• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN KOMODITAS JAGUNG DI INDONESIA

Perkembangan Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Jagung Selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir (2004-2013), trend perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi jagung secara nasional cenderung menunjukkan peningkatan. Secara umum produksi jagung Indonesia ditentukan oleh dua faktor utama yaitu luas panen dan produktivitas.

Tabel 10 Perkembangan Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Jagung di Indonesia Tahun 1991-2013

Tahun Luas Panen (ha) Produktivitas (ton/ha) Produksi (ton)

1991 2 909 100 2.20 6 255 906 1992 3 629 346 2.20 7 995 459 1993 2 939 534 2.20 6 459 737 1994 3 109 398 2.21 6 868 885 1995 3 651 838 2.26 8 245 902 1996 3 743 573 2.49 9 307 423 1997 3 355 224 2.61 8 770 851 1998 3 847 813 2.64 10 169 488 1999 3 456 357 2.66 9 204 036 2000 3 500 318 2.77 9 676 899 2001 3 285 866 2.85 9 347 192 2002 3 109 448 3.08 9 585 277 2003 3 358 511 3.24 10 886 442 2004 3 356 914 3.34 11 225 243 2005 3 625 987 3.45 12 523 894 2006 3 345 805 3.47 11 609 463 2007 3 630 324 3.67 13 287 527 2008 4 001 724 4.08 16 317 252 2009 4 156 706 4.23 17 592 309 2010 4 131 676 4.44 18 327 636 2011 3 864 692 4.45 17 643 250 2012 3 957 595 4.80 19 387 022 2013* 3 820 161 4.80 18 838 529

Keterangan : * Angka sementara Sumber : Departemen Pertanian, 2014

Produksi jagung Indonesia mengalami perkembangan yang fluktuatif. Selam tahun 1991-1994, produksi jagung cenderung tidak mengalami

37 peningkatan yaitu hanya berkisar pada angka 6 juta ton/tahun. Pada tahun 1995- 1998, produksi jagung mengalami peningkatan yaitu berkisar 8 juta ton-10 juta ton (pada tahun 1998). Namun, memasuki tahun 1999, produksi jagung mengalami penurunan menjadi 9 juta ton/tahun hingga tahun 2002 dan kembali meningkat menjadi 10.89 juta ton pada tahun 2003.

Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir (2004-2013), perekembangan jagung juga mengalami perkembangan yang fluktutif. Dapat dillihat tahun 2004, produksi jagung nasional baru sebesar 11.2 juta ton dan meningkat menjadi 18.8 juta ton pada tahun 2013 (Tabel 10). Terjadi peningkatan sebesar 3 juta ton pada tahun 2007 yang hanya 13.29 juta ton menjadi 16.32 juta ton pada tahun 2008. Peningkatan produksi ini lebih banyak disebabkan oleh keberhasilan upaya perbaikan produktivitas daripada peningkatan luas panen. Terjadinya peningkatan produksi jagung juga karena peningkatan akan kebutuhan jagung untuk pakan ternak. Peningkatan produksi jagung dimasa yang akan datang sangat diharapkan melihat potensi dari jagung yang sangat besar yaitu sebagai

food, feed, dan fuel (3F).

Sumber : Departemen Pertanian, 2014 (diolah) Gambar 3 Jumlah Produksi Jagung Tahun 2004-2013

Keberhasilan pengembangan produksi jagung di Indonesia tidak terlepas dari sentra-sentra produksi yang selama ini diandalkan untuk memenuhi kebutuhan jagung nasional. Pada tahun 1981 pangsa produksi jagung Jawa Timur adalah 43%, Jawa Tengah 22%, Sulawesi Selatan 11%, Nusa Tenggara Timur 6%, Lampung 2%, dan Sumatera Utara 1%. Sedangkan, berdasarkan rata- rata produksi jagung tahun 2008 – 2012 (Tabel 11), lebih dari 84% produksi jagung nasional disumbang dari produksi di delapan provinsi. Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi dengan produksi jagung terbesar yakni menyumbang 30.96% terhadap produksi jagung nasional. Berikutnya adalah provinsi Jawa Tengah dan Lampung yang masing-masing memberikan kontribusi produksi sebesar 16.36% dan 10.73%. Provinsi Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara berada pada urutan berikutnya yang menyumbang produksi jagung Indonesia sebesar 7.69% dan 7.04%. Selanjutnya adalah provinsi Jawa Barat, Gorontalo

