• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : PERKAWINAN SIRRI MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-

B. Perkawinan Sirri Menurut Hukum Islam dan Perkawinan Sirri

2. Perkawinan Sirri Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Kawin sirri adalah perkawinan yang dilakukan oleh sepasang kekasih tanpa ada pemberitahuan (dicatatkan) di Kantor Urusan Agama (KUA), tetapi perkawinan ini sudah memenuhi unsur-unsur perkawinan dalam Islam, yang meliputi dua mempelai, dua orang

saksi, wali, ijab-qabul dan juga mas kawin. Kawin sirri ini hukumnya sah menurut agama, tetapi tidak sah menurut hukum positif (hukum negara). Oleh karena itu, perkawinan sirri yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama itu tidak punya kekuatan hukum, sehingga jika suatu saat mereka berdua punya permasalahan yang berkenaan dengan rumah tangganya seperti perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, warisan, perebutan hak asuh anak dan lainnya, pihak kantor urusan agama dan pengadilan agama tidak bisa memutuskan bahkan tidak bisa menerima pengaduan mereka berdua yang sedang punya masalah.47

Pernikahan sirri dalam ketentuan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 berkaitan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dikatakan bahwa “ Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Selanjutnya menurut Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan pada Pasal 3 dikatakan : 1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan. 2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. 3.

Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat (atas nama) Bupati Kepala Daerah

Dari sudut pandang hukum yang berlaku di Indonesia, nikah sirri merupakan perkawinan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor .1 tahun 1974 Jo. Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) dan (2) KHI, suatu perkawinan di samping harus dilakukan secara sah menurut hukum agama, juga harus dicatat oleh pejabat yang berwenang.

Dengan demikian, dalam perspektif peraturan perundang-undangan, nikah sirri adalah

47.Nasiri, Praktik Prostitusi Gigolo ala Yusuf Al-Qardawi (Tinjauan Hukum Islam) , Surabaya: Khalista, 2010, hal. 45-46.

pernikahan yang tidak mempunyai kekuatan hukum. Perkawinan yang tidak memiliki kekuatan hukum berdampak yuridis terhadap hak-hak pelayanan publik oleh instansi yang berwenang bagi pelakunya. Dengan kata lain, pernikahan sirri banyak membawa madharat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.48

Menurut Ahmad Rofiq menempatkan pencatatan perkawinan hanya sebagai syarat adrimistratif sangat tidak menguntungkan upaya sosialisasi Undang-undang Perkawinan di Indonesia. Padahal jika dilacak landasan metodologisnya, cukup jelas. Secara teknis, para ulama ushul menyebutkan dengan maslahat al-mursalah (public interest). Dengan adanya pencatatan perkawinan dengan status hukum yang jelas, maka berbagai macam bentuk kemudharatan seperti ketidakpastikan status bagi wanita dan anak-anak akan dapat dihindari.49

Perkawinan dibawah tangan adalah suatu bentuk perkawinan yang merupakan mode masa kini yang timbul dan berkembang diam-diam pada sebagian masyarakat muslim Indonesia. Mereka berusaha menghindari diri dari sistem dan cara pengaturan pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan yang birokratis dan berbelit-belit serta lama pengurusannya. Untuk itu mereka menempuh cara sendiri yang tidak bertentangan dengan hukum Islam (hukum agamanya).Dalam ilmu hukum, cara seperti ini dikenal dengan istilah

“Penyelundupan Hukum”, yaitu suatu cara menghindari diri dari persyaratan hukum yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan tujuan perbuatan bersangkutan dapat menghindarkan suatu akibat hukum yang tidak dikehendaki atau untuk mewujudkan suatu akibat hukum yang dikehendaki.50

48 . R. Soetojo Prawirohamidjojo , Pluralisme Dalam ….Op, Cit, hal .51

49. Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia…Op.Cit, hal 135

50 . Mohd Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam…Op.Cit, hal. 240

Oleh karena itu, terkait dengan hukum tidak mencatatkan perkawinan/pernikahan dalam lembaga resmi negara, terdapat dua pendapat berbeda di antara para ahli. Pendapat pertama menyatakan bahwa hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap undang-undang Pendapat kedua menyatakan bahwa pernikahan yang tidak dicatatkan bukan merupakan suatu pelanggaran hukum/undang-undang . Pendapat ilmuwan non muslim yang memandang pencatatan sebagai keabsahan hukum perkawinan, sarjana muslim memandang bahwa tradisi pencatatan perkawinan hanya berfungsi sebagai beban administrasi dan tidak berpengaruh apapun dalam keabsahan perkawinan. Pandangan mereka, ikatan perkawinan tetap sah dalam pandangan hukum Islam meski tidak tercatat secara resmi di kantor pemerintah. Tradisi yang dipaksakan pemerintah dengan tradisi masyarakat muslim terkait pencatatan perkawinan tersebut hanyalah demi mematuhi tuntutan administrasi negara dan bukan tuntutan agama.51

