• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan kognitif dan bahasa …………………………..……...2 0

Dalam dokumen Pemahaman ibu mengenai temper tantrum anak (Halaman 39-49)

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

C. Perkembangan Anak

2. Perkembangan kognitif dan bahasa …………………………..……...2 0

Berdasarkan tahap perkembangan kognitif Piaget dalam Santrock (2007), bayi semenjak masa kelahiran hingga 2 tahun berada pada tahap perkembangan kognitif yang pertama, yakni tahap sensorimotor. Pada tahap ini, bayi memperoleh pengetahuan tentang lingkungannya dari tindakan-tindakan fisik yang mereka lakukan, atau sebagaimana yang diungkapkan Berk (2012) bahwa mereka „berpikir‟ dengan mata, telinga,

tangan, dan instrumen sensoris-motorik lainnya. Pada tahap ini, Berk (2012) mengungkapkan bahwa bayi belum mampu melakukan banyak kegiatan di dalam kepala mereka, seperti berpikir dan bernalar. Mereka merepresentasikan pengalaman dan memecahkan masalah praktis sehari-hari dalam bentuk isyarat, permainan, dan ucapan. Kemudian, pada akhir tahap ini,mereka mengembangkan pemikiran simbolik awal (Santrock, 2007). Hal ini sesuai dengan Papalia & Feldman (2014) bahwa pada akhir tahun kedua, mereka berpikir menggunakan simbol dan menunjukkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah.

Secara lebih rinci, Berk (2012) menjelaskan tahap perkembangan kognitif sensoris-motorik dalam enam subtahap, yakni 1) skema refleksif, 2) reaksi sirkuler, 3) reaksi sirkuler sekunder, 4) koordinasi reaksi sirkuler sekunder, 5) reaksi sirkuler tersier, 6) representasi mental. Subtahap skema refleksif berlangsung mulai dari kelahiran hingga 1 bulan. Subtahap skema refleksif hingga subtahap reaksi sirkuler tersier berlangsung dari masa kelahiran hingga usia anak 18 bulan. Pada usia 18 bulan hingga 2 tahun, anak mengalami perkembangan pada subtahap representasi mental. Pada subtahap ini, anak telah memiliki gambaran internal mengenai suatu objek atau suatu peristiwa tertentu. Kemampuan ini dapat ditemui misalnya pada saat anak memiliki solusi atas suatu masalah yang tiba-tiba muncul, dapat menemukan sebuah objek yang dipindahkan secara tidak tampak, dan memahami permainan pura-pura.

Selanjutnya, berdasarkan tahap perkembangan kognitif Piaget dalam Santrock (2007), anak berusia 2 hingga 3 tahun berada pada tahap perkembangan kognitif praoperasional, yang akan dialami anak hingga usia 7 tahun. Pada tahap ini, anak mulai menggunakan gambaran-gambaran mental untuk memahami lingkungannya, pemikiran-pemikiran simbolik, seperti yang diekspresikan melalui penggunaan kata-kata dan gambar-gambar mulai digunakan dalam penggambaran mental. Hal ini berarti tahap perkembangan kognitif mereka telah melampaui hubungan informasi sensorik dengan tindakan fisik. Namun demikian, muncul juga egosentrisme dan sentralisasi yang disebut sebagai hambatan dalam pemikiran anak pada tahapan ini. Adapun egosentrisme adalah ketidakmampuan anak untuk membedakan perspektif diri sendiri dan orang lain, sedangkan sentralisasi adalah pemusatan perhatian pada satu karakteristik dan pengabaian karakteristik lain.

