakan

laringoskopi dan intubasi lebih efektif mengurangi peningkatan hemodinamik

dibandingkan dengan pemberian nifedipin sublingual.28 Sukron dkk menyatakan pemberian lidokain 1.5 mg/kgBB intravena sebelum tindakan laringoskopi dan

intubasi dapat mengurangi gejolak kardiovaskular.2 Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Gupta R dkk, menyatakan bahwa pemberian lidokain 1.5

mg/kgBB yang diberikan 1 menit sebelum tindakan intubasi efektif dalam

mengurangi peningkatan tekanan darah sistolik (TDS), tekanan darah diastolik

(28)

Rosen menulis bahwa dosis profilaksis dengan lidokain 1.5 mg/kgBB intravena 3

menit sebelum intubasi memberikan hasil yang optimal. Tidak ada penelitian yang

menunjukkan akibat yang berbahaya pada pemberian profilaksis lidokain sebelum

intubasi.6

Gupta R dkk melakukan penelitian pada 120 pasien asa 1 dan 2, usia 18-65

tahun yang dilakukan tindakan pembedahan elektif. Mereka membandingkan efek

diltiazem 0.2 mg/kgBB (kelompok D), lidokain 1.5 mg/kgBB (kelompok L),

diltiazem 0.2 mg/kgBB + lidokain 1.5 mg/kgBB dalam mengurangi respon

peningkatan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi. Obat-obat tersebut

diberikan satu menit sebelum tindakan laringoskopi. Setiap pasien diberikan

premedikasi midazolam 1 mg 5 menit sebelum induksi dan fentanyl 2 µg/kgBB 2

menit sebelum induksi. Dari hasil penelitian mereka menyatakan bahwa baik

pemberian lidokain ataupun diltiazem efektif dalam mengurangi respon

peningkatan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi, sedangkan

penggabungan diltiazem dan lidokain terlihat lebih efektif dari pemberian

diltiazem tunggal ataupun lidokain tunggal. 27

Namun beberapa penelitian mempertanyakan efek dari lidokain tersebut. Sing

dkk, Van den Berg dkk, dan Kindler dkk melakukan penelitian terhadap

pemberian lidokain 1.5 mg/kgBB intravena ternyata tidak efektif mengurangi

respon peningkatan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi. Kemudian

pada dua penelitian yang berbeda, menunjukkan bahwa pemberian lidokain 1.5

mg/kgBB dan 2 mg/kgBB tidak efektif dalam mengurangi respon peningkatan

hemodinamik saat rapid sequence induction.6

Valeshabad AK dkk melakukan penelitian terhadap 62 pasien asa 1 dan 2, usia

20-60 tahun yang menjalani tindakan pembedahan ginekologi elektif. Mereka

membandingkan pemberian propacetamol sebanyak 2 g yang dicampurkan ke

dalam 100 ml normal salin (diberikan 1 jam sebelum induksi) dengan lidokain

1.5 mg/kgBB (diberikan 2 menit sebelum induksi) dalam hal mengurangi respon

peningkatan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi. Sebelum induksi

seluruh pasien diberikan premedikasi midazolam 0.02 mg/kgBB dan fentanyl 2

(29)

mengurangi efek peningkatan denyut jantung bila dibandingkan dengan lidokain.

Propacetamol dan lidokain tidak efektif dalam mengurangi peningkatan tekanan

darah dan peningkatan tekanan arteri rerata akibat laringoskopi dan intubasi.48

2.3.6.3. Magnesium Sulfat

Magnesium Sulfat merupakan obat yang sering digunakan pada penanganan

eklampsi dan profilaksis eklampsi pada pasien-pasien dengan preeklampsi berat.

