• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

B. Perkembangan Aspek Afektif Siswa

Monty P. Satiadarma dan Fidelis E. Waruwu dalam bukunya yang berjudul Mendidik Kecerdasan menjelaskan bahwa:

Pengertian afektif mencakup berbagai proses mental yang melibatkan; emosi, perasaan (feeling), suasana hati (mood), dan tempramen. Bahkan seorang pakar psikologi, Titchener, menambahkannya dengan pengertian keadaan menyenangkan dan tidak menyenangkan (pleasantness & unpleasantness).33 W.S Winkel dalam bukunya yang berjudul Psikologi Pengajaran,

menjelaskan bahwa: “perkembangan afektif menyangkut pemerkayaan alam perasaan yang mencakup temperamen, perasaan, sikap, minat”.

Salah satu cirinya ialah belajar menghayati nilai dari obyek-obyek yang dihadapi melalui alam perasaan, entah obyek itu berupa orang, benda atau kejadian/peristiwa.34

Muhibbin Syah dalam bukunya Psikologi Pendidikan dengan

Pendekatan Baru menjelaskan bahwa “Afektif adalah tingkah laku

yang menyangkut keaneka-ragaman perasaan seperti : takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, was-was, dan sebagainya”.35

seorang siswa dapat dianggap sukses secara afektif dalam belajar agama apabila ia telah menyenangi dan menyadari dengan ikhlas kebenaran ajaran agama yang ia pelajari, lalu

menjadikannya sebagai “sistem nilai diri”. Kemudian pada

gilirannya ia menjadikan sistem nilai ini sebagai penuntun hidup, baik di kala suka maupun duka.36

W.James Popham dan Eva L. Baker dalam bukunya yang berjudul Bagaiamana Mengajar ecara Sistematis, menjelaskan bahwa:

33 Monty P. Satiadarma dan Fidelis E. Waruwu, Mendidik Kecerdasan, (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2002), h. 67.

34 W.S Winkel, Psikologi Pengajaran, (Jakarta: PT Gramedia, 1989). Cet ke-2. h. 41.

35 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), h.119.

“afektif adalah mengenai sikap, minat, emosi, nilai hidup dan apresiasi

siswa.”37

Yudhi Munadi dalam bukunya Media Pembelajaran,

menjelaskan bahwa : “afektif yakni menggugah perasaan, emosi, dan

tingkat penerimaan atau penolakan siswa terhadap sesuatu.” Setiap

orang memiliki gejala batin jiwa yang berisikan kualitas karakter dan kesadaran. Ia berwujud pencurahan perasaan minat, sikap penghargaan, nilai-nilai, dan perangkat emosi atau kecenderungan-kecenderungan batin.38

Secara umum, pengertian afektif terkait dengan hal-hal yang emosional sifatnya namun tidak termasuk yang bersifat volisional atau keinginan-keinginan tertentu. Aspek utama dari emosi adalah pengalaman subyektif, dan pengalaman subyektif terkait dengan perubahan-perubahan fisiologi serta perilaku.39

Emosi meliputi perasaan seperti sedih, gembira, dan takut merupakan hasil pengalaman subyektif individu. Setiap orang memiliki rentang jenis emosi yang lebih kurang sama akan tetapi secara individual setiap orang akan berbeda dalam merasakan, menampilkan, serta mengendalikannya. Emosi tumbuh dan berkembang sejak usia dini dan kelak akan merupakan salah satu landasan kepribadian seseorang yang juga memiliki fungsi adaptif demi mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan hidup.

2. Taksonomi AfektifSiswa

Taksonomi untuk daerah Afektif mula-mula dikembangkan oleh David R. Krathwohl Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada

37 W.James Popham dan Eva L. Baker, Bagaiamana Mengajar Secara Sistematis, (Yogyakarta: KANISIUS, 1994), Cet. 6, h. 37-38.

