• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI WANPRESTASI

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Peneliti sangat menyadari bahwa penulisan tentang waralaba (franchise) sudah dilakukan sebelum penulisan ini dibuat. Maka dari itu, peneliti melakukan telaah pustaka untuk mencari literatur yang memiliki korelasi dengan penelitian yang akan dilakukan. Apabila dibandingkan akan terlihat perbedaannya sehingga tampak orisinalitas dari judul dan permasalahan yang akan dibuat oleh peneliti.36 Berkut adalah tinjauan kajian terdahulu yang peneliti temukan:

35 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009), h. 41.

36 I Made Pasek Diantha, Metode Penelitian Hukum Normatif, Cet. 2, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2017). h. 179.

1. Annisa Dyah Utami37 Pada skripsinya yang berjudul Konsep Franchise

Fee dan Royalty Fee pada Waralaba Bakmi Tebet Menurut Prnsip Syariah. Menerangkan bagaimana konsep ini ditinjau dari Hukum Islam. Skripsi ini dikeluarkan oleh Univrsitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada Tahun 2010. Skripsi ini membahas atau mengkaji bagaimana penerapan konsep Franchise Fee dan Royalty Fee dari Bakmi Tebet dengan dilihat dari perspektif Ekonomi dan penerapannya pada konsep Syariah.

Kesamaan dalam penulisan skripsi ini adalah sama-sama menganalisa tentang sistem dan penerapan dalam Franchise Fee dan Royalty Fee yang merupakan bagian-bagian dari hasil perjanjian waralaba. Perbedaan di dalam skripsi ini adalah peneliti berfokus pada kerugian hasil yang disepakati dalam perjanjian waralaba dari segi keseluruhan dengan meninjau dari aspek hukum positif yang berdasarkan pada Undang-Undang yang berlaku di Indonesia.

2. Adhitya Bagus Kuncoro38 Pada skripsinya yang berjudul Perlindungan

Hukum Hak Kekayaan Intelektual dalam Perjanjian Waralaba (Studi Perlindungan Hukum Bagi Franchisee dan Franchisor Pada Produk Bebek Goreng Haji Slamet). Menerangkan tentang perlindungan waralaba dalam konteks pembahasan Hak Atas Kekayaan Intelektual. Skripsi ini dikeluarkan oleh Universitas Muhammadiyah Surakarta pada tahun 2014. Skripsi ini membahas tentang bagaimana perlindungan hukum atas hak kekayaan intelektual yang harus dilakukan dalam konteks waralaba.

Kesamaan dalam penulisan skripsi terletak pada sama-sama menganalisa perlindungan hukum yang diberikan kepada pelaku

37 Annisa Dyah Utami, Konsep Franchse Fee dan Royalty Fee pada Waralaba Bakmi Tebet Menurut Prinsip Syariah, (Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010) Diakses pada tanggal 1 Agustus 2019 pukul 22.10 WIB.

38 Aditya Bagus Kuncoro, Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual dalam Perjnjian Waralaba (Studi Perlindungan Hukum Bagi Franchisee dan Franchisor Pada Produk Bebek Goreng Haji Slamet), (Skripsi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2014) Diakses pada tanggal 1 Agustus 2019 pukul 22.17 WIB.

34

waralaba namun dalam konteks Hak Atas Kekayaan Intelektual. Sedangkan perbedaan dalam skripsi ini terletak pada peneliti yang berfokus pada perlindungan terhadap kerugian materil yang didapat oleh pemberi waralaba.

3. Muhammad Taufiq Aldy39 Pada skripsinya yang berjudul Analisis

Hukum Pelaksanaan Perjanjian Franchise Sate Taichan Khas Senayan Menurut Hukum Perdata. Menerangkan tentang hak dan kewajiban dari para pihak dalam perjanjan waralaba. Skripsi ini dikeluarkan oleh Universitas Sumatera Utara pada tahun 2018. Skripsi ini membahas tentang upaya dalam menyelesaikan sengketa perjanjian waralaba.