0 5000000 10000000 15000000 20000000 25000000 To n Tahun

Produksi

38

dan NTT dengan kontribusi produksi masing-masing sebesar 4.84%, 3.64%, dan 3.49% (Departemen Pertanian 2013).

Tabel 11 Perkembangan Produksi Jagung di Provinsi Sentra Di Indonesia Tahun 2008-2012

No Provinsi Produksi Rata-rata Share

2008 2009 2010 2011 2012 (Ton) (%) 1 Jawa Timur 5 053 107 5 266 720 5 587 318 5 443 705 6 295 301 5 529 230.2 30.96 2 Jawa Tengah 2 679 914 3 057 845 3 058 710 2 772 575 3 041 630 2 922 134.8 16.36 3 Lampung 1 809 886 2 067 710 2 126 571 1 817 906 1 760 275 1 916 469.6 10.73 4 Sulawesi Selatan 1 195 691 1 395 742 1 343 044 1 420 154 1 515 329 1 373 992 7.69 5 Sumatera Utara 1 098 969 1 166 548 1 377 718 1 294 645 1 347 124 1 257 000.8 7.04 6 Jawa Barat 639 822 787 599 923 962 945 104 1 028 653 865 028 4.84 7 Gorontalo 753 598 569 110 679 167 605 782 644 754 650 482.2 3.64 8 Nusa Tenggara Timur 673 112 638 899 653 620 524 638 629 386 623 931 3.49 9 Lainnya 2 413 152 2 679 575 2 577 526 2 818 741 3 124 570 2 722 712.8 15.24 Total 16 317 251 17 629 748 18 327 636 17 643 250 19 387 022 17 860 981.4 100 Sumber : BPS, 2013

Dengan demikian telah terjadi pergeseran sentra produksi jagung Indonesia. Pergeseran ini didorong oleh perkembangan industri pakan yang terkonsentrasi di Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Utara sehingga tujuan produksi jagung di sentra produksi di wilayah tersebut dan sekitarnya adalah untuk dijual (komersial), bukan sebagai bahan makanan pokok seperti produksi jagung di Nusa Tenggara dan Sulawesi.

Keberhasilan peningkatan produksi jagung tidak terlepas dari dua faktor utama yaitu luas arel panen dan produktivitas. Luas areal panen jagung Indonesia dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir relatif tidak banyak mengalami perubahan (Tabel 10). Selama periode 1990-2006, rata-rata luas areal panen jagung di Indonesia sekitar 3.35 juta ha/tahun dengan laju peningkatan 1.46% per tahun dan pada periode sepuluh tahun terakhir (2004-2013) rata-rata luas areal panen jagung di Indonesia naik menjadi 3.86 juta ha/tahun.

Gambar 4 Provinsi Sentra Produksi Jagung di Indonesia Tahun 2008-2012 30.96%

16.36% 10.73%

7.69% 7.04% 4.84%3.64% 3.49%

15.24%

Jawa Timur Jawa Tengah Lampung Sulawesi Selatan Sumatera Utara Jawa Barat Gorontalo Nusa Tenggara Timur Lainnya

39 Pengembangan jagung melalui perluasan areal diarahkan pada lahan-lahan potensial seperti sawah irigasi dan tadah hujan yang belum dimanfaatkan pada musim kemarau, dan lahan kering yang belum dimanfaatkan untuk usaha pertanian. Berdasarkan penyebaran luas sawah dan jenis irigasinya, potensi pengembangan areal jagung melalui peningkatan Indeks Pertanaman (IP) pada lahan sawah diperkirakan 457.163 ha, dengan rincian: (a) 295.795 ha di Sumatera dan Kalimantan, (b) 130.834 ha di Sulawesi, dan (c) 30.534 ha di Bali dan Nusa Tenggara (Zubachtirodin et al., 2007)