Perbedaan pendapat tentang menentukan atau tidaknya pencatatan pernikahan terhadap keabsahan perkawinan bersumber pada pemisahan ketentuan tentang keharusan melakukan perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaan (agama) di satu pihak dan keharusan mencatatkan perkawinan di pihak lain pada ayat yang berbeda, meskipun sama-sama terdapat dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, Pada awal perumusan sebelum menjadi Undang-undang Perkawinan, kalangan muslim menentang keras, seolah-olah pencatatan perkawinan lebih diutamakan daripada hukum agama. Pencatatan perkawinan memang tidak ditolak bahkan dianggap penting tetapi tidak dianggap sebagai syarat utama sahnya suatu perkawinan. Ada kekhawatiran akan ada orang muslim awam yang terbiasa meremehkan hukum perkawinan Islam, yang berakibat perkawinan dengan pencatatan belaka akan dianggap sah oleh hukum sipil tetapi tidak sah menurut hukum Islam.

51. Jurnal Studi Keislaman, Volume 15, Nomor 1, Juni 2015, hal 7

Berkaitan dengan Pencatatan Perkawinan (yang diatur negara) misalnya, ditetapkan bahwa pencatatan merupakan syarat sah pernikahan. Aturan ini dianggap bertentangan dengan ajaran Islam yang menganggap pernikahan sebagai ikatan yang sangat sakral dan penuh dengan nuansa agama.52

Seiring dengan telah diaturnya mengenai pencatatan perkawinan ini dalam undang-undang, hampir semua negara muslim mewajibkan ketentuan ini menjadi satu bagian dari tata cara perkawinan muslim di berbagai tempat kendati tidak diangggap merupakan rukun nikah tetapi dianggap penting untuk pembuktian hukum. Pada kebanyakan aturan hukum Islam kontemporer terdapat ketentuan umum bahwa semua akad nikah harus didaftarkan dan setiap penyimpangan terhadap ketentuan ini harus dikenai sanksi hukum, dan perkawinan yang tidak terdaftar tidak diakui keabsahannya oleh Pengadilan. Bahkan pemerintah bertindak tegas, pengadilan tidak mengakui perkawinan yang tidak dilengkapi surat nikah. Namun demikian, tidak diakui keabsahannya oleh pengadilan tidak identik dengan tidak sahnya suatu perkawinan menurut hukum agama.53

Usaha untuk menetapkan pencatatan perkawinan di Mesir dimulai dengan terbitnya Ordonansi Tahun 1880 yang berisi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pegawai-pegawai pencatat nikah dan dasar-dasar pemilihan dan pengangkatan mereka serta menyerahkan pelaksanaan pencatatan nikah itu kepada kemauan para pihak yang berakad dan pertimbangan kepentingan mereka. Ordonansi tahun 1880 itu diikuti dengan lahirnya Ordonansi Tahun 1897 yang Pasal 31-nya menyatakan bahwa gugatan perkara nikah atau pengakuan adanya hubungan perkawinan tidak akan didengar oleh pengadilan setelah

52. Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga)) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, Yogyakarta, Academia Tazzafa, 2009, hal. 334.

53, Jurnal Studi Keislaman, Volume 15…..Op.Cit, hal 8

meninggalnya salah satu pihak apabila tidak dibuktikan dengan suatu dokumen yang bebas dari dugaan pemalsuan.54

Di Pakistan telah timbul pemikiran tentang kewajiban mencatatkan perkawinan dengan ditetapkannya suatu ketentuan yang termuat dalam pasal 5 Ordonansi Hukum Keluarga Islam Tahun 1961 (Muslim Family Laws Ordonance, 1961). Dalam pasal ini ditegaskan bahwa yang berwenang mengangkat pejabat-pejabat pencatat nikah dan mengizinkan mereka untuk melakukan pencatatan nikah adalah Majelis Keluarga (Union Council) dan bahwa majelis ini memberi izin untuk melakukan pekerjaan tersebut hanya kepada satu orang pada setiap daerah tertentu. Sesuai dengan pasal tersebut, perkawinan yang tidak dicatat tidaklah dianggap batal. Hanya saja para pihak yang berakad dan sanksi yang melanggar ketentuan ordonansi itu dapat dihukum karena tidak mencatatkan nikah itu, dengan hukuman penjara selama-lamanya tiga bulan dan hukuman denda setinggi-tingginya seribu rupiah. Ketentuan hukuman ini sama sekali tidaklah bertentangan dengan asas-asas pemikiran hukum pidana Islam, yang justru memberi hak kepada penguasa untuk memberikan hukuman ta’zir bila diperlukan guna mempertahankan kepentingan-kepentingan yang dikehendaki oleh syara’.55