Magnesium sulfat pertama kali digunakan untuk mencegah kejang pada eklampsi

pada tahun 1906 yang disuntikkan secara intratekal. Penyuntikan magnesium

sulfat secara intramuskular untuk mencegah kejang rekuren pada pasien eklampsi

dilakukan pada tahun 1926, dan penyuntikan secara intravena dilakukan pada

tahun 1933.49

2.3.6.3.1 Fisiologi Magnesium

Magnesium (Mg) merupakan kation yang terpenting keempat didalam tubuh

(setelah fosfor, kalsium dan kalium), dan merupakan kation kedua terpenting di

dalam sel (setelah kalium)50,51,52. Magnesium di dalam tubuh terdistribusi pada tulang 53%, pada sel otot 27% dan pada jaringan lunak 19%51. Dari total magnesium tubuh, hanya sekitar 1% magnesium yang terdapat pada cairan ekstra

seluler50,51,53,54, dan sekitar 0.3% darinya dijumpai didalam plasma51,53. Konsentrasi total magnesium plasma normal berkisar 1.5-2.1 mEq/L (1.8-2.5

mg/dl atau 0.75-1.05 mmol/L)54, dimana 33% berikatan dengan protein (utamanya albumin), 7% membentuk senyawa kompleks dengan anion (biasanya sitrat dan

fosfat), dan 60% dalam bentuk terionisasi51,53. Bentuk yang aktif adalah yang terionisasi54.

Magnesium mempunyai pengaruh yang besar terhadap transport ion pada

membran sel jantung, ikut berperan dalam mengaktifkan sekitar 300 reaksi

enzimatis, termasuk enzim-enzim yang berperan dalam metabolisme energi dan

(30)

neuronal, pengendalian tonus vasomotor, eksitabilitas jantung, dan pelepasan

neurotransmiter30,35,51.

Adenosin trifosfat (ATP) dapat bekerja bila berikatan dengan magnesium.

Magnesium merupakan regulator esensial bagi kalsium untuk masuk ke dalam sel

dan bekerja di dalam sel50. Magnesium adalah antagonis fisiologis dari kalsium35,50,51,54. Pelepasan asetilkolin pada presinaptik bergantung pada kerja dari magnesium. Magnesium dapat memberi efek analgesik melalui kerjanya

sebagai antagonis NMDA reseptor. Magnesium juga dapat menyebabkan

vasodilatasi sistemik dan koroner serta dapat mengurangi reperfusion injury.50 Konsentrasi normal magnesium pada plasma diperoleh dan dijaga melalui

penyerapan dari usus halus dan ekskresi dari ginjal. Kelainan dari konsentrasi

magnesium plasma dan seluler biasanya bersamaan dengan kelainan elektrolit

lainnya50. Hipomagnesemia bisa terjadi bersamaan dengan hipokalemia50,51,52, hipofosfatemia51, hiponatremia dan hipokalsemia51,52.

2.3.6.3.1.1. Hipermagnesemia

Penyebab peningkatan kadar Mg2+ dalam plasma seringkali iatrogenik oleh karena

asupannya yang berlebihan (antasida atau laksatif yang mengandung magnesium,

nutrisi parenteral), terutama pada pasien dengan gangguan ginjal (GFR < 30

ml/menit). Ada juga penyebab lainnya antara lain insufisiensi adrenal, hipotiroid,

rhabdomiolisis, dan pemberian lithium. Pemberian magnesium sulfat pada

eklamsi dan preeklamsi juga dapat menyebabkan hipermagnesemia pada ibu dan

juga fetus55. Hipermagnesemia merupakan antagonis terhadap pelepasan dan efek asetilkolin pada neuromuscular junction. Akibatnya dapat terjadi depresi pada

fungsi otot rangka dan blokade neuromuskular.54,55

Tanda dari hipermagnesemia biasanya muncul dalam manifestasi

neurologis, neuromuskular dan kardiak seperti refleks yang menurun, sedasi,

kelemahan otot, dan depresi pernafasan. Hipotensi dapat terjadi oleh karena

vasodilatasi, bradikardi dan depresi miokard. Pada EKG dapat dijumpai P-R

(31)

Ketika kadar magnesium melebihi 10 mEq/L, dapat terjadi henti nafas (apnu),

kelumpuhan, bahkan henti jantung (tabel 2.5)54.

