Sosialisasi kepada pemerintah daerah dan masyarakat sekitar harus terus diupayakan, guna memberikan pengertian akan pentingnya
DALAM KEGIATAN PERSUTERAAN ALAM
II. PERKEMBANGAN KEGIATAN PERSUTERAAN ALAM
Berbagai informasi tentang sejarah persuteraan alam dunia menunjukkan bahwa sutera berasal dari daerah asalnya yang subur bagi sarana serta hidupnya ulat sutera yaitu Negara Cina. Pada masa dinasti Han (2500 SM), sudah dikenal adanya usaha pemintalan benang dan pertenunan kain sutera menjadi kain sutera yang halus,
150
yang diberi nama “serica” yang berarti “sutera”.Di susul dengan
berkembangnya perdagangan negara tetangga dan negara-negara lain terutama jaringan perdagangan sutera seiring dengan perdagangan komoditi lain, yang dapat memasuki negara-negara
Eropa lewat jalur karavan, yang dulu dikenal sebagai “Silk Road” atau jalur sutera. Baru pada ± 300 tahun sesudah Masehi negara-negara lain seperti Korea, India dan Jepang mulai mengembangkan persuteraan alam di negaranya dengan cara memasukkan telur ulat dari Cina.
Di Indonesia masuknya sutera alam dimulai sejak kerajaan- kerajaan di Indonesia mengadakan hubungan dagang dengan Cina dan India, terutama untuk bahan pakaian bagi para kerabat kerajaan. Perkembangan yang lebih sungguh-sungguh dimulai kurang lebih di tahun 1950, berdasarkan suatu pemikiran bapak DR. Soejarwo,
mantan menteri Kehutanan, dalam rangka mencari solusi
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan, dengan memanfaatkan lahan kehutanan yang kemudian dikenal dengan
“Multiple Use of Forest Land”
Di tahun 1961 terbentuk organisasi sutera sutera alam Indonesia yang pertama, yang diberi nama Industri Sutera Rakyat
Indonesia, disingkat “ISRI”. Pada tahun itu juga mulai didirikan pabrik
pemintalan benang sutera di Bandung, yang bahan pokoknya kokon yang diperoleh dari masyarakat, hasil bimbingan dan pengembangan menangani persuteraan alam yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan, Jawa Barat.
Budidaya persuteraan alam ini kemudian meluas keluar Jawa, dengan masuknya kegiatan persuteraan alam ini ke Sulawesi di tahun 1962, semula melalui pedagang benang sutera, yang kemudian disusul dengan penanaman pohon murbei, sampai ke pembuatan benang sutera, dan dilanjutkan,pembuatan sarung bugis yang terkenal kehalusannya dan kekuatannya dan lain-lain jenis kain.
151
Menurut Balai Persuteraan Alam (2010) saat ini wilayah pengembangan persuteraan alam meliputi 17 provinsi yaitu:
1. Propinsi Sumatera Utara (Tapanuli Tengah, Simalungun, Tapanuli Selatan)
2. Provinsi Sumatera Selatan (Musi Banyuasin, Pagar Alam, OKI, OKU)
3. Provinsi Sumatera Barat (Limapuluh Koto, Tanah Datar) 4. Provinsi Lampung (Lampung Barat)
5. Provinsi Jawa Barat (Kab.Garut, Kab.Sukabumi, Kab.Majalengka, Kab.Tasikmalaya, Kab.Bandung, Kab.Bogor, Kab. Cianjur)
6. Provinsi Jawa Tengah (Kab.Pati, Kab.Pemalang,
Kab.Wonososbo, Kab. Pekalongan) 7. Provinsi DI Yogyakarta (Sleman, Bantul)
8. Provinsi Bali (Kab.Tabanan, Kab.Bangli, Kota Denpasar, Kab. Karangasem)
9. Provinsi NTB (Kab.Lombok barat, Lombok Tengah) 10. Provinsi NTT(Timur Tengah Selatan)
11. Provinsi Kalimantan Timur (Kutai Kartanegara) 12. Provinsi Sulawesi Selatan (12 kabupaten) 13. Provinsi Sulawesi Barat (Polewali Mandar) 14. Provinsi Sulawesi Utara (Bitung, Minahasa) 15. Provinsi Sulawesi Tengah (Poso, Donggala) 16. Provinsi Sulawesi Tenggara (Kolaka) 17. Provinsi Papua (Yapen)
Pengembangan persuteraan alam di Sulawesi Selatan meliputi daerah pengembangan utama 3 kabupaten yaitu: Tana Toraja (Hulu), Enrekang (Hulu), Wajo (Hilir) dan disertai daerah pendukung sebanyak 9 kabupaten yaitu: Soppeng, Sidrap, Barru, Gowa, Sinjai, Bulukumba, Takalar, Luwu Timur dan Luwu Utara.
