• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran TGF-β1 Dalam Perkembangan Fibrosis Pada Penyakit Ginjal Kronik Fibrosis ginjal, ditandai dengan deposisi berlebihan ECM (matriks

ekstraselular), yang dikenal sebagai fitur patologis umum dari penyakit ginjal kronik dan mengarah ke pengembangan ESRD (penyakit ginjal stadium akhir), disertai dengan perkembangan kerusakan ginjal. Meskipun terapi yang efektif untuk fibrosis ginjal masih kurang, sejumlah studi menunjukkan bahwa TGF-β1 merupakan mediator kunci dalam penyakit ginjal kronik yang dikaitkan dengan fibrosis ginjal progresif. TGF-β1 memiliki beberapa sifat biologis termasuk proliferasi sel, diferensiasi, apoptosis, autofagi, produksi ECM, dll. Kolagen merupakan komponen utama dari ECM di ginjal, dan kolagen tipe I merupakan jenis kolagen utama yang berhubungan dengan derajat penyakit. Fibrosis ginjal ditandai dengan akumulasi fibroblas dan protein matriks yang berlebihan yang di ikuti dengan hilangnya fungsi nefron yang merupakan ciri patologis utama dari penyakit ginjal progresif. Banyak penelitian menunjukkan bahwa fibrosis ginjal progresif dimediasi oleh beberapa mediator termasuk faktor pertumbuhan, sitokin, toksin metabolisme, dan molekul stres melalui beberapa mekanisme dan jalur.

Di antara jalur tersebut, TGF-β1 telah diakui sebagai mediator kunci dalam patogenesis fibrosis ginjal (Meng et al., 2015).

Transforming growth factor-beta (TGF-β) merupakan regulator multifungsi yang memodulasi proliferasi sel, diferensiasi, apoptosis, adhesi dan migrasi berbagai jenis sel dan menginduksi produksi protein ECM. TGF-β superfamili, ditandai dengan 6 residu sistein, dikodekan oleh 42 kerangka terbuka dan terdiri dari >30 anggota pada mamalia, termasuk 3 TGF-β, 4 activin dan lebih dari 20 bone morphogenetic protein (BMP). Tiga isoform mamalia dari subfamili TGF-β (TGF-β1, TGF-β2, TGF-β3)

commit to user

disusun oleh 70-82% asam amino homolog dan melakukan aktivitas kualitatif serupa dalam sistem yang berbeda. Bentuk aktif dari sitokin TGF-β adalah dalam bentuk dimer yang distabilkan oleh interaksi hidrofobik, yang diperkuat oleh jembatan disulfida intersubunit. TGFβ-1 merupakan peptida dari 112 residu asam amino yang diperoleh melalui pembelahan proteolitik dari C-terminal protein prekursor. Protein ini berinteraksi dengan reseptor permukaan sel golongan kinase protein serin / treonin, dan menghasilkan sinyal intraseluler menggunakan Smads. Mereka berperan penting dalam regulasi proses biologis dasar seperti pertumbuhan, perkembangan, homeostasis jaringan dan regulasi sistem imunitas tubuh (Loeffler dan Wolf, 2013).

TGF-β1 disintesis oleh berbagai sel, termasuk sel haematopoietik imatur, sel T dan B aktif, makrofag, neutrofil dan sel dendrit, serta semua jenis sel ginjal dan dikeluarkan sebagai kompleks prekursor laten (latent TGF-β1) dengan latent TGF-β binding proteins (LTBP). TGF-β1 menjadi aktif ketika TGF-β1 dibebaskan dari latency-associated peptide (LAP) dan dipisahkan dari LTBP melalui pembelahan proteolitik oleh plasmin, ROS, thrombospondin-1, dan asam. TGF-β1 aktif kemudian terikat pada reseptornya dan berfungsi sebagai autokrin dan parakrin untuk mengerahkan aktivitas biologis dan patologis melalui jalur sinyal yang tergantung dan tidak tergantung Smad.

