• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN TRADISI ISLAM DI BERBAGAI DAERAH (ABAD XV - XVIII)(ABAD XV - XVIII)

Dalam dokumen Sejarah 2 Kelas 11 Tarunasena M 2009 (Halaman 141-146)

MASYARAKAT DI INDONESIA

A. PERKEMBANGAN TRADISI ISLAM DI BERBAGAI DAERAH (ABAD XV - XVIII)(ABAD XV - XVIII)

Proses Islamisasi yang dilakukan oleh para penyebar Islam kepada masyarakat Indonesia, selain melalui jalur perdagangan juga melalui jalur kebudayaan. Proses ini dilakukan melalui kebudayaan yang dimiliki masyarakat setempat. Kebudayaan tersebut dapat berupa kebiasaan-kebiasaan atau tradisi yang telah lama hidup dalam masyarakat yang kental dipengaruhi tradisi Hindu-Buddha. Sebelum datangnya Islam, masyarakat

Indonesia sudah mengenal tradisi. Tradisi yang berkembang dapat berupa kegiatan-kegiatan ritual keagamaan yang berkaitan dengan siklus atau tahap-tahap kehidupan manusia dan hubungan manusia dengan alam. Kedatangan Islam memberikan nilai-nilai keagamaan kepada tradisi tersebut.

Manusia sebagai makhluk hidup memiliki tahap-tahap kehidupan. Antara satu tahap dengan tahap yang lainnya merupakan suatu perubahan kehidupan yang sangat berarti. Dalam melihat perubahan dari satu tahap ke tahap lainnya, biasanya manusia melakukan kegiatan ritual dan mereka menganggap kegiatan ini memiliki arti yang penting bagi kehidupan. Kegiatan ritual inilah yang kemudian menjadi suatu tradisi.

Tradisi perayaan yang berkaitan dengan tahap-tahap kehidupan manusia antara lain:

1. Tahap kehamilan

Tahap pertama dalam kehidupan manusia ialah ketika dia berada dalam kandungan ibunya. Usia kandungan yang dianggap paling berarti adalah pada usia tujuh bulan, sebab pada usia ini janin bayi itu sudah berwujud manusia yang sempurna. Pada usia inilah, biasanya diadakan tradisi upacara perayaan yang dikenal tradisi tujuh bulanan.

Kata-kata kunci • tradisi • tahap kehamilan • tahap kelahiran • tahap kanak-kanak • tahap pernikahan • tahap kematian

2. Tahap kelahiran

Begitu bayi lahir diadakan pula perayaan, terutama setelah bayi itu berusia satu minggu. Dalam ajaran Islam, memang disunatkan melakukan aqiqah

yaitu dengan cara mencukur rambut bayi yang diiringi dengan memotong kambing. Bagi bayi laki-laki sebanyak dua ekor, sedangkan bayi perempuan satu ekor. Dalam praktiknya diadakan pula perayaan yang biasa disebut dengan kegiatan

marhabaan dan barzanzi. Tujuan kegiatan ini adalah pemberian doa kepada bayi yang baru lahir dan kelak diharapkan bayi itu menjadi anak yang saleh.

Gambar 5.1

Aqiqah yaitu dengan cara mencukur rambut bayi yang diiringi dengan memotong kambing

(Sumber: Foto koleksi Armico, 2006)

3. Tahap kanak-kanak

Tradisi perayaan dilakukan pula pada saat anak itu akan disunat, khususnya bagi anak laki. Dalam ajaran Islam memang dianjurkan agar anak laki-laki disunat. Dalam praktik perayaan tersebut, unsur tradisi budaya pun masuk. Misalnya di daerah tertentu ketika anak itu telah sembuh dari proses sunatannya, maka anak tersebut diarak dari kampung ke kampung dengan menggunakan kuda yang diiringi oleh musik dan nyanyian-nyanyian tradisional.

4. Tahap pernikahan

Perayaan yang bersifat tradisi bukan hanya dilakukan pada masa bayi dan kanak-kanak. Pada usia dewasa pun dilakukan terutama ketika akan dinikahkan. Pernikahan merupakan tahapan kehidupan yang dianjurkan dalam ajaran Islam. Dalam praktiknya, pernikahan pada masyarakat tertentu selain mengikuti aturan agama, diiringi pula dengan unsur tradisi. Tradisi itu dilakukan baik pada saat sebelum pernikahan maupun pada saat proses upacara pernikahan.

Misalnya dalam penetapan hari pernikahan dipilih hari-hari atau bulan-bulan tertentu yang dianggap cocok menurut tradisi. Pada saat menjelang acara pernikahan biasanya calon pengantin mengikuti prosesi-prosesi tertentu, misalnya acara siraman. Begitu pula pada saat acara pernikahan, ada prosesi-prosesi yang harus dilalui menurut adat tertentu.