Kesamaan dalam penulisan skripsi ini terletak pada sama-sama membahas tentang sengketa dalam waralaba, namun skripsi ini hanya membahas proses, langkah-langkah dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam perjanjian waralaba. Sedangkan letak perbedaan dengan skripsi peneliti adalah fokus penelitian peneliti yang menitikberatkan kepada perlindungan hukum yang didapatkan dari sengketa waralaba.

4. Luth Widya Utami Dewi, Ibrahim R.40 Pada Jurnalnya yang berjudul

Tanggung Jawab Hukum Atas Wanprestasi yang Dilakukan Oleh Para Pihak Dalam Perjanjian Waralaba. Menerangkan tentang wanprestasi waralaba dari segi umum. Jurnal ini dikeluarkan oleh Unversitas Udayana pada Tahun 2018. Jurnal ini membahas tentang tindak wanprestasi yang terjadi dalam perjanjian waralaba.

Kesamaan dalam penulisan ini memang sama-sama membahas tentang wanprestasi dalam waralaba, namun perbedaan dengan skripsi ini adalah skripsi ini hanya terfokus pada perlindungan hukum yang didapatkan oleh pemberi waralaba.

39 Muhammad Taufiq Aldy, Analisis Hukum Pelaksanaan Perjanjian Franchise Sate Taichan Khas Senayan Menurut Hukum Perdata, (Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2018) Diakses pada Tangal 1 Agustus 2019 pukul 22.32 WIB.

40 Luth Widya Utami Dewi, Ibrahim R., Tanggung Jawab Hukum Atas Wanprestasi yang Dilakukan Oleh Para Pihak Dalam Perjanjian Waralaba, (Jurnal Fakultas Hukum Universtas Udayana, 2018) Diakses pada tanggal 1 Agustus 2019 pukul 22.57 WIB.

35

BAB III

PERKARA MYSALON SEBAGAI BISNIS SALON BERBASIS WARALABA

A. Sejarah Waralaba

Franchise berasal dari Bahasa Perancis kuno yang berarti “bebas”. Konsep franchise berkembang di Jerman sekitar tahun 1840-an, dikenal sebagai hak khusus untuk menjual makanan dan minuman. Konsep franchise berkembang pesat di Amerika, dimulai pada tahun 1851 dimana perusahaan mesin jahit Singer membuat perjanjian secara tertulis, sehingga dapat disebut sebagai pelopor perjanjian franchise moderen.1

Isaac Singer, pembuat mesin jahit Singer sekaligus orang yang diketahui sebagai pelopor waralaba moderen yang memperkenalkan format bisnis waralaba ini di AS seperti yang disinggung barusan, menggunakan sistem waralaba untuk meningkatkan distribusi penjualan mesin jahitnya. Kemudian, caranya ini diikuti oleh pewaralaba lain yang lebih sukses, John S Pemberton, pendiri Coca Cola. Namun, menurut sumber lain, yang mengikuti Singer kemudian bukanlah Coca Cola, melainkan sebuah industri otomotif AS, General Motors Industry pada tahun 1898. Contoh lain di AS ialah sebuah sistem telegraf, yang telah dioperasikan oleh berbagai perusahaan jalan kereta api, tetapi dikendalikan oleh Western Union serta persetujuan eksklusif antar pabrikan mobil dengan penjual.

Setelah Perang Dunia II, di Amerika Serikat berkembang sistem waralaba generasi kedua, yang disebut sebagai entire business franchising. Dalam sistem yang semakin berkembang ini, ikatan perjanjian tidak lagi hanya mengenai satu aspek produksi, tetapi cenderung meliputi seluruh aspek pengoperasiaan perusahaan pemberi waralaba. Pemberi waralaba (franchisor) membawa satu paket prestasi kepada penerima waralaba (franchisee) berupa bentuk atau dekorasi

36

tempat usaha, konsep kebijakan perusahaan, dan sistem manajemen dan organisasi perusahaan.