Perkembangan budidaya sutera alam tidak terlalu jauh berbeda dengan komoditas HHBK pada umumnya yaitu mengalami
152
fluktuasi. Hal ini terlihat dari jumlah petani dan luas tanaman murbei yang ada pada tahun 2001 yaitu masing-masing 4.708 KK dengan luas tanaman murbei 3.328 Ha. 5 tahun kemudian yaitu pada tahun 2005 jumlah petani sutera sebesar 2.911 KK dengan luas tanaman murbei 1.461 Ha, dan pada tahun 2009 jumlah petani menjadi 3.377 KK dengan luas tanaman murbei 2.335 Ha dengan produksi kokon 99.407,73 kg serta produksi benang sebesar 15.808,4 kg (BPA, 2010) Hasil pengamatan Zulkarnain (2010) menunjukkan bahwa kebutuhan benang oleh industri pertenunan sutera di Indonesia untuk menghasilkan 8 juta meter adalah 700 ton, namun penggunaan benang impor sekitar 500 ton sehingga produksi lokal hanya 200 ton pertahun atau 1400 ton kokon segar. Informasi ini memberikan gambaran bahwa pengembangan persuteraan alam kedepan masih memiliki peluang. Terlebih bila peluang tersebut disertai dukungan
pengembangan dari pemerintah pusat dan daerah
(Provinsi/Kabupaten/Kota), ketersediaan tenaga kerja, dan budaya bagi masyarakat sebagai produsen maupun konsumen produk sutera itu sendiri.
Dari sisi pasar, sistem pemasaran sutera alam memiliki rantai pemasaran yang cukup panjang dengan sistem pemasaran cenderung kompetitif. Walaupun pola hubungan lembaga perantara tetap ada, tidak terintegrasinya pengelolaan sutera alam Sulawesi Selatan terkadang menyebabkan tidak sejalannya pasokan dan permintaan benang sutera antar kabupaten.
Beberapa langkah strategis yang dapat diupayakan untuk pengembangan persuteraan alam ke depan antara lain: membangun sistem penanganan kebutuhan baku dengan mempertimbangkan kapasitas alat produksi yang ada, membangun sistem pemasaran produk sutera dengan mempertimbangkan produksi dan kebutuhan pasar serta mengembangkan pengetahuan masyarakat tentang teknologi yang lebih maju dalam industri persuteraan alam bagi
153
pencapain kualitas dan kuantitas produksi dan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat (Rizal et al., 2003). Khusus sektor hulu langkah strategis dapat berupa peningkatan produktivitas pakan (daun murbei) melalui sistem intensifikasi dan ekstensifikasi dan peningkatan produktivitas kokon melalui pemberian pakan yang lebih intensif dan berkualitas serta penggunaan bibit ulat sutera yang sesuai kondisi lokasi.
Dalam mendukung langkah tersebut di Indonesia terdapat kurang lebih 100 jenis/varietas tanaman murbei sebagai pakan ulat sutera dan 13 jenis diantaranya terdapat di Sulawesi Selatan. Namun yang memiliki keunggulan produktivitas dan sudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan antara lain: M.cathayana, M.alba, M.multicaulis, M.indica dan M.nigra (Atmosoedardjo et al., 2000). Selain itu juga terdapat beberapa jenis murbei hasil persilangan seperti NI (Nigra Indica) AsI (Australis Indica) dan jenis lain yang masih dalam tahap pengujian.
Sedangkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan
bibit/telur ulat sutera yang bermutu dalam jumlah memadai dan berkesinambungan serta bebas penyakit pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut- II/2007 tentang pengadaan dan peredaran telur ulat sutera.
III. PERANAN PAKAN DALAM PERTUMBUHAN DAN