• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Pendidikan di Kerajaan Yang Bercorak Islam di Indonesia

Dalam dokumen Sejarah 2 Kelas 11 Tarunasena M 2009 (Halaman 146-149)

MASYARAKAT DI INDONESIA

B. PERKEMBANGAN PENDIDIKAN, KESENIAN, DAN KE- KE-SUSASTRAAN DI KERAJAAN YANG BERCORAK ISLAM DI

1. Perkembangan Pendidikan di Kerajaan Yang Bercorak Islam di Indonesia

Pendidikan merupakan salah satu perhatian sentral masyarakat Islam. Apalagi hal ini ditegaskan dalam Al-Qur an yang menyebutkan bahwa: “menuntut ilmu itu wajib hukumnya bagi setiap muslim dan muslimat” atau “tuntutlah ilmu dari sejak buaian sampai ke liang lahat” dan diperkuat

pula oleh ucapan Nabi Muhammad saw. yang menyuruh kaum muslimin untuk mencari ilmu sampai ke negeri Cina. Dengan demikian, perhatian orang-orang Islam terhadap pendidikan begitu kuat.

Sejak awal perkembangan Islam, pendidikan sangat penting sebagai salah satu upaya dalam proses penyebaran agama Islam. Untuk itu, dikembangkan suatu bentuk pengajaran yang sangat sederhana dengan sistem halaqah. Pada awalnya, penyelenggaraan pendidikan agama dilaksanakan di masjid, langgar atau surau. Masjid selain berfungsi sebagai tempat untuk melaksanakan salat juga tempat diselenggarakannya pengajaran agama. Pelajaran yang diberikan adalah pelajaran membaca Al-Qur an, tata cara peribadatan, akhlak, dan keimanan.

Lembaga-lambaga pendidikan yang dibangun pada masa Islam ini bukanlah lembaga pendidikan yang pertama ada di Indonesia. Lembaga pendidikan yang dibangun oleh Islam di Indonesia mengadopsi dan mentransfer lembaga

Kata-kata kunci

• pendidikan • kesenian • kesusastraan

keagamaan dan sosial yang sudah ada sebelumnya pada masa Hindu-Buddha. Di Jawa, umat Islam mentransfer lembaga keagamaan Hindu-Buddha menjadi

pesantren, umat Islam di Minangkabau mengambil alih surau sebagai peninggalan adat masyarakat setempat menjadi lembaga pendidikan Islam, demikian pula masyarakat Aceh mentransfer lembaga masyarakat Meunasah sebagai lembaga pendidikan Islam.

Perkembangan penting dari pendidikan pada masa perkembangan Islam adalah lahirnya pendidikan pesantren. Pendidikan yang diselenggarakan di pesantren jauh lebih mendalam dibandingkan dengan pendidikan yang dilaksanakan di mesjid, langgar, atau surau. Siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren disebut santri, sedangkan gurunya biasa disebut Kiai. Materi pelajaran yang diberikan meliputi membaca serta tafsir Al Qur an, fiqih, tauhid, dan akhlak. Sumber-sumber pelajaran menggunakan kitab-kitab yang dikarang oleh para ulama sekitar abad ke-7 atau abad ke-8 di Timur Tengah atau sering disebut dengan Kitab Kuning. Santri memiliki sikap yang sangat hormat kepada guru, dia harus tunduk kepada apa yang diperintahkan oleh guru. Selama mengikuti pelajaran di pesantren, santri harus mondok(menginap) di pesantren. Walaupun ada juga santri yang tidak mondok, biasanya santri tersebut berasal dari daerah sekitar tempat pesantren itu berada.

Untuk mengikuti pelajaran dari satu tahap materi pelajaran ke materi berikutnya ditentukan oleh guru. Belum ada kurikulum tertulis seperti sekarang. Metode mengajar yang dikembangkan di pesantren biasanya menggunakan dua metode yaitu sistem Salaf (sorogan) dan sistem Bandongan. Sistem salaf (sorogan) adalah metode pengajaran yang bersifat individual yaitu seorang santri diajar secara langsung oleh kiai, ustad , ataupun santri senior. Sistem bandongan adalah sistem pengajaran yang bersifat umum dan bersama-sama semacam ceramah umum yang disampaikan oleh seorang ustad ataupun kiai yang dihadiri oleh semua santri. Lamanya mengikuti pendidikan di pesantren tidak tentu, gurulah yang akan menyatakan seorang santri itu sudah menguasai ilmu yang diberikannya. Santri yang telah selesai mengikuti pendidikan di pesantren akan menyebarkan ilmu yang ia milikinya kepada masyarakat, dengan menjadi tokoh agama ataupun mendirikan pesantren di tempat tinggalnya. Lembaga-lembaga pendidikan semacam pesantren, surau, atau meunasah

merupakan lembaga-lembaga pendidikan yang vital di Indonesia. Pada awal perkembangan Islam, lembaga ini menjadi pusat penyebaran agama Islam dan wadah untuk mencetak intelektual muslim. Sejak masa awal, bahkan sampai sekarang lembaga pendidikan pesantren dan sejenisnya tetap dipercaya oleh masyarakat sebagai lembaga yang membentuk moral dan intelektual muslim. Perkembangan dan kemajuan masyarakat Islam Nusantara, khususnya Jawa, tidak mungkin terpisahkan dari peranan yang dimainkan pesantren.

