• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam bidang sinematografi perihal media penyimpan ini telah mengalami perkembangan yang pesat Berturut-turut dikenal media penyimpan selluloid (film), pita

Dalam dokumen Diktat Abd. Karim BB (Halaman 70-73)

analog, dan yang terakhir media digital (pita, cakram, memori chip). Bertolak dari

pengertian ini maka film pada awalnya adalah karya sinematografi yang memanfaatkan

media selluloid sebagai penyimpannya.

Menurut Sergei Esenstien tanggal lahir film secara resmi adalah pada tanggal 28 Oktober 1895, dikala itu Lumiere bersaudara mempertunjukkan filmnya yang pertama di Grand Cape yang terletak di Boulevard des Capuccius di Paris. Barulah kemudian perfilman berkembang keseluruh dunia (Latief : 1989 : 183-184).

Menurut Drs. Oeyhong Lee dalam bukunya : Publisistik Film menjelaskan tentang perkembangan perfilman di Amereika serikat, sebagai salah satu Negara yang memiliki Industri film yang termaju di dunia. Sejarah perfilman di Amerika Serikat dapat dibagi dalam beberapa periode sebagai berikut :

a. 1895-1903 = masa permulaan film bisu

b. 1903-1927 = masa film cerita bisu

c. 1927-1935 = masa film bicara hitam putih

d. 1935-1953 = masa film berwarna

e. 1953 – sekarang = masa film wide screen

Sementara perkembangan perfilman di Indonesia menurut Dja’far Husein Assegaf dalam bukunya

Bunga Rampai Media Massa mengemukakan menurut catatan Armijn Pane, inisiatif pembuatan film di Indonesia pada mulanya dipegang oleh dua orang tokoh Eropa yaitu F. Carli dan G. Kruger pada tahun 1927 di Bandung. Mereka pernah memproduksi film yang berjudul Eulis Atjih, dan Lutung Kasarung. Perkembangan film selanjutnya banyak dikelola oleh orang-orang Tionghoa. Tercatat nama Liem Goan Lian

sebagai produsen film yang menghasilkan film yang berjudul “Melati Van Agam” pada tahun 1928 dengan

memakai bitang filmnya dari kalangan orang-orang Thionghoa. Pada tahun 1934 seorang cineas berkebangsaan Belanda yaitu Mannus Franken telah berhasil membuat film yang berjudul Pareh. Inilah sejarah singkat mengenai dunia perfilman baik di dunia Internasional maupun Indonesia (Latief : 1989 : 184- 188).

A.

Sejarah Film

Di Indonesia, film pertamakali diperkenalkan pada 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta). Pada

masa itu film disebut “Gambar Idoep”. Pertunjukkan film pertama digelar di Tanah Abang. Film adalah

pertama ini kurang sukses karena harga karcisnya dianggap terlalu mahal. Sehingga pada 1 Januari 1901, harga karcis dikurangi hingga 75% untuk merangsang minat penonton.

Film cerita pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun 1905 yang diimpor dari Amerika. Film- film impor ini berubah judul ke dalam bahasa Melayu. Film cerita impor ini cukup laku di Indonesia. Jumlah penonton dan bioskop pun meningkat. Daya tarik tontonan baru ini ternyata mengagumk1an. Film lokal pertama kali diproduksi pada tahun 1926. Sebuah film cerita yang masih bisu. Agak terlambat memang. Karena pada tahun tersebut, di belahan dunia yang lain, film-film bersuara sudah mulai diproduksi.

Film cerita lokal pertama yang berjudul Loetoeng Kasaroeng ini diproduksi oleh NV Java Film Company. Film lokal berikutnya adalah Eulis Atjih yang diproduksi oleh perusahaan yang sama. Setelah film kedua ini diproduksi, kemudian muncul perusahaan-perusahaan film lainnya seperti Halimun Film Bandung yang membuat Lily van Java dan Central Java Film Coy (Semarang) yang memproduksi Setangan Berlumur Darah.

Industri film lokal sendiri baru bisa membuat film bersuara pada tahun 1931. Film ini diproduksi oleh Tans Film Company bekerjasama dengan Kruegers Film Bedrif di Bandung dengan judul Atma de Vischer. Selama kurun waktu itu (1926-1931) sebanyak 21 judul film (bisu dan bersuara) diproduksi. Jumlah bioskop meningkat dengan pesat. Filmrueve (majalah film pada masa itu) pada tahun 1936 mencatat adanya 227 bioskop.

Untuk lebih mempopulerkan film Indonesia, Djamaludin Malik mendorong adanya Festival Film Indonesia (FFI) I pada tanggal 30 Maret-5 April 1955, setelah sebelumnya pada 30 Agustus 1954 terbentuk PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia). Film Jam Malam karya Usmar Ismail tampil sebagai film terbaik dalam festival ini. Film ini sekaligus terpilih mewakili Indonesia dalam Festival Film Asia II di Singapura. Film ini dianggap karya terbaik Usmar Ismail. Sebuah film yang menyampaikan kritik sosial yang sangat tajam mengenai para bekas pejuang setelah kemerdekaan.

Film-film Indonesia selama dua dekade ini (1980-an dan 1990-an) terpuruk sangat dalam. Insan film Indonesia seperti tak bisa berkutik menghadapi arus film impor. Masalah yang dihadapi harus diakui sangatlah kompleks. Mulai dari persoalan dana, SDM, hingga kebijakan pemerintah. Persoalan ini dari tahun ke tahun semakin melebarkan jarak antara film, bioskop dan penonton, tiga komponen yang seharusnya memiliki pemahaman yang sama terhadap sebuah industri film. Dan itu menjadi suatu tantangan pagi para sineas film dakwah.