Gambar 5.2 Upacara pernikahan adat Sunda (Sumber: Koleksi Armico, 2006)

5. Tahap kematian

Hubungan manusia dengan manusia tidak hanya berlangsung semasa hidupnya. Manusia yang hidup pun masih memiliki hubungan dengan orang yang telah meninggal. Di Indonesia terdapat suatu tradisi tentang tata cara mengurus jasad anggota keluarga yang meninggal. Dalam ajaran Islam, kewajiban orang hidup kepada orang yang meninggal adalah memandikan, mengafani, mensalatkan dan menguburkannya. Setelah mayat itu dikuburkan, kewajiban keluarga yang ditinggalkan adalah mendoakannya. Bentuk mendoakan ini dalam praktiknya menjadi suatu tradisi. Tradisi itu dikenal dengan tahlilan. Tahlilan biasanya dilakukan selama tujuh hari semenjak orang itu meninggal, dilanjutkan pada hari ke-40, ke-100, dan ke-1000. Dalam kegiatan tradisi itu, nilai-nilai agama masuk seperti membaca doa-doa dan ayat-ayat Al-Qur an. Tradisi masyarakat sebagaimana telah dikemukakan di atas, oleh masyarakat penganutnya sudah dianggap sebagai tradisi Islam. Sebab dalam praktiknya, tradisi tersebut diwarnai dengan nilai-nilai agama Islam. Tradisi lain yang menarik pada masyarakat Indonesia setelah masuknya Islam adalah tradisi pada saat Hari Raya Idul Fitri. Hari itu merupakan hari suci umat Islam. Perayaan hari raya tersebut di Indonesia dirayakan dengan sangat meriah, ditandai dengan acara silaturahmi antarkeluarga dan tetangga. Tradisi hari raya atau lebaran di Indonesia ditandai dengan halal bilhalal, ketupat, mudik, dan iarah kubur sebagai nadran atau nyadran atau nyekar.

Namun demikian, tradisi iarah tidak hanya dilakukan pas menjelang atau sewaktu Hari Raya Idul Fitri, pada hari-hari tertentu orang-orang ada yang melakukan nandran dengan maksud atau tujuan lain, seperti meminta kekuatan gaib pada makam keramat, meminta berkah, rejeki, atau kekayaan. Tradisi ini tentu bukan ajaran Islam tetapi tradisi lokal yang sudah dipengaruhi Hindu-Buddha dan akhirnya Islam, sehingga tradisi nandran dilengkapi, umpamanya dengan membakar kemenyan, dupa, menabur bunga-bungaan, air, dan dibacakan ayat-ayat Al-Qur an. Dari tradisi iarah seperti itu sangat kental dengan perpaduan budaya lokal, Hindu-Buddha, dan Islam.

Masuknya pengaruh agama Islam pada masyarakat Indonesia melalui proses sinkretisme yang memadukan antara budaya-budaya asli, budaya Hindu-Buddha dan budaya Islam itu sendiri. Apabila kita melihat budaya Islam yang berkembang pada masyarakat Indonesia memiliki banyak perbedaan dengan budaya Islam yang berkembang di daerah kelahirannya yaitu di Ja irah Arab. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi suatu pembauran antara budaya lama yang telah berkembang di masyarakat dengan budaya Islam sebagai budaya baru yang kemudian masuk dan lebih mewarnai. Muncullah pada akhirnya tradisi-tradisi yang memiliki nuansa keislaman, akan tetapi kalau kita rujuk lebih jauh tradisi tersebut bukanlah tradisi yang dikembangkan oleh agama Islam itu sendiri dalam pengertian tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw. Tradisi ini bisa kita lihat dalam struktur genealogis raja-raja di kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia yang senantiasa selalu menempatkan dirinya sebagai keturunan Nabi Muhammad, bahkan mengaitkannya dengan Nabi Adam. Dalam silsilah genealogis raja-raja Jawa misalnya, selalu mengklaim dirinya keturunan para Dewa (pengaruh Hinduisme) yang memiliki akar genealogis dengan konsep

nur-roso dan nur-cahyo. Menurut silsilah keraton, nur-roso dan nur-cahyo

inilah yang kemudian melahirkan Nabi Adam dan dewa-dewa sebagai nenek moyang raja-raja Jawa. Konsep nur-roso dan nur-cahyo ini sangat berkaitan dengan konsep agama Islam yang juga mengenal adanya konsep nur-Muhammad yang telah ada jauh sebelum jasadnya sendiri dilahirkan. Demikian pula kita bisa lihat silsilah yang dibuat oleh raja-raja Banten, Demak ataupun Cirebon yang selalu mengaitkan dirinya sebagai keturunan Nabi Muhammad.