Namun, mekanisme Smad-dependent dianggap sebagai jalur utama dalam banyak proses patofisiologi penyakit ginjal (Lan, 2011; Loeffler dan Wolf, 2013).

TGF-β1 memainkan peran penting dalam memodulasi respon inflamasi dan proses biologis lainnya seperti remodelling jaringan dan perkembangan kanker melalui pengaturan produksi MMP, yang produksinya diatur melalui lintas jalur antara Smad dan Nf-B (Purwanto, 2010; Lan, 2011).

commit to user

Gambar 2.15. Mekanisme Fibrosis (Robbins dan Cotran, 2005)

Pengikatan TGF-β1 ke reseptor TGF-β tipe II (TβRII) dapat mengaktifkan reseptor TGF-β tipe I (TβRI)-kinase, sehingga terjadi fosforilasi Smad2 dan Smad3.

Selanjutnya, Smad2 dan Smad3 yang terfosforilasi berikatan dengan Smad4 dan membentuk kompleks Smad, yang bertranslokasi ke inti untuk mengatur transkripsi gen sasaran, termasuk Smad7 (Gambar 2.16). Smad7 adalah penghambat Smad sebagai regulator negatif aktivasi dan fungsi Smad2 serta Smad3 dengan sasaran untuk degradasi TβRI dan Smads melalui mekanisme degradasi proteasome eubiquitin (Lan, 2011).

Selain itu, angiotensin II juga merangsang penyerapan protein yang di ultrafilter ke dalam sel tubular dan meningkatkan produksi sitokin proinflamasi dalam sel. Terjadi migrasi makrofag dan sel inflamasi lainnya ke tubulo-interstisial. Peningkatan sintesis dan penurunan protein matriks ekstraselular dalam sel-sel tubular dan fibroblas interstisial berkontribusi pada fibrosis interstisial. Selain itu, konsentrasi angiotensin II dan TGF-1 yang tinggi menyebabkan sel-sel tubular dapat mengubah fenotipenya dan

commit to user

menjadi fibroblas melalui suatu proses yang disebut EMT yang berkontribusi pada fibrosis interstisial dan atrofi tubular karena sel-sel epitel menghilang (Ziyadeh dan Wolf, 2008).

Perkembangan penelitian terbaru, didapatkan bahwa bone morphogenic protein-7 (BMP-protein-7) yang diekspresikan pada sel-sel tubulus distal ginjal yang merupakan superfamili dari TGF- memiliki efek berlawanan (antagonis). Dari hasil berbagai penelitian pemberian BMP-7 akan mengurangi aktivitas TGF-1 sehingga mencegah terjadinya glomerulosklerosis dan fibrosis interstisial (Motazed et al., 2008; Zeisberg dan Kalluri, 2008).

Gambar 2.16. Jalur Crosstalk TGF-β/Smads Pada Fibrosis dan Inflamasi Ginjal.

Setelah mengikat TβRII, TGF-β1 mengaktifkan TβRI-kinase yang memfosforilasi Smad2 dan Smad3. Smad2 dan Smad3 yang terfosforilasi kemudian mengikat Smad4 dan membentuk kompleks Smad, yang translokasi ke dalam inti dan mengatur transkripsi gen sasaran, termasuk Smad7. Smad7 adalah penghambat Smad yang berfungsi untuk memblokir aktivasi Smad 2/3 dengan mendegradasi TβRI dan Smads serta menghambat respons inflamasi yang digerakkan NF-kB dengan menginduksi IκBα (penghambat NF-kB). Angiotensin II dan AGEs dapat mengaktifkan Smads yang tidak tergantung TGF-β1 melalui jalur crosstalk ERK/p38/MAPK.

