• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pelayanan Publik bagi Pencari Keadilan Melalui Program Peradilan Pemulihan Terpadu di Pengadilan Negeri Salatiga T1 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pelayanan Publik bagi Pencari Keadilan Melalui Program Peradilan Pemulihan Terpadu di Pengadilan Negeri Salatiga T1 BAB II"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

23

BAB II

KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS

A. Pengertian

1. Pengertian Pelayanan Publik

Pelayanan publik merupakan hak dasar yang dimiliki oleh setiap warga yang

merupakan kewajiban Negara bagi pemenuhan kebutuhan kesejahteraan warga

negara. Pelayanan Publik bukan hanya sebagai dasar instrumen berjalannya birokrasi

kewajiban negara, melainkan bahwa pelayanan publik merupakan hal dasar bagi

terwujudnya kesejahteraan dan terpenuhinya kebutuhan warga negara dalam berbagai

aspek sosial. Terdapat berbagai macam pengertian mengenai Pelayanan Publik, yaitu

sebagai berikut :

 Pasal 1 ayat (1) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik di sebutkan bahwa:

(2)

24

pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.”1

 Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor

63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan

Publik, disebutkan bahwa:

“Pelayanan Publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan

kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan

perundang – undangan.”2

 SK Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 026 tahun 2012

tentang standar pelayanan peradilan disebutkan bahwa:

“pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak – hak sipil setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang dan jasa atau pelayanan administrative

yang diselenggarakan oleh penyelenggara pelayanan publik.”3

Istilah publik berasal dari bahasa Inggris public yang berarti umum,

masyarakat, negara. Kata publik sebenarnya sudah diterima menjadi bahasa Indonesia

Baku menjadi Publik yang berarti umum, orang banyak, ramai.4 Dengan demikian

pelayanan publik adalah segala bentuk pemenuhan kebutuhan dasar dan keinginan

1

Pasal (1) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik.

2

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

3

SK Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 026 tahun 2012 tentang Standart Pelayanan Publik.

4

(3)

25

masyarakat atas barang, jasa, atau pelayanan administrarif yang dilaksanakan oleh

pemerintah berdasarkan peraturan perundang – undangan. Pengertian pelayanan publik dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, yaitu sebagai berikut :

 Dalam Perspektif ekonomi, pelayanan publik adalah semua bentuk pengadaan

barang dan jasa oleh pemerintah (sektor publik yang diperlukan warga negara

sebagai konsumen).5

 Sementara dari optik politik, dapat dikatakan bahwa pelayanan publik

merupakan refleksi dari pelaksanaan negara dalam melayani warga negaranya

berdasarkan kontrak sosial pembentukan negara oleh elemen – elemen warga negara. Peran negara dalam pelanyanan publik tersebut dilaksanakan oleh

suatu pemerintahan yang dijalankan oleh kekuatan politik yang berkuasa.6

 Dari sisi sosial budaya, pelayanan publik merupakan sarana pemenuhan

kebutuhan dasar masyarakat demi mencapai kesejahteraan yang dalam

pelaksanaannya kental akan nilai- nilai, sistem kepercayaan dan kearifan lokal

yang berlaku.7

 Sedangkan dari perspektif hukum, pelayanan publik dapat dilihat sebagai

suatu kewajiban yang diberikan oleh konstitusi atau peraturan perundang – undangan kepada pemerintah untuk memenuhi hak – hak dasar warga negara atau penduduknya atas suatu pelayanan.8

5

Sirajuddin, Didik Sukriono, dan Winardi, Hukum Pelayanan Publik Berbasis Keterbukaan Informasi dan Partisipasi, Setara Press, 2012, h. 11.

(4)

26

Ukuran keadilan dalam pelayanan publik sangat diperlukan, sebab tanpa

adanya keadilan maka pelayanan publik yang sebenarnya akan condong ke hal yang

lain dan melupakan prinsip dasar pelayanan publik dan merugikan masyarakat. Untuk

itu Pemerintah perlu membuat kebijakan – kebijakan tertentu agar tercipta pelayanan publik yang baik dan terstruktur untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Terdapat 4 jenis kebijakan yang penyusunan dan implementasinya yang

keterlibatan pemerintah yang berbeda. Protective regulatory policy merupakan

kebijakan yang dimaksud untuk melindungi kelompok minoritas, rentan, miskin, dan

mereka yang terisolasi.9 Kedua, competitive regulatory policy, yaitu kebijakan yang

dimaksudkan untuk mendorong kompetisi antar pelaksana kebijakan guna

mewujudkan efisiensi pelayanan publik.10 Ketiga, adalah distributive regulatory

policy. Jenis kebijakan ini dimaksudkan untuk melakukan distributive sumber daya

kepada masyarakat.11 Terakhir adalah kebijakan restributif. Jenis kebijakan ini

dimaksudkan untuk melakukan alokasi sumber daya yang ada di masyarakat.

Pelayanan Publik yang diberikan oleh peradilan diatur di dalam SK Ketua

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 026 tahun 2012 tentang Standart

Pelayanan Peradilan. Standart Pelayanan Pengadilan dalam Surat Keputusan ini

merupakan standar pelayanan yang bersifat nasional dan memberikan pedoman bagi

semua badan peradilan di semua lingkungan peradilan pada semua tingkatan untuk

menyusun Standar Pelayanan Pengadilan pada masing-masing satuan kerja.

9

Lijan Poltak Sinambela, Op.Cit.,h. 15.

10

Ibid.

11

(5)

27

Pengertian mengenai Standar pelayanan publik adalah suatu tolok ukur yang

dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian

kualitas pelayanan sebagai komitmen atau janji dari penyelenggara pelayanan kepada

masyarakat untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. Sedangkan Pelayanan

pengadilan adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan

kebutuhan pelayanan bagi masyarakat, khususnya pencari keadilan, yang disediakan

oleh Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan dibawahnya berdasarkan

peraturan-perundang-undangan dan prinsip-prinsip pelayanan publik.

Penyelenggara pelayanan pengadilan yang selanjutnya disebut penyelenggara

adalah setiap satuan kerja yang melakukan kegiatan pelayanan pengadilan. Dan

Pelaksana pelayanan pengadilan yang selanjutnya disebut Pelaksana adalah pejabat,

pegawai, petugas, dan setiap orang yang bertugas melaksanakan tindakan atau

serangkaian tindakan pelayanan pengadilan. Sedangkan Masyarakat adalah yang

berkedudukan sebagai penerima manfaat pelayanan pengadilan, baik secara langsung

maupun tidak langsung.

Surat keputusan ini dibuat berdasarkan Undang – Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik. Menurut Aria Sujudi yakni Anggota Tim

pembaharuan MA standart pelayanan publik berbeda dengan SOP. SK MA Nomor

026 tahun 2012 tentang standart pelayanan peradilan hanya berlaku pada pengadilan

tingkat pertama dan banding dalam empat lingkungan peradilan serta MA. Standart

pelayanan ini disusun dengan tujuan ganda. Selain untuk meningkatkan kualitas

(6)

28

juga diperuntukkan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada lembaga

peradilan.

Dalam SK MA ini secara garis besar terdapat 4 jenis pelayanan di pengadilan,

yaitu pelayanan administrasi persidangan, pelayanan bantuan hukum, pelayanan

pengaduan dan pelayanan informasi. Sedangkan jika dilihat dari sistematika, SK MA

ini terdiri atas Ketentuan Umum, Standart Pelayanan Umum, Standart Pelayanan

pada Badan Peradilan Umum, Standart Pelayanan pada badan Peradilan Agama,

Standart Pelayanan pada Badan Peradilan Tata Usaha Negara dan Standart Pelayanan

pada Badan Peradilan Militer.

Dalam Poin ke Tiga SK MA No.026 tahun 2012 tentang Standart Pelayanan

Peradilan, berbunyi “Memerintahkan kepada setiap satuan kerja pada Badan

Peradilan untuk menyusun Standart Pelayanan sesuai dengan jenis pelayanan yang

diberikan oleh masing – masing satuan kerja tersebut selambat – lambatnya 6 (enam)

bulan sejak tanggal ditetapkannya Surat Keputusan ini.” Maksud dari poin ke Tiga ini

adalah dengan adanya surat keputusan ini tiap – tiap Badan Peradilan di tingkat manapun wajib membuat standart pelayanan yang baru dan baik sesuai dengan jenis

pelayanan yang akan diberikan dalam Badan Peradilan tersebut. Hal inilah yang

menjadi dasar bahwa setiap Badan Peradilan di tingkat manapun membuat

pembaharuan pelayanan publik untuk mempermudah pencari keadilan untuk

mendapatkan kemudahan dalam memperoleh keadilan.

