• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. Hasil Penelitian

3. Perkara Nomor 100/Pid.B/2015/PN.Slt, terdakwa Feri Tri Wahyudi Bin Sudirman

Perkara Nomor 100/Pid.B/2015/PN.Slt, atas nama Terdakwa Feri Tri Wahyudi Bin Sudirman, umur 28 tahun, jenis kelamin laki – laki, kebangsaan Indonesia, yang bertempat tinggal di Jl. Tirtomoyo No. 37 Rt 04 Rw 01 B Kec. Bandungan Kab. Semarang, agama Islam, pekerjaan Swasta, atas dakwaannya terjerat pidana dalam pasal 480 ayat (1) KUHP yakni: “barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan, atau menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan.”

Bahwa sebelumnya pada hari Sabtu, tanggal 24 Januari 2015 sekitar pukul 02.30 di depan rumah yang terletak di Gg. Jerukan Rt 11 Rw 02 Kalioso kel. Kutowinangun Kec. Tingkir Kota Salatiga, telah terjadi tindak pidana pencurian sepeda motor yang dilakukan oleh Saksi Abdurrohim Dwi Cahya (dalam berkas terpisah). Motor yang dicuri yakni Yamaha Vega tahun 2007 dengan Nomor Polisi

59

H-2938-QB warna hitam. Yang kemudian oleh Saksi Abdurrohim Dwi Cahya hasil motor curian tersebut diambil kerangka motornya dan di titipkan di rumah Saksi Andhika Fendi Yohanes untuk dijual dan rangka tersebut berhasil di beli oleh sdr TOLE (DPO).

Dalam perkara tersebut terdakwa Feri Tri Wahyudi Bin Sudirman sekitar bulan Februari Tahun 2015 sekira pada jam 18.30 WIB atau setidak – tidaknya pada tahun lain dalam tahun 2015 telah membeli rangka sepeda motor hasil curian sebesar Rp 200.000,- dari sdr TOLE (DPO) di Lopait Rawa Permai Tuntang Kabupaten Semarang dalam rangka untuk memenuhi pesanan rangka dari Saksi Hendri Susilo yang meminta untuk dirakitkan menjadi motor trail yang dalam perkara tersebut Terdakwa Feri Tri Wahyudi Bin Sudirman telah membeli rakitan motor tersebut tanpa dilengkapi dengan surat – surat kepemilikan yang sah.

Bahwa rakitan yang sebelumnya masih berupa rangka oleh Terdakwa dengan sengaja nomor rangka tersebut di hilangkan dengan cara menggerinda. Hasil rakitan motor trail yang dilakukan oleh Terdakwa Feri Tri Wahyudi Bin Sudirman memperoleh pendapatan keuntungan sejumlah Rp 200.000,- dari Saksi Hendri Susilo.

Dengan demikian Terdakwa Feri Tri Wahyudi Bin Sudirman telah melakukan tindak pidana kejahatan penadahan dan memberikan dakwaan pada Pasal 480 ayat (1)

KUHP yakni “barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima

hadiah, atau menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan, atau menyembunyikan sesuatu benda, yang

60

diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan.”

Dalam perkara tersebut Pengadilan Negeri Salatiga yang menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana telah menjatuhkan penetapan penunjukan konseling untuk kepentingan terdakwa Feri Tri Wahyudi Bin Sudirman dengan Penetapan No.100/Pen.Pid/2015/PN,Slt., pada tanggal 28 Oktober 2015. (Lampiran III)

Berdasarkan Penetapan konseling dengan Nomor 100/Pen.Pid/2015/PN,Slt., yang diperuntukkan bagi terdakwa Feri Tri Wahyudi Bin Sudirman dengan maksud bahwa penyimpangan perilaku yang telah dilakukan oleh terdakwa telah melanggar norma - norma hukum pidana dan harus dilakukan upaya untuk meningkatkan kualitas perilaku dan pengendalian diri terdakwa yang bertujuan untuk pemulihan secara amental agar terdakwa dapat kembali melaksanakan fungsi sosialnya di dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam penetapan tersebut telah ditetapkan bahwa Sdr..Dra. Siti Zumrotun, M.ag selaku Psikolog/Rohaniawan, yang ditetapkan sebagai konsuler dalam perkara tersebut adalah untuk mendampingi dan memberikan bimbingan terhadap terdakwa dan hasilnya dilaporkan pada majelis hakim. Melalui penetapan ini terdakwa mendapatkan hak – haknya untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.42 Serta melalui penetapan ini hakim dapat menggali lebih dalam, memahami nilai – nilai hukum yang ada dan rasa keadilan yang sebenarnya.43

