TINJAUAN YURIDIS STATUS HUKUM ANAK HASIL PERKAWINAN SIRRI DAN AKIBAT HUKUMNYA (STUDI PERBANDINGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF INDONESIA)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh
MUHAMMAD IQBAL PANGARIBUAN 140200371
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya penulis masih diberikan kesehatan sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Penulisan skripsi yang berjudul: TINJAUAN YURIDIS STATUS HUKUM ANAK HASIL PERKAWINAN SIRRI DAN AKIBAT HUKUMNYA (STUDI PERBANDINGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF INDONESIA adalah guna memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum pada Departemen Hukum Keperdataan Program kekhususan Hukum Perdata BW di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak baik secara moril dan materil. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis sehingga skrips ini dapat terselesaikan. Pada kesempatan ini secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Saidin, SH, M.Hum. Selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH, M.Hum. Selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum. Selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Ibu Dr, Rosnidar Sembiring, SH.M.Hum. Selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
6. Bapak Syamsul Rizal, SH, M.Hum. Selaku Sekretaris Departemen Program Kekhususan Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Ibu Dr. Utary Maharany Barus, SH, M.Hum. Selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu serta kesabarannya dalam memberikan bimbingan, nasehat dan saran kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
8. Ibu Dra. Zakiah MPd, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu serta kesabarannya dalam memberikan bimbingan, nasehat dan saran kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
9. Ibu Maria Kaban SH, M.Hum. Selaku Dosen Penasehat Akademik penulis
10. Bapak/Ibu dosen yang ada di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membimbing dan memberikan ilmu yang sangat banyak sejak penulis masuk perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
11. Seluruh Staff Pegawai yang ada di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
12. Teristimewa kepada keluarga tercinta yaitu H.M.Junaidi Pangaribuan(AYAH) dan Hj.Umi Kalsum,SH(Ibu), Nurul Huda Br. Pangaribuan,SH(Kakak), Meidy Rizkita Br.
Pangaribuan(Adik) yang telah memberikan dukungan serta doa dan segalanya kepada penulis hingga menyelesaikan perkuliahan
13. Seluruh teman-teman stambuk 2014 yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu.
Khususnya Grup D stambuk 2014
14. Seluruh pihak yang telah banyak membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
Demikianlah yang dapat penulis sampaikan. Bila ada kesalahan dan kekurangan dalam skripsi ini, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga skripsi ini dapat bermafaat bagi orang yang membaca. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.
Medan, 25 Oktober 2018 Penulis,
MUHAMMAD IQBAL PANGARIBUAN
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
ABSTRAK ... vi
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penulisan ... 10
D. Manfaat Penulisan. ... 10
E. Metodologi Penulisan. ... 11
F. Keaslian Penelitian ... 12
G. Sistematika Penulisan. ... 13
BAB II : PERKAWINAN SIRRI MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN A. Perkawinan Menurut Hukum Islam dan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 . ... 15
1. Perkawinan Menurut Hukum Islam ... 15
2. Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ... 27
B. Perkawinan Sirri Menurut Hukum Islam dan Perkawinan Sirri Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ... 40
1. Perkawinan Sirri Menurut Hukum Islam ... 40
2. Perkawinan Sirri Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ... 47
BAB III : KEDUDUKAN HUKUM ANAK HASIL PERKAWINAN SIRRI MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF INDONESIA A. Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Menurut Hukum Islam dan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.……….. 54
1. Kedudukan Hukum Anak Menurut Hukum Islam ... 54
2. Kedudukan Hukum Anak Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 ... 65
B. Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Sirri Menurut Hukum Islam dan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. 70 1. Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Sirri Menurut Hukum Islam ... 70
2. Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Sirri Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974……….. 76
BAB IV : AKIBAT HUKUM TERHADAP KEDUDUKAN HUKUM ANAK HASIL PERKAWINAN SIRRI BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010
A. Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Sirri Sebelum dan Setelah Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. ... 85
1. Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Sirri Sebelum Adanya
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. ... 85 2. Kedudukan Hukum Anak Hasil Pernikahan Sirri Setelah Adanya
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. ... 96 B. Akibat Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan Sirri Berdasarkan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ... 107 BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 115 B. Saran ... .117 DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
ABSTRAK
Muhammad Iqbal Pangaribuan*) Utary Maharany Barus **)
Zakiah***)
Perkawinan dilaksanakan umat manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hakiki di dunia. Setiap manusia yang membina rumah tangga yang harmonis, yang lebih dikenal dengan sakinah, mawaddah warohmah. Dalam ranah hukum Islam, perkawinan yang dalam istilah agama disebut “Nikah”. Apabila dilihat istilah yang berkembang dalam masyarakat, jenis-jenis perkawinan atau nikah terdapat beberapa istilah, ada yang menamakan kawin syah, kawin di bawah tangan, atau nikah sirri.
Jenis penelitian ini penelitian yuridis normatif yaitu pendekatan terhadap masalah
dengan melihat dari segi peraturan-peraturan yang berlaku oleh karena itu dilakukan
penelitian kepustakaan. Pada penelitian hukum,bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder
Anak sebagai hasil dari suatu per-kawinan merupakan bagian sangat penting kedudukannya dalam suatu keluarga baik menurut hukum Islam maupun Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974. Anak yang sah dilahirkan sekurang-kurangnya enam bulan (177 hari) sejak pernikahan orang tuanya, tidak peduli apakah lahir sewaktu orangtuanya masih terikat perkawinan atau sudah berpisah karena wafat suami atau karena perceraian. Dan jika anak lahir sebelum jangka waktu 177 hari, maka anak itu hanya sah bagi ibunya. Diluar itu, anak dianggap sebagai anak tidak sah atau zina.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, atas Pasal 2 Ayat (2) dan Pasal 43 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terhadap Pasal 28 B Ayat (1) dan (2) Pasal 28 D Undang-undang Dasar 1945. ayat tersebut harus dibaca,
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilm pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya
Kata Kunci : Perkawinan,Sirri
*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
**) Dosen Pembimbing I
***) Dosen Pembimbing II
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Setiap mahluk hidup memiliki hak asasi untuk melanjutkan keturunannya melalui perkawinan, yakni melalui budaya dalam melaksanakan suatu perkawinan yang dilakukan.
