• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Hutan Adat

Dalam dokumen BERSAMA MEMBANGUN PERHUTANAN SOSIAL (Halaman 93-97)

Surati, Handoyo, & Sylviani

B. Perkembangan Hutan Adat

Masyarakat adat sangat bergantung pada kelestarian hutan untuk bertahan hidup. Permasalahannya adalah masih banyak HA yang belum mendapatkan pengakuan dan penetapan. Salah satu kendalanya adalah kurangnya pemahaman dan pengetahuan para pihak tentang kebijakan HA (Surati et

al., 2018) sehingga proses-proses terkait HA menjadi lambat. Permasalahan

lain adalah kurangnya dukungan pemerintah daerah terhadap proses-proses penetapan HA.

Pemerintah perlu menjamin kepastian legal untuk hak-hak MHA atas HA-nya dalam rangka menjamin kesejahteraan bagi MHA. Penetapan HA dilakukan agar tanah ulayat yang telah dikeluarkan dari kawasan hutan negara dapat menjadi hutan hak (Tobroni, 2013). Hal ini diperlukan untuk menjaga wilayah adat tetap pada fungsinya, yaitu sebagai bagian dari kawasan hutan.

Direktorat PKTHA (2019b) menyebutkan bahwa HA yang telah ditetapkan sampai dengan Desember 2019 sebanyak 58 unit SK Penetapan HA, seluas ±24.655 ha yang melibatkan 33.587 KK. Sampai dengan tahun 2019, terdapat usulan penetapan HA seluas ±3.660.813 ha yang telah memiliki produk hukum, baik peraturan daerah maupun produk hukum daerah. Dampak dan konsekuensi atas produk hukum tersebut tentunya beragam, tidak hanya terkait aspek kepastian hukum namun juga menyangkut aspek sosial, ekonomi, dan ekologi MHA. Jaminan atas pengelolaan HA yang lestari dan berkelanjutan juga dipengaruhi oleh landasan dan produk hukum di masing–masing daerah. Menindaklanjuti usulan penetapan HA dengan luasan tersebut, Menteri LHK telah menetapkan peta HA dan wilayah indikatif fase I seluas ±472.981 ha melalui SK No. 312/MenLHK/Setjen/PSKL.1/4/2019 tanggal 29 April 2019. Fase I tersebut terdiri atas hutan negara seluas 384.896 ha, areal penggunaan

lain (APL) seluas 68.935 ha, dan HA seluas 19.150 ha. Melalui keputusan tersebut, penetapan HA akan dilakukan secara berkala dan kumulatif setiap tiga bulan apabila ada produk hukum baru yang mencantumkan subyek dan obyek HA (Supriyanto, 2019).

Gambar 16 Luas capaian HA per provinsi (Direktorat PKTHA, 2019b).

Capaian 58 unit penetapan HA seluas 24.655 ha adalah jumlah yang kecil jika dibandingkan dengan pencapaian perhutanan sosial yang saat ini mencapai luasan 3,25 juta ha dengan lima skema yaitu HA, HKm, HD, HTR, dan KK. Jumlah tersebut akan terus bertambah seiring dengan usulan ke KLHK untuk ditetapkan menjadi HA.

Keberadaan wilayah adat yang umumnya ada di kawasan hutan menimbulkan konflik tersendiri. Keberlangsungan fungsi sumber daya hutan perlu dikontrol melalui kejelasan hak maupun pengendalian akses yang sangat dipengaruhi oleh tujuan jangka pendek maupun jangka panjang. Secara teoritis, pemerintah dapat menjaga keberlangsungan fungsi hutan melalui hak–hak yang telah ditetapkan secara hukum, tetapi dalam praktiknya terbukti belum

mampu menjawab tujuan tersebut. Melalui perhutanan sosial, masyarakat adat mendapat pengakuan resmi dan punya wadah legal untuk memiliki akses mengelola wilayah adatnya.