38 Yudhi Munadi, Media Pembelajaran, (Jakarta: Gaung Persada(GP) Press, 2010), Cet. 3, h. 44.

peserta didik dalam berbagai tingkah laku, seperti: perhatiannya terhadap mata pelajaran pendidikan agama Islam, kedisiplinanya dalam mengikuti pelajaran agama Islam di sekolah, motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak mengenai pelajaran agama Islam yang diterimanya, penghargaan atau rasa hormatnya terhadap guru pendidikan agama Islam, dan sebagainya.40

Ranah Afektif ditaksonomi menjadi lebih rinci lagi kedalam lima jenjang, yaitu:

a. Receiving atau attending (menerima atau memperhatikan), adalah kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain. Termasuk dalam jenjang ini misalnya adalah kesadaran dan keinginan untuk menerima stimulus, mengontrol dan menyeleksi gejala-gejala atau rangsangan yang datang dari luar. Pada jenjang ini peserta didik divina agar mereka bersedia menerima nilai atau nilai-nilai yang diajarkan kepada mereka, dan mereka mau menggabungkan diri kedalam nilai itu atau mengidentikkan diri dengan nilai itu. Contohnya: peserta didik menyadari bahwa disiplin wajib ditegakkan, sifat malas dan tidak berdisiplin harus disingkirkan jauh-jauh.41

b. Responding (menanggapi) mengandung arti adanya partisipasi aktif. Jadi kemampuan menanggapi adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengikutsertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya dengan salah satu cara. Jenjang ini setingkat lebih tinggi ketimbang jenjang receiving. Contohnya adalahpeserta didik tumbuh hasratnya untuk mempelajari lebih jauh atau atau

40 Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, Cet. 11, h. 54.

menggali lebih dalam lagi, ajaran-ajaran Islam tengtang kedidsiplinan.42

c. Valuing (menilai=menghargai). Artinya memberikan nilai atau memberikan penghargaan terhadap suatu kegiatan atau obyek, sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan akan membawa kerugian atau penyesalan. Valuing adalah tingkatan afektif yang lebih tinggi lagi daripada receiving dan responding. Dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar, peserta didik disini tidak hanya mau menerima nilai yang diajarkan tetapi mereka telah berkemampuan untuk menilai konsep atau fenomena, yaitu baik atau buruk. Contohnya adalah tumbuhnya kemauan yang kuat pada diri peserta didik untuk berlaku disiplin, baik di sekolah, di rumah maupun di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

d. Organization (mengatur atau mengorganisasikan) artinya

mempertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang lebih universal, yang membawa kepada perbaikan umum. Mengatur atau mengorganisasikan merupakan pengembangan dari nilai ke dalam satu sistema organisasi, termasuk didalamnya hubungan satu nilai dengan nilai lain, pemantapan dan prioritas nilai yang telah dimilikinya. Contohnya adalah peserta didik mendukung penegakan disiplin nasional yan telah dicanangkan oleh Bapak Presiden Soeharto. Mengatur atau mengorganisasikan merupakan jenjang afektif yang lebih tinggi lagi daripada receiving, responding dang valuing.

e. Characterization by a value or value complex (karakterisasi dengan suatu nilai atau komplek nilai). Yakni keterpaduan semua system nilai yang telah dimiliki seseorang yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Di sini proses internalisasi nilai telah menempati tempat tertinggi

dalam suatu hierarki nilai. Jenjang ini merupakan tingkatan afektif tertinggi, karena sikap batin peserta didik telah benar-benar bijaksana. Ia telah memiliki philosophy of life yang mapan. Jadi pada jenjang ini peserta didik telah memiliki sistem nilai yang mengontrol tingkah lakunya untuk suatu waktu yang cukup lama, sehingga membentuk karakteristik