Berpusat dari pesantren, perputaran roda ekonomi dan kebijakan politik Islam dikendalikan. Pada masa Walisongo, tidak sedikit wali-wali Jawa yang menguasai jaringan perdagangan antara pulau Jawa dengan luar Jawa. Contohnya, Sunan Giri yang memiliki jaringan perdagangan antara Jawa, Kalimantan, Maluku, Lombok, dan sekitarnya. Begitu pula dengan perjalanan politik Islam di Jawa, pesantren memiliki pengaruh kuat bagi pembentukan dan pengambilan berbagai kebijakan di keraton-keraton. Misalnya, berdirinya kerajaan Islam Demak adalah karena dukungan dan kontrol kuat dari para ulama, seperti Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan sebagainya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dinamika masyarakat Islam pada masa awal dapat ditandai dengan adanya hubungan yang kuat antara pesantren, pasar (perdagangan), dan keraton. Pelaksanaan ajaran Islam yang banyak dianut oleh masyarakat Nusantara lebih banyak mengikuti mazhab Syafi’i dibanding dengan tiga ma hab lainnya yaitumazhab Hanafi,Hambali dan Maliki. Penggunaan ma hab Syafii banyak dilakukan karena ma hab ini mudah beradaptasi dengan adat istiadat setempat. Di Indonesia, beberapa pelaksanaan syariat Islam banyak bercampur dengan adat istiadat masyarakat setempat. Contoh kerajaan Islam yang memeluk ma hab Syafi i di antaranya Kerajaan Samudera Pasai yang telah menganut ma hab Syafi i sejak raja Marah Silu atau Sultan Malikul Saleh. Yang paling menarik adalah perkembangan ma hab Syafi i di Kerajaan Malaka yang sudah dianut sejak masa kekuasaan rajanya yang pertama yaitu Parameswara. Perluasan agama Islam ma hab Syafi i berbarengan dengan perluasan kekuasaan dan wilayah sultan Malaka. Sampai akhir abad ke-15, ma hab Syafii telah menguasai daerah pantai timur Sumatra dan pantai barat Semenanjung Sumatra. Selain ma hab Syafi i, paham Syi ah juga berkembang pesat di Indonesia. Bukti berkembangnya paham Syi ah di Indonesia dapat dilihat dari berkembangnya beberapa tradisi Syi ah yang ada di Indonesia. Misalnya peringatan tanggal 10 Muharram sebagai peringatan kaum Syi ah atas meninggalnya Husain, putra Ali Bin Abi Thalib. Peringatan 10 Muharam sering diwarnai dengan pembuatan hidangan khas yang disebut bubur sura. Nama sura berasal dari kata Asjura dalam bahasa Iran yang berarti tanggal 10 Muharam. Sisa-sisa pengaruh paham Syi ah terlihat di Aceh dari istilah “bulan Hasan-Husein”

untuk menyebut bulan Muharam.

Perkembangan penting lainnya dari kehidupan keagamaan pada masa kerajaan-kerajaan Islam adalah perkembangan tasawuf dan tarikat. Kata

tasawuf berasal dari kata suf yang artinya wol (bulu kambing). Istilah ini timbul karena ahli tasawuf biasanya memakai baju (jubah) dari bulu domba. Pakaian yang terbuat dari bulu domba merupakan simbol dari orang-orang yang sederhana, tulus, dan taat beribadah kepada Allah. Orang-orang yang menjalankan kehidupan tasawuf disebut sufi. Tasawuf mengembangkan suatu ajaran dan keyakinan dalam memilih jalan hidup secara uhud atau sederhana,

menjauhkan diri dari perhiasan dunia dan melaksanakan intensitas beribadah untuk mencari rida atau ampunan Allah.

Tasawuf merupakan fenomena sosial dan keagamaan yang bercorak Islam. Unsur-unsur mistisisme yang tampaknya bukan asli dari ajaran Islam tetapi merupakan bentuk sinkretisme dengan budaya lokal menjadikan tasawuf mudah diterima oleh masyarakat Indonesia. Dengan demikian, tasawuf menjadi salah satu cara untuk menarik masyarakat agar masuk ke dalam agama Islam. Hal ini bisa kita perhatikan dari begitu pesatnya perkembangan ajaran tasawuf di Indonesia. Kedatangan ahli tasawuf ke Indonesia diperkirakan sejak abad ke-13, yaitu masa berkembangnya dan tersebarnya ahli tasawuf dari Persia dan India. Kedatangan para ahli tasawuf ini kemudian diikuti dengan proses penyebaran tasawuf dan diterimanya tasawuf oleh masyarakat Indonesia sebagai salah satu bagian dari ajaran Islam.

Pada abad XVI-XVII di Kerajaan Aceh muncul beberapa ahli tasawuf terkenal seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani, Nuruddin ar-Raniri, Syekh Abdurrauf dari Singkel, dan sebagainya. Di Jawa pada sekitar abad XVI-XVII di antara Walisongo juga ada yang mengajarkan tasawuf, seperti Syekh Siti Jenar, Sunan Bonang, Sunan Panggung, Sunan Kudus, dan sebagainya.

Berkaitan erat dengan tasawuf adalah tarekat yang dianggap sebagai suatu bentuk atau cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Di Indonesia, tarekat-tarekat yang mempunyai pengaruh ialah tarekat Qadariah, Naqsyabandiah, Sammaniah, Qusyasyiah, Syattariah, Say iliah, Khalwatiah, dan Tianiah. Ham ah Fansuri dan pembesar-pembesar Kerajaan Aceh mendapat pengaruh tarekat Qadariah. Di Banten Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdulkadir juga mendapat pengaruh aliran Qadariah.

2. Perkembangan kesenian di Kerajaan yang bercorak Islam di

Dalam dokumen Sejarah 2 Kelas 11 Tarunasena M 2009 (Halaman 146-149)