Perkembangan pada aspek kognitif mempengaruhi perkembangan pada aspek bahasa. Pada aspek bahasa, Papalia & Feldman (2014) menyatakan bahwa pada rentang usia 18 bulan hingga 3 tahun, penggunaan bahasa berkembang dengan cepat. Secara lebih rinci dalam Santrock (2007) disebutkan bahwa pada usia 18 bulan, anak mengalami kemunculan ledakan kosakata. Pada usia 18 hingga 2 tahun, anak senang menggunakan ucapan dua kata. Penggunaan ini sangat bergantung pada gerak tubuh, nada, dan konteks anak. Pada rentang usia ini pula, anak mampu memahami kata-kata dengan cepat. Kemudian pada rentang usia 2

hingga 3 tahun, anak mengalami peralihan dari penggunaan kalimat-kalimat sederhana menjadi kalimat-kalimat-kalimat-kalimat yang lebih kompleks.

3. Perkembangan sosial

Menurut Papalia et al. (2007), dalam periode bayi (infancy) dan balita (toddlerhood) sedang mengembangkan self-awareness. Dengan ini, mereka mulai memahami adanya berbagai keinginan dan kemampuan untuk mencapai keinginan tersebut secara mandiri sehingga mengembangkan tahap perkembangannya dari kebergantungan ke otonomi. Pada rentang usia ini, mereka memiliki kelekatan dengan orang tua dan pengasuh maupun objek lain seperti mainan atau selimut.

Meggitt (2013) menuliskan bahwa dalam mengembangkan keterampilan sosialnya, anak pada usia 2 tahun suka bermain di samping anak-anak lain, tapi tetap bermain sendiri. Mereka juga mulai merasa percaya diri, namun tetap membutuhkan bantuan orang dewasa, terutama ketika mengalami konflik.

Menurut Gottman & DeClaire (1997), anak-anak usia 1 hingga 3 tahun telah mampu (1) mengembangkan makna tentang diri sendiri dan mulai menjajaki kemandirian, (2) berada dalam tahap perkembangan mandiri sehingga memberi anak pilihan sendiri dapat menjadi sarana yang tepat untuk memfasilitasi proses perkembangan otonomi, (3) menyimpan ingatan tentang tingkah laku yang mereka amati dari keluarga dan menirukan pada mainannya, (4) belum mempunyai keterampilan sosial untuk bermain bersama sehingga bekerjasama dan berbagi menjadi hal

yang sulit. Meski demikian, perilaku tersebut tidak didasari sikap kasar, melainkan ungkapan makna diri yang sedang berkembang, yakni hanya dapat memikirkan sudut pandang diri sendiri, (5) disebut sebagai 2 tahun yang mengerikan, mereka terlihat jauh lebih menonjolkan diri, membangkang untuk pertama kalinya sehingga pelatihan emosi penting untuk menolong mereka menangani frustrasi dan amarah.

Menurut Santrock (2007), anak pada usia 1 hingga 3 tahun sedang berada pada tahapan perkembangan psikososial Erikson, yakni otonomi vs rasa malu dan ragu-ragu. Perkembangan ini ada kaitannya dengan perkembangan aspek fisik-motorik anak. Pada tahun pertama, pencapaian motorik anak adalah berjalan dengan mudah. Hal ini menyebabkan meningkatnya kemandirian, di mana otonomi vs malu dan ragu-ragu menjadi tahapan perkembangan psikososialnya. Perkembangan ini memungkinkan bayi untuk menjelajahi lingkungannya dengan lebih leluasa dan untuk memulai interaksi dengan orang lain dengan lebih siap. Selain itu, menurut Papalia et al. (2007), perkembangan tahap ini ditandai dengan pergantian dari kontrol eksternal ke kontrol diri sehingga mengutamakan keinginan mereka sendiri. Mereka menjadi lebih mampu untuk membuat keinginan mereka dikenal sehingga mereka menjadi terlihat lebih berkuasa. Untuk menyeimbangkannya, Erikson dalam Papalia et al. (2007) menempatkan malu dan ragu sebagai pengatur batasan-batasan dan membantu mereka mengenali kegunaan batasan tersebut. Perkembangan tahap inilah yang mampu menjelaskan

kemunculan masa negatif anak. Anak-anak mulai mengembangkan pemahaman bahwa mereka makhluk individu, memiliki kontrol dan kekuatan yang menarik. Mereka terdorong untuk mencoba ide dan membuat keputusan sendiri. Ini adalah tanda normal dorongan otonomi. 4. Perkembangan emosi

Santrock (2007) menyatakan bahwa emosi merupakan „bahasa‟

pertama yang dibangun oleh orang tua dan bayi untuk berkomunikasi dan dan menjadi faktor kunci dalam hubungan antara orang tua dan anak.