Maksud dengan dikeluarkannya SK MA ini adalah sebagai bentuk komitmen

(7)

29

sebagai pedoman bagi masyarakat dalam menilai kualitas pelayanan pengadilan,

sebagai tolok ukur bagi setiap satuan kerja dalam penyelenggaraan pelayanan, dan

sebagai pedoman bagi setiap satuan kerja dalam menyusun Standart Pelayanan

Pengadilan pada masing – masing satuan kerja.

2. Pengertian Pencari Keadilan

Pencari Keadilan adalah setiap orang atau warga masyarakat yang memiliki

hak – hak untuk diperjuangkan dalam hukum untuk memperoleh keadilan. Pencari keadilan dapat disebut dengan istilah klien. Klien yang dimaksud seseorang atau

perorangan atau warga masyarakat atau pihak lain yang sama – sama berupaya mencari dan memperjuangkan keadilan dalam hukum. Dalam kaitannya, pencari

keadilan memiliki hak yang sama untuk memperoleh keadilan, hal ini dapat dilihat

dalam Pasal 28 H ayat (2) Undang - Undang Dasar 1945 yakni: “setiap orang berhak untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan

dan keadilan.”

Dalam penelitian ini pencari keadilan yan dimaksud adalah Tersangka dan

terdakwa dengan pengertian menurut Pasal 1 butir 14 Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa “tersangka adalah seseorang yang karena perbuatan atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku

tindak pidana.” Menurut J.C.T Simorangkir bahwa yang dimaksud dengan tersangka

adalah “seseorang yang telah disangkakan melakukan suatu tindak pidana dan masih

(8)

30

mempunyai cukup dasar untuk diperiksa di persidangan.”12

Sedangkan, Menurut

Darwaterdan Prints tersangka adalah “seseorang yang disangka, sebagai pelaku suatu delik pidana” (dalam hal ini tersangka belumlah dapat dikatakan sebagai bersalah atau tidak”.13

Sedangkan Sedangkan menurut Pasal 1 butir 15 Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa “terdakwa adalah seorang tersangka yang

dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan.” Pengertian mengenai Peradilan

Pemulihan Terpadu juga dapat dilihat dari pendapat J.C.T Simorangkir, bahwa yang

dimaksud dengan terdakwa adalah “seseorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana dan ada cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan di muka

persidangan.”14

Tersangka dan terdakwa memiliki hak – hak sejak ia mulai diperiksa. Hak – hak yang dimiliki oleh tersangka dan yakni diatur dalam KUHAP (Kitab Undang

Hukum Pidana) dari pasal 50 sampai dengan pasal 68. Hak – Hak tersebut, meliputi:

1. Hak untuk segera diperiksa, diajukan ke pengadilan, dan diadili (Pasal 50

ayat (1), (2), dan (3)).

2. Hak untuk mengetahui dengan jelas dan bahasa yang dimengerti plehnya

tentang apa yang disangkakan dan apa yang didakwakan (Pasal 51 butir a

dan b).

12

Andi Sofyan dan Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2014, h. 53.

13

Ibid.

14

(9)

31

3. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan

hakim (Pasal 52).

4. Hak untuk mendapatkan juru bahasa (Pasal 53 ayat (1)).

5. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan

(pasal 54).

6. Hak untuk mendapat nasihat hukum dari penasihat hukum yang ditunjuk

oleh pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan bagi

tersangka atau terdakwa yang diancam pidana mati dengan biaya cuma – cuma.

7. Hak tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing untuk

menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya (Pasal 57 ayat

(2)).

8. Hak untuk menghubungi dokter bagi tersangka aatu terdakwa yang

ditahan (pasal 58).

9. Hak untuk diberitahu kepada keluarganya atau orang lain yang serumah

dengan tersangka atau terdakwa yang ditahan untuk mendapat bantuan

hukum atau jaminan bagi penangguhannya dan hak untuk berhubungan

dengan keluarga yang dimaksud (Pasal 59 dan 60).

10. Hak untuk dikunjungi sanak keluarga yang tidak ada hubungan dengan

perkara tersangka atau terdakwa. Untuk kepentingan pekerjaan atau untuk

kepentingan kekeluargaan (Pasal 61).

(10)

32

12. Hak tersangka atau terdakwa untuk menghubungi dan menerima

kunjungan kerohaniawan (Pasal 63).

13. Hak tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi dan ahli yang a de

charge (Pasal 65).

14. Hak tersangka atau terdakwa untuk menuntut ganti kerugian (Pasal 68).

15. Hak terdakwa (pihak yang diadili) untuk menuntut terhadap hukum yang

mengadili perkaranya. (Pasal 27 ayat (1), Undang – Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman)

Sedangkan para pencari keadilan terdapat dalam bagian menimbang Surat

Keputusan Ketua Pengadilan Negeri Salatiga No. W 12-U12/152 /HK008/9/2015

tentang Pembentukan Team Pengelola Pelayanan Peradilan Pemulihan Terpadu pada

Pengadilan Negeri Salatiga, yakni sebagai berikut: (lampiran III)

a. Bahwa perempuan dan anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga,

berhak mendapatkan perlindungan, pendampingan dan/atau bimbingan rohani

dalam setiap perkara kekerasan dalam rumah tangga yang dihadapinya.

b. Bahwa sarana pelayanan peradilan pemulihan harus memperhatikan dan

mempunyai akses yang dapat dijangkau oleh penyandang cacat (disabilitas).

c. Bahwa merupakan kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan dan

bantuan kepada setiap anak baik terhadap yang menjadi pelaku maupun

korban baik bantuan hukum maupun bantuan lainnya, yang dalam

(11)

33

d. Bahwa pelayanan peradilan pemulihan harus dapat menyediakan akses atau

sarana bagi saksi dan korban untuk memberikan kesaksian tanpa berhadapan

langsung dalam pemeriksaan persidangan.

B. Teori Hukum

1. Teori Keadilan Bermartabat

Teori keadilan bermartabat adalah suatu ilmu, dalam hal ini ilmu hukum.

Teori Keadilan bermartabat sebagai ilmu hukum memiliki suatu skopa atau

cangkupan yang, antara lain; dapat dilihat dari susunan atau lapisan ilmu hukum yang

meliputi filsafat hukum atau philosophy of la w di tempat pertama. Pada lapisan

kedua, terdapat teori hukum (legal theory). Sementara itu dogmatik hukum atau ilmu

hukum positif berada di tempat ketiga. Hukum dan praktik hukum berada pada

susunan atau lapisan ilmu hukum yang keempat.15 Walau dalam teori keadilan

bermartabat terdapat lapisan – lapisan dalam ilmu hukum, pada dasarnya lapisan – lapisan atau komponen tersebut saling kait – mengkait.

Ruang lingkup teori keadilan bermartabat tidak hanya pengungkapan dimensi

yang abstrak dari kaidah dan asas – asas hukum yang berlaku. Lebih jauh dari pada itu, teori keadilan bermartabat mengungkap pula semua kaidah dan asas – asas hukum yang berlaku di dalam sistem hukum, dalam hal ini sistem hukum dimaksud

yaitu sistem bukum positif Indonesia; atau sistem hukum berdasarkan Pancasila.16

15

Teguh Prasetyo, Op.Cit., hlm. 2.

16

(12)

34

Teori keadilan bermartabat, disebut bermartabat karena teori yang dimaksud

adalah merupakan suatu bentuk pemahaman dan penjelasan yang memadai (ilmiah)

serta mengenai konherensi dari konsep – konsep hukum di dalam kaidah dan asas – asas hukum yang berlaku serta doktrin – doktrin yang sejatinya merupakan wajah, struktur atau susunan dan isi serta ruh atau roh (the spirit) dari masyarakat dan bangsa

yang ada di dalam sistem hukum berdasarkan pancasila, yang dijelaskan oleh teori

keadilan bermartabat itu sendiri.17

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori keadilan bermartabat adalah

teori yang mengatakan bahwa keadilan adalah keadilan yang bukan sama rata

melainkan sesuai dengan ukuran keadilan bagi setiap manusia.

2. Teori Pemidanaan

Istilah teori pemidanaan berasal dari Inggris, yaitu comdemnation theory.