Ada perbedaan-perbedaannya dalam pelaksanaan yang disebabkan karena keberagaman kebudayaan atau kultur terhadap agama yang dipeluk.
Perkawinan merupakan hukum alam yang harus dilaksanakan umat manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hakiki di dunia. Setiap manusia yang membina rumah tangga yang harmonis, yang lebih dikenal dengan sakinah, mawaddah warohmah.1 Dalam ranah hukum Islam, perkawinan yang dalam istilah agama disebut “Nikah” ialah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan di antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah.2
Perkawinan bukan hanya merupakan suatu perbuatan perdata saja, akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan keagamaan, karena sah atau tidaknya suatu perkawinan, tolak ukurnya sepenuhnya ada pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianutnya.3 Sebelum lahirnya Undang-undang perkawinan, mengenai ketentuan, tatacara dan sahnya suatu perkawinan bagi orang Indonesia pada umumnya didasarkan pada hukum agama dan hukum adat masing-masing.
1. Mohd Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, : Suatu analisis dari Undang-Undang No I tahun 1974, Jakarta: Bumi Aksara,1996, hal. 4.
2. Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta, UII Press.1977, hal. 10
3 . Abdurrahman, Masalah-masalah Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bandung, Alumni, 1978, hal. 9
Pemerintah mengadopsi peraturan dari Zaman Pemerintah Hindia Belanda yang membagi masyarakat kedalam beberapa golongan penduduk, dengan adanya golongan penduduk ini, maka perkawinan di Indonesia diatur dalam:4
1. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku Hukum Agama Islam.
2. Bagi orang Indonesia asli lainnya, berlaku hukum adat daerah masing-masing.
3. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonantie Christien Indonesier (S. 1993 No.74) selanjutnya disebut HOCI.
4. Bagi orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia keturunan cina berlaku ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata
5. Bagi orang Timur Asing lain-lainnya dan Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya, berlaku hukum adat mereka.
Perbedaan dalam cara melakukan perkawinan sebagai pengaruh dari pengaturan perkawinan, membawa konsekuensi pada cara hidup kekeluargaan, kekerabatan dan harta kekayaan seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.5
Setelah berlakunya Undang-undang Perkawinan, maka terjadi unifikasi hukum dalam perkawinan di Indonesia, dimana perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama/kerohanian. Pengaturan hukum tentang perkawinan telah berlaku sama terhadap semua warga negara oleh karena itu, setiap warga negara harus patuh terhadap hukum yang berlaku, termasuk terhadap Undang-undang Perkawinan yang menjadi landasan untuk menciptakan kepastian hukum, baik dari sudut hukum keluarga, harta benda, dan akibat hukum dari suatu perkawinan.
4. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adar, Hukum Agama, Bandung, Mandar Maju, 2007, hal. 5.
5. Ibid, hal.6
Di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Undang-Undang Pokok Perkawinan, Pasal 1 dinyatakan bahwa:
“Perkawinan adalah Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam pengertian perkawinan seperti yang terdapat pada pasal 2 dinyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.6 Menurut Sajuti Thalib perkawinan adalah suatu perjanjian yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun-menyantuni, kasih-mengasihi, tenteram, dan bahagia.7
Pada Kamus Bahasa Indonesia, perkawinan adalah membentuk keluarga dengan lawan jenis.8 Menurut Subekti, perkawinan merupakan pertalian yang sah antara seorang lelaki dengan seorang perempuan dalam waktu yang lama.9 Menurut Wirjono Prodjodikoro, Perkawinan adalah hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.10
Menurut Al-Qur’an perkawinan adalah menciptakan kehidupan keluarga antara suami istri dan anak-anak serta orang tua agar tercapai suatu kehidupan yang aman dan tentram
6. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fikih Munakahat dan Undang- Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2007, hal..40
7. M. Idris Ramulyo, op, cit, hal. 2
8. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1974 hal.456
9. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermusa, 1978, hal. 23
10. Wirjono Pradjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta, Sumur Bandung, 1974, hal. 6 s/d 7
(sakinah),pergaulan yang saling mencintai (mawaddah), yang saling menyantuni (warahma).11
Dengan kata lain perkawinan ialah perjanjian perikatan antara pihak seorang laki-laki dengan pihak seorang perempuan untuk melaksanakan kehidupan suami-istri, hidup rumah tangga, melanjutkan keturunan sesuai dengan ketentuan agama. Jadi tujuan pekawinan adalah membentuk keluarga yang diliputi rasa saling cinta mencitai dan rasa kasih sayang antara anggota keluarga.
Ikatan perkawinan merupakan unsur pokok dalam pembentukan keluarga yang harmonis dan penuh rasa cinta kasih, maka dalam pelaksanaanperkawinan tersebut, diperlukan norma hukum yang mengaturnya. Penerapan norma hukum dalam pelaksanaan perkawinan terutama diperlukan dalam rangka mengatur hak, kewajiban, dan tanggung jawab masing-masing anggota keluarga, guna membentuk rumah tangga yang bahagia dan sejahtera.
Ada beberapa prinsip pergaulan antara suami dan isteri yaitu: pergaulan yang makruf/baik (saling menjaga rahasia masing-masing); pergaulan yang sakinah (aman dan tentram); pergaulan yang mawaddah (saling mencintai selama masih muda) dan pergaulan yang warahmah (rasa saling menyantuni terutama masa tua).12 Imam Ghazali, ahli tasawuf dan filosof Islam, sebagaimana dikutip Idris Ramulyo, menyatakan bahwa setidaknya ada beberapa tujuan dan faedah perkawinan diantaranya:
1. Memperoleh keturunan yang sah yang akan melanjutkan serta mengembangkan suku- suku bangsa.
11.Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan…..Op.Cit, , hal. 14.
12. Idris Ramulyo,op, cit. hal. 6
2. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang halal, dan memperbesar tanggung jawab.13
Sepasang suami istri yang merasa tidak seiring sejalan dalam menjalani rumah tangga, sering kali mengajukan gugatan perceraian di pengadilan. Hal ini dilakukan dengan berbagai alasan tanpa memikirkan akibat yang timbal terutama terhadap anak-anak mereka, baik dari segi moril maupun materil.