Perkembangan sistem waralaba yang demikian pesat terutama di Negara asalnya, Amerika Serikat, menyebabkan waralaba digemari sebagai suatu sistem bisnis di berbagai bidang usaha. Bisnis waralaba mencapai 35 persen dari keseluruhan usaha ritel yang ada di AS. Di Inggris, berkembangnya waralaba dirintis oleh J. Lyons melalui usahanya Wimpy and Golden Egg, pada tahun 1960-an. Bisnis waralaba tidak mengenal diskriminasi. Pemilik waralaba (franchisor) dalam menyeleksi calon mitra usahanya berpedoman pada keuntungan bersama.2

Waralaba saat ini lebih didominasi oleh waralaba rumah makan siap saji. Kecenderungan ini dimulai pada tahun 1919 ketika A&W Root Beer membuka restoran cepat sajinya. Pada tahun 1935, Howard Deering Johnson bekerjasama dengan Reginald Sprague untuk memonopoli usaha restoran modern. Gagasan mereka adalah membiarkan mitra mereka untuk mandiri menggunakan nama yang sama, makanan, persediaan, logo dan bahkan membangun desain sebagai pertukaran dengan suatu pembayaran.3

Franchise dengan cepat menjadi model yang dominan dalam mendistribusikan barang dan jasa di Amerika Serikat. Menurut The International Franchise Association, sekarang ini satu dari dua belas usaha perdagangan di Amerika Serikat adalah franchise. Franchise menyerap delapan juta tenaga kerja dan mencapai empat puluh satu persen dari seluruh 10 bisnis eceran di Amerika Serikat.4

Pada awal tahun 1990, International Labour Organization (ILO) pernah menyarankan Pemerintah Indonesia untuk menjalankan sistem franchise guna memperluas lapangan kerja sekaligus merekrut

2 Iswi Hariyani dan R. Serfianto, Membangun Gurita Bisnis Franchise: Panduan Hukum

Bisnis Waralaba (Franchise), (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia), h. 138.

3 Sonny Sumarso, Kewirausahaan, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 75.

4 Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisis Kasus, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 82.

tenaga ahli franchise untuk melakukan survei, wawancara, sebelum memberikan rekomendasi. Hasil kerja para ahli franchise tersebut menghasilkan “Franchise Resource Center” dimana tujuan lembaga tersebut adalah mengubah berbagai macam usaha menjadi franchise serta mensosialisasikan sistem franchise ke masyarakat Indonesia.5

Dengan bantuan International Labour Organization (ILO) dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia, kemudian didirikan Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) pada tanggal 22 November 1991. Pada tahun 1995 berdiri pula Asosiasi Restoran Waralaba Indonesia (ARWI) yang mengkhususkan diri di bidang usaha restoran. Asosiasi ini bertujuan mengembangkan sumber daya manusia berkualitas di bidang usaha retoran franchise serta mengembangkan informasi dan inovasi teknologi di bidang usaha restoran terutama mengenai teknologi makanan, peralatan masak, kemasan, kesehatan dan gizi, pengawetan, dan manajemen pelayanan.

Di Indonesia, lembaga waralaba dikenal sejak tahun 1970. Adalah pengusaha Es Teller 77 yang pertama-tama mempopulerkan lembaga waralaba di Indonesia. Pengusaha tersebut mempunyai cabang-cabang di semua kota di Indonesia.6 Namun perkembangan waralaba khususnya dikalangan usahawan lokal tidak begitu signifikan. Hanya sedikit pengusaha lokal yang menerapkan sistem waralaba dalam mengembangkan usahanya. Akan tetapi hal ini menjadi berbeda ketika Pemerintah Indonesia memberikan dukungan terhadap penerapan sistem waralaba dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba pada tanggal 18 Juni 1997.