Pemidanaan adalah penjatuhan hukuman kepada pelaku yang telah melakukan

perbuatan pidana.18 Pada dasarnya teori pemidanaan muncul akibat perubahan pola

kehidupan masyarakat terhadap perbuatan pidana yakni berupa kejahatan. Perbuatan

pidana merupakan :

“perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal

saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditunjukkan kepada perbuatan, yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditumbulkan oleh kelakuan orang,

17

Ibid., h.62.

18

(13)

35

sedangkan ancaman pidananya ditunjukkan kepada orang yang menimbulkan

kejadian itu.” (Moelyatno, 2000: 54.19

Sanksi terhadap perbuatan pidana yakni kejahatan digolongkan menjadi 2

macam jenis dan diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, yaitu pidana pokok dan tambahan. Pidana pokok merupakan pidana utama yang ditujukan

kepada pelaku kejahatan. Pidana Pokok terdiri atas pidana mati, pidana kurungan,

pidana denda, dan pidana tutupan. Sedangkan Pidana tambahan merupakan pidana

yang bersifat hanya sebagai penambah pidana pokok yang ditujukan kepada pelaku

kejahatan. Pidana tambahan terdiri atas pencabutan hak – hak tertentu, pengumuman putusan hakim, dan perampasan barang – barang tertentu.

Teori pemidanaan merupakan teori – teori yang mengkaji dan menganalisis mengapa negara menjatuhkan pidana kepada pelaku yang telah melakukan kejahatan,

apakah karena adanya unsure pembalasan atau menakuti masyarakat, dan atau

melindungi atau memperbaiki masyarakat.

Tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dari suatu

pemidanaan, yakni sebagai berikut :

a) Untuk memperbaiki pribadi pelaku kejahatan;

b) Membuat orang jera untuk melakukan tindak pidana;

c) Membuat pelaku kejahatan tertentu tidak mampu untuk melakukan perbuatan

tindak pidana

19

(14)

36

Dalam perkembangannya teori pemidanaan terbagi menjadi 3 jenis teori

pemidanaan, yakni teori absolute atau teori pembalasan, teori relatif atau teori tujuan

(Doeltheorie), dan teori gabungan (Gemengdetheoerie).

1. Teori Absolut atau teori pembalasan (Teori Retributif)

Teori absolute berasal dari bahasa Inggris, yaitu Absolute Theory,

Sedangkan dalam bahasa Belanda, yaitu Absolute Therorieen. Teori absolute

berpijak pada prinsip pembalasan kembali.

L.,J. van Apeldoorn mengemukakan pandangannya tentang teori

absolute. Teori absolute adalah :

“teori yang membernarkan adanya hukuman hanya semata – mata atas

dasar delik yang dilakukan. Hanya dijatuhkan hukuman “quia

pecattum est” artinya karena orang membuat kejahatan. Tujuan Hukum terletak pada hukuman itu sendiri. Hukuman merupakan akibat mutlak dari sesuatu delik, balasan dari kejahatan yang

dilakukan oleh pelaku.”20

Sedangkan, Muladi juga mengemukakan pandangan terhadap esensi

teori absolute. Teori absolute (teori retributif) memandang bahwa :

“pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah

dilakukan, jadi berorientasi pada perbuatan dan terletak pada kejahatan

itu sendiri.”21

20

Ibid., h. 152.

21

(15)

37

Berdasarkan dua pendapat yang tela dikemukakan, dapat disimpulkan

bahwa teori absolute memiliki ciri – ciri tertentu. Ciri pokok atau karakteristik teori retributif, yaitu :

1. Tujuan Pidana adalah semata – mata untuk pembalasan;

2. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak

mengandung sarana – sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat.

3. Kesalahan merupakan satu – satunya syarat untuk adanya pidana; 4. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;

5. Pidana melihat kebelakang, ia merupakan pencelaan yang murni

dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau

memasyarakatkan kembali si pelanggar.22

Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana

dijatuhkan semata – mata karena orang yang telah melakukan suatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu

pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi

bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.23

2. Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doeltheorie)

Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doeltheorie) dapat disebut sebagai

teori nisbi yang menjadi dasar penjatuhan hukuman pidana kejahatan bagi

22Rahman Amin, “Teori –Teori Pemidanaan dalam Hukum”, 4 Mei 2015,

http://rahmanamin1984.blogspot.co.id/2015/05/teori-teori-pemidanaan-dalam-hukum.html, dikunjungi pada tanggal 4 November 2016 pukul 13.25.

23

(16)

38

pelaku kejahatan. Teori ini menjadi dasar penjatuhan hukuman pidana

kejahatan bagi pelaku kejahatan dan dibagi menjadi 2 macam ajaran, yaitu

ajaran Prevensi Umum (generale preventive) dan Prevensi Spesial (Special

Preventie).

Teori relative dibagi menjadi 2 macam teori, yakni teori yang menakut

– nakuti (asfhrikkingstheorien) dan teori memperbaiki penjahat. Teori yang menakut – nakuti (asfhrikkingstheorien) berpendapat bahwa:

“tujuan hukuman adalah menakut – nakuti perbuatan kejahatan, baik yang menakut – nakuti seluruh anggota masyakarat (general preventive) maupun yang menakut – nakuti pelaku sendiri (special preventive), yaitu untuk mencegah perbuatan ulang.”24

Sedangkan teori memperbaiki kejahatan bahwa tujuan hukum adalah

untuk memperbaiki penjahat, dalam hal ini mendidik dan membimbing

oejahat menjadi orang yang baik dalam lingkup masyarakat.

3. Teori Gabungan (Gemengdetheorie)

Teori Gabungan (Gemengdetheorie) merupakan gabungan dari teori

absolut atau teori pembalasan (Teori Retributif) dan teori relatif atau teori

tujuan (Doeltheorie). Dalam bahasa Inggris disebut combination theory.

Sementara dalam bahasa Belanda disebut Gemengdetheorie.

24

(17)

39

C. Asas

Asas Hukum

Asas hukum adalah asas pendekatan ilmu hukum yang merupakan landasan

utama atau yang menjadi dasar acuan untuk pembuatan suatu aturan hukum. Asas

hukum adalah aturan dasar dan prinsip – prinsip hukum yang abstrak dan pada umumnya mendasari peraturan konkrit dan pelaksanaan hukum.

Dalam bahasa Inggris, kata “asas” yakni “principle”, sedangkan dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia ada tiga pengertian kata “asas”, yakni : (1) hukum

dasar, (2) dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat, dan (3)

dasar cita-cita. Asas hukum merupakan asas yang menjadi unsure penting dan pokok.

Asas (Principle) merupakan sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alas, sebagai dasar,

sebagai tumpuan, sebagai patok pangkal, sebagai fondamen, sebagai tempat untuk

menyandarkan, untuk mengembalikan sesuatu hal yang hendak kita jelaskan.25

Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa asas hukum merupakan “jantungnya”

peraturan hukum. Karena menurut Satjipto, asas hukum adalah landasan yang paling

luas bagi lahirnya seuatu peraturan hukum.26 Sedangkan menurut Sudikno

Mertokusumo mengatakan bahwa:

“asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran yang dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat di dalam atau dibelakang sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang – undangan dan putusan hakim

25

Sirajuddin, Didik Sukriono, dan Winardi, Op.Cit., h.21.

26

(18)

40

yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat – sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut.”27

1. Asas

asas Pelayanan Publik

Menurut Pasal 4 Undang – Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dikemukakan penyelenggaraan asas – asas pelayanan publik, meliputi :

a. Kepentingan umum, artinya pemberian pelayanan publik tidak boleh

mengutamakan pribadi dan/atau kelompok;

b. Kepastian hukum, artinya jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam

penyelenggaraan pelayanan;

c. Kesamaan hak, artinya pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras,

agama, golongan, gender, dan status ekonomi;

d. Keseimbangan hak dan kewajiban, artinya pemenuhan hak harus sebanding

dengan kewajiban yang harus dilaksanakan, baik oleh pemberi maupun

penerima pelayanan;

e. Keprofesionalan, artinya pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi

sesuai dengan bidang tugas;

f. Partisipatif, artinya peningkatan peran serta masyarakat dalam

penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan

harapan masyarakat;

27

(19)

41

g. Persamaan Perlakuan/ tidak diskriminatif, artinya setiap warga negara berhak

memperoleh pelayanan yang adil;

h. Keterbukaan, artinya setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah

mengakses dan memperoleh informasi tentang pelayanan yang diinginkan;

i. Akuntabilitas, artinya proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat

dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan;

j. Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, artinya Pemberian

kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta keadilan dalam

pelayanan;

k. Ketepatan waktu, artinya Penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat

waktu sesuai dengan standar pelayanaan; dan

l. Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan, artinya Setiap jenis pelayanan

dilakukan secara cepat, mudah, dan terjangkau.