Tabel 2.5 : Manifestasi dari perubahan konsentrasi magnesium plasma54 Konsentrasi Mg

Pada hipermagnesemia ringan penanganannya dengan menghentikan

sumber asupannya (biasanya antasida)55. Pada kasus hipermagnesemia yang relatif tinggi dengan adanya tanda klinis toksisitas dari magnesium dapat diberikan

kalsium glukonas (10-15 mg/kgBB intra vena). Juga diberikan loop diuretik dan

pemberian cairan untuk meningkatkan pengeluaran magnesium melalui urin (pada

pasien dengan fungsi ginjal yang normal)50,55. Pada pasien dengan gangguan ginjal kemungkinan diperlukan juga tindakan dialisa. Pada toksisitas magnesium

yang berat kemungkinan dibutuhkan dukungan dengan ventilator dan juga

(32)

2.3.6.3.1.2. Hipomagnesemia

Hipomagnesemia selalu berhubungan dengan defisiensi dari komponen intra sel

lainnya seperti kalium dan fosfor. Sering ditemukan pada pasien-pasien yang

menjalani pembedahan kardiotoraks ataupun abdomen55. Dikatakan hipomagnesemia bila konsentrasi magnesium plasma kurang dari 0.7 mmol/L53. Defisiensi magnesium terjadi oleh karena kurangnya asupan, berkurangnya

penyerapan dari saluran cerna atau peningkatan ekskresi pada ginjal (tabel 6)53,55. Obat-obatan yang dapat menyebabkan pembuangan magnesium antara lain etanol,

teofilin, diuretik, cisplatin, aminoglikosida, siklosporin, ampoterisin B,

pentamidin dan granulocyte colony stimulating factor55.

Tabel 2.6 : Penyebab hipomagnesemia55

(33)

Kebanyakan pasien hipomagnesemia itu tanpa gejala apapun, namun

terkadang dapat juga terjadi anoreksia, kelemahan otot, fasikulasi, paraestesia,

kebingungan, ataksia, dan kejang. Hipomagnesemia sering terjadi bersamaan

dengan hipokalsemia (terganggunya sekresi hormon paratiroid) dan hipokalemia

(karena pembuangan K+ dari ginjal). Hipomagnesemia juga dapat meningkatkan

insidensi atrial fibrilasi.55

Hipomagnesemia yang tanpa gejala dapat diberikan penanganan secara oral

ataupun intramuskular55, namun pemberian secara intramuskular sangatlah nyeri52. Manifestasi yang berat seperti bila adanya kejang harus diberikan magnesium sulfat intravena 1-2 g (8-16 mEq atau 4-8mmol) yang diberikan

perlahan selama 15-60 menit52 (1 g magnesium sulfat = 4 mmol = 8 mEq = 98 mg magnesium)51.

2.3.6.3.2. Indikasi Pemakaian Magnesium Sulfat

Penanganan fibrilasi ventrikel, takikardi ventrikel, torsades de pointes,

paroxysmal atrial tachycardia, miokard infark akut, asma, pencegahan dan

penanganan kejang pada preeklampsi-eklampsi, pengendalian kejang pada

epilepsi, penanganan defisiensi magnesium akut, dan pencegahan terhadap

hypomagnesemia.56

2.3.6.3.3. Farmakokinetik

Magnesium sulfat bila diberikan secara intravena maka mula kerjanya segera

setelah penyuntikan, efek puncak tercapai dalam 15 menit dan masa kerja sekitar

30 menit.56,57 Waktu paruh magnesium sulfat adalah 4 jam pada pasien dengan fungsi ginjal yang normal, bila terjadi penurunan laju filtrasi glomerular maka

waktu paruhnya akan meningkat.49

Dari telaah kritis terhadap berbagai penelitian terhadap kemampuan

analgetik magnesium sulfat dengan menggunakan berbagai dosis (termasuk dosis

total hingga 16 gram) tidak ada yang dilaporkan memiliki efek samping yang

serius. Pemberian magnesium sulfat dengan dosis 50 mg/kg dapat menaikkan

(34)

berkenaan dengan hipermagnesemia, hanya ada gejala minor yang singkat yang

dilaporkan oleh beberapa pasien, seperti rasa panas atau rasa terbakar pada lengan

yang diberikan infus magnesium sulfat.58 Rasa panas saat penyuntikan bergantung pada jumlahnya dalam satu satuan waktu. Efek ini dapat dikurangi dengan

penyuntikan dalam waktu yang lebih lama.57 Pada suatu penelitian yang menggunakan magnesium sulfat 60 mg/kg sebelum tindakan intubasi, kemudian