Gallagher dalam Beaty (2014) menemukan kaitan antara pertumbuhan otak anak berkaitan dengan perkembangan emosinya. Otak anak tumbuh dalam kompleksitas dan sangat sensitif terhadap lingkungan yang mempengaruhinya (Papalia & Feldman, 2014). Gallagher dalam Beaty (2014) menjelaskan bahwa otak kanan mereka berperan dalam memproses emosi negatif, emosi intens, dan kreativitas sedangkan otak kiri mereka berperan dalam emosi positif, perkembangan bahasa, dan minat pada benda dan pengalaman baru. Pada 3 tahun pertama, otak belahan kanan tumbuh lebih besar, maka anak perlu didampingi untuk mengontrol emosi negatif. Anak-anak prasekolah sudah mampu merasakan emosi seperti tertekan, marah, takut, sedih, terkejut, tertarik, kasih sayang, dan senang. Respon terhadap reaksi emosi yang mereka rasakan tergantung pada tingkat kedewasaan, lingkungan, reaksi orang lain di sekitarnya, dan pembimbingan yang anak terima dari pengasuhnya.

Secara umum, anak pada rentang usia antara 18 bulan hingga 3 tahun mengalami perkembangan aspek emosi sebagai berikut 1) mengalami bermacam-macam perasaan baru yang sering kali bertentangan, 2) sulit mengontrol dan menahan emosi, 3) semakin paham berbahasa dan menggunakan bahasa untuk mengekspresikan emosi, 4) mulai mampu mengekspresikan perasaan mereka dengan kata-kata, namun sering frustrasi jika tidak mempu mengekspresikan diri, 5) mampu menyadari dan menanggapi perasaan orang lain, 7) lebih banyak bermain dengan anak-anak lain pada usia 2.5 tahun, namun tetap tidak mau berbagi mainan dengan anak-anak lain (Meggitt, 2013).

Berikut adalah tahapan perkembangan emosi anak berdasarkan tahapan usia anak. Pada usia 6 hingga 12 bulan, emosi dasar yang muncul adalah bahagia, kaget, sedih, jijik, dan marah. Ragam emosi semakin bertambah pada usia 12 hingga 18 bulan dan terus berkembang. Penyesuaian sosial dan empati (pada tingkat awal) juga mulai muncul (Papalia et al., 2007). Anak-anak pada usia 18 bulan telah mampu menunjukkan emosi dan tingkah laku bervariasi, yakni senang, marah, penasaran, tegas, dan sebagainya. Mereka juga mampu memahami batasan, bermain jauh dari orang tua, dan memikmati kasih sayang dari orang tua (Meggitt, 2013). Pada usia 18 hingga 30 bulan, anak sedang mengembangkan emosi yang bersifat mengevaluasi diri, seperti malu, cemburu, empati sebagai pendahulu kemunculan rasa malu dan bersalah. Pada usia inilah fase negativisme dimulai (Papalia et al., 2007). Santrock

(2007) menambahkan bahwa emosi positif yang muncul pada rentang usia ini adalah antusiasme, bahagia, cinta, sedangkan emosi negatif yang muncul adalah cemas, marah, sedih.

Saat anak telah berusia 2 tahun, mereka dapat menunjukkan tanda empati dan peduli. Mereka cenderung menunjukkan perilaku seperti membantu atau menirukan pekerjaan rumah tangga. Mereka juga suka meminta anggota keluarga untuk berada di dekatnya. Namun di sisi lain, mereka menggunakan agresi fisik jika frustrasi atau marah. Sering kali, mereka mengekspresikan frustrasi dengan menangis dan meronta, frekuensinya memuncak selama tahun ini. Mereka senang bermain sendiri, suka menyuruh, menentang, dan tidak sabar menunggu giliran. Mereka posesif terhadap mainannya namun dapat menawarkan mainan untuk anak lain. Mereka juga menginginkan segala sesuatu “persis seperti biasanya”

(Allen & Marotz, 2010).