Di awal millenium baru ini tampaknya mulai ada gairah baru dalam industri film Indonesia terutama film yang mengusung tema Dakwah. Seperti halnya film Kiamat Sudah Dekat, Kun Fa Yakun, Perempuan Berkalung Sorban, Ketika Cinta Bertasbih, Hingga film Ayat-ayat Cinta yang begitu fenomenal akhir-akhir ini semakin memberikan peluang bagi para sineas dakwah.

Kenyataan ini cukup memberi harapan bagi para sineas-sineas dakwah, karena tidak hanya film yang ber-genre-kan horor, percintaan remaja atau komedi berbalut seksualitas yang bisa diterima masyarakat umum namun film yang bernuansakan islam pun laku untuk diedar. Maka hal tersebut bisa menjadi suatu modal besar bagi para sineas dakwah dalam mengtransformasikan nilai keislaman pada media ini.

1. Director (Sutradara), Bertugas memimpin dan mengarahkan keseluruhan proses pembuatan film.

2. Pembuat Ide cerita, Pencetus atau pemilik ide cerita pada naskah film yang diproduksi.

3. Script Writer, Bertugas menterjemahkan ide cerita ke dalam bahasa visual gambar atau skenario.

4. Kameramen, Bertugas mengambil gambar atau mengoperasikan kamera saat shooting.

5. Lighting, Bertugas mengatur pencahayan dalam produksi film.

6. Tata musik (music director), Bertugas membuat atau memilih musik yang sesuai dengan nuansa cerita dalam produksi film.

7. Tata kostum, (costume designer), Bertugas membuat atau memilih dan menyediakan

kostum atau pakaian yang sesuai dengan nuansa cerita dalam produksi film.

8. Make up Artist, Bertugas mengatur make up yang sesuai dengan nuansa cerita dalam produksi film

9. Sound effect (sound recorder), Bertugas membuat atau memilih atau merekam suara dan efek suara yang sesuai dengan nuansa cerita dalam produksi film.

10. Tata artistik (artistic director), Bertugas membuat dan mengatur latar dan setting yang sesuai dengan nuansa cerita dalam produksi film.

11. Editor, Bertugas melakukan editing pada hasil pengambilan gambar dalam produksi film.

12. Kliper, Bertugas memberi tanda pengambilan shot dalam produksi film.

13. Pencatat adegan, Bertugas mencatat adegan atau shot yang diambil serta kostum yang dipakai dalam produksi film.

14. Casting, Bertugas mencari dan memilih pemain yang sesuai ide cerita dalam produksi film.

C. Jenis-Jenis Film

1. Film Sandirawa

Sepanjang sejarahnya terdapat beberapa istilah untuk menyebut seni teater, yakni drama, tonil, sandiwara, komidi, lakon, dan teater.

Drama berasal dari bahasa Yunani “dram” yang berarti gerak atau perbuatan. Dalam bahasa

Inggrisnya “action”. Moulton dalam Dramatic Artis mengemukakan drama adalah life presented in action atau suatu segi kehidupan yang disajikan dengan gerak. Dengan demikian, gerak (baik berupa bicara, isyarat, maupun gerak-gerik di panggung)merupakan esesnsi pokok dalam drama. Drama juga terkadang dikombinasikan dengan musikan dan tarian, sebagaimana opera.

Dalam bahasa Belanda drama adalah toonel, yang memiliki arti pertunjukan. Istilah ini mulai dikenal dikenal di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda sebelum Perang Dunia II, yang kemudian oleh

PKG Mangkunegara VII dibuat istilah sandiwara. Sandiwara berasal dari bahasa Jawa “sandhi” yang berarti rahasia, dan “warah” yang berarti ajaran/pengajaran. Jadi sandiwara dapat diartikan sebagai pengajaran yang

disampaikan secara rahasia atau melalui perlambang-perlambang dalam suatu bentuk tonton. Istilah ini mulai dikenal di Indonesia pada zaman penjajahan Jepang (1942-1945), sebagai pengganti kata toonel yang kebelanda-belandaan.

Teater berasal dari bahaa Yunani “thetron” yang berarti takjub memandang. Pada perkembangan berikutnya, teater mewakili tiga pengertian yaitu:

1.

Sebagai gedung tempat pertunjukkan atau panggung yakni sejak zaman Thucydides

(471-295 SM) dan Plato (428-348 SM)

2.

Sebagai publik/auditorium, yakni sejak zaman Herodutus (490-424 SM)

3.

Sebagai suatu bentuk karangan pertunjukkan. Secara etimologis teater adalah

gedung pertunjukkan atau auditorium. Dalam arti luas, teater ialah segala tontonan

yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Teater bisa juga diartikan sebagai

drama, kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas dengan

media:percakapan,gerak dan laku didasarkan pada naskah yang tertulis ditunjang

oleh dekor, musik, nyanyian, tarian,dan sebagainya.

Adapun dikatakan film sebagai sandiwara disini adalah ketika film itu di buat melalui tahapan- tahapan yang telah dijelaskan di atas setelah itu di perankan oleh seorang aktor ataupun aktris yang merupakan peran-peran yang ada dalam sebuah naskah lalu merelka mendialogkan atau melakonkan dari sebuah cerita itu sesuai dengan naskah tersebut dengan adegan-adegan yang ada tertulis dalam sebuah cerita itu. Adapun contoh sandiwara itu:

2. Film Dokumentasi

a.

Pengertian Dokumentasi/ Dokumenter

A documentary is the sum of relationships during period of shared action and

Dalam dokumen Diktat Abd. Karim BB (Halaman 70-73)