• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. GAMBARAN UMUM

4.4. Perkembangan Harga Liquefied Natural Gas (LNG)

Dalam suatu perdagangan, harga merupakan variabel yang sangat penting dalam memengaruhi permintaan dan penawaran suatu komoditi. Pada komoditi LNG, kesepakatan harga didasarkan pada prinsip-prinsip penting, antara lain kuantitas, kualitas, dan formula (Raharjo, 2008). Kualitas produksi LNG tidak selalu sama, tergantung pada komposisi gas terutama metana.

Secara teoritis, range negosiasi penetapan harga LNG berada pada batas maksimum berupa kemampuan pihak pembeli (maximum buyer affordability) dan batas minimum kembalinya investasi pihak penjual (minimum seller acceptability). Di antara batas tersebut terangkum semua variabel penunjang misalnya risiko, kehandalan pasokan, jaminan penerimaan, kompetisi antar gas/minyak/batubara, fiskal, margin keuntungan, market opportunity, dan faktor tekanan sosial politik (Raharjo, 2008).

Kementerian ESDM (2008) menjelaskan bahwa pada tahun 1970 hingga 1990 struktur pasar LNG lebih didominasi oleh produsen yang pada saat itu jumlahnya masih sangat terbatas. Kondisi ini sangat menguntungkan pihak produsen (seller) karena dengan demikian penjualan LNG harganya tinggi dan bersifat jangka panjang. Struktur pasar semacam ini dikenal dengan sebutan seller market. Tahun 1990 hingga 2000 mulai terjadi pergeseran dari seller market

menjadi buyer market secara bertahap, hal ini menyebabkan pasar menjadi didominasi oleh pembeli (buyer market).

Pada tahun 2000 sampai dengan 2005 struktur pasar LNG lebih didominasi oleh buyer market yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Banyaknya produsen LNG baru yang masuk pasar LNG dunia, seperti Qatar, Oman, Yaman, Aljazair, Malaysia, Brunei Darussalam, Rusia-Sakhalin, Australia, Alaska, dan Indonesia. Banyaknya produsen baru LNG yang bermunculan menyebabkan posisi produsen menjadi kurang dominan dan harga LNG juga ikut jatuh.

2. Kontrak LNG tidak lagi melalui negosiasi langsung tetapi melalui tender. Harga serta formula harga ditentukan oleh pembeli, walaupun masih dikaitkan dengan harga minyak (pointing to oil) tapi dengan batas atas dan batas bawah.

Kondisi-kondisi yang terjadi belakangan ini, misalnya kenaikan harga minyak, peningkatan ekonomi negara pembeli LNG, tertundanya realisasi penambahan kapasitas LNG, isu energi ramah lingkungan, dan kontrak penjualan LNG dalam jangka panjang yang akan berakhir (expire) pasca 2010, mengisyaratkan akan adanya peningkatan kebutuhan LNG yang berpotensi mengembalikan kondisi seller market pada periode 2005-sekarang (Raharjo, 2008).

Berdasarkan Gambar 4.5, dapat terlihat bahwa harga ekspor LNG Indonesia berfluktuasi, namun mengalami tren peningkatan. Penurunan harga LNG yang sangat tajam terjadi pada tahun 2009. Hal ini terjadi karena adanya over supply

LNG di pasaran, sedangkan negara pengimpor tidak mampu menyerap over supply tersebut sebagai dampak dari krisis tahun 2008.

Sumber : UN Comtrade, 2011 (diolah)

Gambar 4.3. Perkembangan Harga Ekspor LNG Indonesia (US$/kg) Tahun 1989-2010

Harga jual rata-rata gas untuk ekspor setidaknya 60 persen lebih tinggi dibandingkan harga jual rata-rata untuk gas domestik. Hal ini membawa penerimaan negara dari ekspor gas bumi jauh melampaui penerimaan negara dari penjualan gas domestik. Harga jual rata-rata gas ekspor melalui pipa dan pengiriman kargo gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG)dalam kurun waktu 2009 hingga 2011 mencapai US$10 hingga US$11 per juta British thermal unit

(MMBTU) sementara harga jual gas untuk domestik dalam kurun waktu yang sama tercatat hanya sebesar US$4 hingga US$4,5 per juta British thermal unit

(BP Migas, 2012).