42

Lihat Pasal 28 H ayat (2) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

43

61

Dalam perkara tersebut memang benar bahwa Terdakwa Feri Tri Wahyudi Bin Sudirman telah menerima konseling dalam Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) yang ditawarkan oleh hakim sebelumnya. Akan tetapi yang terjadi adalah Konseling dalam Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) yang ditawarkan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan sebelumnya.

Pada tataran ide proses konseling berdasarkan Surat Penetapan Konseling dilakukan bersamaan dengan proses pemeriksaan persidangan yang setelah proses konseling berakhir, konselor yang telah ditunjuk sebelumnya membuat hasil konseling yang kemudian diberikan kepada hakim secara tertutup dan dibacakan pada saat pembacaan putusan sebagai salah satu bahan pertimbangan jika diperlukan. Fakta yang terjadi adalah Konseling dalam Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) yang telah berjalan sempat berhenti, hal ini dikarenakan terdakwa merasa disalahkan dan dihakimi dalam proses konseling yang dilakukan oleh pihak konselor sehingga terdakwa tidak memahami tujuan dari konseling.

Berdasarkan perkara tersebut hubungan antara Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) dengan perkara yang ada terkait dengan bimbingan atau konseling adalah pihak yang bermasalah yang berhadapan dengan hukum mendapatkan pencerahan melalui pilihan bimbingan atau konseling tersebut. Dengan adanya peradilan pemulihan terpadu (P3T) tersebut memudahkan jalan para pencari keadilan dalam hal penyelesaian konflik dan perkara – perkara yang sedang berlangsung.

62

Namun untuk menjalankan Program Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) masih jauh dari kata mudah untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan bahwa adanya posisi pelaku selaku pencari keadilan dalam memperoleh keadilan yang tidak seimbang. Ketidakseimbangan yang dimaksud adalah dalam hal ini adalah keadilan. Keadilan yang harus didapat dan diperoleh oleh pencari keadilan adalah kepastian mengenai hak – haknya dalam memperoleh keadilan yang dalam perkara tersebut ada kekhawatiran para pencari keadilan bahwa hakim akan berat sebelah dalam memutus perkara, serta dalam SK Ketua Pengadilan Negeri Salatiga Nomor W 12-U12/152 /HK008/9/2015 tentang Pembentukan Team Pengelola Pelayanan Pengadilan Negeri Salatiga bahwa tidak dicantumkan secara jelas mengenai hak – hak tersangka/terdakwa selaku pencari keadilan.

E. Analisis

Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) adalah program unggulan dan program inovasi dalam hal pelayanan publik di Pengadilan Negeri Salatiga untuk mempermudah proses perkara serta mewujudkan pelayanan publik dengan konsep keadilan yang merupakan kewenangan sepenuhnya milik Pengadilan Negeri Salatiga yang bertujuan pada pemulihan atau restorative bagi para pihak yang berhadapan dengan hukum yakni pelaku/korban. Untuk menyesuaikan dengan hukum yang ada maka dibuat pengaturan Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) yakni dengan Surat Keputusan Ketua Pengadilan Negeri Salatiga No.W 12-U12/152 / HK008/9/2015 tentang Pembentukan Team Pengelola Pelayanan Peradilan Pemulihan Terpadu Pada Pengadilan Negeri Salatiga, dengan dasar pembentukannya adalah melalui Surat

63

Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 026 tahun 2012 tentang Standart Pelayanan Peradilan.