Garis biru (simbol) menunjukkan jalur regulasi negatif atau pelindung, sedangkan panah merah (simbol) merupakan jalur regulasi positif atau patogenik (Lan, 2011).

commit to user

dalam patogenesis fibrosis ginjal karena TGF-β1 sangat meningkat pada penyakit ginjal dengan fibrosis ginjal berat. TGF-β1 menjadi perantara fibrosis ginjal progresif dengan merangsang produksi sekaligus menghambat degradasi ECM. Selain itu, TGF-β1 juga menjadi perantara fibrosis ginjal dengan menginduksi transformasi sel epitel tubular menjadi miofibroblas melalui EMT. Peran fungsional TGF-β1 dalam EMT dan fibrosis ginjal ditunjukkan oleh kemampuan pemblokiran TGF-β1 dengan antibodi TGF-β untuk mencegah atau memperbaiki fibrosis ginjal baik secara in vivo dan in vitro. Bukti langsung peran TGF-β1 pada fibrosis ginjal berasal dari penelitian bahwa tikus yang mengekspresikan bentuk aktif TGF-β1 dalam hati akan berkembang menjadi fibrosis hati dan ginjal yang progresif (Huang et al., 2008; Lan, 2011).

Gambar 2.17. Inflamasi dan TGF-β Mendorong Transisi Mesensimal.

Epithelial-mesenchymal transition (EMT) berlangsung selama perkembangan, dan berperan dalam invasi kanker dan pembentukan miofibroblas yang berkontribusi terhadap fibrosis.

Sebagai respons terhadap cedera, sel-sel inflamasi dan fibroblas aktif menghasilkan faktor pertumbuhan seperti TGF-β dan FGF-2, serta MMP dan kemokin. TGF-β dan faktor-faktor lain memicu kaskade sinyal pada sel epitel yang menyebabkan perubahan dari epitel ke fenotipe mesensimal (Lopez-Novoa dan Nieto, 2009).

commit to user 2.9. Hipertensi Pada Penyakit Ginjal Kronik

Hipertensi pada pasien PGK merupakan suatu hal yang umum. Sebagian besar pasien PGK akan juga menderita tekanan darah tinggi, bahkan tekanan darah tinggi menjadi salah satu ciri-ciri yang paling sering dijumpai pada klinis pasien PGK.

Hipertensi bisa merupakan sebab dan konsekuensi dari PGK. Tekanan darah sistemik yang terus menerus tinggi lama-kelamaan akan mengganggu sistem autoregulasi ginjal dan pada akhirnya akan menyebabkan diteruskannya tekanan tersebut ke dalam ginjal.

Hal ini akan mencederai ginjal dan lama-kelamaan akan menjadi penyakit ginjal kronis (Bidani et al., 2013).

Bagaimana hipertensi menyebabkan kerusakan pada ginjal masih belum sepenuhnya diketahui. Terdapat beberapa teori yang berujung pada kerusakan dan fibrosis ginjal. Teori pertama mengajukan adanya perubahan sistemik yang mengakibatkan perubahan pada sistem pembuluh darah makro dan mikro ginjal yang akan mengganggu kemampuan auto-regulasi ginjal dan berakibat akan meningkatkan tekanan kapiler intra-glomerulus. Hal ini kemudian akan memicu kerusakan yang diperantarai oleh hiperfiltrasi ginjal. Hiperfiltarsi ginjal akan menyebabkan ekskresi protein berlebihan dari glomerulus yang kemudian akan memicu produksi dari sitokin-sitokin pro inflamasi dan growth factors oleh sel-sel mesangial dan sel-sel epitel tubulus bagian bawah (Blumenfeld et al., 2012).

Teori kedua menyebutkan peranan dari disfungsi endotel dan hilangnya atau berkurangnya faktor-faktor vasodilator endogen. Hal tersebut diikuti dengan aktifasi dari sistem Renin-Angiotensin (RAS) intrarenal dan pelepasan sitokin pro-inflamasi dan growth factors, menyebabkan apoptosis dari sel-sel ginjal dan meningkatkan

commit to user

Neves, 2012; Bidani et al., 2013). ROS juga merupakan media penting untuk terjadinya hipertensi yang disebabkan oleh paparan angiotensin II (Idris-Khodja et al., 2014).

