• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

B. Perkembangan Kerajinan Keris di D.I. Yogyakarta

Jika ditelusuri lebih lanjut, sebagian dari industri kerajinan di Indonesia merupakan industri kerajinan tradisional. Industri kerajinan tradisional ini prosentasenya jauh lebih besar daripada industri kerajinan modern. Populasinya lebih banyak tersebar di daerah pedesaan. Disebut tradisional karena bidang yang digeluti IKM sudah menjadi tradisi keluarga secara turun‐temurun oleh beberapa generasi sehingga pertanyaan tentang kapan usaha kerajinan tersebut didirikan umumnya sulit dijawab. Cara kerja IKM kerajinan tradisional cenderung menganut pola manajemen kekeluargaan di mana pekerja adalah seluruh anggota keluarga. Sebagian IKM kerajinan tradisional masih bertahan menggunakan peralatan yang digunakan leluhur mereka, tapi kini sudah banyak yang mulai beralih menggunakan peralatan modern.

Menurut ilmu perkerisan Jawa, perkembangan keris diduga seiring dengan perkembangan kerajaan-kerajaan di Jawa. Namun, kenyataan dan

mitos seringkali saling tercampur aduk sehingga seringkali sangat sulit untuk memisahkan kedua hal tersebut.

Setiap daerah di Indonesia memiliki sejarah kemunculan keris masing-masing, yang sebenarnya antara daerah yang satu dengan daerah yang lain saling berhubungan. Di D.I. Yogyakarta sendiri kemunculan keris berawal saat sesudah terjadinya perjanjian Giyanti 1755, yaitu pembagian kerajaan Mataram menjadi daerah Yogyakarta dan Solo. Pada jaman ini pembuatan keris hampir sampai ke pelosok-pelosok, artinya pembuatan keris tidak lagi mejadi monopoli para empu dalam lingkungan istana. Atau pembuatan keris sudah menjadi pekerjaan umum. Namun demikian tidak semua orang membuat keris karena masyrakat percaya bahwa pembuatan keris bukanlah hal yang mudah, tetapi memerlukan kebatinan yang kuat.

Meski keris telah diakui sebagai pusaka dunia, namun perhatian pemerintah Indonesia terhadap pelestarian keris, dinilai masih sangat kurang. Bahkan pemerintah cenderung tidak peduli, dan hanya menyerahkan upaya pelestarian kepada masyarakat pada umumnya dan masyarakat perkerisan pada khususnya. Akibatnya, proses pelestarian keris hingga kini tidak pernah bisa dilakukan secara maksimal. Akibatnya, dari tahun ke tahun keberadan jumlah pengrajin keris mengalami penurunan. Di D.I. Yogyakarta pada saat ini lokasi industri kerajinan keris hanya terdapat di 3 tempat, yaitu di Desa Gatak (Moyudan, Sleman), sentra industri kerajinan keris Banyusumurup dan di Kotagede.

Di desa Gatak masih terdapat seorang empu yang keberadaannya masih amat diperhitungkan di dunia perkerisan Indonesia, yaitu Empu Sungkawa Haroembradja yang merupakan keturunan Empu Supawinangun ke-17. Empu Sungkawa melanjutkan usaha milik pamannya, Empu Djeno Haroembrodjo. Empu Djeno merupakan putra dari Ki Supowinangun. Seorang empu keris yang tinggal di Desa Ngento-ento, Sumberagung, Moyudan, Sleman. Ki Supowinangun dikenal sebagai Empu Keris abdi dalem Kepatihan Kraton Yogyakarta. Dirujuk dari silsilah, Ki Supowinangun adalah keturunan salah satu empu Majapahit yang bernama Empu Tumenggung Supodriyo. Praktis, Empu Djeno ada dalam rantai silsilah itu. Bentuk keris buatan Empu Sungkawa mengambil pola tangguh Mataraman, tetapi lebih ramping, singset, dan trengginas. Tangguh yang dibuatnya ini lebih mirip dengan keris tangguh Majapahit. Ia menguasai pelbagai teknik pembuatan pamor, baik pamor miring maupun pamor mlumah. Empu Djeno menciptakan pelbagai jenis keris melalui tangan kreatifnya. Beberapa di antaranya yaitu jenis Jalak, Jangkung, Pendowo, Luk Gangsal, Sempono Luk Pitu, Penimbal Luk Songo, Sabuk Inten Luk Sewelas, dan Parung Sari Luk Telulas.