Pada dasarnya Peradilan Pemulihan

Terpadu

(P3T) di Pengadilan Negeri Salatiga tidak sesuai dengan amanat yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung yakni Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 026 tahun 2012 tentang Standart Pelayanan Peradilan. Hal ini dikarenakan bahwa dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 026 tahun 2012 tentang Standart Pelayanan Peradilan, tidak ada ketentuan mengenai penyelenggaraan pelayanan publik berdasarkan acuan Surat Keputusan, melainkan bahwa penyelenggaraan pelayanan Publik harus berdasarkan peraturan perundang – undangan dan prinsip – prinsip pelayanan publik. Ketentuan tersebut terlihat pada pengertian mengenai Pelayanan Pengadilan dalam bagian Ketentuan Umum huruf D angka 3 yakni:

“Pelayanan Pengadilan adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka

pemenuhan kebutuhan pelayanan bagi masyarakat, khususnya pencari keadilan, yang disediakan oleh Mahkamah Agung dan badan – badan peradilan dibawahnya berdasarkan peraturan perundang – undangan dan prinsip – prinsip pelayanan

publik.”

Dengan demikian apabila Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) tidak sesuai dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 026 tahun 2012 tentang Standart Pelayanan Peradilan maka akan menimbulkan kerugian bagi para pencari keadilan sehingga berdasarkan hal tersebut pencari keadilan dapat mengadukan pelayanan publik yang ada di Pengadilan Negeri Salatiga yakni terkait Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T). Hak Pengaduan atas Pelayanan Pengadilan para pencari keadilan dapat dilihat pada Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 026

64

tahun 2012 tentang Standart Pelayanan Peradilan pada bagian Ketentuan Umum huruf F angka 1, yakni:

“masyarakat berhak mengadukan penyelenggaraan pelayanan publik

pengadilan dalam hal :

a. Penyelenggara yang tidak melaksanakan kewajiban dan/atau melanggar larangan;dan

b. Pelaksana yang memberi pelayanan yang tidak sesuai dengan standart

pelayanan.”

Tidak hanya itu Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) juga melanggar ketentuan mengenai proses persidangan yang ditunda demi berlangsungnya proses peradilan pemulihan terpadu yakni konseling. Padahal ketentuan mengenai pelayanan persidangan pidana telah diatur di dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 026 tahun 2012 tentang Standart Pelayanan Peradilan pada bagian III Standar Pelayanan Peradilan pada Badan Peradilan Umum huruf C angka 1. Dapat dikatakan bahwa ketentuan dan prosedur yang ada dalam Surat Keputusan Ketua Pengadilan Negeri Salatiga No.W 12-U12/152 / HK008/9/2015 tentang Pembentukan Peradilan Pemulihan Terpadu pada Pengadilan Negeri Salatiga tidak sesuai dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 026 tahun 2012 tentang Standart Pelayanan Peradilan.

Melalui bebagai wawancara yang penulis lakukan dengan para narasumber yakni wawancara dengan Ibu Henny Trimira Handayani, SH., MH., sebagai Ketua Pengadilan Negeri Salatiga; Bapak Achmad Raffik Arief, SH., sebagai panitera muda pidana dan Bapak Adhi Agus Ardhianto, SH., sebagai panitera pengganti di pengadilan Negeri Salatiga; Ba]pak Ferdiansyah, SH., MH., sebagai Kepala Seksi

65

Tindak Pidana Umum; dan Bapak Fajar Yulianto, SH., sebagai Jaksa Penuntut umum tersebut diatas bahwa Kegiatan Konseling yang ada dalam Program Peradilan pemulihan terpadu (P3T) yang dapat memberi manfaat bagi para pencari keadilan yakni pelaku/ terdakwa, hakim, dan jaksa penuntut umum. Manfaat tersebut yakni sebagai berikut:

 Dari sisi Hakim, hakim yang pada awalnya tidak tahu segala - galanya menjadi lebih mudah mengetahui dan terbantu mengenai masukan – masukan serta melalui referensi dari konselor tersebut hakim dapat mengetahui tentang latar belakang pelaku melakukan tindak pidana, korban dapat ikut serta dalam tercetusnya tindak pidana atau kenapa korban menjadi pihak yang dirugikan oleh pelaku, saksi mengenai hal yang sebenarnya atau kondisi sebenarnya (psikis atau psikologis) dari pihak yang bermasalah tersebut adalah agar dalam memutus suatu perkara hakim menjadi lebih adil dan seimbang dalam putusannya dan tidak berat sebelah.

