• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjuangan Muhammad Natsir di Indonesia

BAB II KAJIAN TEORI

D. Perjuangan Muhammad Natsir di Indonesia

Pada tahun 1938, Muhammad Natsir mulai aktif di bidang politik dengan mendaftar dirinya menjadi anggota Partai Islam Indonesia (PII) cabang Bandung. Beliau menjabat ketua PII Bandung pada tahun 1940 hingga tahun 1942 dan bekerja di pemerintahan sebagai kepala Biro Pendidikan Kodya Bandung sampai tahun 1945 dan merangkap Sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta (Yusril Ihza Mahendra, 1994: 65)

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942-1945,

Jepang merasa perlu merangkul Islam, maka dibentuk Majelis Islam A‟la

Indonesia (MIAI), suatu badan federasi organisasi sosial dan organisasi politik Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, majelis ini berubah menjadi Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada tanggal 7 November 1945 (Yusril Ihza Mahendra, 1994: 65). Dan selanjutnya mengantarkan Muhammad Natsir sebagai salah satu ketuanya hingga partai tersebut dibubarkan.

Pada masa-masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, Muhammad Natsir tampil menjadi salah seorang politisi dan pemimpin

negara, sebagaimana diungkapkan Herbert Feith,” Natsir adalah salah

seorang menteri dan perdana menteri yang terkenal sebagai administrator

xxxviii

Feith, 1964: 146-176). Bahkan, Bung Karno mengakui kemampuan Muhammad Natsir sebagai administrator, demikian juga Bung Hatta.

Tampilnya Muhammad Natsir ke puncak pemerintahan tidak terlepasdari langkah strategisnya dalam mengemukakan mosi pada sidang parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 3 April 1950,

yang lebih dikenal dengan sebutan “Mosi Integral Muhammad Natsir”.

Sesudah Indonesia merdeka, beliau di percaya menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Muhammad Natsir saat duduk di pemerintahan era Soekarno, beliau bermaksud untuk menjadikan Islam sebagai dasar Negara.Polemik anatara Muhammad Natsir dengan Soekarno, khusus mengenai soal-soal kebangsaan dan kenegaraan.Dengan argumentasi jujur, tegas dan cerdas, kedua tokoh tersebut bertarung serta mengasah ketajaman pena dan pemikiran, berikut saling merumuskan penjelasan sekitar posisi dan sikap masing-masing. Tentu saja, mereka berangkat serta berada dalam titik tolak berbeda. Akan tetapi dengan perbedaan diantara keduanya tidak dibuktikan dengan kekuatan, namun dengan otak (100 Tahun Muhammad Natsir, 2008: 39).

Karena perbedaan pendapat dalam melaksanakan kebijaksanaan negara inilah, Soekarno tidak memberi kesempatan kepada Muhammad Natsir untuk membuktikan kepemimpinannya. Setelah dikepung secara psikologis oleh PNI, PKI dan Soekarno, kabinet Muhammad Natsir pun jatuh dalam waktu tujuh bulan.

xxxix

Persilangan pendapat keduanya itu berlangsung sejak lama, berawal dari kebiasaan Soekarno yang suka mengejek Islam. Muhammad Natsir yang pernah belajar agama pada Ahmad Hasan, Agus Salim dan Ahmad Sukarti, rupanya sangat tersinggung atas tulisan Soekarno yang melecehkan. Muhammad Natsir menanggapi melalui tulisan, tidak hanya dalam bahasa Indonesia, namun juga dalam bahasa Belanda. Untuk membuktikan bahwa Muhammad Natsir adalah seorang intelektual.

Muhammad Natsir dan Soekarno semakin sering bersilang pendapat. Sementara Soekrano semakin di puncak kekuasaan dan akrab dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), Muhammad Natsir kemudian menjaga jarak dengan Soekarno dan kian menyisih sambil tetap memimpin fraksi Masyumi di Parlemen 1950-1958. Perselisihan kian memuncak ketika Soekrano secara sepihak menguburkan semua partai di bawah timbunan demokrasi terpimpin.

Pada masa Demokrasi Terpimin Soekarno pada tahun 1958, beliau mengambil sikap menentang politik pemerintah. Keadaan ini mendorongnya bergabung dengan penentang lainnya dan membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), suatu pemerintahan tandingan di pendalaman Sumatra. Tokoh PRRI menyatakan bahwa pemerintah di bawah Presiden Soekarno saat itu secara garis besar telah menyeleweng dari Undang-Undang Dasar (UUD 1945). Sebagai akibat tindakan itu Muhammad Natsir dan tokoh PRRI lainnya yang didominasi anggota Masyumi, mereka ditangkap dan dimasukkan ke

xl

dalam penjara. Muhammad Natsir dikirim ke Batu, Malang (1962-1964), Syafruddin Prawiranegara dikirim ke jawa Tengah, Burhanuddin Harahap dikirim ke Pati, Jawa Tengah, dan Sumitro Djojo Hadikusomo dapat lari keluar negeri. Partai Masyumi dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1960. Muhammad Natsir dibbaskan pada bulan Juli 1966 setelah Pemerintahan Orde Lama digantikan oleh Pemerintahan Orde Baru (Thohir Luth, 1999: 25).

Lebih dari satu dasawarsa berselang, keduanya bertemu lagi dalam keadaan yang sama sekali berbeda. Natsir menjabat menteri penerangan dan Soekarno presiden dari negeri yang tengah dilanda pertikaian partai politik. Puncak kedekatan Soekarno-Natsir terjadi ketika sebagai ketua Fraksi Masyumi menyodorkan jalan keluar buat negeri yang terbelah-belah oleh model federasi. Langkah yang kemudian populer dengan sebutan Mosi Integral, kembali ke bentuk negara kesatuan, itu berguna untuk menghadang politik pecah belah Belanda (Nugroho Dewanto, 2011: 3-4).