Di D.I. Yogyakarta selain ada seorang empu yang membuat keris untuk benda pusaka terdapat pula daerah yang menjadi sentra kerajinan keris, yaitu Desa Banyusumurup. Bagi penggemar keris, nama Banyusumurup tak lagi asing. Desa yang berada di wilayah Imogiri atau sekitar 500 meter arah tenggara makam-makam raja Mataram. Banyusumurup adalah sebuah desa yang sejak tahun 1950-an sampai sekarang , telah berkembang menjadi sentra

kerajinan aksesoris keris, Di dusun ini, ada beberapa perajin yang trampil membuat keris. mereka membuat keris untuk kepentingan seni seperti menari, musik campursari, seragam pengantin atau sekedar hiasan. Warga Desa memproduksi warangka atau sarung keris dan pendok atau bagian tangkai keris yang berfungsi sebagai pegangan. Sebagian besar pengrajin memproduksi aksesoris keris dalam skala rumah tangga dan hingga kini belum berkembang sanggar atau merek khusus aksesoris keris. Ada pula yang membuat tangkai keris yang didesain beragam, mulai dari figur binatang seperti singa dan naga hingga figur manusia. Untuk menghasilkannya, kayu-kayu itu diukir sesuai desain yang diinginkan.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, lokasi lain pengrajin keris di D.I. Yogyakarta terdapat di daerah Kotagede. Di Daerah ini hanya dapat ditemui seorang Kriya atau pembuat pendok keris, yaitu Bapak Achmad Saroni. Usahanya sudah berdiri sejak tahun 1985. Pak Sahroni membuat pendok yang berlapiskan perak, kuningan bahkan emas. Ia memproduksi pendok untuk dijual di pasar dalam negeri sampai pasar luar negri. Pendok yang mampu dihasilkannya bukan hanya pendok dengan karakteristik Yogyakarta saja melainkan daerah lain seperti Solo, Madura, Kalimantan, Melayu dan sebagainya.

Perlahan kerajinan keris ini mulai tumbang satu per satu. Profit yang minim mengakibatkan masa depan sebagai pengrajin dianggap tidak menguntungkan. Anak-anak pengrajin lebih memilih menjadi buruh di kota daripada melanjutkan usaha orangtuanya. Kerajinan keris terancam punah

justru pada saat industri kerajinan menjadi penyumbang terbesar kedua PDB industri kreatif.

Faktor penyebab kebangkrutan kerajinan keris dapat dibagi dalam dua hal, internal dan eksternal. Faktor internal yang perlu dibenahi adalah:

a. Masalah Kualitas dan Mentalitas

Standar skill yang dimiliki pengrajin variatif, ada kelompok pengrajin yang bisa menghasilkan produk kerajinan dengan halus dan rapi, ada juga yang masih kasar. Kadang desain produk kerajinan sudah bagus, tapi tidak memiliki harga jual tinggi karena teknik pengerjaan yang kurang maksimal. Pihak buyer dari luar negeri biasanya menerapkan standar tinggi terhadap teknik pengerjaan produk, akibatnya lebih banyak produk kerajinan yang belum bisa diekspor daripada yang bisa diekspor. Keluhan tentang kualitas kerja pengrajin berasal dari ketidak tahuan pengrajin tentang “standar” kerja. Apa yang biasa dilakukan selama ini dianggap sebagai yang terbaik. Ketiadaan kontrol kualitas yang konsisten pada saat pengrajin merasa sudah trampil, menyebabkan cara kerja cepat dan terburu‐buru, sehingga kualitas produk kurang baik.