diukur kadar magnesium plasma setelah intubasi dan dijumpai peningkatan

menjadi 2.95±0.56 mmol/l (basal 0.81±0.31 mmol/l).59

Pada pemberian magnesium sulfat 4 – 6 g, maka kadar plasma akan segera

meningkat dan hanya akan bertahan sementara pada kadar 2.1-3.8 mmol/l, dan

akan menurun kadarnya menjadi 1.3-1.7 mmol/l dalam 60 menit, dan dalam 90

menit sekitar 50% magnesium sulfat yang diberikan akan masuk ke dalam tulang

dan sel-sel.60

Ekskresi magnesium hampir seluruhnya melalui ginjal, dan setelah 4 jam

sekitar 50% magnesium yang diberikan akan di ekskersikan melalui urin.

Bersihan ginjal terhadap magnesium akan meningkat dengan meningkatnya kadar

plasma. Dalam keadaan adanya oliguria ataupun gagal ginjal, dosis harus

dikurangi ataupun dihentikan dan kadar plasma harus sering dipantau.60

2.3.6.3.4. Penggunaan Klinis

Magnesium merupakan obat dengan aplikasi klinis yang luas, baik dalam bidang

anastesi, perawatan intensif dan obstetri30. Dalam bidang anastesi, magnesium telah dilaporkan kegunaannya dalam mengurangi kebutuhan obat anastesi,

meredam nosisepsi, menumpulkan respon kardiovaskular akibat laringoskopi dan

intubasi, dan berpotensiasi dengan pelumpuh otot55.

Magnesium diduga berperan dalam hampir seluruh sistem fisiologis.

Peranan magnesium tersebut melalui beberapa mekanisme kerja, yaitu kalsium

antagonis pada calcium channels, regulasi perpindahan energi (seperti produksi

dan penggunaan ATP, mengendalikan glikolisis dan siklus Krebs pada fosforilasi

oksidatif) dan stabilisasi ataupun penutupan dari membran sel. Karena kerja dari

(35)

sistem saraf pusat dan perifer, kardiovaskular, pernafasan, imunologi, endokrin,

dan sistem reproduksi.51

Kalsium dan magnesium memiliki efek yang saling bertolak belakang pada

otot. Hipomagnesemia menstimulasi terjadinya kontraksi, sedangkan

hipokalsemia menyebabkan relaksasi. Hipomagnesemia menyebabkan calcium

channels terbuka, sedangkan konsentrasi magnesium yang tinggi akan

menghambat hal tersebut. Magnesium berkerja secara kompetitif dalam

menghalangi masuknya kalsium pada ujung presinap. Konsentrasi magnesium

yang tinggi akan mengurangi pelepasan asetilkolin, sehingga akan menyebabkan

perubahan transmisi neuromuskular. Magnesium mengurangi efek asetilkolin

pada reseptor postsinap otot sehingga meningkatkan ambang eksitasi axonal.

Hipomagnesmia akan menyebabkan hipereksitabilitas dari neuromuskular,

sementara hipermagnesemia dapat menyebabkan kelemahan neuromuskular yang

bisa terlihat dari berkurangnya atau bahkan menghilangnya refleks tendon.

Berlebihnya konsentrasi magnesium pada serum dapat menyebabkan

penghambatan pelepasan katekolamin dari ujung saraf adrenergik, medula adrenal

dan serat-serat simpatis postganglionik adrenergik.52

Peranan magnesium dalam menumpulkan respon intubasi juga telah

berkembang30. Magnesium memiliki efek vasodilatasi melalui kerjanya pada pembuluh darah dengan cara menghalangi masuknya kalsium pada membran otot

polos pembuluh darah, dan selain itu magnesium juga memiliki efek anti

adrenergik yang menghambat pelepasan katekolamin, sehingga dapat mengurangi

tonus pembulus darah perifer dan mengurangi peningkatan hemodinamik akibat

intubasi30,51,61. Laringoskopi dan intubasi dapat menimbulkan gejolak hemodinamik yang disebabkan oleh respon aktifitas simpatis dan pelepasan

katekolamin2,52. Magnesium dapat menjaga hemodinamik tetap stabil dengan menghambat pelepasan katekolamin dari medula adrenal dan ujung saraf perifer

adrenergik, penghambatan pada reseptor katekolamin, vasodilatasi, dan juga

antiaritmia53. Magnesium sulfat juga memiliki efek analgesik dengan cara menghalangi calcium channels, dan terdapat juga hipotesis yang menyatakan

