• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Ludruk

Dalam dokumen Diktat Abd. Karim BB (Halaman 39-41)

MEDIA KOMUNIKASI TRADISIONAL

B. Perkembangan Ludruk

Apresiasi masyarakat terhadap ludruk, terutama generasi muda, terus merosot

dan dikhawatirkan dalam waktu satu dasawarsa lagi kesenian tradisi ini akan kehilangan bukan hanya penonton melainkan pula pewaris aktifnya. Lalu, bagaimana kita haru menyikapinya?

Menurut Ayu Sutarto "Diakui atau tidak, seni pertunjukan ludruk merupakan salah satu jenis seni pertunjukan tradisional yang menjadi korban perubahan selera berkesenian dan selera publik terhadap jenis

tontonan dan hiburan”. Menurutnya tidak semua seni pertunjukan tradisional memiliki nasib buruk. Paling tidak, meskipun tidak bisa hidup mandiri, masih ada beberapa jenis seni pertunjukan tradisional yang tetap hidup normal karena ada tangan-tangan kuat yang menopang kehidupannya.

"Arja dan gambuh di Bali, misalnya, masih tetap hidup karena para pewarisnya dan pemerintah setempat dengan sangat gigih memelihara keberadaannya," katanya. Teater Noh dan Kabuki di Jepang juga masih ditonton orang dari berbagai penjuru dunia karena pemerintah memiliki komitmen untuk berperan serta dalam pelestariannya. Teater boneka air di Vietnam juga tetap berjaya karena di samping pemerintah peduli, produk kebudayaan rakyat tersebut berhasil dikemas sebagai komoditas wisata yang laku jual.

"Produk-produk seni klasik di negara-negara maju masih juga bertahan karena adanya campur tangan pemerintah dalam melestarikan kelangsungan hidupnya," ujar Ayu Sutarto yang dikenal sebagai peneliti tradisi itu. Lalu, mengapa ludruk yang memiliki nama besar dan pernah memiliki peran historis tak mampu hidup wajar? Salahnya di mana? Mengapa apresiasi masyarakat sangat rendah?

Menurut Drs Henrikus Supriyanto MHum, seni pertunjukan ludruk masih memiliki fungsi yang strategis dalam kehidupan sosial, di antaranya berfungsi sebagai alat pendidikan masyarakat, media perjuangan, media kritik sosial, media pembangunan, dan media komunikasi/sponsor.

Banyak hal yang menjadi sebab mengapa fungsi, peran, dan posisi ludruk dalam masyarakat merosot. Menurut ketua Dewan Kesenian Jatim, Setya Yuwana Sudikan, demikian kata Ayu, sejak tahun 1990-an perkumpulan ludruk dihadapkan pada kondisi yang serba sulit.

1. Kalah bersaing dengan berbagai jenis seni pertunjukan modern dan kesenian pop. 2. Kehadiran teknologi komunikasi modern, seperti televisi, VCD, Internet, dan lain lainnya menyebabkan orang enggan pergi ke tanah lapang atau tobong untuk menyaksikan pertunjukan ludruk.

3. Masyarakat perkotaan merasa turun gengsinya apabila diketahui sebagai penggemar ludruk. Dan, keempat, bagi sebagian umat Islam, ludruk dipandang sebagai seni sekuler karena adanya penampilan seniman pria yang memerankan tokoh wanita.

Beberapa jenis seni pertunjukan tradisional ternyata mampu bangkit dan merebut kembali hati

publik setelah inovasi dan terobosan dilakukan. Seperti Lenong Betawi yang dikemas sesuai dengan selera anak muda ternyata mampu merebut pasar. Ketoprak yang penuh bumbu humor ternyata dapat menaklukkan hati publik. Dan, pergelaran wayang purwa yang " bertabur bintang dengan berbagai atraksi ternyata juga "dibeli", meski mahal. Tetapi, mengapa ludruk glamor dan ludruk humor yang dimotori Cak Kartolo kurang mendapat respons dari masyarakat ? "Bukanlah suatu dosa jika suatu produk kebudayaan, termasuk ludruk, meninggalkan unsur konvensional yang tak lagi sesuai dengan perkembangan zaman dan kemudian melakukan inovasi terus-menerus untuk merebut hati publik.

3. Bedug A. Definisi

Beduk adalah gendang satu muka yang berbentuk memanjang iaitu 'elongated'. Peranannya dalam budaya masyarakat Melayu khususnya di Nusantara adalah bersifat 'non-musical'. Malah ianya merupakan sebagai 'instrument' untuk mengesakan perintah Allah s.w.t. Ianya digunakan di surau ataupun masjid di kampung-kampung bagi menandakan masuknya waktu untuk bersolat. Ianya dipukul dengan pemukul kayu dalam pola rithme yang beransur cepat iaitu 'accelerando'

Bedug umumnya dikenal sebagai salah satu kelengkapan masjid, untuk memberi tanda waktu dan memanggil orang Islam sholat. Bedug terbuat dari sepotong kayu besar atau pokok endu sepanjang kira-kira

satu dipa. Bagian tengah batang itu dilubangi sehingga berbentuk tabung besar. Ujung batang yang berfungsi sebagai membran atau selaput gendang. Bila ditabuh, bedug menimbulkan suara berat bernadah rendah, tetapi dapat terdenagr sampai jarak cukup jauh.

Di Indonesia beduk digunakan di Masjid-masjid atau tempat ibadah umat Islam. Sedangkan di Jepang, memang asal mulanya dari beduk yang digunakan di Tera atau tempat ibadah umat Budha. Dari situlah terbentuk perkumpulan seni memukul beduk, dan sampai sekarang dikenal dengan Wadaiko.

Seni bedug yang popular di daerah Banten, menggunakan belasan sampai puluhan bedug yang dijajarkan dipalangan luas. Jumlah penabuhnya sama dengan jumlah bedug yang tersedia. Irama pukulannya dinamis, sesuai dengan gerak tangan dan tubuh sipanabuh. Seni bedug ini hanya dipertunjukkan pada hari- hari besar agama Islam.

Seni memukul beduk banyak sekali membawa manfaat, suara yang ditimbulkan membawa perasaan pendengar mengalun-alun mengikuti iramanya. Selain itu badan menjadi kuat dan sehat. Memukul beduk tidak hanya membutuhkan kekuatan, tetapi juga kelenturan tangan, tubuh, dan kaki, semua menyatu.

Alat yang digunakan untuk memukul beduk terbuat dari kayu pilihan yang sengaja didatangkan dari Jepang, nama pemukul beduk itu adalah Bachi. Karena sifatnya keras dan kuat, Bachi tidak akan patah walaupun memukul dengan sekuat tenaga.

Ada pula perangkat gamelan kuno yang dilengkapi dengan bedug, antara lain Gamelan Sari Oneng yang kini tersimpan di Museum Sumedang Jawa Barat. Bedug yang dinamakan Bheri ini kedua sisinya memakai membra kulit binatang. Di Banten ada bedug kuno yang disebut Khu, tersimpan dalam sebuah kelenteng kuno. Membran pada bedug ini direnggangkan dengan sietem paku berkepala besar. Saat ini bedug yang paling besar terdapat di Mesjid Istiqlal Jakarta. Bedug ini terbuat dari potongan kayu jati gelondong yang ditebang di Jawa tengah.

Dalam dokumen Diktat Abd. Karim BB (Halaman 39-41)