Menurut Hilman Hadikusumo, berdasarkan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dapat diuraikan bahwa sendi-sendi dan unsur utama dari perkawinan adalah: 14
1. Perkawinan merupakan persekutuan hidup antara seorang pria dengan seorang wanita.
Artinya Undang-Undang Perkawinan menutup kemungkinan dilangsungkannya perkawinan antara orang-orang yang berjenis kelamin sama meskipun dalam Pasal 8 dari Undang-Undang Perkawinan, yang mengatur mengenai larangan perkawinan, tidak dicantumkan secara eksplisit tentang larangan perkawinan sesama jenis.
2. Perkawinan harus dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Keabsahan perkawinan hanya terjadi jika memenuhi syarat formil dan materil berserta prosedur dan tata cara yang ditentukan oleh undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.
3. Perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama. Agama merupakan sendi utama kehidupan bernegara di Indonesia.
Apabila dilihat istilah yang berkembang dalam masyarakat, jenis-jenis perkawinan atau nikah terdapat beberapa istilah, ada yang menamakan kawin sah, kawin di bawah tangan,
13. Ibid, hal. 27
14. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan….., op, cit, hal 7
atau nikah SIRRI. Apapun jenis dan istilah perkawinan tersebut di atas, bila mereka mempunyai anak, tentu berdampak terhadap status dari anak yang mereka peroleh.
Akibat dari Perceraian pada gilirannya menyebabkan anak yang menanggung derita berkepanjangan. Salah satunya adalah dalam hal penguasaan atau pemeliharaan terhadap anak, hak-hak anak, siapa yang diberi wewenang secara legal memelihara anak. Kasus semacam ini sebagai bagian dari akibat terjadinya hubungan yang tidak harmonis atau akibat perceraian.
Suatu akad perkawinan menurut hukum Islam tersebut ada yang sah juga ada yang tidak sah. Hal ini dikarenakan akad yang sah dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun- rukun yang lengkap sesuai dengan ketentuan agama. Sebaliknya, akad yang tidak sah adalah akad yang dilaksanakan tidak sesuai dengan syarat-syarat serta rukun-rukun perkawinan.
Melalui pernikahan akan menimbulkan beberapa konsekuensi. Maka dibuat aturan dan prosedur guna menghindari kemungkinan-kemungkinan negatif yang merugikan. Di Indonesia, prosedur dan aturan yang dibuat bagi masyarakat Islam adalah bahwa pernikahan harus dicatat secara resmi dan dipublikasikan. Pencatatan perkawinan dalam pelaksanaannya diatur dengan PP No. 9 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama No. 3 dan 4 Tahun 1975 bab II Pasal 2 Ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975, Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkannya menurut agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat, selain itu ada Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Perkawinan yang dilangsungkan tidak dihadapan PPN yang berwenang, maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah. Kompilasi Hukum Islam telah mengakui sepenuhnya campur tangan penguasa dalam setiap perkawinan, tidak lagi ragu-ragu kepastian campur
tangan tersebut. Penegasan ini sekaligus melepaskan jauh-jauh dogmatis yang dikembangkan dan dipahami selama ini yang mengajarkan perkawinan sebagai “individual affair” atau urusan pribadi. Bagi mereka yang tidak memenuhi, KHI tidak segan-segan akan adanya korban demi untuk menegaskan kepastian hukum dan ketertiban perkawinan dan keluarga masyarakat Islam. Bagi yang tidak mau memenuhi akan menanggung resiko yuridis. Bagi mereka yang tidak mendaftarkan perkawinan atau yang enggan melangsungkan perkawinan di hadapan PPN, perkawinan dikualifikasi “perkawinan liar dalam bentuk “compassionate marriage” atau kawin kumpul kerbau .15
Kata “sirri” dari dari segi etimologi berasal dari bahasa arab, yang arti harfiyahnya
“rahasia” (secret marriage). Istilah sirri berarti sesuatu yang bersifat rahasia atau tersembunyi. Maka dapat dikatakan pernikahan sirri itu adalah sebuah pernikahan yang si suami berpesan kepada para saksi agar menyembunyikan pernikahan tersebut dari istrinya atau dari khalayak umum sekalipun itu keluarga sendiri.16 Nikah sirri adalah nikah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, ada yang dicatat tapi disembunyikan dari masyarakat dan ada juga yang tidak dicatatkan pada Petugas Pencatat Nikah (PPN) dan tidak terdaftar di Kantor Urusan Agama (KUA). Nikah sirri lazim disebut juga dengan nikah di bawah tangan.17
Anak amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, dimana dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak juga merupakan tunas , potensi dan generasi muda penerus cita-cita hidup keluarga khususnya, dan masyarakat umumnya serta memiliki peran strategis dalam menjamin kelangsungan kehidupan di masyarakat. Agar setiap
15. M. Yahya Harahap, Materi Kompilasi Hukum Islam, dalam Moh. Mahfud MD., dkk, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta : UII Press, 1993, hal.81 s/d 82
16. Wahbah Az-Zuhaili, Fikih Islam wadillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr 1989, hal. 81
17. Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Yogjakarta, Graha Ilmu, 2011, hal. 17
anak mampu memikul tanggung jawab tersebut , maka anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik maupun mental.
Penting juga adanya perlindungan untuk anak serta memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya yang jauh dari segala bentuk diskriminasi. Kelahiran seorang anak di tengah- tengah keluarga tentu akan memberi kebahagian tersendiri bagi keluarga tersebut. Kehadiran anak sebagai anggota keluarga yang baru, menjadi bagian dari tanggung jawab orang tua untuk mendidik anak tersebut menjadi orang yang berguna. Anak merupakan persoalan yang selalu menjadi perhatian berbagai elemen masyarakat.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia anak dapat diartikan sebagai keturunan yang kedua, anak juga memiliki pengertian sebagai manusia yang masih kecil. Selain itu juga anak pada hakekatya seorang yang berada pada masa perkembangan tertentu dan mempunyai potensi untuk menjadi dewasa.18
Dalam hukum Islam anak menempati kedudukan yang sangat starategis dalam keluarga, yakni sebagai buah kasih sayang kedua orang tuanya dan sebagai pelengkap kebahagiaan mereka, juga anak merupakan amanah dan karunia Allah SWT, bahkan anak di anggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga di bandingkan harta kekayaan lainya.