Demikian pula dalam hal legitimasi kekuasaan yang dimiliki oleh seorang raja. Agar rakyat mau tunduk pada perintah dan kekuasaan raja, dibuatlah suatu simbol dan konsep-konsep yang menunjukkan kekuasaan raja. Simbol dan konsep-konsep tersebut meskipun bernapaskan Islam akan tetapi kalau kita rujuk lebih jauh lagi, tampaknya merupakan pengaruh dari kebudayaan sebelumnya yaitu budaya Hindu-Buddha. Di antara raja-raja Islam banyak yang menggunakan gelar-gelar yang menunjukkan bahwa dirinya adalah manusia terpilih atau bahkan wakil Allah yang berhak untuk memerintah dan membuat tunduk semua manusia di muka bumi. Misalnya Raja Merah Silu dari Kerajaan

Samudera Pasai menggunakan gelar zillu’Illahi fi’al-Alam (bayang-bayang Tuhan di muka bumi), penguasa Mataram di Jawa mengklaim dirinya sebagai

Khalifatullah (wakil Allah), Sultan Alauddin Ri ayat Syah dari Aceh menggunakan gelar Sayyidi al-Mukammil (Tuanku Yang Sempurna). Sementara itu gelar-gelar pra-Islam seperti Raja, Dipertuan, Pangeran, Panembahan dan Susuhunan tetap dipertahankan bersamaan dengan munculnya gelar-gelar baru seperti Sultan ataupun Syah.

Gelar-gelar tersebut bukanlah gelar yang memang diajarkan oleh agama Islam, sebab Islam sendiri menolak sentralitas kekuasaan dan pengidentikan manusia, raja, atau penguasa dengan Tuhan. Bahkan Islam memandang semua manusia itu pada dasarnya sama sebagai makhluk ciptaan dan hamba Allah, tidak ada keistimewaan antara satu manusia dengan manusia lainnya, kecuali ketakwaannya. Gelar-gelar yang digunakan oleh para raja yang menunjukkan legitimasi kekuasaannya tersebut merupakan hasil sinkretisme antara budaya Hindu- Buddha dengan budaya Islam. Dalam agama Hindu dikenal konsep

Dewa-Raja yang memandang bahwa seorang penguasa dipandang sebagai penjelmaan dari Dewa, biasanya Wisnu atau Indra. Begitu pula dalam agama Buddha dikenal adanya konsep Boddhisatwa yang biasa digunakan para penguasa untuk mengidentikkan dirinya dengan sang Buddha yang tercerahkan dan dengan sukarela meninggalkan Nirwana untuk membantu pembebasan umat manusia di dunia. Dengan masuknya agama Islam, konsep-konsep ini kemudian diubah lagi dengan menggunakan simbol-simbol yang bernapaskan Islam untuk membangun legitimasi kekuasaan para raja.

Begitu kuatnya sinkretisme dalam proses penyebaran agama Islam bisa kita lihat pada mitos-mitos yang berkembang di masyarakat tentang proses penyebaran Islam di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Cerita mengenai Walisongo menjadi bukti begitu kuatnya unsur-unsur magis-religius yang dikembangkan pada cerita seputar penyebaran Islam. Sebagai contoh, Sunan Kalijaga dalam kisah-kisahnya begitu banyak unsur mistiknya, bahkan sampai sekarang orang-orang pantai utara Jawa mempercayai adanya sebuah batu bekas sujudnya. Begitu juga cerita-cerita adanya kiai-kiai sakti yang dapat salat di Mekkah dalam waktu sekejap, kemudian pulang kembali ke pesantrennya atau kiai yang dapat menghilang, dapat berkhutbah di dua tempat pada waktu bersamaan. Cerita-cerita semacam ini juga terdapat di daerah luar Jawa. Tradisi upacara-upacara ritual keagamaan yang dahulu banyak dilakukan pada masa Hindu-Buddha diteruskan pada masa Islam. Tentu saja ritual tersebut mengalami perubahan isi dengan mengambil konsep-konsep Islam. Sebagai contoh, upacara Pangiwahan di Jawa yang dimaksudkan agar manusia menjadi wiwoho atau mulia dengan cara melakukan upacara-upacara pada fase-fase kehidupan manusia seperti kelahiran, perkawinan, kematian, dan sebagainya.

Kegiatan 5.1

Tradisi-tradisi upacara lainnya, misalnya upacara-upacara yang dihubungkan dengan hari-hari bersejarah dalam Islam seperti kelahiran Nabi, Isra Mi raj, dan sebagainya. Yang lebih terkenal dan banyak dilakukan adalah tradisi memperingati kelahiran Nabi Muhammad (sering disebut dengan Maulid atau Maulud) dengan melakukan upacara-upacara seperti tabut di daerah Sumatra atau Sekaten dalam tradisi masyarakat Yogyakarta.

Buatlah suatu tulisan tentang tradisi yang hidup di lingkungan sekitarmu yang menunjukkan adanya percampuran tradisi lokal dengan tradisi Islam.

B. PERKEMBANGAN PENDIDIKAN, KESENIAN, DAN

Dalam dokumen Sejarah 2 Kelas 11 Tarunasena M 2009 (Halaman 141-146)