Selain Peraturan tersebut, sistem waralaba di Indonesia juga mengeluarkan landasan hukum berupa Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia untuk

5 Heris Suhendar, dari artikel http://al-poenya.blogspot.com/2012/04/makalah-pelaksanaan-bisnis-waralaba.html. diakses pada tanggal 29 Juli 2020 pukul 20.21 WIB

6 Darmawan Budi Suseno, Waralaba Syariah: Risiko Minimal, Laba Maksimal, 100%

38

pertama kalinya dengan nomor 259/MPP/KEP/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Waralaba pada tanggal 30 Juli 1997.7

B. Profil MYSalon

MYSalon, dengan nama lengkap MY Salon Color Expert dengan nama perseroan PT MYSalon International ini Adalah sebuah perseroan yang didiridkan oleh Thomas Lie pada tahun 2008, yang sampai saat ini juga selaku Direktur Perseroan dari MYSalon dan kantor pusatnya terletak pada Blok M Square Lt.3 No. 9-12, Jl. Melawai V Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Perusahaan berbasis salon ini memiliki tujuan untuk mengambil segmen konsumen menengah, juga mengklaim bahwa mereka adalah satu-satunya salon di Indonesia yang menggunakan konsep franchise ini juga memiliki konsep yang cukup inovatif dalam pengelolaannya. Yaitu dengan menggunakan aplikasi online yang memungknkan karyawan dan pemilik salon berkerja sama secara fair (adil) dan transparan. Sistem dari aplikasi MYSalon diharapkan dapat menjamin karyawan-karyawannya agar dapat bekerja dengan bersungguh-sungguh dan dapat memastikan karyawannya mendapatkan hak nya dengan adil. Pada sisi lain, sistem dari aplikasi MYSalon juga dapat memastikan agar karyawannya dapat bekerja secara jujur agar tidak dapat merugikan pemilik salon.8

1. Syarat Pengajuan Kerjasama Waralaba Outlet MYSalon

Seperti yang telah dijelaskan sebelumya, MYSalon merupakan sebuah badan usaha komersial berbasis perawatan rambut (salon) yang memproklamirkan bahwa badan usaha tersebut merupakan satu-satunya salon yang membuka sistem kerjasama waralaba dengan cara

7 Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Waralaba, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 1.

menghubungi Ir. Thomas Lie selaku pemilik dari bisnis waralaba tersebut yang kontaknya bias ditemui pada situs resmi MYSalon. berikut adalah uraian persyaratan pengajuan kerjasama waralaba dari MYSalon:9

MYSalon menawarkan kerjasama dalam bentuk Franchise (Waralaba), dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Franchisor (Pemilik merk dan system/pewaralaba) adalah .PT My Salon International.

b. Franchisee (Terwaralaba) adalah Anda selaku pemilk modal.

Yang didapat oleh Franchisee:

a. Hak penggunaan merek MY SALON selama masa Perjanjian Waralaba.

b. Sistem Aplikasi Cabang MY SALON untuk registrasi karyawan, tamu, transaksi, dan lain nya secara online.

c. Sistem Aplikasi Owner MY SALON yang dapat dipakai oleh Franchisee untuk mengetahui aktivitas salonnya, secara online. d. Bantuan supervise selama masa pekerjaan fitting out (renovasi)

salon, sesuai standar MY SALON.

e. Rekruitmen dan Pelatihan karyawan selama masa Perjanjian Waralaba.

Yang dibayarkan oleh Franchisee:

a. Franchise Fee sebesar Rp. 77.000.000,- (tujuh puluh tujuh juta rupiah) untuk satu kali masa berlaku Perjanjian Waralaba, yaitu 5 (lima) tahun.

b. Royalty Fee sebesar 1% dari omzet salon. dibayarkan setiap bulan. c. Marketing Fee sebesar 1% dari omzet salon, dibayarkan setiap

bulan.

40

d. Biaya transportasi pengiriman Karyawan dan biaya Akomodasi (khusus luar Jawa).

Ruang Usaha:

a. Franchisee juga menyediakan (atau menyewa) Ruang Usaha dalam bentuk Ruko atau Kios di Mall.

b. Untuk Ruang Usaha dengan luas 50 m2, dapat diisi dengan 8 Cermin dan 3 Wasbak (tempat cuci rambut).

c. Perkiraan biaya Fitting Out dan Pengadaan Peralatan adalah sekitar Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah). Pekerjaan Fitting Out ini dapat dikerjakan sendiri oleh Franchisee.