Sedangkan menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

Nomor 63 /KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan

Publik, asas – asas pelayanan publik, meliputi :

1. Transparansi

Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang

membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.

(20)

42

Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.

3. Kondisional

Sesuai dengan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap

berpegang dengan prinsip efisiensi dan efektivitas.

4. Partisipatif

Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik

dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.

5. Kesamaan Hak

Tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, dan agama,

golongan, gender, dan status ekonomi.

6. Keseimbangan Hak dan Kewajiban

Pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban

masing – masing pihak.

2. Asas Praduga Tak Bersalah

Dalam teori hukum dikenal asas actus non facit reum nisi mens sit rea, yang

menyatakan bahwa suatu perbuatan tak dapat menjadikan seseorang bersalah

bilamana maksudnya tak bersalah.28

Menurut Pasal 8 ayat (1) Undang – Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence),

28

(21)

43

artinya setiap orang yang ditangkap, ditahan dan dituntut dan atau dihadapkan di

depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan

yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pada dasarnya asas praduga tak bersalah merupakan tafsir yang digunakan

bahwa seseorang yang melakukan suatu perbuatan sebelum adanya putusan

pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dianggap tidak bersalah dan tetap dapat

menggunakan hak – haknya sebagaimana mestinya. Yang dimaksud dengan

“dianggap tidak bersalah” adalah berkaitan dengan hak – hak seorang yang melakukan suatu perbuatan. Melalui putusan pengadilan berdasarkan bukti – bukti yang tidak meragukan majelis hakim dalam hal ini dapat dikatakan bukti – bukti tersebut tidak dapat membuktikan bahwa seseorang bersalah, harus diartikan sebagai

akhir dari perlindungan hukum atas seseorang yang melakukan suatu perbuatan untuk

dianggap tidak bersalah.

3. Asas

Asas Peradilan

Asas – asas hukum umum kekuasaan kehakiman (peradilan) yang baik diantaranya meliputi hal – hal sebagai berikut :

a. Asas kebebasan hakim

Hakim dalam menjalankan intitusinya dalam peradilan harus merdeka

dan bebas tanpa adanya intervensi atau campur tangan pihak manapun agar

(22)

44

mutlak sifatnya. Secara mikro, hakim dibatasi oleh Pancasila, UUD 1945,

Undang – Undang, ketertiban umum, kesusilaan, dan perilaku atau kepentingan para pihak. Sedangkan secara makro hakim dibatasi oleh sistem

pemerintahan, politik, ekonomi dan sebagainya.29

Asas ini juga tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) UU No 48 tahun 2009

tentang kekuasaan kehakiman yang berbunyi “dalam menjalankan tugas dan

fungsinya, hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian keadilan.” maksudnya adalah hakim harus benar – benar melakukan sendiri tugas, fungsi, dan kewajibannya tanpa ada bantuan pihak lain.

b. Hakim bersifat menunggu

Asas ini berarti bahwa inisiatif berperkara di pengadilan ada pada

pihak – pihak yang berkepentingan, sedangkan hakim bersikap menunggu datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya (iudex ne procedat ex officio).

Jadi aka nada proses atau tidak, ada penuntutan hak atau tidak diserahkan

sepenuhnya kepada pihak – pihak yang berkepentingan.30 c. Pemeriksaan berlangsung terbuka

Asas ini terdapat pada Pasal 13 ayat (1) Undang – Undang Nomor 48

tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang berbunyi “semua

pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang –

undang menentukan lain.” Maksud dari asas ini adalah setiap orang dapat

29

Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Op.Cit., h. 67.

30

(23)

45

hadir, mendegar, dan menyaksikan jalannya proses pemeriksaan perkara di

pengadilan.

Tujuan asas ini adalah untuk menjamin pelaksanaan peradilan tidak

memihak, adil dan serta untuk melindungi hak asasi manusia dalam bidang

peradilan, sesuai peraturan hukum yang berlaku. Asas ini membuka social

control dari masyarakat, yaitu dengan meletakkan peradilan dibawah

pengawasan umum.31

d. Hakim aktif

Hakim selaku pemimpin sidang harus bersikap aktif dalam memimpin

jalannya persidangan dari awal hingga akhir persidangan.

e. Asas hakim bersifat Pasif (Tut Wuri)

Asas ini berarti hakim hanya membantu para pencari keadilan dan

berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapai peradilan

yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

f. Asas kesamaan (audi et Alteram Partem)

Asas ini berarti setiap orang atau pihak manapun yang berperkara

dalam peradilan harus diperlakukan dan diberikan kesempatan yang sama dan

adil untuk membela, melindungi kepentingan yang bersangkutan dan

memperoleh keadilan. Dalam hal ini hakim harus bersikap netral atau tidak

memihak pihak manapun agar tidak terjadi peradilan berat sebelah.

31

(24)

46

g. Asas Objektivitas

Asas ini berarti dalam memeriksa dan memberikan putusan hakim

harus bersikap objektif dan tidak boleh memihak/apriori/ netral terhadap pihak

manapun.

h. Putusan disertai alasan (Motiverings Plicht)

Asas ini dimaksudkan untuk menjaga agar hakim tidak sewenang – wenang dalam menjatuhkan putusan. Putusan yang tidak lengkap

pertimbangannya merupakan alasan untuk mengajukan kasasi dan putusan

tersebut harus dibatalkan.

4. Asas Peradilan Cepat, Sederhana, Biaya Ringan

Dalam menjalankan fungsinya, Kekuasaan kehakiman selain menjalankan

fungsinya “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” juga dilakukan

secara sederhana, cepat dan biaya ringan. Pasal 2 ayat (4) Undang – Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa peradilan dilakukan

dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Dapat dikatakan bahwa:

“peradilan harus memenuhi harapan para pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan cepat, tepat, adil, dan biaya ringan, tidak diperlukan pemeriksaan dan acara yang berbelit – belit yang dapat menyebabkan proses sampai bertahun – tahun, bahkan kadang harus dilanjutkan oleh para ahli waris para pencari keadilan.”32

Yang dimaksud dengan “ sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif dengan cara atau prosedur yang

32Dwi Rezki Sri Astarini, Mediasi Pengadilan” salah satu bentuk penyelesaian sengketa

(25)

47

jelas, mudah dimengerti, dipahami, atau tidak rumit atau tidak berbelit – belit.33 Dengan demikian konsep kesederhanaan dalam beracara dan kesederhanaan

perumusan peraturan – peraturan hukum acara akan mempermudah, sehingga akan mempercepat jalannya proses peradilan yang tentunya menguntungkan para pencari

keadilan.

Yang dimaksud dengan “biaya ringan” adalah biaya perkara yang serendah mungkin, sehingga daoat dipikul oleh masyarakat. Meskipun demikian, dalam

pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari

kebenaran dan keadilan.34 Apabila biaya perkara sangat tinggi akan membuat

masyarakat terkhusus para pencari keadilan akan enggan untuk berperkara di

pengadilan, sehingga keadilan hanya akan menjadi faktor yang diidam – idamkan saja.

Yang dimaksud dengan “Peradilan Cepat” adalah menyanglut masalah

jalannya peradilan dengan ukuran waktu atau masa acara persidangan berlangsung.35

Kesederhanaan prosedur dalam proses persidangan sangat diperlukan, hal ini

dikarenakan keterbatasan waktu agar tidak berlangsung lama. Penyelesaian perkara

dalam jangka waktu yang lama akan menimbulkan masalah – masalah baru serta terjadinya perubahan – perubahan keadaan bagi eksekusi putusan hakim.

Menurut Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan

sederhana adalah acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit – belit. Makin

33

Ibid.

34

Ibid, hlm. 56.

35

(26)

48

sedikit dan sederhana formalitas – formalitas yang diwajibkan atau diperlukan dalam beracara di pengadilan semakin baik. Terlalu banyak formalitas yang sukar dipahami,

sehingga memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran, kurang menjamin adanya

kepastian hukum dan menyebabkan keengganan atau ketakutan untuk beracara di

muka pengadilan. kata tepat ditujukan kepada jalannya peradilan.36

5. Asas Keadilan

Keadilan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah landasan berlaku

adil terhadap manusia yang menjadi warga masyarakat. Keadilan adalah semua hal

yang berkenaan dengan sikap dan tindakan dalam hubungan antarmanusia, keadilan

berisi sebuah tuntutan agar orang memperlakukan sesamanya sesuai dengan hak dan

kewajibannya, perlakukan tersebut tidak pandang bulu atau pilih kasih; melainkan,

semua orang diperlakukan sama sesuai dengan hak dan kewajibannya.