 Dari sisi Jaksa Penuntut Umum, Jaksa terbantu dalam hal pembuktian yang dapat memperkuat fakta – fakta dalam persidangan dan lebih memperjelas lagi mengenai fakta – fakta dalam persidangan.

 Bagi para pencari keadilan atau berkonteks pada masyarakat bahwa perbuatan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku yang dianggap meresahkan masyarakat itu adalah dengan adanya konseling tersebut maka pelaku yang meresahkan masyarakat menjadi sadar dan mengakui kesalahan yang diperbuat dan ketika pelaku kembali ke masyarakat maka pelaku tidak lagi meresahkan masyarakat

66

dan berguna bagi masyarakat. Dan untuk korban, korban menjadi tidak resah akan perbuatan pelaku dan beban mental korban menjadi lega atau memperbaiki mental korban akibat perbuatan pelaku.

Kemudian fakta – fakta yang ada terkait dengan peradilan pemulihan terpadu (P3T) yakni sebagai berikut :

 bahwa program peradilan pemulihan terpadu (P3T) merupakan program yang bersifat unggulan serta inovasi dan bukan merupakan program yang sebenarnya yang tercantum dan diatur dalam sistem peradilan pidana (SPP).  Bahwa Program Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) dibuat berdasarkan

amanat dari Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor 026 tahun 2012 tentang Standart Pelayanan Peradilan, dalam hal pembaharuan inovasi pelayanan publik di Pengadilan Negeri.

 Bahwa program peradilan pemulihan terpadu (P3T) dilaksanakan atas dasar ketentuan yang telah dicantumkan dalam SK Ketua Pengadilan Negeri Salatiga No.W 12-U12/152 / HK008/9/2015 tentang Pembentukan Peradilan Pemulihan Terpadu pada Pengadilan Negeri Salatiga.

 Bahwa program peradilan pemulihan terpadu (P3T) dianggap mengganggu proses sidang pokok yang sedang berlangsung.

 Bahwa melalui program peradilan pemulihan terpadu (P3T) dianggap memberatkan para pencari keadilan.

67

Terkait dengan teori keadilan bermartabat, Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) dalam penerapannya sesuai dengan teori keadilan bermartabat. Teori keadilan bermartabat adalah teori yang mengatakan bahwa keadilan adalah keadilan yang bukan sama rata melainkan sesuai dengan ukuran keadilan bagi setiap manusia.

Faktanya adalah bahwa Program Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) pada dasarnya mengutamakan demi tercapainya keadilan bagi para pencari keadilan. Ukuran Keadilan yang sebagaimana dimaksud dalam teori keadilan bermartabat dalam Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) adalah dalam hal kepastian mengenai hak

– hak pencari keadilan yakni hak – hak pelaku/terdakwa . Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) dalam tataran ide adalah memposisikan pelaku/ terdakwa sebagai orang yang mencari keadilan yang perlu untuk dijunjung tinggi mengenai hak –

haknya dalam memperoleh keadilan.

Melalui Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) adanya potensi bagi hakim untuk berdialog dengan para pencari keadilan agar dalam menangani suatu perkara hakim dapat memahami keadilan yang lebih subtansive dan tidak merugikan terdakwa selaku pencari keadilan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori keadilan bermartabat dan peradilan pemulihan terpadu sudah sejalan.

Terkait dengan teori pemidanaan, Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) dalam penerapannya tidak bertentangan dengan teori pemidanaan. Pada dasarnya dalam teori pemidanaan hanya ditujukan penjatuhan hukumannya kepada pelaku yang melakukan perbuatan pidana. Teori pemidanaan merupakan teori – teori yang

68

mengkaji dan menganalisis mengapa negara menjatuhkan pidana kepada pelaku yang telah melakukan kejahatan, apakah karena adanya unsur pembalasan atau menakuti masyarakat, dan atau melindungi atau memperbaiki masyarakat

Pada tataran Filosofis Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) sudah sesuai dan cocok dengan teori pemidanaan terkhusus dalam teori relative atau teori tujuan (Doeltheorie) atau dapat disebut sebagai teori nisbi. Hal ini dikarenakan dalam teori relatif ada 2 macam teori penjatuhan hukuman pidana terhadap pelaku kejahatan yakni teori yang menakut – nakuti dan teori memperbaiki penjahat. Dalam Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) memiliki tujuan untuk pemulihan atau restorative bagi pihak yang berperkara dalam hukum yakni pelaku/ terdakwa . Sehingga tujuan pemulihan dalam Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) sudah sesuai dengan teori pemidanaan terkhusus dalam teori relative yakni teori untuk memperbaiki penjahat. .