Perihal Karyawan

a. Karyawan direkrut dan dilatih oleh Franchisor, dan dengan biaya yang ditanggung oleh Franchisor.

b. Untuk Ruang Usaha yang berlokasi di luar Jawa, pihak Franchisee membayar Biaya Transportasi dan Biaya Akomodasi karyawan. c. Karyawan memperoleh Komisi sesuai Peraturan Perusahaan, yaitu

30% - 40% dari nilai omzet nya. Karyawan tidak memperoleh gaji pokok.

d. Pembayaran Komisi Karyawan dilakukan oleh Franchisee, paling lambat setiap tanggal 5 bulan berikutnya, sesuai dengan angka yang tertera di fitur Remunerasi di System Aplikasi MY SALON.

Perihal Uang Omzet Salon:

a. PJO (Pejabat Omzet) adalah salah satu karyawan yang ditunjuk untuk rangkap sebagai penanggung jawab salon. PJO mendapat Tunjangan sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) per bulannya.

c. Franchisee berkewajiban untuk selalu memastikan uang setoran omzet memang sesuai dengan nilai omzet salon, yang dapat di cek di System Aplikasi Owner.

d. Uang Omzet Salon ini selanjutnya dipakai oleh Franchisee untuk membayar Biaya-Biaya Salon, diantaranya: sewa, service charge, listrik, air, kuota internet, komisi karyawan, bahan baku, royalty+marketing fee, pajak, dll.

Pajak Final 1%

MY Salon Cabang termasuk dalam kategori UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah), yang sesuai PP 46/2013 dikenakan Pajak Final 1% dari omzet bulanannya.

C. Kronologi Singkat dalam Isi Putusan Nomor 493/PDT/2018/PT.DKI

Perkara yang diselenggarakan di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta ini merupakan perkara lanjutan atau dalam istilah hukum dikenal sebagai Banding, yang mempertemukan antara kedua pihak yang berperkara antara Pembanding, yang pada persidangan sebelumnya adalah penggugat, adalah MYSalon. Sebuah badan hukum yang telah terdaftar di Kantor Merek Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI dengan No, IDM000031389 tertanggal 17 Maret 2005 yang bergerak dibidang salon berkedudukan di Blok M Square Lt.3 No. 9-12 diwakili oleh Thomas Lie selaku Direktur Perseroan ini berdiri sebagai Pembanding, berhadapan kembali dengan Ratnasari Lukitaningrum sebagai Terbanding yang berkedudukan di Komplek Permata Pekayon, Jl. Permata I Blok 1/6 RT004/001, selaku salah seorang yang melakukan kerjasama waralaba dengan Pembanding.

Pada tanggal 25 April 2015 terjadilah kesepakatan waralaba antara pihak MYSalon dengan Ratnasari Lukitaningrum untuk melakukan usaha kerjasama waralaba dimana Ratnasari Lukitaningrum dapat membuka dan menjalankan usaha salon dengan menggunakan merek dagang MYSalon

42

dibawah naungan Thomas Lie di lokasi yang telah disepakati. Lokasi tersebut terletak pada wilayah Jababeka dan wilayah Galaxi Bekasi.

Pada awalnya, kerjasama waralaba ini berjalan dengan baik. Namun hingga sampai awal Januari 2016, dimana pada kala itu Thomas Lie, selaku Direktur Perseroan dari MYSalon tersandung permasalahan hukum. Karena dasar tersebut, membuat Ratnasari lalai dengan kewajiban yang telah disepakati. Diantaranya adalah Ratnasari mulai lalai untuk menunaikan kewajiban membayar Royalty Fee yang telah disepakati. Sejak saat itu pula, pihak MYSalon mulai kesulitan untuk menemui Franchisee ini dikarenakan si Franchisee ini mulai menghindar ketika Franchisor hendak menanyakan kejelasan terkait perhitungan pendapatan usaha dari outlet MYSalon Jababeka per bulan Mei 2016 dengan biaya setoran bulanan sebesar Rp. 2.000.000,- (Dua Juta Rupiah) per bulannya.