(36)

Kemampuan magnesium tersebut diperantarai oleh berbagai mekanisme, yang

mekanisme utamanya oleh karena sifatnya sebagai antagonis kalsium, dan telah

diketahui bahwa kalsium memiliki peranan utama dalam hal pelepasan

katekolamin dari medula adrenal dan ujung saraf adrenergik.30,51 Dari penelitian yang telah dilakukan dengan berbagai dosis magnesium sulfat untuk mengurangi

peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi, terlihat

bahwa magnesium sulfat lebih efektif daripada lidokain30.

Pada suatu penelitian, 2 kelompok pasien diberikan thiopental dan

suksinilkolin dengan atau tanpa magnesium sulfat 60 mg/kgBB saat dilakukan

induksi anastesi. Hasilnya adalah kelompok pasien yang diberikan magnesium

sulfat menunjukkan peningkatan denyut jantung dan peningkatan tekanan darah

sistolik yang lebih rendah setelah tindakan intubasi. Demikian juga konsentrasi

epinefrin dan norepinefrin dalam plasma lebih rendah pada kelompok yang

diberikan magnesium sulfat.52

Shin YH dkk, melakukan penelitian pada 200 pasien ASA 1 dan 2, yang

menjalani operasi elektif dengan anastesi umum, untuk menilai efek nyeri

penyuntikan rocuronium dan perubahan hemodinamik akibat laringoskopi dan

intubasi. Pasien-pasien tersebut dibagi dalam 4 kelompok, kelompok 1

mendapatkan 5 ml normal salin, kelompok 2 mendapatkan magnesium sulfat 5

mg/kgBB, kelompok 3 mendapatkan magnesium sulfat 10 mg/kgBB, dan

kelompok 4 mendapatkan magnesium sulfat 20 mg/kgBB, yang diberikan

sebelum penyuntikan rocuronium. Induksi anastesi dengan propofol 2 mg/kgBB,

refleks bulu mata menghilang, kemudian diberikan normal salin ataupun

magnesium sulfat (5, 10, 20 mg/kgBB sesuai kelompoknya) yang disuntikkan

perlahan selama 1 menit, sebelum penyuntikan rocuronium 0.6 mg/kgBB. Saat

penyuntikan rocuronium dinilai respon pasien terhadap adanya rasa nyeri ataupun

rasa tidak nyaman. Setelah penyuntikan rocuronium, kemudian diberikan ventilasi

dengan oksigen 100% dan sevofluran selama 90 detik, dan kemudian dilakukan

tindakan laringoskopi dan intubasi. Dari hasil penelitian tersebut didapati hasil

bahwa pemberian magnesium 10 mg/kgBB dan 20 mg/kgBB sebelum

(37)

mengurangi peningkatan tekanan darah segera setelah tindakan laringoskopi dan

intubasi, namun tidak dapat mencegah peningkatan denyut jantung akibat

tindakan laringoskopi dan intubasi. Oleh karena itu mereka menyarankan

penelitian lanjutan untuk mendapatkan dosis yang optimal dalam menghambat

perubahan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi. Pemberian magnesium

sulfat secara intravena diduga dapat menyebabkan rasa perih, namun dalam

penelitian ini penyuntikan magnesium sulfat secara perlahan selama 1 menit tidak

menunjukkan adanya rasa perih saat penyuntikan.62

Nooraei N dkk, melakukan penelitian terhadap 60 pasien ASA 1 dan 2,

umur 20-40 tahun, yang menjalani operasi elektif. Mereka membandingkan

perubahan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi antara pasien yang

mendapatkan magnesium sulfat 60 mg/kgBB (berdasarkan Lean Body Mass)

dengan lidokain 1.5 mg/kgBB yang diberikan sebelum tindakan laringoskopi dan

intubasi. Dari hasil penelitian mereka menyimpulkan bahwa pemberian

magnesium sulfat lebih efektif dibandingkan dengan lidokain dalam mengurangi

peningkatan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi.29

Panda NB dkk, melakukan penelitian terhadap 80 pasien dewasa yang

menderita hipertensi terkontrol yang akan menjalani operasi elektif. Pasien-pasien

