• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENDIDIKAN IMAN ANAK DALAM KELUARGA DAN

B. Perkembangan Iman Anak

1. Konsep Perkembangan

a. Konsep Perkembangan pada Umumnya

Singgih Gunarsa (1981:29) membahasakan pandangan Werner bahwa perkembangan berlangsung dari keadaan yang global dan kurang berdiferensiasi sampai ke keadaan di mana diferensiasi, artikulasi dan integrasi meningkat secara

bertahap. Pendapat ini menunjukkan bahwa proses perkembangan berjalan secara bertahap.

Singgih Gunarsa (1981: 31) juga menyampaikan kembali pendapat Liebert; Poulos & Strauss bahwa perkembangan adalah proses perubahan dalam pertumbuhan dan kemampuan pada suatu waktu sebagai fungsi kematangan dan interaksi dengan lingkungan. Pandangan ini menunjukkan bahwa di dalam perkembangan terdapat perubahan. Adanya perubahan sebagai fungsi kematangan. Perkembangan juga dipengaruhi oleh hubungan manusia dengan lingkungannya. Kedua pendapat memperlihatkan adanya proses yang bertahap dalam perkembangan dan proses tersebut terjadi dalam waktu tertentu. Perkembangan juga dipengaruhi oleh faktor luar, yakni hubungan dengan lingkungan.

b. Konsep Perkembangan Iman Anak

Supriyati (2010:11) menyatakan bahwa minat beragama belum menunjukkan arti bagi anak, meskipun minat beribadah ada. Anak tanpa ragu-ragu menerima jawaban yang berkaitan dengan agama (kelahiran, kematian, surga, neraka, dan lain-lain). Konsep pada agama bersifat realistik dan fantastik. Sifat fantastik berarti konsep anak masih tercampur dengan fantasinya, maka tahap ini disebut tahap dongeng (naratif eksperensial).

2. Faktor Pendukung Perkembangan Iman Anak

Soerjanto & Widiastoeti Soerjanto (2007:11-12) menyampaikan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mendukung proses perkembangan iman anak. Faktor-faktor tersebut antara lain:

a. Keyakinan dalam diri anak bahwa dirinya dianugerahi Allah berbagai talenta

Sebagai citra Allah, setiap manusia dianugerahi talenta yang beragam. Maka, setiap anak juga memiliki talenta yang khas dalam dirinya. Sangat penting bagi anak untuk menyadari bahwa ia juga dianugerahi talenta oleh Allah. Untuk mendukung perkembangan iman anak, orangtua hendaknya membantu anak-anak, agar mereka memiliki keyakinan bahwa dirinya adalah insan yang berpotensi, karena telah dianugerahi berbagai talenta oleh Sang Pencipta sendiri (Soerjanto & Widiastoeti Soerjanto, 2007:12). Dengan keyakinan ini, anak akan terbantu untuk mensyukuri anugerah yang dirasakannya dan bisa melihat Allah sebagai Allah yang Pengasih. Keyakinan dalam diri anak akan membantu mereka untuk mendalami imannya kepada Allah dan memperkembangkan imannya.

b. Teladan Iman dari Orangtua dan Orang-Orang Dewasa Lain

Iman anak-anak hanya berkembang bila mereka hidup bersama dengan orangtua dan orang-orang dewasa yang sungguh beriman. Sebagai insan yang masih belia anak-anak memerlukan teladan iman dari kedua orangtua dan orang-orang dewasa yang lain (Soerjanto & Widiastoeti Soerjanto, 2007:12).

c. Rasa aman untuk mengagumi dan bertanya

Melalui perkembangan imannya, seorang anak berkembang mendekati kebaikan dan kebenaran. Kebaikan dan kebenaran itu dapat dicapainya bila ia lebih dahulu boleh mengagumi segala sesuatu yang dilihatnya. Kekaguman itu kemudian akan berlanjut pada tampilnya aneka pertanyaan jujur, yang menuntunnya menuju kebenaran. Karena itu, bagi setiap anak haruslah diusahakan adanya rasa aman untuk menyatakan kekagumannya dan melontarkan pertanyaan-pertanyaan tentang segala hal. Orang tua dan orang-orang dewasa yang lain hendaknya memelihara rasa aman itu bagi semua anak (Soerjanto & Widiastoeti Soerjanto, 2007:12).