Royalty Fee, berdasarkan dalam isi putusan adalah biaya berjalan atau periodik yang dihitung dari pendapatan outlet MYSalon Jababeka bulan berjalan yang harus dibayarkan kepada pemilik waralaba pada bulan berikutnya. Jadi, ketika pihak penerima waralaba tidak lagi membayar royalty fee kepada pemilik waralaba per bulan Juni 2016, jelas telah menunjukkan bahwa franchisee telah melakukan upaya cidera janji atau juga disebut wanprestasi sekaligus telah menunjukkan itikad tidak baik franchisee atas kewajiban pembayaran royalty fee kepada franchisor. Di lain tempat, seperti yang telah disinggung sebelumnya, kedua belah pihak juga bersepakat untuk membuka outlet MYSalon di wilayah Galaxy Bekasi, tepatnya di Komplek Ruko Taman Galaksi Indah, Blok A No. 09, Kota Bekasi yang pada awalnya kerjasama waralaba ini berjalan lancar hingga pada bulan Juni 2016, persis seperti halnya franchisee mulai lalai untuk menunaikan kewajibannya pada outlet MYSalon Jababeka.

Berdasarkan perhitungan yang terdapat pada catatan pembukuan pihak MYSalon, maka jumlah kewajiban Royalty Fee yang menjadi kewajiban yang harus ditunaikan Franchisee terhitung mulai bulan Juli 2016 sampai dengan bulan Desember 2016 adalah sebesar:

1. Juli 2016 sebesar Rp, 9.088.028.- 2. Agustus 2016 sebesar Rp. 4.687.311.- 3. September 2016 sebesar Rp. 4.254.639,- 4. Oktober 2016 sebesar Rp. 4.922.672,- 5. November 2016 sebesar Rp. 3.998.672,- 6. Desember 2016 sebesar Rp. 5.399.120,

Maka total Royalty Fee yang tertunggak mencapai harga Rp. 32.350.439,-

Mulai Januari 2017, franchisor kembali kehilangan akses untuk mengetahui pendapatan yang didapat pada outlet MYSalon Galaxi Bekasi dikarenakan franchisee selalu menghindar untuk melakukan komunikasi dengan staf MYSalon yang selama ini mengurus operasional dan perhitungan pendapatan setiap outlet MYSalon. Sehingga pihak MYSalon kesulitan untuk mencari tahu jumlah royalty fee yang harus dibayarkan franchisee dimulai pada bulan Januari 2017. Tetapi, merujuk pada rata-rata kewajiban royalty fee per bulan Desember 2016, maka angka yang dikenakan berkisar Rp. 5.391.793.- per bulannya.

Selain kewajiban untuk membayarkan royalty fee, franchisee juga memiliki kewajiban untuk melakukan pembayaran atas BPJS Tenaga Kerja, denda terhadap pegawai, terkait outlet MYSalon yang dijalankan oleh franchisee tersebut dan hingga saat ini franchisee juga telah tidak melaksanakan kewajibannya untuk melakukan pembayaran atas BPJS TK, denda, dan lain-lain terkait outlet MYSalon yang dijalankan oleh franchisee tersebut dan karenanya franchisee juga telah cidera janji atau wanprestasi.

Lalu, tindakan cidera janji yang dlakukan franchisee juga telah memperkerjakan pegawai outlet MYSalon yang dikelola oleh franchisee tersebut juga telah membuat omzet dari outlet MYSalon Galaxi yang terletak di Komplek Ruko Taman Galaxi Indah, Blok A No. 09, Kota Bekasi menjadi berkurang karena seharusnya pegawai yang bekerja pada outlet MYSalon Galaxi tersebut terdata pada sistem aplikuasi MYSalon

44

dari franchisor sehingga pegawai-pegawai yang tidak tegrdaftar pada pada sistem aplikasi franchisor, tidak dapat diketahui pekerjaannya yang juga menyebabkan tidak diketahuinya jumlah uang yang masuk pada outlet tersebut dan karenanya franchisor juga menjadi tidak mengetahui laporan keuangan pada outlet MYSalon tersebut.