Berdasarkan Pasal 4 Undang – Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 /KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Publik, bahwa Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) tidak sesuai/ tidak sejalan dengan kedua peraturan tersebut dimana kedua peraturan tersebut mengatur mengenai asas – asas pelayanan publik. Hal ini dikarenakan bahwa Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) kurang memperhatikan asas – asas pelayanan publik yakni :

69

 kepastian hukum yang artinya jaminan hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pelayanan dimana dalam Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) memperhatikan mengenai jaminan hak – hak terdakwa yakni hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim tanpa adanya proses paksaan.

 Kesamaan hak memperoleh keadilan, keterbukaan dalam hal ini transparansi, dan akuntabilitas, serta fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan bagi pelaku/ terdakwa yang tidak memakai pengacara.

 Keprofesionalan yang artinya harus sesuai dengan kompetensi yang sesuai dengan bidang tugas dan Partisipatif yang artinya peningkatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat dimana dalam Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) pihak yang bersangkutan dapat memberikan pelayanan dengan bimbingan dengan baik

 Ketepatan waktu yang artinya penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat waktu sesuai dengan standart pelayanan. Faktanya adalah dalam Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) proses persidangan menjadi lama dan mengganggu proses sidang pokok yang sedang berlangsung.

Dalam perkembangannya kedudukan Peradilan Peradilan Pemulihan Terpadu dalam sistem peradilan pidana (SPP) adalah bahwa program Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) hanyalah sebagai program unggulan pengadilan serta tidak dicantumkan dan diatur di dalam sistem peradilan pidana (SPP), tidak hanya itu

70

kedudukan Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) dalam sistem peradilan pidana juga menyalahi aturan yang berlaku dimana Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) menyimpang dan bertentangan dengan konteks yang ada dalam Hukum Acara Pidana yang dicantumkan di dalam KUHAP mengenai proses pemeriksaan persidangan yang ditunda dan dilakukan pada saat proses pemeriksaan persidangan dan proses persidangan baru dilanjutkan kembali ketika proses konseling dalam Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) selesai. Tatacara pelaksanaan proses pemeriksaan persidangan yang ditunda dalam Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T}) tidak diatur didalam KUHAP. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 145 – 232 pada Bab XVI KUHAP, dimana tidak ada ketentuan bahwa proses pemeriksaan persidangan dapat ditunda demi proses Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T).

Tidak hanya itu Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) juga melanggar ketentuan di dalam KUHAP mengenai sumber pembentukan Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) dan ketentuan mengenai proses tatacaradimana seharusnya sebuah program pengadilan dibuat berdasarkan Peraturan Perundang – undangan bukan berdasarkan turunan Surat Keputusan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 2 KUHAP yakni:

“Undang – undang ini berlaku untuk melaksanakan tatacara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan.”

Dan dapat dilihat dalam Pasal 3 KUHAP yakni:

71

Dengan demikian kedudukan Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) tidak berada di dalam cangkupan Sistem Peradilan Pidana (SPP) melainkan berada di luar cangkupan Sistem peradilan pidana (SPP) serta menyalahi atau menyimpang dari aturan dan ketentuan yang berlaku dalam Hukum Acara Pidana yang ada dalam Pasal 2 dan Pasal 3 KUHAP.

Dengan kondisi kedudukan Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) tidak berada di dalam cangkupan Sistem Peradilan Pidana (SPP) melainkan berada di luar cangkupan Sistem peradilan pidana (SPP) maka mengakibatkan adanya potensi Program Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) menyalahi sistem peradilan pidana (SPP), yakni menyalahi asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), dan membuat pelayanan publik menjadi tidak sepenuhnya benar – benar terlaksana dengan baik.