Juga terdapat bermacam macam kedudukan/status anak, sesuai dengan sumber asal-usul anak itu sendiri, sumber asal itulah yang akan menentukan kedudukan status seorang anak. Adapun kedudukan/status anak dalam hukum Islam adalah anak kandung, anak angkat, anak susu, anak pungut, anak tiri, dan anak luar nikah Juga terdapat bermacam macam kedudukan/status anak, sesuai dengan sumber asal-usul anak itu sendiri, sumber asal itulah yang akan menentukan kedudukan status seorang anak. Adapun kedudukan/status anak dalam hukum
18. Kamus Besar Bahasa Indonesia, op.cit, hal.30
Islam adalah anak kandung, anak angkat, anak susu, anak pungut, anak tiri, dan anak luar nikah.19
Hal inilah yang melatar belakangi penulisan judul skripsi “Tinjauan Yuridis Status Hukum Anak Hasil Perkawinan Sirri Dan Akibat Hukumnya (Studi Perbandingan Hukum Islam Dan Hukum Positif Indonesia)”
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka didapatlah rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah perkawinan sirri menurut hukum Islam dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan?
2. Bagaimanakah kedudukan hukum anak hasil perkawinan sirri menurut hukum Islam dan hukum positif Indonesia?
3. Bagaimanakah akibat hukum terhadap kedudukan anak hasil perkawinan sirri dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010?
C. Tujuan Penulisan
Didalam suatu penulisan dengan mempunyai tujuan, begitu juga penulis mempunyai tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimanakah perkawinan sirri menurut hukum Islam dan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 perkawinan.
2. Untuk memahami bagaimanakah kedudukan hukum anak hasil perkawinan menurut hukum Islam dan hukum positif Indonesia.
19. Idris Ramulyo, op. cit, hal.156
3. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum terhadap kedudukan anak hasil pernikahan sirri di putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan skripsi ini yaitu : 1. Manfaat secara teoritis.
Secara teoritis, skripsi ini dapat memberikan gambaran dan masukan serta menambah kasanah ilmu pengetahuan dan wawasan dalam dunia akademisi, khususnya yang berkaitan dengan kedudukan hukum anak hasil sirri baik secara hukum Islam maupun hukum positif di Indonesia sesudah maupun sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor No. 46/PUU-VIII/2010.
2. Manfaat secara praktis.
Secara praktis dengan penulisan skripsi ini dapat memahami dan mengetahui tentang anak hasil nikah sirri menurut hukum Islam dan hukum yang berlaku di Indonesia.
E. Metodologi Penelitian
Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah.
Sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia, maka metode penelitian dapat diartikan sebagai proses, prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.20
1. Jenis & sifat penelitian
20. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta,UI Press, 1986, hal. 6
Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif,21yaitu dimaksudkan sebagai pendekatan terhadap masalah dengan melihat dari segi peraturan-peraturan yang berlaku oleh karena itu dilakukan penelitian kepustakaan.
Sedangkan sifat penelitian ini adalah deskriptif yaitu menjelaskan dan menerangkan secara rinci hal-hal yang menjadi rumusan permasalahan.
2. Sumber data
Pada penelitian hukum ini, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, buku-buku, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah.22
3. Teknik pengumpulan data
Data penelitian ini didapatkan melalui (library research) studi kepustakaan, yakni dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan obyek penelitian yang meliputi data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research). Data sekunder terdiri dari:
1. Bahan hukum primer, antara lain: Peraturan perundang-undangan dan keputusan Mahkamah Konstitusi, yaitu :Undang-undang Nomor .1 tahun 1974 tentang perkawinaan, Kompilasi Hukum Islam maupun Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor : No. 46/PUU-VIII/2010.
2. Bahan hukum sekunder berupa buku yang berkaitan dengan perkawinan, nikah sirri, maupu anak hasil perkawinan, majalah, media elektronik maupun media massa.
F. Keaslian Penelitian
21. Ibid, hal. 51,
22. Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan Di dalam Penelitian Hukum,Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979, hal.3
Penulisan skripsi dengan judul “TINJAUAN YURIDIS STATUS HUKUM ANAK HASIL PERNIKAHAN SIRRI DAN AKIBAT HUKUMNYA (STUDI PERBANDINGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF INDONESIA”
merupakan karya penulis sendiri, dan keasliannya judul telah dilakukan pemeriksaan di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan in dibuat secara terperinci dan sistematis, gambaran secara keseluruhan dalam penulisan skripsi ini dapat diuraikan, yaitu :
BAB I : Dalam bab ini dimulai dengan pendahuluan sebagai latar belakang dan pengantar dalam uraian-uraian selanjutnya tentang Rumusan Permasalahan, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metodologi Penelitian, Keaslian Penelitian, serta Sistematika Penulisan
BAB II : Dalam bab ini membahas tentang hukum perkawinan yang meliputi perkawinan Menurut Hukum Islam Dan Undang-undang No 1 Tahun 1974 serta pembahasan Perkawinan Sirri Dalam Hukum Islam Dan Undang-undang No 1 Tahun 1974
BAB III : Dalam bab ini membahas tentang kedudukan hukum anak hasil perkawinan sirri menurut hukum Islam dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
BAB IV : Dalam bab ini membahas tentang kedudukan anak hasil nikah Sirri Sebelum dan sesudah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 serta akibat hukum Anak Hasil Nikah
SIRRI setelah Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU- VIII/2010
BAB V : Dalam bab ini membahas tentang kesimpulan dan saran
BAB II
PERKAWINAN SIRRI MENURUT HUKUM ISLAM DAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
A. Perkawinan Menurut Hukum Islam Dan Hukum Perkawinan Menurut Undang- undang No 1 Tahun 1974
1. Perkawinan Menurut Hukum Islam
Takdir hidup berkelompok dalam suatu gugus yang disebut masyarakat, kenyataannya banyak membawa kegunaan. Berjuta-juta manfaat dapat direguk oleh manusia lewat hidup bersama, baik dalam urusan pemenuhan kebutuhan hayati raga ataupun jiwanya. Bahkan cara hidup berdampingan serta berinteraksi dengan sesamanya, kian menjadi mudah memenuhi segala jenis kebutuhan yang diperlukan. Interaksi antar anggota kelompok, terbukti dapat mewujudkan jaringan ekslusif untuk membentuk pola pemenuhan kebutuhan yang amat efisien.23
Pernikahan bagi umat Islam merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami isteri berdasar akad nikah yang diatur dalam undang- undang dengan tujuan membentuk keluarga sakinah atau rumah tangga yang bahagia sesuai hukum Islam. Perkawinan itu satu-satunya sarana yang sah untuk membangun sebuh rumah tangga dan melahirkan keturunan, sejalan dengan fitrah manusia. Hukum perkawinan Islam telah dilakukan jauh sebelum adanya Undang-undang tentang pencatatan sebagai syarat legalnya perkawinan, sehingga perkawinan secara Islam telah menjadi budaya di masyarakat.