Peningkatan volume ekstraseluler. Akibat menurunnya fungsi ekskresi ginjal, maka retensi air dan hipervolemia merupakan kondisi yang sering terjadi pada pasien dengan PGK. Peningkatan volume ekstraseluler juga merupakan penyebab tersering hipertensi pada PGK. Target ultrafiltrasi dan restriksi garam adalah berat badan kering.

Berat badan kering adalah berat badan tanpa edema di mana tekanan darah tetap normal baik sebelum atau sesudah dialisis tanpa penggunaan obat-obatan anti hipertensi. Pada pasien dengan peritoneal dialisis, kejadian hipervolemia diderita oleh paling tidak 25%

dari penderita. Diketahui bahwa kesimbangan natrium dan air memegang peran utama.

Hipervolemia juga dihubungkan dengan hilangnya fungsi ginjal tersisa, kegagalan membran ultrafiltrasi dan kepatuhan berobat yang lebih buruk (Blumenfeld et al., 2012).

Nitric Oxide atau NOS adalah vasodilator alami. Berkurangnya produksi NOS telah dihubungkan dengan hipertensi dan kejadian kardiovaskular. Dikarenakan NOS adalah sebuah vasodilator, maka efeknya pada pembuluh darah aferen ginjal adalah mengganggu autoregulasi ginjal, maka seharusnya dengan berkurangnya NOS akan menjadikan sebuah efek proteksi pada ginjal. Namun dari hasil penelitian-penelitian, ditemukan hal sebaliknya. Penurunan kadar NOS telah diasosiasikan dengan kejadian dan progresifitas PGK (Palm and Nordquist, 2011; Blumenfeld et al., 2012).

Diduga hal tersebut dikarenakan adanya efek sistemik yang mempengaruhi hemodinamik dan akan berakhir pada kelainan di ginjal. NOS selain mempunyai efek vasodilatasi juga mempunyai efek meingkatkan kelenturan dinding arteri, menurunkan

commit to user

resistensi perifer, menghambat proliferasi sel-sel otot polos pembuluh darah, menurunkan agregasi tombosit dan menurunkan adhesi monosit di pembuluh darah sehingga menurunkan resiko aterosklerosis (Blumenfeld et al., 2012).

Namun, beberapa ahli membuat hipotesa berdasarkan penelitian pada tikus, adanya efek NOS yang kurang diperhatikan, yaitu efek vasodilatasi pembuluh darah eferen ginjal. Dengan vasodilatasi pembuluh darah eferen maka akan mencegah peningkatan tekanan intraglomerulus. Dengan ditemukan sejumlah besar NOS synthase 1 dan 3 di sel-sel endotel pembuluh darah eferen, memperkuat teori tersebut (Bidani et al., 2013).

Penurunan NOS dihubungkan dengan retensi natrium. Retensi Na akan memicu enzin NADPH oksidase yang mana akan menyebabkan stres oksidatif. Apabila stress oksidatif terlalu banyak, maka akan merusak NO yang ada dan menghambat produksinya (Palm and Nordquist, 2011; Blumenfeld et al., 2012).

Gambar 2.18. Skema Mekanisme Yang Diketahui Mengakibatkan Hipoksia Jaringan Ginjal dan Kerusakan Ginjal Pada Hipertensi (Palm and Nordquist, 2011).