4.5.Domestic Market Obligation (DMO)

Dengan adanya domestic market obligation (DMO), kontraktor diwajibkan untuk memberikan suatu persentase tertentu dari bagiannya kepada pemerintah sebagai pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Ketentuan ini diterapkan pada

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

kontrak bagi hasil standar berdasarkan Pasal 46 PP No.35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang menyatakan bahwa :

(1) Kontraktor bertanggung jawab untuk ikut serta memenuhi kebutuhan minyak bumi dan/atau gas bumi untuk keperluan dalam negeri;

(2) Bagian kontraktor dalam memenuhi keperluan dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan berdasarkan prorata hasil produksi minyak bumi dan/atau gas bumi;

(3) Besaran kewajiban kontraktor sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah paling banyak 25 persen (dua puluh lima per seratus) bagiannya dari hasil produksi minyak bumi dan/atau gas bumi;

(4) Menteri menetapkan besaran kewajiban setiap kontraktor dalam memenuhi kebutuhan minyak bumi dan/atau gas bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat 3.

Ketentuan ini menyatakan bahwa kontraktor wajib menjual migas yang dihasilkan sebesar 25 persen dari hasil produksi yang menjadi bagiannya dengan harga tertentu yang lebih kecil daripada harga migas aktual saat itu. Dasar pertimbangan yang melandasi logika ini adalah, tidaklah wajar suatu negara pengekspor suatu produk yang dihasilkannya di dalam negeri sementara dia masih membutuhkannya untuk konsumsi lokal.

Jika PP No.35 Tahun 2004 mengenakan domestic market obligation pada komoditi minyak dan gas secara umum, maka pada Peraturan Menteri No.3 Tahun 2010, khusus membahas mengenai alokasi dan pemanfaatan gas bumi untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Pasal 4 Peraturan Menteri No.3 Tahun 2010 tersebut menyatakan bahwa:

(1) Dalam rangka mendukung pemenuhan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri, kontraktor wajib ikut memenuhi kebutuhan gas bumi dalam negeri; (2) Kewajiban kontraktor untuk ikut memenuhi kebutuhan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyerahkan sebesar 25 persen (dua puluh lima perseratus) dan hasil produksi gas bumi bagian kontraktor; (3) Dalam hal kebutuhan gas bumi dalam negeri belum dapat terpenuhi, Menteri

menetapkan kebijakan alokasi dan pemanfaatan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) dari cadangan gas bumi pada suatu wilayah kerja;

(4) Pemenuhan kebutuhan gas bumi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetap memperhatikan ketersediaan infrastruktur, teknis operasional dan keekonomian lapangan.

Harga yang berlaku untuk kebijakan DMO ini berada di bawah harga pasar. Oleh karena itu, untuk mendorong pelaksanaan DMO ini, kontraktor yang memenuhi kewajibannya akan memperoleh insentif di mana penentuan harga diberlakukan sesuai kontrak penjualan gas bumi pada wilayah kerjanya selama jangka waktu tertentu. Jika melanggar, sanksi yang dikenakan atas pelanggaran

domestic market obligation (DMO) yaitu dengan adanya pencabutan fasilitas bebas DMO (DMO holiday).

Walaupun kebijakan tersebut tidak membatasi jumlah ekspor, namun hal ini secara tidak langsung memengaruhi struktur, komposisi, dan arah perdagangan gas internasional Indonesia. Oleh karena itu, kebijakan ini akan berdampak pada ekspor gas Indonesia, terutama bagi LNG yang merupakan komoditi gas yang menjadi primadona ekspor Indonesia.

Dokumen terkait