D. Hasil Penelitian

1. Standar Pelayanan Pengadilan Negeri Salatiga

Pengadilan Negeri Salatiga yang beralamat di Jl.Veteran No.4 Salatiga, Jawa

Tengah berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No.

026/KMA/SK/II/2012 tentang Standar Pelayanan Peradilan sebagai dasar bagi setiap

satuan kerja pada seluruh badan peradilan dalam memberikan pelayanan publik

adalah melalui Surat Keputusan tersebut menjadi dasar Pengadilan Negeri Salatiga

untuk menerapkan standar peradilan yang baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku

36

(27)

49

dan menjadi dasar untuk melahirkan program pelayanan publik terbaru berbasis

keadilan yakni Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) yang salah satunya berupa

konseling.

Melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 026/KMA/SK/II/2012

tentang Standar Pelayanan Peradilan, Pengadilan Negeri Salatiga membuat Pelayanan

Publik berbasis keadilan yakni Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) dan Pengadilan

Negeri Salatiga mengeluarkan Surat Keputusan Ketua Pengadilan Negeri Salatiga

No.W 12-U12/152 / HK008/9/2015 tentang Pembentukan Team Pengelola Pelayanan

Peradilan Pemulihan Terpadu Pada Pengadilan Negeri Salatiga untuk mengatur

mengenai tatacara pelayanan, biaya pelayanan peradilan, dan penetapan – penetapan untuk penunjukan konseling yang merupakan bagian dari Peradilan Pemulihan

Terpadu (P3T).

Pengertian mengenai Standart Pelayanan Peradilan terdapat pada bagian

ketentuan umum huruf C angka 3 yang berisi:

“Standart Pelayanan Peradilan adalah standar pelayanan yang bersifat nasional dan memberikan pedoman bagi semua badan peradilan di semua lingkungan

peradilan pada semua tingkatan untuk menyusun Standar Pelayanan Pengadilan pada

masing-masing satuan kerja.”

Sedangkan pengertian pelayanan pengadilan terdapat pada bagian ketentuan

(28)

50

“Pelayanan Pengadilan adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan bagi masyarakat, khususnya pencari keadilan, yang

disediakan oleh Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan dibawahnya

berdasarkan peraturan-perundang-undangan dan prinsip-prinsip pelayanan publik.” Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa dasar peraturan perundang – undangan yang ada dalam pelayanan peradilan yang dimaksud adalah Kitab Undang Hukum

Acara Pidana untuk perkara pidana dan Kitab Undang Hukum Acara Perdata untuk

perkara perdata. Eksistensi KUHAP dalam standart pelayanan peradilan dalam SK ini

saling berhubungan dimana KUHAP digunakan sebagai patokan dalam mengeluarkan

putusan. KUHAP digunakan sebagai acuan dalam mengeluarkan serta memutus suatu

perkara dan menjadi faktor penting dari sebuah sistem peradilan pidana. Ketika suatu

program yang bersifat umum demi kepentingan masyarakat atau publik maka harus

berdasarkan peraturan perundang – undangan bukan berdasarkan surat keputusan. Apabila suatu program dibentuk berdasarkan surat keputusan maka hal tersebut telah

melanggar peraturan perundang – undangan.

Penyelenggara pelayanan peradilan adalah satuan kerja yang melakukan

kegiatan pelayanan pengadilan dengan pelaksana pengadilan yakni pejabat, pegawai,

petugas, dan setiap orang yang melakukan serangkaian kegiatan atau tindakan

pelayanan pengadilan. Sedangkan Masyarakat adalah seluruh pihak, baik warga

negara maupun penduduk sebagai orang perseorangan, kelompok, maupun badan

hukum yang berkedudukan sebagai penerima manfaat pelayanan pengadilan, baik

(29)

51

Dalam bagian ketentuan umum huruf J angka 3 dikatakan bahwa:

“Penyusunan Standart Pelayanan Pengadilan pada satuan kerja dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat dan pemangku kepentingan.” Dan pada angka 4

dikatakan bahwa: “Penyusunan standart pelayanan pengadilan pada tiap – tiap satuan kerja dilakukan dengan berpedoman pada UU Pelayanan Publik dan Standart

Pelayanan Pengadilan.” Oleh karena itu melalui standart pelayanan peradilan ini seluruh ketentuan yang berlaku menjadi hal dasar dalam pelayanan publik Pengadilan

Negeri Salatiga dengan membentuk Program Peradilan Pemulihan

Terpadu(P3T).(Lampiran I)

2. Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) Pengadilan Negeri Salatiga

Dasar pembentukanPeradilan Pemulihan Terpadu (P3T) adalah berdasarkan

Surat Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 026 tahun 2012

tentang Standart Pelayanan Peradilan pada bagian Putusan Nomor 3 yang

menetapkan bahwa: “memerintahkan kepada setiap satuan kerja pada Badan Peradilan untuk menyusun Standart Pelayanan sesuai dengan jenis pelayanan yang

diberikan oleh masing – masing satuan kerja tersebut selambat – lambatnya 6 (enam)

bulan sejak tanggal ditetapkannya Surat Keputusan ini.” Dan berdasarkan pada huruf J angka 1 yang berisi:

“dalam waktu selambat – lambatnya 1 (satu) tahun sejak Standar Pelayanan Pengadilan diberlakukan, setiap satuan kerja pada semua lingkungan badan peradilan di semua tingkatan, wajib menyusun standart pelayanan peradilan yang disesuaikan dengan kondisi pada masing – masing satuan kerja, dan kebutuhan masyarakat pada

(30)

52

Serta berdasarkan Surat Keputusan Ketua Pengadilan Negeri Salatiga No.W

12-U12/152 / HK008/9/2015 tentang Pembentukan Team Pengelola Pelayanan

Peradilan Pemulihan Terpadu Pada Pengadilan Negeri Salatiga sebagai dasar

pengaturan mengenai program peradilan pemulihan terpadu (P3T) yang berbasis

keadilan. SK ini berisi mengenai sistem pelayanan peradilan terpadu untuk

pencapaian keadilan dalam perkara pidana maupun perdata, pembentukan team

pengelola Pelayanan Peradilan Pemulihan Terpadu di Pengadilan Negeri Salatiga,

pengaturan tatacara pelayanan, biaya pelayanan peradilan, dan penetapan – penetapan untuk penunjukan konseling. Dan dalam Surat Keputusan tersebut dikemukakan juga

dalam bagian menimbang mengenai hak – hak pencari keadilan terdapat dalam bagian menimbang yakni sebagai berikut: (lampiran II)

a. Bahwa perempuan dan anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga,

berhak mendapatkan perlindungan, pendampingan dan/atau bimbingan rohani

dalam setiap perkara kekerasan dalam rumah tangga yang dihadapinya.

b. Bahwa sarana pelayanan peradilan pemulihan harus memperhatikan dan

mempunyai akses yang dapat dijangkau oleh penyandang cacat (disabilitas).

c. Bahwa merupakan kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan dan

bantuan kepada setiap anak baik terhadap yang menjadi pelaku maupun

korban baik bantuan hukum maupun bantuan lainnya, yang dalam

(31)

53

d. Bahwa pelayanan peradilan pemulihan harus dapat menyediakan akses atau

sarana bagi saksi dan korban untuk memberikan kesaksian tanpa berhadapan

langsung dalam pemeriksaan persidangan

Peradilan Pemulihan terpadu adalah sebuah program unggulan dan program

inovasi dalam hal pelayanan publik di Pengadilan Negeri Salatiga untuk

mempermudah proses perkara serta mewujudkan pelayanan publik dengan konsep

keadilan yang merupakan kewenangan sepenuhnya milik pengadilan yang bertujuan

pada pemulihan atau restorative bagi para pihak yang berhadapan dengan hukum

yakni pelaku/ korban. Melalui wawancara dengan Bapak Fajar Yulianto, SH., sebagai

jaksa Penuntut Umum pada tanggal 26 Agustus 2016, kata Terpadu dapat diartikan

sebagai salah satu bentuk pelayanan publik yang diberikan di Pengadilan Negeri

Salatiga yakni berupa bimbingan konseling yang dilakukan oleh Psikologi, Pendeta,

atau Konsuler yang sebelumnya telah ditunjuk melalui SOP.37

Melalui wawancara dengan narasumber lain yakni Ibu Henny Trimira

Handayani, SH., MH., sebagai Ketua Pengadilan Negeri Salatiga pada tanggal 22

Agustus 2016, bentuk Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) yang diberikan kepada

pelaku dan korban selaku pencari keadilan adalah dengan tujuan sebagai berikut :

