BAB II : PERKAWINAN SIRRI MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-
2. Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, ketentuan perkawinan di Indonesia diatur dalam berbagai ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek) Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesier S.1933.No.74) dan Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling Op De Gemingde Huwalijken S 1898 No.158).
Pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengakibatkan ketentuan-ketentuan perkawinan tersebut menjadi tidak berlaku lagi, dalam hal ini termasuk juga apa yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek). Sungguh lahirnya Undang-Undang perkawinan membawa akibat yang sangat besar, mengingat selama ini sedemikian banyak aturan perkawinan yang berlaku secara bersamaan dalam wilayah nusantara. Keberadaan berbagai macam hukum perkawinan yang telah merdeka sudah tentu tidak cocok dengan nafas bangsa Indonesia yang berdaulat.33
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 berlandaskan kepada asas-asas yang dihayati oleh bangsa Indonesia yakni:34
1. Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia.
2. Perkawinan dianggap sah kalau diselenggarakan berdasarkan hukum agama dan kepercayaannya, untuk kemudian dilakukan pencatatan sesuai dengan aturan.
3. Asas monogami pada dasarnya dipergunakan sebagai landasan.
4. Calon mempelai hendaknya sudah matang jiwa dan raga saat melangsungkan perkawinan.
33. Moch. Isnaeni, Hukum….Op.Cit, hal 17 s/d 18.
34. Moch. Isnaeni, op.cit, hal. 22
5. Menggigat tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal serta sejahtera, maka dianutlah prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian.
6. Adanya keseimbangan kedudukan hukum antar suami dan isteri.
Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, memberikan definisi bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa35 maka unsur-unsur perkawinan ada 3 (tiga), yaitu:
1) Unsur Agama.
Unsur agama ini dapat dilihat dalam Sila pertama Pancasila yang menyebutkan
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jelaslah bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama atau kerohanian, yang merupakan tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
2) Unsur Hukum.
Unsur hukum dalam perkawinan dapat dilihat dari adanya pencatatan perkawinan bagi yang beragama Islam dilakukan di Kantor Urusan Agama ( KUA ) dan bagi yang beragama non Islam pencatatannya di Kantor Catatan Sipil. Dengan perkawinan antara suami isteri telah terjadi hubungan hukum, sehingga apapun yang akan dilakukan seperti perceraian, waris dan lain-lain akan diatur menurut hukum yang berlaku.
3) Unsur Sosial.
Yang dimaksud dengan unsur sosial adalah bahwa dengan membentuk keluarga, maka nantinya akan bersosialisasi dalam hubungan hidup bermasyarakat. Kehidupan suami isteri tidak dapat dipisahkan dari kehidupan dan perkembangan lingkungan masyarakat.
35 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta Liberty, 2007, hal.. 138-139
Tingkah laku anggota-anggota keluarga harus sesuai dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sama sekali tidak berbicara tentang rukun perkawinan. Undang-undang ini hanya membicarakan syarat-syarat perkawinan, yang mana syarat-syarat tersebut lebih banyak berkenaan dengan unsur-unsur atau rukun perkawinan.36 Menurut R Soetojo Prawirohamidjojo adapun syarat-syarat perkawinan terbagi menjadi syarat-syarat intern (materiil) dan syarat-syarat ekstren (formiil), syarat intern berkaitan dengan para pihak yang melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat ekstren berhubungan dengan formalitas-formalitas yang harus di penuhi dalam melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat intern terdiri dari:37
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak (Pasal 6 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 ).
Sepakat atau persetujuan dalam ranah perkawinan lebih ditujukan kepada kesanggupan para pihak untuk mematuhi ketentuan perkawinan. Hal ini disebabkan kedua pihak sepakat untuk membentuk sebuah rumah tangga atau keluarga yang dijadikan dasar atau komponen inti dalam kehidupan sosial.38
2. Harus mendapat izin kedua orang tua, bilamana masing-masing calon belum mencapai umur 21 tahun (Pasal 6 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974).
Persetujuan kedua belah pihak tentunya tidak hanya berhenti pada persoalan sepakat akan tetapi juga memerlukan adanya sepakat kedua belah keluarga yang bersangkutan
36 Amir Syariffudin, Op, Cit, hal. 61
37. R .Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Surabaya, Airlangga University Press, 1994, hal. 39
38. Moch. Isnaeni, Hukum Perkawinan….op.cit, hal.50
yang ujungnya adalah izin perkawinan. Izin tersebut secara formal diperlukan bagi calon mempelai yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun.39
3. Bagi pria harus mencapai usia 19 tahun dan wanita 16 tahun, kecuali ada dispensasi yang diberikan oleh pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh orang tua kedua belah pihak (Pasal 7 ayat 1dan 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974).