tersebut dibagi dalam 4 kelompok penelitian. Sebelum tindakan laringoskopi dan

intubasi dilakukan, kelompok I mendapatkan magnesium sulfat 30 mg/kgBB,

kelompok II mendapatkan magnesium sulfat 40 mg/kgBB, kelompok III

mendapatkan magnesium sulfat 50 mg/kgBB, dan kelompok IV mendapatkan

lidokain 1.5 mg/kgBB. Keseluruhan kelompok dinilai dan dibandingkan

perubahan hemodinamik akibat tindakan laringoskopi dan intubasi. Dari hasil

penelitian tersebut didapati ketiga dosis magnesium sulfat yang diberikan sebelum

induksi anastesi dapat mengurangi respon pressor akibat tindakan laringoskopi

dan intubasi. Mereka mengamati bahwa pemberian magnesium sulfat 30

mg/kgBB merupakan dosis yang optimal dalam mengurangi peningkatan tekanan

darah saat tindakan intubasi pada pasien-pasien hipertensi. Dengan dosis tersebut

(38)

lidokain 1.5 mg/kg. Dosis dari magnesium sulfat yang lebih dari 30 mg/kgBB

(39)

KERANGKA TEORI

Gambar 2.14 : Kerangka Teori

LARINGOSKOPI DAN INTUBASI

STIMULASI SIMPATIS

DAN SIMPATO ADRENAL

PELEPASAN KATEKOLAMIN STIMULI NOKSIUS SALURAN NAFAS

RESPON HEMODINAMIK

- Peningkatan Tekanan Darah Sistolik (TDS) - Peningkatan Tekanan Darah Diastolik (TDD) - Peningkatan Tekanan Arteri Rerata (TAR) - Peningkatan Denyut Jantung (DJ)

(40)

KERANGKA KONSEP

Gambar 2.15 : Kerangka konsep

Fentanyl 2µg/kg +

MgSO4 30 mg/kg

Fentanyl 2µg/kg +

Lidokain 1.5 mg/kg

RESPON HEMODINAMIK

- Tekanan darah sistolik (TDS) - Tekanan darah diastolik (TDD) - Tekanan arteri rerata (TAR) - Denyut jantung (DJ)

-Rate Pressure Product (RPP) Anestesi

Umum

Gambar

Gambar 2.1 :  Anatomi saluran pernafasan atas (potongan sagital)32
Gambar 2.3 : Struktur tulang rawan laring32
Gambar 2.4 : Persarafan sensorik saluran nafas1
Tabel 2.1 : Persarafan motorik dan sensorik laring21
+7

Referensi

Dokumen terkait

H.M SOLEH NAIM, SE,

pengontrolan negara terhadap bentuk-bentuk protes yang nyata, LSM di Indonesia lebih memilih untuk bergerak di bawah payung slogan-slogan pembangunan pemerintah sambil

Bank Tabungan Negara (persero) Tbk. Syariah Semarang.Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif.Alat analisa yang digunakan adalah analisis regresi

Pada Gambar 1 dapat dilihat pengaruh dari konsentrasi plasticizer dan penambahan filler terhadap kuat tarik yang dimiliki bioplastik.. Gambar 1 Pengaruh konsentrasi plasticizer

Hasil asuhan kebidanan secara komprehensif pada Ny “S” sela ma kehamilan trimester II dengan nyeri punggung sudah teratasi, pada persalinan dengan persalinan

Mikropropagasi atau perbanyakan secara in vitro merupakan salah satu metode perbanyakan secara vegetatif yang dapat menghasilkan bibit dalam jumlah banyak dalam waktu

Mulai menggeliatnya keinginan masyarakat yogyakarta dalam bersepeda / tidak terlepas dari sejumlah toko dan tempat yang menjual alat transportasi ramah lingkungan ini // Salah

Penurunan kinerja INCO pada 1H17 tersebut disebabkan oleh kondisi harga nikel yang mengalami penurunan sehingga Perseroan mengalami kerugian kotor pada 1H17