Kebijakan pengakuan dan penetapan HA, baik yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri maupun KLHK menunjukkan persyaratan yang saling terkait dan harus dilakukan secara bertahap. Di sisi lain, para pihak yang melaksanakan kebijakan tersebut beranggapan cenderung menyulitkan bagi beberapa pihak. Ada gap antara kebijakan dan implementasi dalam pengakuan dan penetapan HA. Beberapa faktor penyebabnya adalah (Surati

et al., 2018):

1. Kurang koordinasi antara pihak terkait dalam menghasilkan produk hukum HA.

2. Adanya perbedaan kepentingan antara pusat dan daerah.

3. Kurang lengkapnya persyaratan teknis yang harus dipenuhi dalam penetapan HA.

4. Keterbatasan anggaran dalam menghasilkan produk hukum HA. 5. Keterbatasan kemampuan MHA dalam melakukan pemetaan HA.

Gambar 17 menjelaskan tahapan awal dalam pengakuan dan penetapan HA sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Pengakuan dan perlindungan MHA dilakukan melalui tahapan identifikasi MHA, verifikasi dan validasi MHA, penetapan MHA. Identifikasi, verifikasi, dan validasi dilakukan oleh pemerintah daerah. Hal ini menandakan bahwa pemerintah daerah memainkan peranan penting dalam mewujudkan mandat konstitusi untuk pengakuan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat.

Tahapan selanjutnya untuk penetapan HA adalah sesuai dengan Permen LHK No. 32/Menlhk-Setjen/2015 tentang Hutan Hak yang telah mengalami perbaikan sebagaimana termaktub dalam Permen LHK No. 21/ MENLHKSetjen/KUM.1/4/2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak, yaitu: 1. Wilayah MHA yang dimohon sebagian atau seluruhnya berupa hutan. 2. Terdapat produk hukum pengakuan MHA dalam bentuk:

a. Peraturan daerah untuk HA yang berada di dalam kawasan hutan negara, atau

b. Peraturan daerah atau keputusan kepala daerah untuk HA yang berada di luar kawasan hutan negara.

3. Terdapat peta wilayah adat sebagai lampiran dari peraturan daerah atau keputusan kepala daerah.

4. Dalam proses penyusunan peta wilayah adat, dapat berkonsultasi kepada KLHK.

5. Adanya surat pernyataan yang memuat:

a. Penegasan bahwa areal yang diusulkan merupakan wilayah adat/HA pemohon,

b. Persetujuan ditetapkan sebagai HA dengan fungsi lindung, konservasi, atau produksi.

Persyaratan yang beragam untuk sampai dengan penetapan dan pencantuman HA dalam kawasan hutan sangat memerlukan dukungan dari berbagai pihak (Desmiwati & Surati, 2018). Penetapan HA adalah produk hilir sedangkan produk hulunya adalah produk hukum daerah mengenai pengakuan atau

penetapan masyarakat adat. Jika di kawasan hutan maka ada keharusan agar produk hukum daerah yang dihasilkan dalam bentuk Perda (Pasal 67 ayat 2 UU No. 41 Tahun 1999).

Di level pemerintah daerah, MHA merupakan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Dinas Lingkungan Hidup Provinsi/Kabupaten/Kota, sedangkan HA menjadi tupoksi Dinas Kehutanan Provinsi. Penetapan HA adalah tahapan yang mestinya tidak dikerjakan secara terpisah dari bagian yang lain. Artinya, harus ada suatu pekerjaan integratif antara HA dan hak komunal masyarakat adat. Terdapat ±13 kementerian/lembaga dengan tugas dan fungsi mengurusi MHA, ini yang menyulitkan dan membuat bingung MHA. Di Pusat adalah KLHK, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi; Kementerian Dalam Negeri; Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; Kementerian Sosial; Kementerian Hukum dan HAM; Kementerian Agraria dan Tata Ruang; Kementerian Pekerjaan Umum; Kementerian Keuangan; dan Kementerian Pertanian. Di Daerah adalah Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan, dan Dinas Kebudayaan.

C. Implementasi Hutan Adat

Dalam dokumen BERSAMA MEMBANGUN PERHUTANAN SOSIAL (Halaman 93-97)