Di Malaysia, suatu perkawinan (Islam) yang dialngsungkan tanpa memenuhi persyaratan administrasi (pencatatan perkawinan) dianggap tetap sah menurut hukum Islam, walaupun kepada orang-orang yang melakukannya akan dikenakan hukuman berdasarkan ketentuan yang berlaku.56

54. Ibid, hal 8

55. Muhammad Siraj, “Hukum Keluarga di Mesir dan Pakistan”, dalam Syamsul Anwar, Islam, Negara dan Hukum, Jakarta, INIS, 1993, 99 s/d 115.

56. Lili Rasyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991, 41.

BAB III

KEDUDUKAN TINJAUAN HUKUM ANAK HASIL PERKAWINAN SIRRI MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

A. Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Menurut Hukum Islam dan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

1. Kedudukan Hukum Anak Menurut Hukum Islam

Anak sering kali dipersepsikan sebagai manusia yang masih berada pada tahap perkembangan sehingga belum dapat dikatakan sebagai manusia yang utuh. Dengan keterbatasan usia yang tentunya berpengaruh pada pola pikir dan tindakan, anak belum mampu untuk memilah antara hal yang baik dan buruk.

Anak juga merupakan cikal bakal lahirnya suatu generasi baru yang merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional.

Anak adalah aset bangsa, masa depan bangsa dan negara dimasa yang akan datang berada ditangan anak sekarang, semakin baik kepribadian anak sekarang maka semakin baik pula kehidupan masa depan bangsa begitu pula sebaliknya, apabila kepribadian anak tersebut buruk maka akan bobrok pula kehidupan bangsa yang akan datang.

Anak sebagai hasil dari suatu per-kawinan merupakan bagian yang sangat penting kedudukannya dalam suatu keluarga menurut hukum perkawinan Islam. Seorang anak yang sah ialah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya. Dan sahnya seorang anak didalam Islam adalah menentukan apakah ada atau tidak hubungan kebapakan (nasab) dengan seorang laki-laki.

Dalam pengertian Islam, anak adalah titipan Allah SWT kepada kedua orang tua, masyarakat bangsa dan negara yang kelak akan memakmurkan dunia sebagai rahmatan lila’lamin dan sebagai pewaris ajaran Islam pengertian ini mengandung arti bahwa setiap anak yang dilahirkan harus diakui, diyakini, dan diamankan sebagai implementasi amalan yang diterima oleh akan dari orang tua, masyarakat, bangsa dan negara.57

Pengertian anak menurut istilah hukum Islam adalah keturunan kedua yang masih kecil.58 Sifat kecil kalau dihubungkan dengan per walian hak milik dan larangan bertindak sendiri, sebenarnya ada dua tingkatan yaitu:

1. Kecil dan belum mumayyiz dalam hal ini anak itu sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk bertindak. Jadi, tidak sah kalau misalnya membeli apa-apa atau memberikan apa-apa kepada orang lain. Kata-katanya sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai pegangan, jadi segala-galanya berada di tangan wali.

2. Kecil tapi sudah mumayyiz, dalam hal ini si kecil ini kurang kemampuannya untuk bertindak, namun sudah punya kemampuan, oleh sebab itu kata-katanya sudah dapat dijadikan pegangan dan sudah sah kalau ia membeli atau menjual atau memberikan apa-apa kepada orang lain.59

Dalam hukum Islam, Anak yang Mumayyiz ialah yang sudah mencapai usia mengerti tentang akad transaksi secara keseluruhan dia mengerti maksud kata-kata yang diucapkannya, bahwa membeli itu menerima barang sedang menjual itu memberikan barang dan juga ia mengerti tentang rugi dan beruntung, biasanya usia anak itu sudah genap7 (tujuh) tahun. Jadi

57. Iman Jauhari, Advokasi Hak-Hak Anak Ditinjau dari Hukum Islam dan Peraturan Perundang Undangan, Medan, Pustaka Bangsa, 2008, hal. 46