Batas usia ini diperlukan dengan pertimbangan medis, ada kalanya perkawinan anak-anak itu tidak sehat, baik ditinjau dari segi fisik maupun mental yang bersangkutan, sehingga sering terjadi kegagalan dalam membina rumah tangga. Pendidikan yang harus dirintis harus dihentikan karena perkawinan. Banyak dampak negatif dari perkawinan dini.
4. Bahwa kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin, kecuali bagi mereka yang agamanya mengizinkan untuk berpoligami (Pasal 9 Jo.Pasal 3 ayat 2, dan Pasal 4 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974).
Ketentuan pasal 9 ini tidak terlepas dari pengaruh agama yang dianut warga negara Indonesia
5. Bagi seorang wanita yang melakukan perkawinan untuk kedua kali dan seterusnya, undang-undang mensyaratkan setelah lewat masa tunggu, yaitu sekurang-kurangnya 90 hari bagi yang putus perkawinannya karena perceraian, 130 hari bagi mereka yang putus perkawinannya kerana kematian suaminya (Pasal 10 dan 11 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974).
Ketentuan ini melarang adanya pengulangan kawin bagi pasangan yang sama untuk beberapa kali, dengan tetap memperhatikan agama yang bersangkutan. Hal ini
39. Ibid. hal 51.
menunjukan nilai sakralnya sebuah perkawinan, agar perkawinan sebagai sebuah lembaga tidak dipermainkan secara gegabah.40
Selain itu ada ketentuan Pasal 8 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang melarang perkawina antara :
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas.
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antar seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri.
d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, sudara susuan dan bibi/paman susuan.
e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Sedangkan syarat-syarat ekstren (formiil) yaitu :
1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di mana perkawinan itu akan dilangsungkan, ddilakukan sekurang-kurangnya 10 hari sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan dapat dilakukan lisan/tertulis oleh calon mempelai/orang tua/wakilnya. Pemberitahuan itu antara lain memuat: nama, umur, agama, tempat tinggal calon mempelai (Pasal 3 s/d 5 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975.)
40. Ibid, hal. 59
2. Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu diteliti, apakah sudah memenuhi syarat/belum. Hasil penelitian ditulis dalam daftar khusus untuk hal tersebut (Pasal 6 S/d 7 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975).
3. Apabila semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat Perkawinan membuat pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang memuat antara lain:
- Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon pengantin.
- Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan (Pasal 8 s/d 9 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975).
4. Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua calon mempelai menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan satu lagi disimpan pada Panitera Pengadilan. Kepada suami dan Istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan (Pasal 10s/ d 13 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975).
2.1. Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan.
Pencegahan perkawinan maupun pembatalan perkawinan, merupakan peristiwa yang relatif jarang terjadi dalam kehidupan masyarakat, khususnya kalau dibandingkan dengan misalnya peristiwa perkawinan. Ditilik dari istilahnya, sudah tersirat maknanya bahwa untuk pencegahan perkawinan yang dimaksud belum dilaksanakan. Pencegahan dapat bersifat tetap maupun bersifat sementara.41
41. Ibid, hal. 67 s/d 68
Pencegahan perkawinan diatur dalam pasal 13 sampai dengan pasal 28 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 13 menyatakan : “Perkawinan dapat dicegah apabila ada orang yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan” . hal ini bertujuan bahwa apabila perkawinan harus memenuhi syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagaimana telah ditentukan.
Pasal 14 menyatakan bahwa :
(1) Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
(2) Mereka yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lain, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini.
Pasal 15 “Barang siapa yang karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini.”
Pasal 16 “Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.”
Pasal 17
(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.
(2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan.
Pasal 18 “Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah.
Pasal 19 “Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.
Pasal 20 “Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.
Pasal 21
(1) Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.
(2) Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan yang oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan putusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut di atas.
(4) Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan
(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan pada pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahukan tentang maksud mereka.
Dalam perihal pembatalan perkawinan ini berarti perkawinan sesudah dilangsungkan, kemudian ada pihak yang meminta pembatalan perkawinan, apabila dibandingkan dengan pencegahan perkawinan, tingkat komplesitasnya akan tinggi dan rumit, menggigat dari perkawinan yang telah terjadi itu sudah mempunyai akibat-akibat hukum, apalagi kalau sudah ada anak yang dilahirkan 42.
Dalam kententuan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 diatur dalam pasal 22 dan 28 . yakni :
Pasal 22 “Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 23 “ Yang dapat mengajukan Pembatalan perkawinan yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri.
b. Suami atau isteri.
42 Ibid, hal. 70 s/d 71
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Pasal 24 “ Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 25 “ Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.
Pasal 26
(1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasrkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka setelah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
Pasal 27
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu telah menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 28
(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan.
(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap :
a. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b. suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
c. Orang-orang ketiga lainnya termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hakhak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
B. Perkawinan Sirri Menurut Hukum Islam Dan Perkawinan Sirri Menurut