Berdasarkan data series yang dikeluarkan oleh Departemen Pertanian (2005), selama periode 1969-2006 terjadi penambahan luas areal panen tanaman jagung di Pulau Jawa yang mencapai angka 345 000 hektar atau meningkat sebesar 21.58%, sementara itu penambahan luas areal panen tanaman jagung di luar Pulau Jawa mencapai angka 802 000 hektar atau meningkat sebesar 95.82%. Meskipun demikian, perkembangan luas areal panen tanaman jagung hingga saat ini masih dominan terjadi di Pulau Jawa meski secara perlahan mengalami pergeseran ke luar Pulau Jawa. Faktor utama penyebab penurunan pangsa luas areal panen jagung di Pulau Jawa disebabkan oleh besarnya persaingan dalam penggunaan lahan di Pulau Jawa (Siregar, 2009).

Produktivitas jagung di Indonesia masih relatif masih rendah. Berdasarkan Tabel 10, perkembangan produktivitas jagung tahun 1991-2001 masih berkisar antara 2.2 ton/ha-2.85 ton/ha. Namun, pada tahun 2002-2007, produktivitasnya meningkat menjadi 3.08 ton/ha-3.67 ton/ha. Pada tahun 2008-2013, mengalami peningkatan yaitu berkisar antara 4.08-4.80 ton/ha. Berdasarkan data yang telah dipaparkan, produktivitas jagung mengalami peningkatan namun tidak signifikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kecenderungan produksi jagung yang meningkat lebih besar ditentukan oleh perkembangan produktivitas daripada luas arel panen. Peningkatan produktivitas dapat dicapai melalui perbaikan mutu benih (penggantian varietas komposit ke hibrida dan komposit unggul).

Dalam program pergeseran penggunaan jenis, varietas, dan benih tersebut diperlukan kegiatan seperti: (a) perbaikan produksi dan distribusi benih bermutu, (b) pembentukan penangkar benih berbasis komunal di pedesaan, dan (c) penerapan teknologi budi daya melalui pendekatan PTT, antara lain varietas yang sesuai, pemupukan berdasarkan status hara tanah (spesifik lokasi), dan pengendalian organisme pengganggu tanaman. Upaya tersebut perlu diikuti dengan penerapan teknologi pascapanen untuk menjamin mutu dan nilai tambah produksi (Zubachtirodin et al., 2007).

Peningkatan produksi jagung setiap tahunnya belum mampu memenuhi kebutuhan jagung dalam negeri karena tidak sedikit industri berbasis jagung di Indonesia yang membutuhkannnya sebagai bahan baku, terutama industri pakan ternak yang membutuhkan jagung dalam jumlah besar dan kontinu yang menyatakan sering terjadi kelangkaan jagung di pasar domestik. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan produksi jagung domestik melalui luas areal panen dan produktivitas belum dilakukan secara optimal.

Laju pertumbuhan luas areal panen jagung Indonesia hanya 1.46% per tahun, masih terlalu rendah jika dibandingkan dengan Amerika Serikat sebagai negara utama produsen jagung dimana laju pertumbuhan luas arealnya mencapai 20.44% per tahun, mengingat Indonesia memiliki potensi lahan yang luas dan

40

banyak yang belum termanfaatkan. Indonesia memililki iklim tropis dan kontur tanah yang sangat potensial untuk ditanami jagung. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, pada tahun 2006 negeri ini memiliki ketersediaan lahan yang cocok ditanami jagung seluas 27 juta hektar, akan tetapi baru 3.7 juta hektar yang dimanfaatkan untuk ditanami jagung. (Siregar, 2009).