 Untuk membangun sarana, prasarana dan model penanganan peradilan

pemulihan terpadu yang dapat membantu pemulihan keadaan mental atau

rokhani bagi korban, pelaku maupun pihak – pihak yang berperkara melalui penyediaan fasilitas- fasilitas dan lembaga konseling, agar dapat membantu

37

(32)

54

para pihak yang berhadapan dengan hukum dapat memperbaiki kualitas

kehidupannya ;

 untuk membuka ruang dialog intersubyektif terbuka bagi hakim dengan para

pihak yang berhadapan dengan hukum melalui bantuan konsuler, sehingga

hakim dapat memahami keadilan yang lebih substantive;

 membuka stigma negatif masyarakat ketika hakim berupaya berdialog

dengan para pihak dalam memahami permasalahan suatu perkara; dan

 untuk mendamaikan perkara sebelum perkara diputus.38

Kemudian melalui wawancara dengan Ibu Henny Trimira Handayani,

SH.,MH., sebagai Ketua Pengadilan Negeri Salatiga pada tanggal 22 Agustus 2016;

Bapak Achmad Raffik Arief, SH., sebagai Panitera Muda Pidana dan Bapak Adhi

Agus Ardhianto SH., sebagai Panitera Pengganti di Pengadilan Negeri Salatiga yang

dilakukan pada tanggal 30 Mei 2016 dan 28 Juni 2016 ; Bapak Ferdiansyah

SH,MH.,sebagai Kepala Seksi Tindak Pidana Umum ; dan Bapak Fajar Yulianto,

SH., sebagai Jaksa Penuntut Umum pada tanggal 26 Agustus 2016, bahwa bentuk

peradilan pemulihan terpadu yang diberikan kepada pelaku dan korban terkait

konseling, yaitu sebagai berikut :

 dilihat dari sisi pelaku yakni apakah pelaku tersebut telah benar – benar menyesal atau tidak ataukah hanya berpura – pura menyesal yang dalam hal ini berarti memberi penilaian. Jika dalam penilaian tersebut pelaku masih

dapat dibina/dibimbing maka pada saat itu juga pengadilan memberikan

38

(33)

55

penawaran kepada pelaku apakah mau dilakukan bimbingan atau tidak.

Penilaian tersebut dilakukan oleh hakim dan jaksa.

 Dari sisi korban, dilakukan dengan penilaian yang sama, untuk perkara

pidana ada dalam bentuk diversi atau sidang melalui ruang teleconference

untuk perkara pidana anak dan selanjutnya dapat dilakukan bimbingan atau

konseling karena ada pemikiran bahwa anak masih dapat untuk dibina.

Bimbingan berupa konseling ini berguna untuk para pihak dalam hal

mendapatkan pencerahan batin atau rohani bagi pelaku agar tidak

mengulangi kejahatan yang diperbuat. Dan pemulihan bagi korban, biasanya

untuk pemulihan korban lebih banyak dalam hal perlindungan korban anak.

Bentuk rekomendasi/referensi yang diberikan oleh pihak konselor kepada

hakim ada dalam bentuk dokumen (resume) yang sebelum persidangan tersebut

bersifat rahasia dan tidak dapat diberitahukan kepada pihak manapun kecuali hakim

(hanya pada hakim) sampai selesai persidangan dan dokumen tersebut setelah

persidangan baru dapat dibuka secara terbuka. Kerena hal tersebut dapat

mempengaruhi pemikiran – pemikiran si korban. terkait dengan Jaksa bisa saja jaksa meminta rekomendasi/referensi konselor namun hanya dapat digunakan sebagai

kepentingan memperkuat fakta – fakta dalam persidangan.

Pada dasarnya program bimbingan atau konseling yang diberikan dilakukan

dengan cara mempertemukan pihak yang membutuhkan dengan pihak konselor yakni

psikolog atau rohaniawan untuk selanjutnya dilakukan bimbingan konseling tersebut.

(34)

56

lembaga pendampingan perempuan dan anak yang terdapat di kepolisian dalam

perkara pidana anak dan tindak pidana susila.39 Pemulihan tersebut dilakukan selama

proses perkara berjalan dan dilakukan saat persidangan berlangsung yang diharapkan

hasil dari proses pemulihan dengan konseling tersebut dapat menjadi masukan atau

referensi bagi hakim untuk memperjelas titik terang dalam memutus perkaranya,

sekaligus memberi manfaat bagi korban/pelaku/para pihak yakni berupa pemulihan

mental/jiwa.

Lembaga konseling dalam Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) berjalan sejak

penandatanganan MOU pada tanggal 21 September 2015 dengan perantara

Pengadilan Negeri Salatiga dengan PemKot Salatiga , Institut Agama Islam Negeri

(IAIN) Salatiga dan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, yang

kemudian dilanjutkan dengan penandatangan MoU lain dengan perantara Pengadilan

Negeri Salatiga dengan Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga dan Rumah Sakit Paru

Dr. Ario Irawan Salatiga yang diterapkan dalam perkara perdata yakni terkhusus

perceraian dan dalam perkata pidana. Adapun dalam SOP pelaksanaan lembaga

konseling adalah upaya konseling ditawarkan oleh Hakim atau Majelis Hakim pada

saat persidangan dan Konseling dilakukan di luar jam persidangan oleh konsuler

(Psikolog/Rohaniawan/pendamping) yang ditunjuk. Proses konseling diharapkan

dilakukan bersamaan dengan proses pemeriksaan.40

39

http://inovasi.mahkamahagung.go.id/inovasi-detail/PELAYANAN%20PERADILAN%20PEMULIHAN%20TERPADU%20%20P3T, di akses pada tanggal 8 Agustus 2016, pukul 11.50.

40

(35)

57

Sistem Peradilan Pidana atau yang disingkat dengan SPP adalah hukum acara

pidana dalam arti yang luas sementara istilah hukum acara pidana saja adalah SPP.

Kedudukan program Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) dalam sistem peradilan

pidana (SPP) dalam hal ini adalah bahwa program Peradilan Pemulihan Terpadu

(P3T) hanyalah sebagai program unggulan pengadilan dan tidak dicantumkan dan

diatur di dalam sistem peradilan pidana (SPP). Konsep dasar sistem peradilan pidana

Indonesia pada dasarnya adalah apa yang telah diundangkan dalam KUHP dan

ketentuan lain di luar KUHP yang secara keseluruhan menjadi satu yaitu sistem

peradilan pidana Indonesia.41

Terkait implementasi dan kedudukan program peradilan pemulihan terpadu

(P3T) dalam sistem peradilan pidana adalah yang dalam hal ini terkait dengan

Independensi kedudukan hakim dan jaksa bahwa hakim dan jaksa tidak terpengaruh

sama sekali dengan adanya program ini. Hal ini dapat dikatakan bahwa pada

dasarnya hakim hanya memiliki keperluan dalam hal untuk untuk mengetahui segala

hal yang berkaitan dengan perkara yang ditangani, serta referensi yang diberikan oleh

ahli atau konselor hanya sebagai salah satu acuan hakim untuk dapat menemukan titik

terang dalam perkara yang ditangani.

Referensi yang diusulkan/diberikan kepada hakim tidak bersifat mengikat

hakim. Oleh karenanya adanya program peradilan pemulihan terpadu (P3T) tidak

mempengaruhi independensi hakim dalam mengurus serta memutus suatu perkara.

41

(36)

58

Terkait Independensi yag dimiliki oleh Jaksa penuntut umum, Independensi yang

dimiliki jaksa Penuntut Umum sama dengan Hakim, yakni tidak dapat dipengaruhi

oleh hal apapun dikarenakan jaksa memiliki pemikiran sendiri yang tidak dapat di

intervensi oleh hal apapun serta jaksa pada dasarnya telah memiliki kewenangan

tersendiri dalam hal tuntutan.

3. Perkara Nomor 100/Pid.B/2015/PN.Slt, terdakwa Feri Tri

Wahyudi Bin Sudirman

Perkara Nomor 100/Pid.B/2015/PN.Slt, atas nama Terdakwa Feri Tri

Wahyudi Bin Sudirman, umur 28 tahun, jenis kelamin laki – laki, kebangsaan Indonesia, yang bertempat tinggal di Jl. Tirtomoyo No. 37 Rt 04 Rw 01 B Kec.