d. Dorongan untuk mencintai alam beserta segala isinya

Perkembangan iman mengantar setiap anak semakin dekat dengan Allah. Kedekatan anak dengan Sang Pencipta itu dapat dipacu bila ia dibantu secara bertahap untuk lebih dahulu menghargai dan mencintai ciptaan-Nya, yakni alam semesta beserta isinya, terutama makhluk-makhluk hidup, dengan manusia sebagai puncaknya (Soerjanto & Widiastoeti Soerjanto, 2007:12).

3. Tahap Perkembangan Iman Anak

Perkembangan iman dalam diri anak tidak dapat sekali jadi, namun membutuhkan proses dan melalui beberapa tahap. Cremers (1995:104-134) mengemukakan pendapat James W. Fowler mengenai tahap perkembangan iman manusia. Fowler membagi tahap perkembangan iman menjadi 6 tahap, yakni tahap usia 2 sampai 6 tahun, tahap usia 6 sampai 11 tahun, tahap usia 12 tahun

sampai masa dewasa, tahap usia 18 tahun ke atas, tahap usia 35 tahun ke atas, serta 45 tahun ke atas. Pada bagian ini akan dibahas perkembangan iman pada tahap pertama dan kedua karena sesuai dengan usia anak-anak yang menjadi pembahasan skripsi. Tahap perkembangan iman anak pada tahap pertama dan kedua adalah sebagai berikut:

a. Tahap usia 2-6 tahun

Tahap ini disebut “tahapan intuitif proyektif”. Pada tahap ini, anak sudah memiliki kemampuan untuk berimajinasi dan berfantasi. Orang dewasa yang utama menjadi tempat dan sumber otoritas yang langsung dapat dilihat, maka anak akan meniru semua suara, gerak isyarat, kata-kata, dan tindakan mereka. Kepercayaan anak-anak bercorak tiruan. Dengan meniru bentuk kepercayaan otoritatif lahiriah orang dewasa, anak berhasil merangsang, membentuk, menyalurkan, dan mengarahkan perhatian spontan serta gambaran intuitif dan proyektifnya pada Yang Ilahi. Maka, dalam tahapan ini si anak memahami atau membayangkan Tuhan sebagai Sang Tokoh yang mirip dengan ayah, ibu, pengasuh, atau tokoh berpengaruh yang lain. Pada tahapan ini, iman seorang anak diwarnai oleh rasa takut dan sekaligus hormat pada tokoh-tokoh tersebut. Tindakan dari para tokoh menjadi teladan bagi anak-anak (Cremers, 1995:104-117).

b. Tahap usia 6-11 tahun

Tahap ini disebut “tahap mitis harafiah”. Pada tahap ini yang paling berperan dalam perkembangan iman anak adalah kelompok atau institusi

kemasyarakatan yang paling dekat dengannya, misalnya kelompok bina iman, sekolah, atau kelompok Sekolah Minggu. Kelompok dan institusi tersebut berfungsi sebagai sumber pengajaran iman (Soerjanto & Widiastoeti Soerjanto, 2007:14). Pada tahap ini anak dapat menyusun dan mengartikan dunia pengalamannya melalui medium cerita dan hikayat. Namun, anak masih memahami cerita secara harafiah, konkret, dan menurut satu dimensi belaka tanpa menyadari adanya kontradiksi-kontradiksi antara berbagai cerita. Allah dipandang semata-mata sebagai seorang pribadi, ibarat orangtua atau seorang penguasa yang bertindak dengan sikap memperhatikan secara konsekuen dan, jika perlu tegas. Dalam membuat keputusan dan pertimbangan moral terhadap manusia, Allah bagaikan orangtua yang adil dan baik, terikat pada hukum keadilan dan hidup sosial (Cremers, 1995:117-134). Usaha-usaha pengembangan iman anak pada tahapan ini seyogyanya tetap dilaksanakan dengan cara sederhana, tidak terlalu mengandalkan penalaran.

C. Buah-Buah Pendidikan Iman Anak dalam Keluarga bagi Perkembangan