58. Ensiklopedi Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, hal, 112

59. Zakariya Ahmad Al-Barry, Al-Ahkamul Aulad, alih bahasa Chadidjah Nasution, Hukum Anak-anak dalam Islam , Jakarta: Bulan Bintang, 1997, hal. 11

kalau masih kurang dari tujuh maka anak itu hukumnya belum Mumayyiz, walaupun ia mengerti tentang istilah-istilah menjual dan membeli, sebaliknya kadang-kadang anak malahan sudah lebih tujuh tahun umurnya tetapi masih belum mengerti tentang jual beli dan sebagainya.60

Hukum anak kecil ini tetap berlaku, sampai anak itu dewasa dan hal ini dimaksudkan dalam firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa, 6:

“Dan hendaklah kamu menguji anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah, kemudian jika kamu berpendapat bahwa mereka sudah cerdas sudah pandai memelihara harta, maka hendaklah kamu serahkan kepada mereka itu harta-hartanya”

Kata dewasa disini maksudnya cukup umur untuk berketurunan dan muncul tanda-tanda lelaki dewasa pada pria, begitu juga muncul tanda-tanda-tanda-tanda wanita dewasa pada puteri, inilah dewasa yang wajar, yang biasanya belum ada sebelum anak laki-laki berumur 12 (dua belas) tahun, dan anak perempuan berumur 9 (sembilan) tahun. Maka kalau anak mengatakan dia sudah dewasa, setelah ia mencapai usia ini, maka keterangannya itu dapat diterima karena dia sendirilah yang lebih mengerti tentang dewasa atau tidaknya dan biasanya anak-anak tidak mau berdusta dalam persoalan ini.61

Seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dari perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, tidak dapat disebut dengan anak yang sah, biasa disebut dengan anak zina atau anak di luar perkawinan yang sah dan ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya.62

60. Ibid, hal. 114

61. Ibid, hal. 114

62. Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ..Op. cit hal. 276.

Jadi yang dimaksud dengan anak sah menurut hukum Islam ialah anak yang lahir oleh sebab dan di dalam perkawinan yang sah. Selain itu, disebut sebagai anak zina (walad al-zina) yang hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya.63

Dalam Kompilasi Hukum Islam mengaturnya dalam Pasal 99 yang berbunyi : “Anak yang sah adalah :

a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;

b. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.

Pada Pasal 100 rumusannya berbunyi “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”

Menurut Soedaryo Soimin, dalam hukum Islam anak yang sah dilahirkan sekurang-kurangnya enam bulan (177 hari) semenjak pernikahan orang tuanya, tidak peduli apakah orang itu lahir sewaktu orang tuanya masih terkait perkawinan ataukah sudah berpisah karena wafatnya si suami atau karena perceraian di masa hidupnya. Dan jika anak itu lahir sebelum jangka waktu 177 hari, maka anak itu hanya sah bagi ibunya. Diluar dari ketentuan itu, anak dianggap sebagai anak tidak sah atau zina.64

Zainuddin Ali mengemukakan, bilamana dianalisis ayat-ayat al-Quran yang berkaitan proses kejadian manusia, ditemukan bahwa bayi yang berumur 120 hari belum mempunyai roh dan sesudah 120 hari barulah Allah memerintahkan malaikat meniupkan roh kepada bayi tersebut. Apabila kajian ini dihubungkan dengan hadits yang mengungkapkan bahwa sesudah bayi mempunyai roh disempurnakan bentuknya selama dua bulan sehingga batas minimal

63. Ibid, hal, 277

64. Soedarjo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta, Sinar Grafika, 2001, hal. 46

kandungan yang dapat dikategorikan anak yang sah adalah anak yang lahir minimal 6 bulan sesudah pelaksanaan akad nikah.65

Hukum Islam menegaskan bahwa seorang anak supaya dapat dianggap sebagai anak yang sah dari suami ibunya, anak itu harus lahir sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari sesudah perkawinan terputus.66

Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan, bahwa:

1. Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya;

2. Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah;

3. Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi Pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut yang mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan

Pada dasarnya, seorang anak berhak mendapatkan pemeliharaan, perawatan dan pendidikan dari orang tuannya. Dalam hukum Islam, anak-anak dikatakan dibawah umur, kalau mereka belum mencapai usia 15 (lima belas) tahun, atau akqil baliq dan mengalami menstruasi bagi perempuan.

Penjelasan status anak dalam agama Islam ditegaskan dalam al-Quran surat al-Isra ayat 70, yang artinya :

65. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2006, hal.63

66. R. Wirjono Projodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Sumur, 1984, hal.. 72.

“Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka didarat dan dilautan, kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan”

Dengan begitu bahwa al-Qur’an atau akidah Islam meletakan kedudukan anak sebagai suatu makhluk yang mulia, diberikan rezeki yang baik-baik dan memiliki nilai plus, semua diperoleh melalui kehendak sang Pencipta Allah SWT.