“pola hidup”, tingkah lakunya menetap, konsisten dan dapat

diramalkan. Contohnya adalah siswa telah memiliki kebulatan sikap, wujudnya peserta didik menjadikan perintah Allah SWT yang tertera dalam Al-Qur’an surat Al- Ashr sebagai pegangan hidupnya dalam hal yang menyangkut kedisiplinan, baik kedisiplinan di sekolah, di rumah maupun di tengah-tengan kehidupan masyarakat.43

W.S Winkel dalam bukunya yang berjudul Psikologi Pengajaran, menjelaskan tentang taksonomi afektif sebagai berikut :

a. Penerimaan: mencakup kepekaan akan adanya suatu perangsang dan kesediaan untuk memperhatikan rangsangan itu, seperti buku pelajaran atau penjelasan yang diberikan oleh guru. Kesediaan itu dinatakan dalam memperhatikan sesuatu, seperti memandangi gambar yang dibuat di papan tulis atau mendengarkan jawaban teman sekelas atas pertanyaan guru. Namun, perhatian itu masih

pasif, Misalnya: “Siswa akan rela memandangi peta

geografi tanah Indonesia yang dipamerkan di depan kelas.”

b. Partisipasi: mencakup kerelaan untuk memperhatikan secara aktif dan berpartisifasi dalam suatu kegiatan. Kesediaan itu dinyatakan dalam memberikan suatu rekasi terhadapa rangsangan yang disajikan, seperti membacakan dengan suara nyaring bacaan yang ditunjuk atau

menunjukkan minat dengan membawa pulang buku bacaan

yang ditawarkan. Misalnya: “Siswa akan rela berpartisipasi

dalam upacara kenaikan bendera, dengan berdiri tegak dan menyanyikan lagu kebangsaan dengan volume suara penuh.”

c. Penilaian/penentuan sikap: mencakup kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap sesuatu dan membawa diri sesuai dengan penilaian itu. Mulai dibentuk suatu sikap: menerima, menolak atau mengabaikan; sikap itu dinyatakan dalam tingkah laku yang sesuai dan konsisten dengan sikap batin. Kemampuan itu dinyatakan dalam suatu perkara atau tindakan, seperti mengungkapkan pendapat positif tentang pameran lukisan modern atau mendatangi ceramah di sekolah.

d. Organisasi: mencakup kemampuan untuk membentuk suatu sistem nilai sebagai pedoman dan pegangan dalam kehidupan. Nilai-nilai yang diakui dan diterima ditempatkan pada suatu skala nilai : mana yang pokok dan selalu harus diperjuangkan, mana yang tidak begitu penting. Kemampuan itu dinyatakan dalam mengembangkan suatu perangkat nilai, seperti menguraikan bentuk keseimbangan yang wajar antara kebebasan dan tanggung jawab dalam suatu negara demokrasi atau menyususn rencana masa depan atas dasar kemampuan belajar, minat dan cita-cita hidup.

e. Pembentukan Pola Hidup: mencakup kemampuan untuk menghayati nilai-nilai kehidupan sedemikian rupa, sehingga menjadi milik pribadi dan menjadi pegangan nyata dan jelas dalam mengatur kehidupannya sendiri.

Misalnya: kemampuan untuk menunjukkan kerajinan, ketelitian dan disiplin dalam kehidupan pribadi.44

W.James Popham dan Eva L. Baker dalam bukunya yang berjudul Bagaimana Mengajar Secara Sistematis, menjelaskan bahwa taksonomi afektif dibagi lagi menjadi lima taraf, yaitu :

a. Memperhatikan, tarap pertama ini adalah mengenai kepekaan siswa terhadap fenomena-fenomena dan perangsang-perangsang tertentu, yaitu menyangkut kesediaan siswa untuk menerima atau memperhatikannya. Taraf ini dibagi menjadi tiga katagori yaitu, kesadaran akan fenomena, kesediaan menerima fenomena, dan perhatian yang terkontrol atau terseleksi terhadap fenomena.