Dari pemaparan data diatas, dapat disimpulkan bahwa jagung mempunyai potensi yang sangat besar untuk dikembangkan, baik melalui peningkatan perluasan areal tanam khususnya lahan sawah irigasi dan tadah hujan yang belum dimanfaatkan pada musim kemarau dan lahan kering yang belum banyak dimanfaatkan pada musim kemarau baik di Pulau Jawa maupun luar Jawa maupun melalui peningkatan produktivitas dengan melalui perbaikan varietas hibrida atau jagung transgenik. Oleh karena itu, bagi Indonesia yang merupakan negara agraris, swasembada jagung sebenarnya bukanlah hal yang luar biasa dan seharusnya bisa dicapai karena memiliki potensi yang besar. Bahkan seharusnya Indonesia mampu menjadi negara eksportir jagung di pasar dunia.

Perkembangan Konsumsi Jagung di Indonesia

Sebelum tahun 1980an, jagung dikenal sebagai komoditas pangan utama setelah beras karena merupakan makanan pokok sebagian penduduk Indonesia seperti di Madura, beberapa kabupaten lainnya di Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, dan beberapa kabupaten di Sulawesi. Dengan berkembangnya industri peternakan maka terjadi perubahan pola konsumsi jagung di Indonesia yang mengubah sacara drastis dari negara eksportis menjadi negara importir.

Peningkatan konsumsi produk peternakan akan memacu permintaan jagung untuk pakan ternak. Di samping itu, permintaan jagung untuk industri pangan olahan juga akan meningkat. Dengan perubahan ini maka jagung bukan lagi sebagai komoditas pangan pokok, tapi telah berubah menjadi bahan baku industri.

Tingginya peningkatan permintaan jagung untuk pakan, melebihi laju penurunan permintaan jagung untuk bahan makanan pokok dan laju peningkatan produksi jagung, menyebabkan Indonesia menjadi net importer jagung dengan laju cukup tinggi mulai tahun 1990-an. Sebelum tahun 1990, penggunaan jagung di Indonesia lebih banyak (86%) untuk konsumsi langsung, hanya sekitar 6% untuk industri pakan. Penggunaan jagung untuk industri pangan juga masih rendah, baru sekitar 7.5%. Walaupun sebagian besar penggunaan jagung untuk konsumsi langsung, tetapi sudah mulai tampak penggunaan untuk industri pangan dan bahkan pangsanya sudah di atas penggunaan untuk industri pakan. Dalam periode 1990-2002 telah terjadi pergesaran penggunaan jagung walaupun masih didominasi untuk konsumsi langsung. Setelah tahun 2002, penggunaan jagung lebih banyak untuk kebutuhan industri pakan selain industri pangan.

Selama tahun 2000-2006, penggunaan jagung untuk konsumsi menurun sekitar 2.0% per tahun. Sebaliknya, penggunaan jagung untuk industri pakan dan industri pangan meningkat masing-masing 5.86% dan 3.01% per tahun. Proporsi

41 tersebut akan berubah pada tahun 2020, di mana industri pakan akan memerlukan jagung sekitar 76.2% (Zubachtirodin et al. 2007).

Selama periode 2006-2010, konsumsi jagung terbesar masih lebih banyak digunakan industri pakan yaitu sebesar 43.04% (2006) menjadi 48.74% (2010). Pada periode yang sama untuk konsumsi langsung cenderung menurun yaitu dari 33.94% (2006) menjadi 28.07% (2010). Untuk konsumsi industri pangan cenderung mengalami peningkatan namun tidak terlalu signifikan.

Tabel 12 Perkembangan Konsumsi Jagung di Indonesia Tahun 1980-2010

Tahun Konsumsi Industri Pangan Industri Pakan Total

(000 ton) (000 ton) (000 ton) (000 ton)