23. Moch. Isnaeni, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung, Refika Aditama, 2016, hal. 3
Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam pengertian perkawinan bukan hal yang berbeda tetapi merupakan penjelasan dari ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan Undang-undang yang mengandung arti bahwa akad perkawinan bukan hanya perjanjian yang bersifat keperdataan. Ungkapan “untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah” adalah penjelasan ungkapan
“Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Undang-undang. Hal ini lebih menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat Islam merupakan peristiwa agama dan melaksanakannya telah merupakan ibadah.24
Kompilasi Hukum Islam adalah Undang-undang Perkawinan yang dilengkapi dengan Fiqih Munakahat. Jadi, fungsi Kompilasi Hukum Islam adalah melengkapi Undang-Undang Perkawinan. Tentu saja materi Kompilasi Hukum Islam tidak bertentangan dengan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974. Kompilasi Hukum Islam penyebarluasannya melalui instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991.
1.1. Dasar Hukum, Syarat Dan Rukun Perkawinan
Pada dasarnya perkawinan merupakan suatu yang diperintahkan dan didiajurkan oleh syara’.Sebagaimana di jelaskan dalam Qu’ran Surat Ar-Rum 21 yang artinya menyebutkan :
“Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar- benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir”
Sedangkan hadist dengan disyariatkannya perkawinan, sebagaimana riwayat dari Abdullah bin Mas’hud muttafaq alaih :
24. Mahmudin Bunyamin dan Agus Hermanto, Hukum Perkawinan Islam, Bandung, Pustaka Setia,2017, hal. 5 s/d 6
“ Wahai kaum muda, barang siapa yang telah mempunyai kemampuan dari segi ”al-baah”
hendaklah ia kawin, karena perkawinan itu lebih menutup mata dari penglihatan yang tidak baik dan lebih menjaga kehormatan. Apabila ia tidak mampu untuk kawin hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa itu baginya pengekang hawa nafsu”
Hukum perkawinan ini terdapat perbedaan para ulama. Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum perkawinan adalah sunnah. Golongan Zahiri menikah itu wajib. Para ulama Maliki Muta’akhirin berpendapat bahwa menikah wajib untuk sebagian orang dan sunnah untuk sebagian orang lainnya dan mubah. Hal ini berdasarkan kekhawatiran terhadap kesulitan dirinya Secara terperinci hukum pernikahan adalah sebagai berikut:25
a. Wajib
Pernikahan menjadi wajib bagi yang memiliki kemampuan untuk melakukannya (secara finansial dan fiskal), dan sangat kuat keinginannya untuk menyalurkan hasrat seksual dalam dirinya. Sementara ia khawatir terjerumus dalam perzinahan apabila tidak menikah. Hal ini disebabkan menjaga kesucian diri dan menjauhkannya dari perbuatan haram adalah wajib hukumnya, sedangkan hal itu tidak dapat terpenuhi kecuali dengan menikah. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-nur, 33 yang artinya :
“Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesuciannya (dirinya), sampai Allah memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.”.
b. Sunah (Mustahab atau Diajurkan).
Pernikahan tidak menjadi wajib, tetapi sangat dianjurkan (atau di- sunnah-kan) bagi yang memiliki hasrat atau dorongan seksual untuk menikah dan memiliki kemampuan untuk melaksanakannya (secara fisikal atau finansial), walaupun merasa yakin akan
25. Ibid, hal .7 s/d 9
kemampuannya mengendalikan dirinya sendiri sehingga tidak kahwatir akan terjerumus dalam perbuatan yang diharamkan Allah.
c. Haram
Pernikahan menjadi haram bagi yang mengetahui dirinya tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajibannya sebagai suami, baik dalam hal nafkah lahiriyah (yang bersifat finasial) maupun batiniah (kemampuan melakukaan hubungan seksual) yang wajib diberikan kepada isteri.
d. Makruh
Pernikahan menjadi makruh (kurang disukai menurut hukum agama) bagi laki-laki yang tidak membutuhkan perkawinan, baik disebabkan tidak mampu memenuhi hak calon yang bersifat lahiriyah maupun yang tidak memiliki hasrat (kemampuan) seksual, sementara perempuaan tidak merasa tergangu dengan ketidakmampuan calon suami.
e. Mubah
Pernikahan menjadi mubah (yakni bersifat netral, boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan) apabila tidak ada dorongan atau hambatan untuk melakukannya ataupun meninggalkannya sesuai dengan pandangan syariat.
Syarat dan rukun perkawinan dalam pendapat ulama terdapat perbedaan, tetapi semua ulama berpendapat yang harus ada dalam sebuah perkawinan. Demikian juga dalam Kompilasi Hukum Islam Rukun dan Syarat Perkawinan diatur dalam Pasal 14 yang menyatakan harus ada :
1. Calon suami 2. Calon isteri 3. Wali nikah
4. Dua saksi 5. Ijab dan qabul
1.2. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan tidak semata-mata dimaksudkan untuk menunaikan hasrat biologis.