b. Merespon, respon ini sudah lebih dari hanya memperhatikan, siswa sudah memiliki motivasi yang

cukup sehingga ia bukan saja “mau memperhatikan”,

melainkan sudah memberikan respon.

c. Menghayati Nilai, pada taraf ini nampak bahwa siswa sudah menghayati nilai tertentu, perilaku siswa sudah cukup konsisten dalam situasi-situasi tertentu sehingga ia sudah dipandang sebagai orang yang sudah menghayati nilai yang bersangkutan.

d. Mengorganisasikan, dalam mempelajari nilai-nilai, siswa mengahadapi situasi yang mengandung lebih dari satu nilai. Karena itu perlulah siswa mengorganisasi nilai-nilai itu menjadi suatu sistem sehingga nilai-nilai-nilai-nilai tertentu sajalah yang lebih memberikan pengarahan kepadanya. e. Mempribadikan Nilai atau Seperangkat Nilai, pada

taksonomi afektif taraf tertinggi ini siswa telah mendarah-dagingkan nilai-nilai sedemikian rupa

sehingga dalam prakteknya ia sudah dapat digolongkan sebagai orang yang memegang nilai atau seperangkat nilai tertentu.45

3. Tujuan Pengembangan Aspek Afektif Siswa

Pengembangan afektif merupakan tujuan yang berhubungan dengan perasaan, emosi, system nilai, dan sikap hati (attitude) yang menunjukkan penerimaan atau penolakan terhadap sesuatu.Tujuan afektif terdiri dari yang paling sederhana, yaitu memperhatikan suatu fenomena sampai kepada yang kompleks yang merupakan faktor

internal seseorang, seperti kepribadian dan hati nurani.“Dalam literatur

tujuan afektif disebut sebagai: minat, sikap hati, sikap menghargai, system nilai serta kecenderungan emosi”.46

Perumusan tujuan pada pengembangan afektif tidak berbeda jauh bila dibandingkan dengan kawasan kognitif, tetapi dalam mengukur hasil belajarnya jauh lebih sukar karena menyangkut kawasan sikap dan apresiasi. Disamping itu, kawasan afektif juga sulit dicapai pada pendidikan formal, karena pada pendidikan formal, prilaku yang nampak dapat diasumsikan timbul sebagai akibat dari kekakuan aturan disiplin belajar, waktu belajar, tempat belajar, dan norma-norma lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa prilaku seperti itu timbul bukan karena siswa telah sadar dan menghayati betul tentang kebutuhan akan sikap dan perilaku tersebut, tetapi dilakukan karena sekedar untuk memenuhi aturan dan disiplin saja agar tidak mendapat hukuman.

Berikut ini akan dijelaskan tujuan pengembangan afektif siswa setiap tingkat secara berurutan:

a. Tingkat menerima (receiving)

45W.James Popham dan Eva L. Baker, op.,cit., h. 42.

46Martinis Yamin, Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2004), Cet. 2, h. 32.

Menerima di sini adalah sebagai proses pembentukkan sikap dan prilaku dengan cara membangkitkan kesadaran tentang adanya tertentu yang mengandung estetika.

b. Tingkat tanggapan

Segala perubahan perilaku organisme yang terjadi atau yang timbul karena adanya perangsang dan perubahan tersebut dapat diamati.

c. Tingkat menilai

Pengakuan secara objektif (jujur) bahwa siswa itu objek, system atau benda tertentu mempunyai kadar manfaat.

d. Tingkat Organisasi

Proses konseptualisasi nilai-nilai dan menyusun hubungan antar nilai-nilai tersebut, kemudian memilih nilai-nilai yang terbaik untuk diterapkan.

e. Tingkat karakterisasi

Adalah sikap dan perbuatan yang secara konsisten dilakukan oleh seseorang selaras dengan nilai-nilai yang dapat diterimanya, sehingga sikap dan perbuatan itu seolah-olah telah menjadi ciri-ciri pelakunya.47