1980 3 705 0 237 3 942 (93.99) (0.00) (6.01) 100 1990 5 703 499 396 6 598 (86.44) (7.56) (6.01) 100 2000 4 657 234 3 713 10 719 (43.45) (21.83) (34.64) 100 2001 4 567 2 415 3 955 10 937 (41.76) (22.08) (36.16) 100 2002 4 478 2 489 4 197 11 164 (40.11) (22.29) (37.59) 100 2003 4 388 2 564 4 438 11 390 (38.53) (22.51) (38.96) 100 2004 4 229 2 638 4 680 11 617 (37.01) (22.71) (40.29) 100 2005 4 213 2 717 4 950 11 880 (35.46) (22.87) (41.66) 100 2006 4 129 2 799 5 235 12 162 (33.94) (23.01) (43.04) 100 2007 4 049 2 854 5 619 12 522 (32.34) (22.79) (44.87) 100 2008* 3 971 2 947 6 004 12 922 (30.73) (22.81) (46.46) 100 2009* 3 895 3 045 6 415 13 354 (29.17) (22.80) (48.04) 100 2010* 3 805 3 145 6 607 13 556 (28.07) (23.20) (48.74) 100 Laju (%/th) -2,00 3,00 6.08 2.74

Keterangan : ( ) Pangsa dalam persen

(*) Angka sementara

Sumber : Badan Ketahanan Pangan, Deptan 2011

Dari pemaparan diatas terlihat bahwa orientasi pengembangan jagung ke depan sebaiknya lebih diarahkan pada pemenuhan kebutuhan industri pangan dan pakan, mengingat produk kedua industri ini merupakan barang normal (elastis terhadap peningkatan pendapatan), sebaliknya merupakan barang inferior dalam bentuk jagung konsumsi langsung seiring dengan membaiknya daya beli masyarakat.

42

Perkembangan Ekspor dan Impor Jagung di Indonesia

Permintaan jagung di pasar domestik dan pasar dunia terus meningkat seiring dengan berkembangnya industri pakan dan pangan. Meningkatnya pendapatan per kapita juga menyebabkan meningkatnya permintaan terhadap produk turunan jagung.

Dalam periode 1990-2001 pangsa penggunaan jagung impor sebagai bahan baku industri pakan dalam negeri meningkat dengan laju 11.8% per tahun. Sebaliknya, pangsa penggunaan jagung produksi domestik turun sebesar 3.77% per tahun. Mulai tahun 1994, ketergantungan pabrik pakan dalam negeri terhadap jagung impor sangat tinggi, mencapai 40.3%. Pada tahun 2000 penggunaan jagung impor dan jagung domestik untuk industri pakan ternak hampir berimbang, 47.0% dan 53.0%. Hal ini mengindikasikan bahwa produksi jagung dalam negeri semakin meningkat dan dapat menggantikan sebagian produk impor untuk memenuhi kebutuhan industri pakan. Dengan demikian impor jagung diharapkan akan menurun.

Sejak tahun 2000, impor jagung meningkat secara nyata meskipun produksi dalam negeri juga meningkat. Impor jagung pada tahun 2000 mencapai 1.28 juta ton, tiga tahun kemudian naik menjadi 1.39 juta ton dan pada 2004 meningkat menjadi 2.73 juta ton. Sementara produksi jagung nasional dalam lima tahun terakhir juga mengalami peningkatan, yakni dari 9.6 juta ton pada 2002 menjadi 10.9 juta ton pada 2003 dan meningkat lagi menjadi 12.5 juta ton pada 2005. Produksi pada tahun 2006 mengalami penurunan 7.3% menjadi 11.6 juta ton. Produksi jagung nasional pada 2007 diperkirakan akan mencapai 13.5 juta ton. Peningkatan produksi tersebut akan dapat menghemat devisa karena impor akan menurun tajam. Dilihat dari kebutuhan jagung dalam negeri, sebetulnya masih terdapat surplus yang potensial untuk di ekspor. Selama ini Indonesia juga telah mengekspor 3.36 juta ton pada 2000 namun menurun menjadi 1.67 juta ton pada 2003 dan meningkat lagi menjadi 3.67 juta ton pada 2004. Ekspor jagung terutama ke Hongkong, Malaysia, Jepang, Filipina, dan Thailand.