Ada pemilik‐pemilik usaha industri kerajinan yang sebenarnya sadar betul kualitas produknya rendah, tapi membiarkan kondisi tersebut dengan alasan pemenuhan target kuantitas atau karena kesulitan mendapat tenaga kerja trampil. Meski sebenarnya bisa diatasi dengan membina tenaga pengrajin baru, kenyataannya dibutuhkan waktu cukup

lama untuk “mengajari” tenaga kerja hingga ia benar‐benar trampil dan paham standar kerja yang tinggi. Kalaupun sudah berhasil dibina hingga memiliki skill yang baik, masalah yang kemudian biasa dihadapi adalah perginya para pekerja trampil untuk membuka usaha sendiri, tidak mau bekerja pada orang lain. Tidak mengherankan jika kebutuhan akan tenaga kerja trampil tidak mudah dipenuhi.

Tidak semua pengrajin menekuni kerajinan sebagai mata pencaharian utama, melainkan sebagai pekerjaan sampingan setelah bertani. Dengan demikian harapan terhadap peningkatan mutu kerajinan maupun konsistensi produksi tidak diprioritaskan. Ditambah lagi pola hidup komunal yang kadang tidak begitu memperhatikan profesionalisme, sehingga seringkali pengrajin pekerja meninggalkan pekerjaan kerajinannya begitu saja jika ada acara keluarga atau hajatan. Penghentian kegiatan produksi biasa terjadi saat menghadapi acara‐acara panen maupun ritual kegiatan bertani/ berkebun, ritual keagamaan, ritual keluarga/ masyarakat atau karena faktor cuaca. Sementara itu kelangkaan bahan baku yang menghambat produksi jarang sekali terjadi di masa lalu, tapi mulai banyak terjadi akhir‐akhir ini. Hal-hal seperti itu menyebabkan konsistensi produksi terhambat.

b. Masalah Bahan Baku / Peralatan

Beberapa pengrajin mengalami kesulitan mendapat bahan baku dengan kualitas yang bagus dan variatif. Jika sudah memiliki langganan pemasok bahan baku, pengrajin kerap tidak ingin menjajagi

kemungkinan adanya varian bahan baku yang lain, atau mencari pemasok lain yang lebih baik. Di sisi lain, pengrajin memiliki keterbatasan waktu, dana dan tenaga untuk mencari bahan baku dan peralatan baru hingga ke kota‐kota lain. Jika ada tawaran peralatan produksi yang baru tidak mudah disosialisasikan pada pengrajin, karena kadang pengrajin bersikap defensif, memilih bertahan dengan peralatan yang sudah ada. Terlebih jika peralatan yang baru tersebut memerlukan skill tertentu untuk mengoperasikannya

c. Masalah Desain

Industri kreatif yang dimotori SDM kreatif membutuhkan setidaknya 4 pilar kreatifitas : CORE – 1. Curiosity, 2.Open mind, 3.Risk and 4.Energy, yaitu keterbukaan untuk menerima masukan dari siapapun, kehausan untuk mencoba hal‐hal baru, keberanian mengambil resiko dan memiliki energi untuk mengerjakan semua itu. Keyakinan pengrajin bahwa apa yang dilakukan merupakan keahlian turun temurun kadang menimbulkan rasa paling tahu yang terbaik, sehingga menjadi penghalang untuk menerima masukan dari yang lain. Selain itu, keinginan untuk segera meraih keuntungan jangka pendek sekadar untuk bertahan hidup membuat pengrajin cepat puas dengan apa yang sudah dimiliki saat ini, tanpa keberanian mengambil resiko dengan mencoba hal‐hal baru. Akibatnya sering timbul keluhan dari pihak buyer (pembeli) tentang kualitas desain pengrajin. Desain yang dihasilkan dianggap kurang variatif dan hampir sama dengan desain produk sejenis dari

daerah lain. Buyer yang cerdik, kadang datang dari luar negeri, membawa desain sendiri, kemudian pengrajin diperlakukan sebagai mesin produksi. Toh, pengrajin justru bangga, karena mereka menganggap produk mereka ’diekspor’.