Pada usia 30 bulan hingga 3 tahun, anak-anak menunjukkan

perkembangan kemampuan untuk “membaca” emosi orang lain, sehingga

mental state mulai terbentuk, dan mereka memahami intensi orang lain (Papalia et al., 2007).

Santrock (2007) menjelaskan bahwa seiring bertambahnya pengalaman pada masa awal anak-anak (early childhood), mereka megembangkan berbagai macam emosi seperti rasa bangga, malu, dan bersalah. Antara usia 2 dan 4 tahun, anak sudah dapat mendeskripsikan emosinya dan belajar lebih mengenai penyebab perasaan-perasaan.

Maka, dengan deskripsi para ahli di atas, berikut adalah ciri-ciri perkembangan anak usia 18 bulan hingga 3 tahun:

a. Pada rentang usia 18 hingga 24 bulan disebut sebagai periode bayi (infancy) sedangkan pada rentang usia 2 hingga 5 tahun disebut sebagai masa awal anak-anak (early childhood).

b. Memiliki tinggi badan 82 hingga 92 cm dan berat badan 12 hingga 15 kg sehingga kebanyakan dari mereka terlihat bertubuh kurus.

c. Sudah mampu berdiri seimbang, melompat di tempat, berlari dengan kaku. Belum mampu menulis.

d. Rata-rata dari mereka telah mampu berjalan dengan mudah. Hal ini menyebabkan meningkatnya kemandirian, di mana otonomi vs malu dan ragu-ragu menjadi tahapan perkembangan psikososialnya. Perkembangan ini memungkinkan bayi untuk menjelajahi lingkungannya dengan lebih leluasa dan untuk memulai interaksi dengan orang lain dengan lebih siap.

e. Sedang mengembangkan kemandirian atau otonomi; yang ditandai dengan anak mulai memahami identitas diri, batasan lingkungan, dan mengembangkan tahap dasar empati, namun masih menggunakan sudut pandang sendiri. Perkembangan ini masih pada tahap awal atau belum berkembang sempurna, sehingga masih sering gagal dalam meregulasi emosi dan sering kali menunjukkan perilaku negatif.

Selain itu, perilaku membangkang, menentang, dan sikap kasar sering ditemui pada usia ini untuk mengekspresikan otonominya.

f. Pada rentang usia 0 hingga 2 tahun merespon bersadarkan stimulus yang diterima oleh mata, telinga, dan tangan, sedangkan pada rentang usia 2 hingga 3 tahun mampu bernalar secara sederhana dan berkomunikasi dengan ibu. Kata-kata sederhana dan gambar disarankan untuk menambah efektivitas komunikasi dengan anak. g. Sudah mampu mengungkapkan emosi dengan kata-kata, namun ketika

menemui kesulitan (rasa frustrasi), maka sering mengekspresikan dengan menangis dan meronta

h. Respon anak terhadap lingkungan tergantung pada tingkat kedewasaan, mengobservasi dan meniru orang lain, dan pengasuhan orang tuanya. Terdapat beberapa penjelasan mengenai perilaku negatif yang muncul:

1) Fase negativisme, yakni puncak kemunculan perilaku buruk sedang berlangsung.

2) Otak kanan yang berfungsi dalam memproses emosi negatif tumbuh lebih besar sehingga perkembangan emosi negatif lebih pesat pada usia ini.

3) Bermacam-macam perasaan baru bermunculan, sehingga anak mengalami kebingungan untuk mengenali emosi tersebut dan menggunakannya untuk merespon lingkungan.

Dalam dokumen Pemahaman ibu mengenai temper tantrum anak (Halaman 39-49)

Dokumen terkait