Tatkala pemerintahan Orde Baru muncul, Muhammad Natsir tidak mendapat tempat dan kedudukan dalam pemerintahan. Muhammad Natsir tidak diajak oleh Pemerintahan Orde Baru untuk ikut bersama memimpin negara yang baru saja muncul. Padahal, kalau dilihat dari segi kredibilitas dan kemampuannya sebagai seorang birokrat atau negarawan, sebenarnya tidak diragukan lagi.

Melalui yayasan yang dibentuknya bersama para ulama di Jakarta, yaitu Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Muhammad

xli

Natsir memulai aktivitas perjuangannya dengan memakai format dakwah, bukan politik lagi. Sikap kritis dan korektif Muhammad Natsir pada masa saat itu membuat hubungannya dengan Pemerintahan Orde Baru kurang mesra. Kritiknya yang tajam menyengat dan menunjuk langsung persoalan-persoalan yang mendasar, tetap menjadi aktivitas rutinnya. Keberaniannya mengoreksi Pemerintahan Orde Baru dan ikut menandatangi Petisi 50 pada tanggal 5 Mei 1980, menyebabkan Muhammad Natsir dicekal ke luar negeri tanpa melewati proses pengadilan. Pencekalan ini pun terus berlangsung tanpa ada proses hukum yang jelas dari Pemerintahan Orde Baru. Kegiatan dakwah muhammad Natsir tidak pernah berhenti.

Walaupun Muhammad Natsir dizaman Orde Baru merasa disingkirkan akan tetapi Muhammad Natsir tetap setia terhadap bangsa. Beliau tidak ingin hanya mementingkan kepentingan pribadi atau kelompoknya sendiri dengan mengorbankan kepentingan bangsa secara keseluruhan. Hal ini diwujudkan ketika Orde Baru mulai berdiri dan siap melancarkan program pembangunan. Dalam konteks ini, peranan Muhammad Natsir sangat besar. Semisal, dalam upaya menciptakan kerukunan dan stabilitas politik di kawasan Asia Tenggara memulai upaya penghapusan konfrontasi dengan Malaysia (Anwar Harjono, 2001: 12).

Muhammad Natsir dikenal dengan mosi intregralnya, yaitu untuk mengupayakan agar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini bersatu menjadi satu. Muhammad Natsir memiliki peran yang sangat

xlii

penting dalam upaya menyelamatkan NKRI. Muhammad Natsir telah tercatat dalam sejarah, berhasil mempersatukan negara-negara bagian yang dibentuk Van Mook ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Keberhasilan Natsir dalam menentukan dan menyelamatkan persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui mosi integralnya, telah membawa Muhammad Natsir ke jenjang kedudukan kepala pemerintahan Perdana Menteri pertama Negara Indonesia (1950-1952), ketika beliau berusia 42 tahun. Kepercayaan ini diberikan Soekarno setelah melihat kepiawaian Muhammad Natsir dalam berdiplomasi, selain karena intelektualnya yang tinggi dan aktivitasnya dalam berbagai organisasi.

Keharuman nama Muhammad Natsir juga merebak di luar negeri karena berbagai kegiatan dakwah Islam internasionalnya. Pada tahun 1956,

bersama Syekh Maulana Abdul A‟la al-Maududi (Lahore) dan Abu hasan

an Nadawi (Lucknow), Muhammad Natsir memimpin sidang Muktamar Alam Islamy di Damaskus. Beliau juga menjabat Wakil Presiden Kongres Islam Sedunia yang berpusat di Pakistan dan Muktamar Alam Islamy di Arab Saudi. Pada tahun yang sama, ia menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekkah (Solichin Salam, 1990: 132)

Menurut penulis Muhammad Natsir merupakan salah satu tokoh Indonesia yang melegenda, sampai-sampai setelah satu abad dari

kepergiannya, ada sekelompok orang yang menggelar acara “peringatan

xliii

Sebagai warga negara Indonesia kita bangga telah memiliki tokoh seperti Muhammad Natsir. Karena, Muhammad natsir tidak hanya dikenal di dalam negerinya melainkan di negeri orang pun beliau dikenal. Hal ini pernah dialami oleh Amien Rais saat mendatangi seminar Internasional :

pertama, seminar perdamaian yang diadakan oleh Mu‟tamar Alam Islam di

Islamabad Pakistan. Kedua, seminar antar agama di Casablanca Maroko. Ketika Amien Rais bertemu dengan berbagai delegasi dalam seminar-seminar tersebut, satu hal yang selalu ditanyakan kepada beliau oleh delegasi-delegasi seminar adalah : Bgaimana kabar Muhammad Natsir? Dan biasanya diikuti dengan kata-kata “sampaikan salam saya padanya”.

Muhammad Natsir telah memberikan dedikasi terbaiknya untuk bangsa ini, yang terpenting adalah kita harus mewarisi semangat, pemikiran, perjuangan dan gelora yang pernah dimiliki oleh Muhammad Natsir. Karena pada hakikatnya pahlawan itu bukan untuk dikagumi, tetapi untuk diteladani. Generasi Indonesia sekarang layak mengetahui sepak terjang Muhammad Natsir. Muhammad Natsir merupakan tokoh pendidik, penulis produktif, cendekiawan, pedakwah, politisi negarawan, pemikir, ulama dan pembela Islam. Secara umum kehidupannya pun telah diserahkan sebagai pemandu umat.

xliv

Dokumen terkait