Bandungan Kab. Semarang, agama Islam, pekerjaan Swasta, atas dakwaannya terjerat

pidana dalam pasal 480 ayat (1) KUHP yakni: “barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau menarik keuntungan, menjual,

menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan, atau

menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa

diperoleh dari kejahatan penadahan.”

Bahwa sebelumnya pada hari Sabtu, tanggal 24 Januari 2015 sekitar pukul

02.30 di depan rumah yang terletak di Gg. Jerukan Rt 11 Rw 02 Kalioso kel.

Kutowinangun Kec. Tingkir Kota Salatiga, telah terjadi tindak pidana pencurian

sepeda motor yang dilakukan oleh Saksi Abdurrohim Dwi Cahya (dalam berkas

(37)

59

H-2938-QB warna hitam. Yang kemudian oleh Saksi Abdurrohim Dwi Cahya hasil

motor curian tersebut diambil kerangka motornya dan di titipkan di rumah Saksi

Andhika Fendi Yohanes untuk dijual dan rangka tersebut berhasil di beli oleh sdr

TOLE (DPO).

Dalam perkara tersebut terdakwa Feri Tri Wahyudi Bin Sudirman sekitar

bulan Februari Tahun 2015 sekira pada jam 18.30 WIB atau setidak – tidaknya pada tahun lain dalam tahun 2015 telah membeli rangka sepeda motor hasil curian sebesar

Rp 200.000,- dari sdr TOLE (DPO) di Lopait Rawa Permai Tuntang Kabupaten

Semarang dalam rangka untuk memenuhi pesanan rangka dari Saksi Hendri Susilo

yang meminta untuk dirakitkan menjadi motor trail yang dalam perkara tersebut

Terdakwa Feri Tri Wahyudi Bin Sudirman telah membeli rakitan motor tersebut

tanpa dilengkapi dengan surat – surat kepemilikan yang sah.

Bahwa rakitan yang sebelumnya masih berupa rangka oleh Terdakwa dengan

sengaja nomor rangka tersebut di hilangkan dengan cara menggerinda. Hasil rakitan

motor trail yang dilakukan oleh Terdakwa Feri Tri Wahyudi Bin Sudirman

memperoleh pendapatan keuntungan sejumlah Rp 200.000,- dari Saksi Hendri Susilo.

Dengan demikian Terdakwa Feri Tri Wahyudi Bin Sudirman telah melakukan

tindak pidana kejahatan penadahan dan memberikan dakwaan pada Pasal 480 ayat (1)

KUHP yakni “barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima

hadiah, atau menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan,

(38)

60

diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan.” Dalam perkara tersebut Pengadilan Negeri Salatiga yang menerima, memeriksa dan

memutus perkara pidana telah menjatuhkan penetapan penunjukan konseling untuk

kepentingan terdakwa Feri Tri Wahyudi Bin Sudirman dengan Penetapan

No.100/Pen.Pid/2015/PN,Slt., pada tanggal 28 Oktober 2015. (Lampiran III)

Berdasarkan Penetapan konseling dengan Nomor 100/Pen.Pid/2015/PN,Slt.,

yang diperuntukkan bagi terdakwa Feri Tri Wahyudi Bin Sudirman dengan maksud

bahwa penyimpangan perilaku yang telah dilakukan oleh terdakwa telah melanggar

norma - norma hukum pidana dan harus dilakukan upaya untuk meningkatkan

kualitas perilaku dan pengendalian diri terdakwa yang bertujuan untuk pemulihan

secara amental agar terdakwa dapat kembali melaksanakan fungsi sosialnya di dalam

kehidupan bermasyarakat. Dalam penetapan tersebut telah ditetapkan bahwa

Sdr..Dra. Siti Zumrotun, M.ag selaku Psikolog/Rohaniawan, yang ditetapkan sebagai

konsuler dalam perkara tersebut adalah untuk mendampingi dan memberikan

bimbingan terhadap terdakwa dan hasilnya dilaporkan pada majelis hakim. Melalui

penetapan ini terdakwa mendapatkan hak – haknya untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna

mencapai persamaan dan keadilan.42 Serta melalui penetapan ini hakim dapat

menggali lebih dalam, memahami nilai – nilai hukum yang ada dan rasa keadilan yang sebenarnya.43

42

Lihat Pasal 28 H ayat (2) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

43

(39)

61

Dalam perkara tersebut memang benar bahwa Terdakwa Feri Tri Wahyudi

Bin Sudirman telah menerima konseling dalam Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T)

yang ditawarkan oleh hakim sebelumnya. Akan tetapi yang terjadi adalah Konseling

dalam Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) yang ditawarkan tidak berjalan

sebagaimana yang diharapkan sebelumnya.

Pada tataran ide proses konseling berdasarkan Surat Penetapan Konseling

dilakukan bersamaan dengan proses pemeriksaan persidangan yang setelah proses

konseling berakhir, konselor yang telah ditunjuk sebelumnya membuat hasil

konseling yang kemudian diberikan kepada hakim secara tertutup dan dibacakan pada

saat pembacaan putusan sebagai salah satu bahan pertimbangan jika diperlukan. Fakta

yang terjadi adalah Konseling dalam Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) yang telah

berjalan sempat berhenti, hal ini dikarenakan terdakwa merasa disalahkan dan

dihakimi dalam proses konseling yang dilakukan oleh pihak konselor sehingga

terdakwa tidak memahami tujuan dari konseling.

Berdasarkan perkara tersebut hubungan antara Peradilan Pemulihan Terpadu

(P3T) dengan perkara yang ada terkait dengan bimbingan atau konseling adalah pihak

yang bermasalah yang berhadapan dengan hukum mendapatkan pencerahan melalui

pilihan bimbingan atau konseling tersebut. Dengan adanya peradilan pemulihan

terpadu (P3T) tersebut memudahkan jalan para pencari keadilan dalam hal

(40)

62

Namun untuk menjalankan Program Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T)

masih jauh dari kata mudah untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan bahwa adanya

posisi pelaku selaku pencari keadilan dalam memperoleh keadilan yang tidak

seimbang. Ketidakseimbangan yang dimaksud adalah dalam hal ini adalah keadilan.

Keadilan yang harus didapat dan diperoleh oleh pencari keadilan adalah kepastian

mengenai hak – haknya dalam memperoleh keadilan yang dalam perkara tersebut ada kekhawatiran para pencari keadilan bahwa hakim akan berat sebelah dalam memutus

perkara, serta dalam SK Ketua Pengadilan Negeri Salatiga Nomor W 12-U12/152

/HK008/9/2015 tentang Pembentukan Team Pengelola Pelayanan Pengadilan Negeri

Salatiga bahwa tidak dicantumkan secara jelas mengenai hak – hak tersangka/terdakwa selaku pencari keadilan.

E. Analisis

Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) adalah program unggulan dan program

inovasi dalam hal pelayanan publik di Pengadilan Negeri Salatiga untuk

mempermudah proses perkara serta mewujudkan pelayanan publik dengan konsep

keadilan yang merupakan kewenangan sepenuhnya milik Pengadilan Negeri Salatiga

yang bertujuan pada pemulihan atau restorative bagi para pihak yang berhadapan

dengan hukum yakni pelaku/korban. Untuk menyesuaikan dengan hukum yang ada

maka dibuat pengaturan Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) yakni dengan Surat

Keputusan Ketua Pengadilan Negeri Salatiga No.W 12-U12/152 / HK008/9/2015

tentang Pembentukan Team Pengelola Pelayanan Peradilan Pemulihan Terpadu Pada

(41)

63

Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 026 tahun 2012 tentang Standart

Pelayanan Peradilan.

Pada dasarnya Peradilan Pemulihan

Terpadu

(P3T) di Pengadilan Negeri

Salatiga tidak sesuai dengan amanat yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung yakni

Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 026 tahun 2012 tentang Standart

Pelayanan Peradilan. Hal ini dikarenakan bahwa dalam Surat Keputusan Ketua

Mahkamah Agung Nomor 026 tahun 2012 tentang Standart Pelayanan Peradilan,

tidak ada ketentuan mengenai penyelenggaraan pelayanan publik berdasarkan acuan

Surat Keputusan, melainkan bahwa penyelenggaraan pelayanan Publik harus

berdasarkan peraturan perundang – undangan dan prinsip – prinsip pelayanan publik. Ketentuan tersebut terlihat pada pengertian mengenai Pelayanan Pengadilan dalam

bagian Ketentuan Umum huruf D angka 3 yakni:

“Pelayanan Pengadilan adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka

pemenuhan kebutuhan pelayanan bagi masyarakat, khususnya pencari keadilan, yang disediakan oleh Mahkamah Agung dan badan – badan peradilan dibawahnya berdasarkan peraturan perundang – undangan dan prinsip – prinsip pelayanan

publik.”