Peradilan pemulihan Terpadu (P3T) yang menyalahi sistem peradilan pidana (SPP) dikarenakan bahwa melalui peradilan pemulihan terpadu sistem peradilan pidana yang pada awalnya berjalan dengan lancar mendapatkan intervensi padahal proses persidangan belum selesai. Hal ini dikarenakan pada dasarnya proses persidangan yang seharusnya berjalan sesuai dengan ketentuan yang dicantumkan dalam Sistem Peradilan Pidana menjadi terganggu dengan adanya Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) yakni dengan melakukan proses konseling di tengah –

tengah proses peradilan dan dilakukan di luar ruangan sidang sehingga membuat persidangan menjadi terhenti sementara dan hakim beserta pihak lain menjadi menunggu hasil dari konseling tersebut.

72

Pendapat penulis juga dikuatkan oleh pernyataan dalam hasil wawancara dengan bapak Ferdiansyah SH,MH., sebagai Kepala Seksi Tindak Pidana Umum, bahwa peradilan pemulihan terpadu (P3T) mengganggu jalannya proses persidangan dan membuat proses persidangan menjadi lama serta memberatkan jaksa dan pencari keadilan yang membutuhkan proses cepat dalam persidangan. Hal ini dikarenakan Jaksa Penuntut Umum dianggap memberatkan dan menambah tugas Jaksa Penuntut Umum. Jaksa Penuntut Umum menjadi terpaksa melanggar SOP. Dalam SOP, Jaksa Penuntut Umum hanya ditugaskan untuk membawa Pelaku untuk keluar lapas yang dibawa ke Pengadilan Negeri dan masuk ke dalam sel tahanan pengadilan yang tersedia di pengadilan kemudian membawa masuk Pelaku ke keruang sidang untuk mengikuti persidangan dan terakhir membawa kembali Pelaku ke dalam sel tahanan pengadilan yang kemuadian membawa kembali ke rutan. Oleh karenanya jika pelaku kabur atau melarikan diri saat proses konseling yang dilakukan diluar ruang persidangan maka pertanggung jawaban tersebut merupakan pertanggungjawaban jaksa.

Sedangkan Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) yang menyalahi asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dapat dilihat bahwa melalui program ini hakim menjadi tidak adil karena telah memiliki asumsi terebih dahulu. Dengan program ini ada kemungkinan bahwa tersangka atau terdakwa akan mendapatkan dan ditempatlkan dalam posisi yang berbeda. Dalam hal ini sebelum adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap maka tersangka atau terdakwa harus dipandang secara subjektif. Sedangkan dalam fakta yang ada bahwa tersangka atau terdakwa dipandang secara subjektif sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

73

Pendapat penulis diperkuat dengan adanya pernyataan M. Yahya Harahap, S.H., yang di dalam bukunya disebutkan, mengenai penerapan asas praduga tak bersalah, Yahya Harahap menulis sebagai berikut:

“Tersangka ha rus ditempatkan pada keduduka n manusia yang memiliki hakikat martabat. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan objek. Yang diperiksa bukan manusia tersangka. Perbua tan tindak pidana yang dilakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan. Ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan ditujukan. Tersangka ha rus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asa s praduga tak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap.”44

Dengan demikian implementasi / penerapan Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) dalam pelayanan publik bagi pencari keadilan menjadi tidak terlaksana dengan baik. Hal ini dikarenakan bahwa proses yang terjadi tidak sesuai dengan asas- asas yang ada walaupun sesuai dengan teori – teori yang ada. Sehingga menimbulkan beberapa kerugian. Kerugian tersebut, yakni sebagai berikut:

 proses persidangan yang lama dan menunggu karena terganggunya proses sidang pokok yang sedang berlangsung sehingga memberatkan pelaku/korban. Hal ini dikarenakan proses perkara yang sedang berlangsung menjadi tidak selesai dan harus menunggu proses konseling tersebut selesai/ berakhir maka sidang dapat dilanjutkan. Dengan demikian proses persidangan menjadi lebih lama.

 Dari sisi Jaksa Penuntut Umum dianggap memberatkan dan menambah tugas Jaksa Penuntut Umum. Jaksa Penuntut Umum menjadi terpaksa melanggar SOP.

44

Dokumen terkait