Pada tahun 2005 produksi jagung nasional telah mencapai 12.5 juta ton sementara kebutuhan 11.8 juta ton. Laju peningkatan produksi jagung selama 2000-2005 mencapai 5.5%, sementara laju peningkatan kebutuhan 2.04%, sehingga produksi nasional diperkirakan akan melebihi kebutuhan, bahkan berpeluang untuk ekspor. Di sisi lain, volume jagung yang diperdagangkan di pasar dunia dalam periode 1990-2003 hanya 75.5 juta ton atau 13.5% dari total produksi dunia, dan menurun 0,02% per tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa pasar jagung dunia relatif tipis (thin market). Namun sejak 2006, negara penghasil utama jagung dunia seperti Amerika dan Cina mulai mengurangi ekspor untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya terkait dengan pemanfaatan jagung sebagai bahan baku energi. Untuk itu, peluang ekspor jagung Indonesia cukup besar mengingat rata-rata produktivitas nasional masih rendah (3.47 t/ha).

Terjadinya ekspor dan impor jagung diduga terkait dengan kondisi pertanaman jagung di Indonesia. Sebagian besar jagung diusahakan pada lahan kering yang penanamannya pada musim hujan, sehingga terjadi perbedaan jumlah produksi yang nyata antara pertanaman musim hujan dengan pertanaman musim kemarau. Hal ini menyebabkan ketersediaan jagung pada bulan-bulan

43 tertentu melebihi kebutuhan, di samping keterbatasan kapasitas gudang penampungan yang terkait dengan sifat jagung yang kurang tahan disimpan dalam waktu lama, sehingga mendorong dilakukannya ekspor. Harga jagung yang dipanen pada musim hujan relatif lebih murah dibandingkan dengan yang dipanen pada musim kemarau. Sebaliknya, pada musim kemarau ketersediaan jagung untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri sangat kurang karena luas areal panen terbatas sehingga harga jagung relatif lebih mahal. Kondisi ini mendorong pemerintah untuk mengimpor jagung (Zubachtirodin et al., 2007).

Pada periode 2008-2012, volume ekspor jagung terus mengalami penurunan yang cukup drastis yaitu sebesar 108.17 ribu ton (2008) menjadi hanya sebesar 32.94 ribu ton (2012). Sedangkan untuk volume impor, tahun 2008 sebesar 393.30 ribu ton dan meningkat menjadi 1 889.4 ribu ton (2012). Volume impor yang jauh lebih besar daripada volume ekspornya menyebabkan neraca perdagangan jagung Indonesia mengalami defisit.

Faktor lain yang akan mempengaruhi permintaan jagung adalah peningkatan konsumsi etanol untuk bahan bakar kendaraan bermotor. Hal ini disebabkan karena trend pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN) yang dijalankan oleh sejumlah negara seperti Amerika Serika dan Brazil, dimana jagung digunakan sebagai bahan baku pembuatan etanol yang berfungsi sebagai substitusi premium. Pengembangan BBN sendiri dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan pada minyak bumi yang cadangannya semakin menipis dan harganya yang terus meningkat.

Hal ini tentu saja menyebabkan permintaan jagung di pasar dunia juga semakin meningkat, sulit didapat, dan mahal harganya, karena produsen jagung terbesar di dunia seperti Amerika Serikat dan Brazil telah mengurangi ekspornya untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya semakin meningkat, di antaranya untuk industri bioetanol. Cina juga telah mengurangi ekspornya guna memenuhi kebutuhan bahan baku industri dalam negerinya.