Dengan demikian apabila Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) tidak sesuai

dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 026 tahun 2012 tentang

Standart Pelayanan Peradilan maka akan menimbulkan kerugian bagi para pencari

keadilan sehingga berdasarkan hal tersebut pencari keadilan dapat mengadukan

pelayanan publik yang ada di Pengadilan Negeri Salatiga yakni terkait Peradilan

Pemulihan Terpadu (P3T). Hak Pengaduan atas Pelayanan Pengadilan para pencari

(42)

64

tahun 2012 tentang Standart Pelayanan Peradilan pada bagian Ketentuan Umum

huruf F angka 1, yakni:

“masyarakat berhak mengadukan penyelenggaraan pelayanan publik

pengadilan dalam hal :

a. Penyelenggara yang tidak melaksanakan kewajiban dan/atau melanggar larangan;dan

b. Pelaksana yang memberi pelayanan yang tidak sesuai dengan standart

pelayanan.”

Tidak hanya itu Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) juga melanggar

ketentuan mengenai proses persidangan yang ditunda demi berlangsungnya proses

peradilan pemulihan terpadu yakni konseling. Padahal ketentuan mengenai pelayanan

persidangan pidana telah diatur di dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung

Nomor 026 tahun 2012 tentang Standart Pelayanan Peradilan pada bagian III Standar

Pelayanan Peradilan pada Badan Peradilan Umum huruf C angka 1. Dapat dikatakan

bahwa ketentuan dan prosedur yang ada dalam Surat Keputusan Ketua Pengadilan

Negeri Salatiga No.W 12-U12/152 / HK008/9/2015 tentang Pembentukan Peradilan

Pemulihan Terpadu pada Pengadilan Negeri Salatiga tidak sesuai dengan Surat

Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 026 tahun 2012 tentang Standart

Pelayanan Peradilan.

Melalui bebagai wawancara yang penulis lakukan dengan para narasumber

yakni wawancara dengan Ibu Henny Trimira Handayani, SH., MH., sebagai Ketua

Pengadilan Negeri Salatiga; Bapak Achmad Raffik Arief, SH., sebagai panitera muda

pidana dan Bapak Adhi Agus Ardhianto, SH., sebagai panitera pengganti di

(43)

65

Tindak Pidana Umum; dan Bapak Fajar Yulianto, SH., sebagai Jaksa Penuntut umum

tersebut diatas bahwa Kegiatan Konseling yang ada dalam Program Peradilan

pemulihan terpadu (P3T) yang dapat memberi manfaat bagi para pencari keadilan

yakni pelaku/ terdakwa, hakim, dan jaksa penuntut umum. Manfaat tersebut yakni

sebagai berikut:

 Dari sisi Hakim, hakim yang pada awalnya tidak tahu segala - galanya

menjadi lebih mudah mengetahui dan terbantu mengenai masukan – masukan serta melalui referensi dari konselor tersebut hakim dapat mengetahui tentang

latar belakang pelaku melakukan tindak pidana, korban dapat ikut serta dalam

tercetusnya tindak pidana atau kenapa korban menjadi pihak yang dirugikan

oleh pelaku, saksi mengenai hal yang sebenarnya atau kondisi sebenarnya

(psikis atau psikologis) dari pihak yang bermasalah tersebut adalah agar

dalam memutus suatu perkara hakim menjadi lebih adil dan seimbang dalam

putusannya dan tidak berat sebelah.

 Dari sisi Jaksa Penuntut Umum, Jaksa terbantu dalam hal pembuktian yang

dapat memperkuat fakta – fakta dalam persidangan dan lebih memperjelas lagi mengenai fakta – fakta dalam persidangan.

 Bagi para pencari keadilan atau berkonteks pada masyarakat bahwa perbuatan

kejahatan yang dilakukan oleh pelaku yang dianggap meresahkan masyarakat

itu adalah dengan adanya konseling tersebut maka pelaku yang meresahkan

masyarakat menjadi sadar dan mengakui kesalahan yang diperbuat dan ketika

(44)

66

dan berguna bagi masyarakat. Dan untuk korban, korban menjadi tidak resah

akan perbuatan pelaku dan beban mental korban menjadi lega atau

memperbaiki mental korban akibat perbuatan pelaku.

Kemudian fakta – fakta yang ada terkait dengan peradilan pemulihan terpadu (P3T) yakni sebagai berikut :

 bahwa program peradilan pemulihan terpadu (P3T) merupakan program yang

bersifat unggulan serta inovasi dan bukan merupakan program yang

sebenarnya yang tercantum dan diatur dalam sistem peradilan pidana (SPP).

 Bahwa Program Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) dibuat berdasarkan

amanat dari Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor 026 tahun 2012

tentang Standart Pelayanan Peradilan, dalam hal pembaharuan inovasi

pelayanan publik di Pengadilan Negeri.

 Bahwa program peradilan pemulihan terpadu (P3T) dilaksanakan atas dasar

ketentuan yang telah dicantumkan dalam SK Ketua Pengadilan Negeri

Salatiga No.W 12-U12/152 / HK008/9/2015 tentang Pembentukan Peradilan

Pemulihan Terpadu pada Pengadilan Negeri Salatiga.

 Bahwa program peradilan pemulihan terpadu (P3T) dianggap mengganggu

proses sidang pokok yang sedang berlangsung.

 Bahwa melalui program peradilan pemulihan terpadu (P3T) dianggap

(45)

67

Terkait dengan teori keadilan bermartabat, Peradilan Pemulihan Terpadu

(P3T) dalam penerapannya sesuai dengan teori keadilan bermartabat. Teori keadilan

bermartabat adalah teori yang mengatakan bahwa keadilan adalah keadilan yang

bukan sama rata melainkan sesuai dengan ukuran keadilan bagi setiap manusia.

Faktanya adalah bahwa Program Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) pada

dasarnya mengutamakan demi tercapainya keadilan bagi para pencari keadilan.

Ukuran Keadilan yang sebagaimana dimaksud dalam teori keadilan bermartabat

dalam Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) adalah dalam hal kepastian mengenai hak

– hak pencari keadilan yakni hak – hak pelaku/terdakwa . Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) dalam tataran ide adalah memposisikan pelaku/ terdakwa sebagai

orang yang mencari keadilan yang perlu untuk dijunjung tinggi mengenai hak – haknya dalam memperoleh keadilan.

Melalui Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) adanya potensi bagi hakim untuk

berdialog dengan para pencari keadilan agar dalam menangani suatu perkara hakim

dapat memahami keadilan yang lebih subtansive dan tidak merugikan terdakwa

selaku pencari keadilan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori keadilan

bermartabat dan peradilan pemulihan terpadu sudah sejalan.

Terkait dengan teori pemidanaan, Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) dalam

penerapannya tidak bertentangan dengan teori pemidanaan. Pada dasarnya dalam

teori pemidanaan hanya ditujukan penjatuhan hukumannya kepada pelaku yang

Referensi

Dokumen terkait

Suherman, Erman, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia,

Based on product review which developed by researcher, there are several conclusions which explain next: 1) Development result in this research is electronic

 Bila terjadi kedudukan 14 sama, pemain/pasangan yang lebih dulu mencapai angka 14 akan menentukan apakah terjadi jus 3 (permainan akan berakhir pada poin 17) atau tidak

1) Perlindungan hukum tenaga kerja oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan sesuai dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 terdapat 4 program

Trianto, 2010, Mendesain Pembelajaran Inovatif-Progesif : Konsep, Landasan, Dan Implementasinya Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Jakarta : Kencana Prenada

memiliki kemampuan untuk bertanggungjawab atau mamapu mempertanggungjawabkan sanksi dari tindak pidana penipuan yang ia lakukan,di katakan sehat kejiwaan serta sehat

Skripsi dengan judul “ Korelasi Antara Kemampuan Siswa Dalam Menjelaskan Soal Cerita dangan Kemampuan Siswa dalam Mengerjakan Soal Cerita Materi Lingkaran pada

Langkah-langkah mencari artikel menggunakan search engine Disusun Sebagai Kelengkapan RPL.Prodi DIII Keperawatan. Program Percepatan Pendidikan