Dalam hukum Islam terdapat bermacam macam kedudukan/status anak, sesuai dengan sumber asal-usul anak itu sendiri, sumber asal itulah yang akan menentukan kedudukan status seorang anak. Adapun kedudukan/status anak dalam hukum Islam menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 99 huruf a adalah : anak kandung, anak angkat, anak susu, anak pungut, anak tiri, dan anak luar nikah, masing-masing anak tersebut diatas, mendapat perhatian khusus dalam syariat Islam yang menentukan kedudukan/statusnya, baik dalam keturunan dan kewarisan, maupun perwalian. Berikut macam-macam dari kedudukan anak dalam Islam adalah sebagai berikut :

1. Anak kandung

Anak kandung dapat juga dikatakan anak yang sah, pengertiannya adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah antara ibu dan bapaknya. Dalam hukum positif dinyatakan anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah sebagai dimaksud dalam pasal 99 huruf a Kompilasi hukum Islam.

Pandangan hukum Islam, ada 4 syarat supaya nasab anak itu dianggap sah, yaitu:67

67. Abdul Manan, Aneka masalah Hukum Materiil dalam Praktek Peradilan Agama, editor Iman Jauhari, Medan, Pustaka Bangsa Press, Medan, hal.102

a. Kehamilan bagi seorang isteri bukan hal yang mustahil, artinya normal dan wajar untuk hami. Imam Hanafi tidak mensyaratkan seperti ini, menurut beliau meskipun suami isteri tidak melakukan hubungan seksual, apabila anak lahir dari seorang isteri yang dikawini secara sah maka anak tersebut adalah anak sah.

b. Tenggang waktu kelahiran dengan pelaksanaan perkawinan sedikit-dikitnya enam bulan sejak perkawinan dilaksanakan. Tentang ini terjadi ijma’ para pakar hukum Islam (fuqha) sebagai masa terpendek dari suatu kehamilan.

c. Anak yang lahir itu terjadi dalam waktu kurang dari masa sepanjang panjangnya kehamilan. Tentang hal ini masih diperselisihkan oleh para pakar hukum Islam.

d. Suami tidak mengingkari anak tersebut melalui lembaga li’an. Jika seorang laki- laki ragu tentang batas minimal maksimal kehamilan terlampaui maka ada alasan bagi suami untuk mengingkari anak yang dikandung oleh isterinya dengan cara li’an.

Anak yang sah mempunyai kedudukan tertentu terhadap keluarganya, orang tua berkewajiban untuk memberikan nafkah hidup, pendidikan yang cukup, memelihara kehidupan anak tersebut sampai ia dewasa atau sampai ia dapat berdiri sendiri mencari nafkah. Anak yang sah merupakan tumpuan harapan orang tuanya dan sekaligus menjadi penerus keturunannya.68

2. Anak angkat.

Anak angkat dalam hukum Islam, dapat dipahami dari maksud firman Allah SWT dalam surat al-Ahzab ayat 4 dan 5 yang menyatakan :

68. Ibid, hal. 103

“Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanya perkataanmu dimulutmu saja. Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka”.

Pengertian anak angkat dalam hukum Islam adalah yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan sebagaimana disebutkan dalam pasal 171 huruf h Kompilasi Hukum Islam.

Dengan adanya pengangkatan anak, maka anak angkat itu tidak mengakibatkan berubahnya hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua angkatnya baik dalam hubungan keturunan/darah maupun dalam hubungan muhrim. Sehingga status anak angkat terhadap harta peninggalan orang tua angkatnya ia tidak mewarisi tetapi memperolehnya melalui wasiat dari orang tua angkatnya, apabila anak angkat tidak menerima wasiat dari orang tua angkatnya, maka ia diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya (Pasal 209 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam)

3. Anak tiri

Mengenai anak tiri ini dapat terjadi apabila dalam suatu perkawinan terdapat salah satu pihak baik isteri atau suami, maupun kedua belah pihak masing-masing membawa anak kedalam perkawinannya. Anak itu tetap berada pada tanggung jawab orang tuanya, apabila didalam suatu perkawinan tersebut pihak isteri membawa anak yang di bawah

Mengenai anak tiri ini dapat terjadi apabila dalam suatu perkawinan terdapat salah satu pihak baik isteri atau suami, maupun kedua belah pihak masing-masing membawa anak kedalam perkawinannya. Anak itu tetap berada pada tanggung jawab orang tuanya, apabila didalam suatu perkawinan tersebut pihak isteri membawa anak yang di bawah

Dokumen terkait