Oleh karena itu Allah SWT menyediakan tempat yang legal untuk terselenggaranya penyaluran tersebut sesuai dengan derajat kemanusian. Tujuan perkawinan meliputi apek antara lain:26
1. Aspek Personal
Aspek personal ini meliputi: sebagai penyaluran kebutuhan biologis, dengan begitu semua manusia baik laki-laki maupun perempuan yang mempunyai insting seks, hanya kadar dan instensitasnya berbeda. Dengan pernikahan, seorang laki-laki dapat menyalurkan nafsu seksualnya kepada seorang perempuan dengan sah. Demikian juga sebaliknya. Begitu juga sebagai sarana memperoleh keturanan ini merupakan insting untuk mendapatkan keturunan juga dimiliki oleh laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa mempunyai anak bukan suatu kewajiban. Melainkan amanat dari Allah SWT.
2. Aspek Sosial
Aspek sosial ini meliputi rumah tangga yang baik sebagai fondasi masyarakat yang baik. Tentunya dengan perkawinan manusia akan menyatu dalam keharmonisan, bersatu menghadapi tantangan dalam mengarungi bahtera kehidupan sehingga akan
26. Ibid hal. Hal 18 s/d 21
menghantarkan pada ketenangan beribadah. Kiranya hanya unsur mawaddah dan rahma yang menyebabkan mereka sangat kuat mengarungi bahtera kehidupan.
Begitu juga dengan membuat manusia kreatif, dengan perkawinan mengajarkan kepada kita tanggung jawab dan kasih sayang terhadap keluarga timbul keinginan untuk mengubah keadaan kearah yang lebih baik dengan berbagai cara.orang yang sudah berkeluarga selalu berusaha untuk membahagiakan keluarganya. Hal ini mendorongnya untuk lebih kreatif dan produktif tidak seperti ketika belum berumah tangga.
3. Aspek Ritual
Aspek ritual ini meliputi terdiri atas menjalankan perintah Allah SWT sebagaimana di firman dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa 3 yang berbunyi “ ….maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi..” serta mengikuti sunnah nabi dalam sebuah hadist yang artinya “ Tetapi aku sendiri melakukan shalat, tidur, aku berpuasa dan berbuka, aku mengawini perempuan. Siapa yang tidak senang dengan sunnahku, maka ia bukanlah dari kelompokku”
4. Aspek Moral
Aspek moral ini menunjukan dengan perkawinan manusia dituntut untuk mengikuti aturan atau norma-norma agama, sedangkan mahkluknya yang lain tidak dituntut demikian. Jadi, perkawinan adalah garis demarkasi yang membedakan manusia dengan mahkluk lain untuk menyalurkan kepentingan yang sama.
5. Aspek Kultural
Selain membedakan manusia dengan hewan, perkawinan juga membedakan antara manusia yang beradab dan yang tidak beradab, ada juga antara manusia primitif dan manusia modern. Walaupun di dunia primitif mungkin terdapat aturan-aturan
perkawinan, aturan-aturan manusia modern jauh lebih baik daripada aturan-aturan manusia primitif. Hal ini menunjukan manusia modern mempunyai kultur yang lebih baik daripada manusia-manusia purba atau primitif.
1.3. Larangan Perkawinan dan Batalnya Pernikahan
Sebagaimana laki-laki, perempuan merupakan rukun dari perkawinan. Walaupun pada dasarnya setiap laki-laki Islam dapat menikah dengan perempuan manapun, ada pembatasan- pembatasan yang bersifat larangan. Hukum perkawinan Islam mengenal asas yang disebut dengan asas selektivitas. Artinya seseorang yang hendak menikah harus terlebih dahulu menyeleksi dengan siapa boleh menikah dan dengan siapa dilarang menikah 27.
Perkawinan merupakan perbuatan yang sangat dianjurkan, dalam hukum Islam, tetapi dalam keadaan tertentu perkawinan juga merupakan perbuatan yang tidak boleh dan haram dilakukan. Ada pun orang yang haram dinikahi disebabkan:28
1. Karena pertalian nasab
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya.
b. Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu.
c. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.
2. Karena pertalian kerabat semenda
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau isterinya.
b. Dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya.
27. Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ,Studi Krisis Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih, UU No.1 Tahun 1974 Sampai KHI, Jakarta, Prenada Media, 2004, hal, 144
28. Mohd Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, op.cit, hal 77 s/d 79
c. Dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan dengan bekas isterinya itu qabla ad-dukhul
3. Karena pertalian sesusuan
a. Dengan seorang wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus keatas.
b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus kebawah.
c. Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan kebawah.
d. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan keatas.
e. Dengan anak yang disusui isterinya dan keturunannya.
Dalam pasal 40 KHI juga melarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain.
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.
c. Seorang wanita yang tidak beragam Islam.
Pasal 41 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menyatakan merumuskan juga melarang seorang pria memadu isterinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau susuan dengan istrinya:
a. Saudara kandung, seayah atau seibu serta keturunannya.
b. Wanita dengan bibinya atau kemanakannya.
Pada ayat (2) nya menyatakan bahwa larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah di talak raj’i tetapi masih dalam masa iddah.
Larngan perkawinan juga diatur dalam pasal 42 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi : seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4(empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat
tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj’i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj’i’.
Dengan demikian larangang perkawinan keseluruhannya diatur dalam al Qu’an dan hadist Nabi. Larangan perkawinan itu dapat disimpulkan dalam dua (2) macam, yakni:29
1. Larangan perkawinan yang berlaku haram untuk selamanya dalam arti sampai kapanpun dan dalam keadaan apapun laki-laki dan perempuan tidak boleh melakukan perkawinan.
Larangan dalam bentuk ini disebut mahram muabbad.
2. Larangan perkawinan berlaku untuk sementara waktu dalam arti larangan itu berlaku dalam keadaan dan waktu tertentu, suatu ketika ketika bila keadaan dan waktu tertentu itu sudah berubah ia sudah tidak lagi menjadi haram, yang disebut mahram muaqqat.