Fenomena yang terjadi saat ini adalah ketersediaan jagung di pasar internasional semakin menipis. Menurunnya ketersediaan jagung terjadi di Negara-negara penghasil jagung utama, seperti Amerika Serikat, China, Uni Eropa, dan Brazil. Stok jagung di dunia pada tahun 2006 sebesar 92.7 juta ton mengalami penurunan yang cukup tinggi, yaitu mencapai 33 juta ton juta ton dibandingkan dengan tahun 2005 sebesar 125.6 juta ton yang disebabkan karena meningkatnya permintaan sedangkan produksinya cenderung stabil (Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA)). Pada tahun 2007, produksi jagung dunia sebesar 770 juta ton sedangkan permintaannya telah mencapai 774 juta ton sehingga stok jagung dunia pada tahun 2006 hanya bisa mencukupi 12% kebutuhan jagung dunia. Di samping itu, munculnya Peraturan Presiden No.5 Tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional yang menyebutkan bahwa penggunaan energi berbahan dasar minyak bumi ditargetkan kurang dari 20%, gas bumi 30%, lebih dari 33% bahan baku batu bara, lebih dari 5% untuk masing-masing panas bumi, energi nabati (tanaman pangan) dan energi alternatif lainnya pada tahun 2025 direspon oleh Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral yang menargetkan lebih dari 5% bahan baku energi yang dipakai merupakan bahan baku yang berasal dari tanaman pangan. Beberapa jenis tanaman pangan atau komoditas yang dipakai untuk menghasilkan energi alami diantaranya adalah tebu, jagung, ubi jalar, dan ubi kayu. Hal ini tentu saja akan

44

menyebabkan penggunaan jagung domestik di tahun-tahun mendatang akan semakin meningkat.

Tabel 13 Perkembangan Ekspor dan Impor Jagung Indonesia Tahun 2008-2012

No. Uraian Tahun

2008 2009 2010 2011 2012 1 Ekspor Volume (Ton) 108 170 76 618 44 514 32 944 70 741 Nilai (US$ 000) 29 325 19 219 12 111 18 654 36 214 2 Impor Volume (Ton) 393 305 421 231 1786 811 3 310 984 1 889 431 Nilai (US$ 000) 135 860 107 379 484 238 1 084 404 578 802 3 Neraca Perdagangan Volume (Ton) -285 135 -344 612 -1742 297 -3 278 040 -1 818 690 Nilai (US$ 000) -106 535 -88 160 -472 128 -1 065 750 -542 588

Sumber : BPS, diolah Pusdatin Keterangan :

- Data tahun 2009 s/d 2011 menggunakan kode HS sesuai dengan klasifikasi BTBMI 2007

- Data tahun 2012 menggunakan kode HS sesuai dengan klasifikasi BTKI 2012 serta revisi cakupan terutama wujud olahan

Berdasarkan informasi di atas, maka prospek pasar jagung di dalam negeri maupun pasar dunia sangat cerah. Pasar jagung domestik masih terbuka lebar mengingat sampai saat ini produksi jagung Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri secara keseluruhan. Meningkatnya permintaan pasar jagung dunia akibat trend BBN yang dijalankan oleh sejumlah negara menunjukkan bahwa pasar jagung dunia terbuka lebar bagi para eksportir baru. Indonesia mempunyai peluang untuk merebut sebagian peran Amerika Serikat dan Cina sebagai pemasok jagung dunia dengan cara meningkatkan produksi jagung nasional serta meningkatkan kapasitas rata-rata ekspor untuk menjadi pemasok jagung ke pasar dunia.

Perkembangan Industri Pengolahan Jagung dalam Perekonomian Indonesia

Jagung merupakan bahan pangan yang mengandung 70% pati, 10% protein, dan 5% lemak, jagung mempunyai potensi besar untuk dikembangkan menjadi beragam macam produk. Produk-produk tersebut didapat dari hasil olahan beberapa industri. Berikut beberapa industri yang menggunakan komoditas jagung sebagai salah satu bahan bakunya, antara lain:

1. Industri Pakan Ternak

Industri pakan ternak (unggas) merupakan kegiatan agribisnis hilir yang terpenting dalam agribisnis jagung. Salah satu bagian jagung yang digunakan sebagai bahan baku industri pakan ayam adalah limbah tongkol jagung yang diproses menjadi tepung. Dalam pembuatan pakan ternak diperlukan jagung sebanyak 50% dari total kebutuhan nasional. Dalam periode 2005-2020, kebutuhan jagung untuk industri pakan diperkirakan 51.5% dari kebutuhan

45

jagung nasional dan bahkan setelah tahun 2020 lebih dari 60% dari kebutuhan tersebut.