Tujuan afektif berhubungan dengan nilai, sikap, perasaan, emosi, minat, motivasi, apresiasi, kesadaran akan harga diri, dan sebagainya. Perlu dipahami bahwa afektif tidak dapat diamati secara langsung, namun kita dapat mengetahuinya dari perilaku yang berwujud perkataan atau tindakan seseorang.Munculnya perilaku tersebut menunjukkan adanya tiga kecenderungan, yaitu kearah afek positif, netral, atau negatif.Semakin banyak kita mengetahui perilaku keseluruhan seseorang, semakin baik kita dapat memperkirakan kecenderungan afektif orang tersebut.Anderson menyebut kecenderungan afektif seseorang terhadap suatu objek ini dengan

istilah arah.Perilaku yang dinyatakan dalam tujuan afektif harus yang memiliki kemungkinan tinggi untuk muncul di kalangan subjek didik. Tujuan afektif harus mengandung pernyataan kondisi, yaitu situasi terjadinya perilaku.Pernyataan kondisi dalam tujuan afektif berupa sejumlah alternative yang harus disediakan bagi subjek didik.Subjek didik diberi kebebasan untuk memilih, tanpa ada pengaruh dari pendidik secara langsung. Dengan kata lain, tindakan subjek didik harus bersifat sukarela.

Selain pernyataan kondisi, tujuan afektif harus mengandung pernyataan kriteria.Ada dua kriteria yang dapat digunakan dalam tujuan afektif.Pertama,yang ditekankan pada jumlah subjek didik yang melakukan kegiatan atau berprilaku. Kedua, yang ditekankan pada jumlah kegiatan atau jumlah waktu untuk melakukan kegiatan.Menurut Darmiyati Zuchdi dalam bukunya Humanisasi Pendidikan Menemukan Kembali Pendidikan yang Manusiawi menjelaskan bahwa:

Tujuan afektif yang harus diperhatikan dalam proses pendidikan, yaitu perasaan, sikap, kesadaran akan harga diri, nilai-nilai yang diperlukan oleh subjek didik untuk mengadakan hubungan yang manusiawi, termasuk keterampilan mengadakan hubungan antarpribadi dan antar kelompok guna menciptakan kehidupan yang beradab. Di antaranya ialah perasaan dan ekspresi keakraban, kepercayaan, tanggung jawab, kepedulian, keterbukaan, kesetiakawanan.48

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Afektif

Menurut Darmiyati Zuchdi dalam bukunya Humanisasi Pendidikan (menemukan Kembali Pendidikan yang Manusiawi), menjelaskan bahwa :perkembangan afektif anak yang terkait dengan sekolah yang berwujud sikap, minat, nilai, kesadaran akan harga diri,

motivasi, minat, dan sebagainya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Beberapa dari faktor tersebut adalah sebagai berikut:

a. karakteristik dan latar belakang murid itu sendiri seperti: seks, umur, status sosial ekonomi, capaian belajar, dan kepribadian.

b. Pengaruh terkait suasana sekolah seperti: guru, suasana kelas, materi kurikulum, dan strategi instruksional.49

Sejumlah penelitian tentang emosi anak menunjukan bahwa perkembangan emosi mereka bergantung pada faktor kematangan dan faktor belajar.Metode belajar yang menunjang perkembangan emosi antara lain:

a. Belajar dengan coba-coba

Anak belajar secara coba-coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan terbesar kepadanya, dan menolak perilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan kepuasan.

b. Belajar dengan cara meniru

Dengan cara mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi orang lain, anak-anak bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamati.

c. Belajar dengan dengan cara mempersamakan diri

Dengan cara mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi orang lain, anak-anak bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamati.

d. Belajar melalui pengkondisian.

e. Pelatihan atau belajar dibawah bimbingan pengawasan terbatas pada asfek reaksi.

49Ibid., h. 28.

Dokumen terkait