Pembatalan perkawinan adalah usaha untuk tidak dilanjutkannya hubungan perkawinan setelah sebelumnya perkawinan itu terjadi. Dalam memutus permohonan pembatalan perkawinan, pengadilan harus selalu memperhatikan ketentuan agama mempelai. Jika menurut agamanya perkawinan itu sah maka pengadilan tidak bisa membatalkan perkawinan.30
Dalam hukum Islam suatu pernikahan dianggap sah jika dalam suatu akad nikah tersebut sudah terpenuhi syarat serta rukunnya. Jika suatu perkawinan kurang salah satu syarat maupun rukunnya maka akad nikah tersebut dianggap tidak sah. Jika yang tidak terpenuhi hanya salah satu rukunnya, akad tersebut adalah batal. Adapun jika yang tidak terpenuhi adalah salah satu dari syaratnya maka akad nikah tersebut dianggap fasid.31 Dasar hukum pembatalan nikah, disini dikemukakan ayat al-Qur'an dan Hadits-hadits yang berkenaan
29. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan ….., Op.Cit, hal 110
30. Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian Di Malaysia dan Indonesia, Bandung, Remaja Rosda Karya, 1991, hal. 83
31. Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Hukum Nasional, Jakarta: Kencana Premada Media Group, 2008, hal. 123
dengan nikah yang dibatalkan tidak memenuhi syarat dan rukun nikah. Jika fasid nikah terjadi disebabkan karena melanggar ketentuan-ketentuan hukum agama dalam perkawinan, misalnya larangan kawin sebagaimana yang dimaksud dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa: 22-23 Surat An-Nisa: 22
“Dan janganlah kamu kawinkan wanita-wanita yang telah dikawini ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau, sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”
Surat An-Nisa: 23
“Diharamkan atas kamu (mengawini): ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara yang perempuan. Anak- anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusukan kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu), isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dan perempuan yang bersaudara, kecuali yang terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang”
Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a. Seorang suami melakukan poligami tanpa seizin Pengadilan Agama.
b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri orang lain yang mafqud.
c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain.
d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 UU. No. 2 tahun 1974.
e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.
f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Mengenai orang-orang atau pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam, yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri.
b. Suami atau isteri.
c. Pejabat yang berwenang mengawasi jalannya perkawinan menurut undang-undang.
d. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 67.
Pada Pasal 74 ayat 1 kompilasi hukum Islam menentukan bahwa pembatalan perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan dan permohonan pembatalan perkawinan itu diajukan oleh para pihak yang mengajukan pada Pengadilan daerah yang hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal kedua suami isteri.
Sementara itu komisi Fatwa MUI mengatakan bawah nikah sirri sah menurut hukum Islam. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa nikah sirri atau dibawah tangan tidak sah, sebagian lain mengatakan sah. Untuk itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa. Nikah sirri sah dilakukan asal tujuannya untuk membina rumah tangga. “pernikahan dibawah tangan hukumnya sah kalau telah terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika menimbulkan mudharat atau dampak negatif,” ujar ketua Komisi Fatwa MUI Ma’ruf Amin dalam jumpa pers di kantor MUI Jakarta, (30/5/2006).32
32. MUI On.Line
2. Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, ketentuan perkawinan di Indonesia diatur dalam berbagai ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek) Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesier S.1933.No.74) dan Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling Op De Gemingde Huwalijken S 1898 No.158).
Pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengakibatkan ketentuan- ketentuan perkawinan tersebut menjadi tidak berlaku lagi, dalam hal ini termasuk juga apa yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek). Sungguh lahirnya Undang-Undang perkawinan membawa akibat yang sangat besar, mengingat selama ini sedemikian banyak aturan perkawinan yang berlaku secara bersamaan dalam wilayah nusantara. Keberadaan berbagai macam hukum perkawinan yang telah merdeka sudah tentu tidak cocok dengan nafas bangsa Indonesia yang berdaulat.33
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 berlandaskan kepada asas-asas yang dihayati oleh bangsa Indonesia yakni:34
1. Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia.
2. Perkawinan dianggap sah kalau diselenggarakan berdasarkan hukum agama dan kepercayaannya, untuk kemudian dilakukan pencatatan sesuai dengan aturan.
3. Asas monogami pada dasarnya dipergunakan sebagai landasan.
4. Calon mempelai hendaknya sudah matang jiwa dan raga saat melangsungkan perkawinan.
33. Moch. Isnaeni, Hukum….Op.Cit, hal 17 s/d 18.
34. Moch. Isnaeni, op.cit, hal. 22
5. Menggigat tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal serta sejahtera, maka dianutlah prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian.
6. Adanya keseimbangan kedudukan hukum antar suami dan isteri.
Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, memberikan definisi bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa35 maka unsur-unsur perkawinan ada 3 (tiga), yaitu:
1) Unsur Agama.
Unsur agama ini dapat dilihat dalam Sila pertama Pancasila yang menyebutkan
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jelaslah bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama atau kerohanian, yang merupakan tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
2) Unsur Hukum.
Unsur hukum dalam perkawinan dapat dilihat dari adanya pencatatan perkawinan bagi yang beragama Islam dilakukan di Kantor Urusan Agama ( KUA ) dan bagi yang beragama non Islam pencatatannya di Kantor Catatan Sipil. Dengan perkawinan antara suami isteri telah terjadi hubungan hukum, sehingga apapun yang akan dilakukan seperti perceraian, waris dan lain-lain akan diatur menurut hukum yang berlaku.
3) Unsur Sosial.
Yang dimaksud dengan unsur sosial adalah bahwa dengan membentuk keluarga, maka nantinya akan bersosialisasi dalam hubungan hidup bermasyarakat. Kehidupan suami isteri tidak dapat dipisahkan dari kehidupan dan perkembangan lingkungan masyarakat.
35 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta Liberty, 2007, hal.. 138-139
Tingkah laku anggota-anggota keluarga harus sesuai dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sama sekali tidak berbicara tentang rukun perkawinan. Undang-undang ini hanya membicarakan syarat-syarat perkawinan, yang mana syarat-syarat tersebut lebih banyak berkenaan dengan unsur-unsur atau rukun perkawinan.36 Menurut R Soetojo Prawirohamidjojo adapun syarat-syarat perkawinan terbagi menjadi syarat-syarat intern (materiil) dan syarat-syarat ekstren (formiil), syarat intern berkaitan dengan para pihak yang melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat ekstren berhubungan dengan formalitas-formalitas yang harus di penuhi dalam melangsungkan perkawinan. Syarat- syarat intern terdiri dari:37
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak (Pasal 6 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 ).