Pengrajin memilih tetap bertahan dengan bentuk dan cara tradisional, karena keterbatasan wawasan desain membuat pengrajin tidak tahu bagaimana harus mengembangkan varian desain yang lain. Wawasan desain itu sebenarnya bisa diperoleh baik melalui pendidikan formal atau dengan melakukan banyak studi banding produk serupa dari daerah lain. Minimal dengan menghadiri pameran‐pameran kerajinan berskala nasional/ internasional di Indonesia. Pelatihan desain yang kerap diselenggarakan oleh instansi pemerintah, perguruan tinggi maupun LSM dengan rentang waktu singkat tak berkelanjutan tidak pernah akan cukup memberi wawasan desain jika tidak diikuti inisiatif pengrajin untuk mengembangkannya sendiri. Sebab pelatihan‐pelatihan seperti itu bersifat membuka pikiran dan memberikan rangsangan agar pengrajin mengetahui teknik‐teknik baru atau ide desain baru. Setelah itu, pengrajin harus memperdalam pengetahuan desain mereka sendiri, mengingat desain adalah bidang yang sangat dinamis dan terus berkembang sesuai trend. Jadi pengetahuan desain harus selalu di update. Trend desain itu berubah setiap tahun, bahkan di beberapa rumah mode berskala nasional/ internasional, mode‐mode desain diperbaharui setiap 2 bulan.

d. Masalah Pemasaran

Pedagang yang jeli justru bisa meraup keuntungan dari ketidak mengertian pengrajin mengenai saluran distribusi. Pihak pedagang sering bisa menjual dengan harga berlipat-lipat jauh dari harga jual dari pengrajin sebagai produsen. Pengrajin memang terbantu jika pedagang datang ke tempat produksi, sebab hal itu memudahkan pengrajin menjual barang. Tetapi sebagian besar pengrajin kemudian tidak melacak lebih lanjut proses perjalanan produk‐produknya hingga ke konsumen, sehingga mereka tidak tahu persis ke mana produk‐produk mereka dipasarkan. Proses penjualan dengan mengandalkan pesanan atau pedagang yang datang ke rumah pengrajin menyebabkan pengrajin miskin database konsumen yang seharusnya berharga untuk memprediksi kecenderungan pasar dan langkah‐langkah antisipatifnya.

Banyak pengrajin mengakui bahwa pemasaran adalah kendala terbesar yang dihadapi saat ini. Beberapa pengrajin tampak sulit melebarkan jangkauan pemasaran ke luar propinsi atau ke luar pulau apalagi ke luar negeri. Saluran distribusi yang biasa dilakukan selain mengandalkan pedagang langganan adalah menitipkan di toko‐toko atau mengikuti pameran. Pameran ini ada yang berskala kota hingga internasional. Tentu hanya unit usaha dengan produk berkualitas tinggi yang dapat mengikuti pameran internasional. Sebagian besar unit usaha hanya dapat mengikuti pameran berskala kota. Biasanya pemerintah memfasilitasi pengrajin untuk mengikuti pameran. Tetapi proses

pemilihan unit usaha tertentu yang bisa ikut pameran kerapkali hanya berdasar hubungan baik dengan petugas/ pejabat pemerintah saja, tanpa ada pertimbangan lebih lanjut terhadap hubungannya dengan pengrajin yang lain. Dengan demikian dampak regional terhadap keikut sertaan pameran tersebut kurang terasa oleh pengrajin yang lain, bahkan rawan menyebabkan kecemburuan antar pengrajin.

Faktor eksternal yang menghambat perkembangan IKM tradisional antara lain adalah tingginya tingkat persaingan dengan komoditi sejenis dari wilayah lain, kenaikan ongkos produksi akibat kenaikan tarif dasar listrik dan kenaikan BBM, bahan baku yang semakin menipis, dan bencana alam. Mengingat kendali faktor eksternal tidak di tangan pengrajin, langkah proaktif yang bisa dilakukan secepatnya adalah menyiasati kendala eksternal tersebut dengan kreativitas.

Dokumen terkait