commit to user

Imunohistokimia merupakan suatu teknik penentuan keberadaan antigen (protein target) dalam jaringan atau sel dengan menggunakan antibodi berlabel sebagai reagen spesifik melalui interaksi antigen-antibodi yang divisualisasikan dengan penanda seperti pewarna berpendar, enzim, unsur radioaktif atau koloid emas untuk mendeteksi. Teknik ini diawali dengan prosedur histoteknik yaitu prosedur pembuatan irisan jaringan (histologi) untuk diamati di bawah mikroskop. Irisan jaringan yang didapat kemudian memasuki prosedur imunohistokimia (IHC World, 2007). Reaksi antigen-antibodi (Ag-Ab) pada imunohistokimia (IHC) biasanya terjadi antara dua protein makromolekul yaitu : antigen (termasuk glikoprotein, lipoprotein, atau hanya protein), dan antibodi yang merupakan glikoprotein. Namun harus ditekankan bahwa dalam kasus ini salah satu makromolekul (antigen), terletak pada bagian jaringan yang akan difiksasi formaldehid dan dilekatkan pada parafin. Proses ini akan menyebabkan perubahan bentuk dan konformasi dari jaringannya. Perubahan konformasi struktur protein setelah fiksasi, akan menyebabkan presentasi epitope modifikasi yang berbeda, hal ini mungkin menghalangi akses ke antibodi spesifik. Heat-based antigen retrieval methods merupakan cara yang di gunakan untuk membalikkan perubahan konformasi yang dihasilkan akibat fiksasi. Selain itu pada proses fiksasi dengan alkohol, alkohol akan berinteraksi dengan protein hidrofobik dan menghasilkan modifikasi struktur protein tersier (Ramos-Vara, 2005).

Interaksi antara antigen dan antibodi merupakan reaksi yang tidak kasat mata. Oleh karena itu, diperlukan visualisasi adanya ikatan tersebut dengan melabel antibodi yang digunakan dengan enzim atau fluorokrom. Enzim (yang dipakai untuk

commit to user

melabel) selanjutnya direaksikan dengan substrat kromogen (yaitu substrat yang menghasilkan produk akhir berwarna dan tidak larut) yang dapat diamati dengan mikroskop cahaya. Imunohistokimia yang menggunakan fluorokrom untuk melabel antibodi, dapat langsung diamati (tanpa direaksikan lagi dengan kemikalia yang menghasilkan warna) di bawah mikroskop fluoresense (IHC World, 2007).

Albert H. Coons dan rekan-rekannya pada tahun 1941 adalah yang pertama kali melabel antibodi dengan pewarna berpendar, dan menggunakannya untuk mengidentifikasi bagian antigen dalam jaringan. Dengan pengembangan dan penyempurnaan teknik imunohistokimia, label enzim telah diperkenalkan seperti peroksidase dan alkalin fosfatase. Pada tahun 1971 label koloid emas juga telah ditemukan dan digunakan untuk mengidentifikasi reaksi imunohistokimia pada mikroskop cahaya dan elektron. Menurut Wasito, sebagai saran diagnosis, beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari pemeriksaan imunohistokimia adalah dengan teknik monoklonal antibodi dan teknik hibridoma dapat ditingkatkan sensitifitas dan spesifisitasnya, dan pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan berbagai teknik pewarnaan, antara lain metode peroksidase-biotin antiperoksidase, alkali fosfatase anti alkali fosfatase, kompleks avidin biotin, dan streptavidin (Susilo, 2006; IHC World, 2007).

Sejak imunohistokimia melibatkan reaksi antigen-antibodi secara spesifik, dengan menggunakan teknik pewarnaan enzim khusus yang hanya mengidentifikasi sejumlah protein, enzim dan struktur jaringan, jelas lebih menguntungkan dibandingkan menggunakan cara yang tradisional. Oleh karena itu, imunohistokimia telah menjadi teknik penting dan banyak digunakan di banyak laboratorium penelitian medis juga diagnosis klinis (IHC World, 2007). Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk

commit to user

Sedangkan manfaat pemeriksaan metode imunohistokimia adalah mempertajam diagnostik patologi, membantu meramalkan perangai biologik dan prognosis suatu tumor, menentukan pilihan pengobatan dan mengenali jenis mikroorganisme atau jenis infeksi (Alsagaf, 1998). Banyak metode imunohistokimia yang dapat digunakan untuk penentuan keberadaan antigen. Pemilihan metode yang sesuai harus didasarkan pada parameter-parameter seperti jenis spesimen dalam penyelidikan dan tingkat sensitivitas yang diperlukan (IHC World, 2007).

Dokumen terkait