Bahwa akibat dari tindakan wanprestasi franchisee tersebut, franchisor mengalami sebuah kerugigan yaitu tidak mengetahui laporan keuangan dari outlet MYSalon yanng terletak di Komplek Ruko Simprug Plaza Blok A3/12 Jl. Simprug Raya, Jababeka, kel. Kertajaya, kec. Cikarang Timur. Kab. Bekasi, Jawa Barat tersebut yang menyebabkan franchisor sudah tidak lagi mengetahui jumlah royalty fee yang harus ditagihkan franchisor kepada franchisee. Sehingga jumlah royalty fee yang harus dibayar franchisee kepada franchisor haruslah dihitung dari rata-rata tagihan bulan terakhir royalty fee yang telah dibayar franchisee berdasarkan perhitungan bulan Mei 2016, yaitu sebesar Rp. 2.000.000,- sehingga kerugian franchisor akibat tidak dibayarkannya royalty fee nya tersebut adalah sebesar Rp. 2.000.000,- x 13 bulan = Rp. 26.000.000,-. Dengan demikian, jelas bahwa akibat tindakan wanprestasi yang dilakukan franchisee yang tidak membayarkan royalty fee atas Outlet MYSalon yang terletak di Komplek Ruko Simprug Plaza Belok A3/12 Jl. Simprug Raya, Jababeka, kel. Kertajaya, kec. Cikarang Timur. Kab. Bekasi, Jawa Barat tersebut yang dikelola oleh franchisee ini, maka Tergugat berkewajiban untuk melakukan pembayaran atas royalty fee sebesar Rp. 26.000.000,- tersebut secara tunai dan sekaligus kepada franchisor.

Akibat dari sekian banyak tindakan wanprestasi yang dilakukan franchisee tersebut, franchisor belum menerima pembayaran royalty fee atas outlet MYSalon Yang Terletak di Komplek Ruko Taman Galaxi Indah, Blok A No. 0I9, Kota Bekasi sejak bulan Juli 2016 sampai bulan Desember 2016, yang jika ditotalkan mencapai sebesar Rp. 32.350.439,- juga akibat dari tindakan wanprestasi franchisee terseibut, franchisor juga

belum menerima pembayaran royalty fee atas outlet MYSalon Galaxi sejak bulan Januari 2017 sampai dengan bulan September 2017. Bahwa franchisor tidak dapat menghiutung jumlah royalty fee yang harus ditagihkan kepada franchisee sejak bulan Januari 2017 sampai dengan tanggal dilayangkannya gugatan ini karena franchisor sudah tidak lagi mengetahui laporan keuangan dari outlet MYSalon tersebut sehingga franchisor tidak dapat mengetahui jumlah royalty fee yang harus dibayarkan si franchisee kepada franchisor dan karenanya jumlah royalty fee yang harus dibayar franchisee kepada franchisor haruslah dihitung dari rata-rata tagihan bulan terakhir royalty fee yang harus dibayar franchisee, yaitu sebesar Rp. 5.391.739,- sehingga besar kerugian franchisor akibat tidak terbayarkannya royalty fee tersebut adalah sebesar Rp. 5.391.739,- x 8 bulan = Rp. 43.133.912,-.

Akibat dari tindakan wanprestasi franchisee tersebut, franchisee juga memiliki kewajiban untuk membayar kekurangan pembayaran atas BPJS TK, denda, dan lain-lain sebesar Rp. 4.589.200,-. Dengan demikian jelas bahwa akibat tindakan wanprestasi franchisee yang tidak membayarkan royalty fee dan pembayaran atas BPJS TK, denda, dan lain-lain terkait outlet MYSalon yang terletak di Komplek Ruko Taman

Dokumen terkait