Jagung mengandung 3.5% lemak, terutama terdapat di bagian lembaga biji. Kadar asam lemak linoleat dalam lemak jagung sangat tinggi, sehingga dapat memenuhi kebutuhan ayam, terutama ayam petelur. Salah satu kelebihan jagung untuk pakan unggas, terutama ayam petelur, adalah kandungan xantofilnya yang tinggi (18 ppm) dan berguna untuk kuning telur, kulit, atau kaki berwarna lebih cerah. Hal ini tidak dijumpai pada biji-bijian lain, dedak padi, dan ubi kayu (Tangendjaja B, Wina E, 2007)

Sejak tahun1975 perdagangan jagung bergeser dari pemenuhan kebutuhan pangan manusia. Menjadi pemenuhan kebutuhan bahan baku untuk industri pakan ternak. Ternak utama yang mengkonsumsi jagung dalam pakannya adalah unggas, babi, dan sapi perah. Kebutuhan jagung yang sangat tinggi untuk industri pakan mengakibatkan Indonesia melakukan impor karena produksi jagung di dalam negeri tidak dapat memenuhi kebutuhan. Dengan kata lain, kebutuhan jagung untuk industri pakan mengalami pertumbuhan yang jauh lebih cepat dibandingkan produksi jagung dalam negeri (Kriswantriyono A et.al., 2010).

2. Industri Makanan dan Minuman

Industri makanan dan minuman merupakan industri yang menggunakan jagung sebagai bahan baku dalam produksinya. Jagung sangat berperan penting sebagai bahan baku industri tepung, pangan olahan, minuman, dan pati. Pada tahun 2005, penggunaan jagung untuk industri pangan mencapai 2.17 juta ton dan pada tahun 2025 diperkirakan meningkat sekitar 4.94 juta ton. Rata-rata penggunaan jagung selama periode 2005-2025 diperkirakan 22.5% dari kebutuhan nasional dan cenderung meningkat 3.0%/tahun. Proporsi penggunaan jagung sebagai bahan pangan cenderung menurun, tetapi meningkat sebagai pakan, dan bahan baku industri. Sebagai bahan pangan, jagung dikonsumsi dalam bentuk segar, kering, dan dalam bentuk tepung.

Bagian komoditas jagung yang dapat digunakan untuk industri makanan dan minuman yaitu buah jagung dalam bentuk pipilan: (1) grit, digunakan untuk pakan, pangan, pop corn, dan puff corn; (2) tepung, digunakan untuk pakan, pangan, dan bahan baku industri; (3) pati, digunakan untuk pakan, pangan, bahan baku industri, gula rendah kalori, dan sirup; (4) lembaga, digunakan untuk minyak; dan (5) kulit ari, digunakan untuk bahan baku industri (lihat Gambar 1). 3. Industri Minyak dan Lemak

Komoditas jagung juga berperan sebagai bahan baku untuk industri minyak karena ada bagian jagung yang dapat menghasilkan minyak jagung. Bagian jagung yang mengandung minyak adalah lembaga (germ). Minyak jagung dapat diekstrak dari hasil proses penggilingan kering maupun basah, proses penggilingan yang berbeda akan menghasilkan rendemen minyak yang berbeda pula. Pada penggilingan kering (dry-milled), minyak jagung dapat diekstrak dengan pengepresan maupun ekstraksi hexan. Kandungan minyak pada tepung jagung adalah 18%. Untuk penggilingan basah (wetmilling), sebelumnya dapat dilakukan pemisahan lembaga, kemudian baru dilakukan ekstraksi minyak. Pada lembaga, kandungan minyak yang bisa diekstrak rata-rata 52%. Kandungan minyak hasil ekstraksi kurang dari 1.2%. Minyak kasar masih mengandung

46

bahan terlarut, yaitu fosfatida, asam lemak bebas, pigmen, waxes, dan sejumlah kecil bahan flavor dan odor.

4. Industri Tepung

Tepung jagung diperoleh dari bagian jagung yang berupa pipilan. Tepung jagung bersifat fleksibel karena dapat digunakan sebagai bahan baku berbagai produk pangan dan relatif mudah diterima masyarakat, karena telah terbiasa

Dokumen terkait