Sepakat atau persetujuan dalam ranah perkawinan lebih ditujukan kepada kesanggupan para pihak untuk mematuhi ketentuan perkawinan. Hal ini disebabkan kedua pihak sepakat untuk membentuk sebuah rumah tangga atau keluarga yang dijadikan dasar atau komponen inti dalam kehidupan sosial.38
2. Harus mendapat izin kedua orang tua, bilamana masing-masing calon belum mencapai umur 21 tahun (Pasal 6 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974).
Persetujuan kedua belah pihak tentunya tidak hanya berhenti pada persoalan sepakat akan tetapi juga memerlukan adanya sepakat kedua belah keluarga yang bersangkutan
36 Amir Syariffudin, Op, Cit, hal. 61
37. R .Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Surabaya, Airlangga University Press, 1994, hal. 39
38. Moch. Isnaeni, Hukum Perkawinan….op.cit, hal.50
yang ujungnya adalah izin perkawinan. Izin tersebut secara formal diperlukan bagi calon mempelai yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun.39
3. Bagi pria harus mencapai usia 19 tahun dan wanita 16 tahun, kecuali ada dispensasi yang diberikan oleh pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh orang tua kedua belah pihak (Pasal 7 ayat 1dan 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974).
Batas usia ini diperlukan dengan pertimbangan medis, ada kalanya perkawinan anak- anak itu tidak sehat, baik ditinjau dari segi fisik maupun mental yang bersangkutan, sehingga sering terjadi kegagalan dalam membina rumah tangga. Pendidikan yang harus dirintis harus dihentikan karena perkawinan. Banyak dampak negatif dari perkawinan dini.
4. Bahwa kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin, kecuali bagi mereka yang agamanya mengizinkan untuk berpoligami (Pasal 9 Jo.Pasal 3 ayat 2, dan Pasal 4 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974).
Ketentuan pasal 9 ini tidak terlepas dari pengaruh agama yang dianut warga negara Indonesia
5. Bagi seorang wanita yang melakukan perkawinan untuk kedua kali dan seterusnya, undang-undang mensyaratkan setelah lewat masa tunggu, yaitu sekurang-kurangnya 90 hari bagi yang putus perkawinannya karena perceraian, 130 hari bagi mereka yang putus perkawinannya kerana kematian suaminya (Pasal 10 dan 11 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974).
Ketentuan ini melarang adanya pengulangan kawin bagi pasangan yang sama untuk beberapa kali, dengan tetap memperhatikan agama yang bersangkutan. Hal ini
39. Ibid. hal 51.
menunjukan nilai sakralnya sebuah perkawinan, agar perkawinan sebagai sebuah lembaga tidak dipermainkan secara gegabah.40
Selain itu ada ketentuan Pasal 8 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang melarang perkawina antara :
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas.
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antar seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri.
d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, sudara susuan dan bibi/paman susuan.
e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Sedangkan syarat-syarat ekstren (formiil) yaitu :
1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di mana perkawinan itu akan dilangsungkan, ddilakukan sekurang-kurangnya 10 hari sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan dapat dilakukan lisan/tertulis oleh calon mempelai/orang tua/wakilnya. Pemberitahuan itu antara lain memuat: nama, umur, agama, tempat tinggal calon mempelai (Pasal 3 s/d 5 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975.)
40. Ibid, hal. 59
2. Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu diteliti, apakah sudah memenuhi syarat/belum. Hasil penelitian ditulis dalam daftar khusus untuk hal tersebut (Pasal 6 S/d 7 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975).
3. Apabila semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat Perkawinan membuat pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang memuat antara lain:
- Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon pengantin.
- Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan (Pasal 8 s/d 9 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975).
4. Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua calon mempelai menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan satu lagi disimpan pada Panitera Pengadilan. Kepada suami dan Istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan (Pasal 10s/ d 13 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975).
2.1. Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan.
Pencegahan perkawinan maupun pembatalan perkawinan, merupakan peristiwa yang relatif jarang terjadi dalam kehidupan masyarakat, khususnya kalau dibandingkan dengan misalnya peristiwa perkawinan. Ditilik dari istilahnya, sudah tersirat maknanya bahwa untuk pencegahan perkawinan yang dimaksud belum dilaksanakan. Pencegahan dapat bersifat tetap maupun bersifat sementara.41
41. Ibid, hal. 67 s/d 68
Pencegahan perkawinan diatur dalam pasal 13 sampai dengan pasal 28 Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 13 menyatakan : “Perkawinan dapat dicegah apabila ada orang yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan” . hal ini bertujuan bahwa apabila perkawinan harus memenuhi syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagaimana telah ditentukan.
Pasal 14 menyatakan bahwa :
(1) Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
(2) Mereka yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lain, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini.
Pasal 15 “Barang siapa yang karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini.”
Pasal 16 “Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.”
Pasal 17
(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.
(2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan.
Pasal 18 “Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah.
Pasal 19 “Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.
Pasal 20 “Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.
Pasal 21
(1) Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.
(2) Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan yang oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan putusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut di atas.
(4) Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan
(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan pada pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahukan tentang maksud mereka.
Dalam perihal pembatalan perkawinan ini berarti perkawinan sesudah dilangsungkan, kemudian ada pihak yang meminta pembatalan perkawinan, apabila dibandingkan dengan pencegahan perkawinan, tingkat komplesitasnya akan tinggi dan rumit, menggigat dari perkawinan yang telah terjadi itu sudah mempunyai akibat-akibat hukum, apalagi kalau sudah ada anak yang dilahirkan 42.
Dalam kententuan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 diatur dalam pasal 22 dan 28 . yakni :
Pasal 22 “Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 23 “ Yang dapat mengajukan Pembatalan perkawinan yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri.
b. Suami atau isteri.
42 Ibid, hal. 70 s/d 71
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Pasal 24 “ Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 25 “ Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.
Pasal 26
(1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasrkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka setelah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
Pasal 27
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu telah menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 28
(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan.
(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap :
a. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b. suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
c. Orang-orang ketiga lainnya termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hakhak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.