• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan penerimaan pemerintah kabupaten

BAB III METODE PENELITIAN

4.2. Deskripsi Hasil Penelitian

4.2.1. Perkembangan penerimaan pemerintah kabupaten

Penerimaan pemerintah daerah kabupaten merupakan unsur utama terhadap pendapatan daerah dan dimana tiap tahunnya mengalami peningkatan, hal ini disebabkan karena pemerintah telah berhasil memicu pertumbuhan ekonomi. Untuk dapat melihat besarnya penerimaan di Kabupaten Jember tahun 2007 dan 2008 dapat dilihat pada tabel:

Tabel 4.1

Penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten Jember Tahun 2007-2008 (Ribu rupiah)

No. Jenis Penerimaan 2007 2008

1. 2. 3.

Pendapatan Asli Daerah BHPBP Sumbangan Daerah 89.304.961,- 55.446.047,- 927.348.800,-136.524.604,- 62.165.929,- 1.009.017.809,-

Sumber: Badan Pusat Statistik

Dari tabel diatas dapat dilihat Penerimaan Daerah Kabupaten Jember dari tahun 2007 ke tahun 2008 mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 Penerimaan Daerah sebesar RP. 1.072.099.808,-sedangkan Penerimaan Daerah tahun 2008 naik menjadi Rp. 1.207.708.342,-.

4.2.2 Perkembangan Penerimaan Pemerintah Kabupaten Bondowoso

Penerimaan pemerintah daerah kabupaten merupakan unsur utama terhadap pendapatan daerah dan dimana tiap tahunnya mengalami peningkatan, hal ini disebabkan karena pemerintah telah berhasil memicu pertumbuhan ekonomi. Untuk dapat melihat besarnya penerimaan di Kabupaten Bondowoso tahun 2007 dan 2008 dapat dilihat pada table:

Tabel 4.2

Penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten Bondowoso Tahun 2007-2008 (Ribu rupiah)

No. Jenis Penerimaan 2007 2008

1. 2. 3.

Pendapatan Asli Daerah BHPBP Sumbangan Daerah 30.178.867,- 26.496.813,- 433.991.000,-35.371.877,- 30.411.137,- 492.748.068,-

4. Total Penerimaan Daerah 490.666.680,- 558.531.082,-

Dari tabel diatas dapat dilihat Penerimaan Daerah Kabupaten Bondowoso dari tahun 2007 ke tahun 2008 mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 Penerimaan Daerah sebesar RP. 490.666.680,- sedangkan Penerimaan Daerah tahun 2008 naik menjadi Rp.558.531.082,-.

4.2.3 Perkembangan Penerimaan Pemerintah Kabupaten Situbondo

Penerimaan pemerintah daerah kabupaten merupakan unsur utama terhadap pendapatan daerah dan dimana tiap tahunnya mengalami peningkatan, hal ini disebabkan karena pemerintah telah berhasil memicu pertumbuhan ekonomi. Untuk dapat melihat besarnya penerimaan di Kabupaten Situbondo tahun 2007 dan 2008 dapat dilihat pada tabel:

Tabel 4.3

Penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten Situbondo Tahun 2007-2008 (Ribu rupiah)

No. Jenis Penerimaan 2007 2008

1. 2. 3.

Pendapatan Asli Daerah BHPBP Sumbangan Daerah 29.481.697,- 33.582.216,- 421.514.000,-34.337.486,- 31.650.873,- 475.630.472,-

4. Total Penerimaan Daerah 484.577.913,- 541.618.831,-

Dari tabel diatas dapat dilihat Penerimaan Daerah Kabupaten Situbondo dari tahun 2007 ke tahun 2008 mengalami penurunan. Pada tahun 2007 Penerimaan Daerah sebesar RP. 484.577.913,- sedangkan Penerimaan Daerah tahun 2008 naik menjadi Rp.541.618.831,-.

4.3 Analisis dan Pengujian Hipotesa

4.3.1 Analisis Indeks Desentralisasi Fiskal

Untuk menganalisis kemandirian suatu daerah dalam menggali sumber-sumber penerimaan keuangan dari daerahnya sendiri digunakan analisis Indeks Desentralisasi Fiskal, dengan rasio yang digunakan untuk mengukur indeks. Dalam analisis ini ada dua macam yaitu:

1. Rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total

Pendapatan Daerah (TPD)

2. Rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP)

Indeks ini dapat dilihat seberapa besar daerah dapat memenuhi penerimaannya. Dengan rumus: i. 100% (TPD) Daerah Penerimaan Total (PAD) Daerah Asli Pendapatan    ii. 100% (TPD) Daerah Penerimaan Total P) Pajak(BHPB Bukan dan Pajak Hasil Bagi   

Dimana:

SB adalah Sumbangan Daerah atau Biaya yang diperoleh dari DAK (Dana Alokasi Khusus) di tambah DAU (Dana Alokasi Umum).

SB = DAK + DAU

TPD adalah total penerimaan daerah yang diperoleh dari penjumlahan PAD, BHPBP dan SB.

Dengan TPD = PAD + BPHPB + SB jika hasil perhitungan meningkat maka derajat desentralisasi fiskalnya (tingkat kemandirian) suatu daerah semakin menguat.

Dari hasil perhitungan dapat disimpulkan tingkat kemandirian daerah yaitu:

0 – 25 % = Rendah sekali (Instruktif)

25 – 50 % = Rendah (Konsultatif)

50 – 75 % = Sedang (Partisipatif)

75 – 100 % = Tinggi (Delegatif)

4.3.1.1Uji Analisis Indeks Desentralisasi Fiskal

Komponen dimana Indeks Desentralisasi dikatakan tinggi maka suatu daerah menunjukkan bahwa daerah tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat. Apabila dipadukan dengan derajat desentralisasi fiskal yang digunakan

untuk melihat kontribusi pendapatan asli daerah terhadap pendapatan daerah secara keseluruhan maka akan terlihat kinerja keuangan daerah secara utuh.

Tabel 4.4

Rasio PAD terhadap TPD, Rasio BHPBP terhadap TPD, Rasio SB terhadap TPD pada Satuan Wilayah Pembangunan IV di Jawa Timur

Tahun 2007 i ii iii No Kabupaten / Kota TPD PAD TPD BHPBD TPD SB Σ IDF Rasio Persentase 1. 2. 3. Kabupaten Jember Kab. Bondowoso Kab. Situbondo 8,33% 6,15% 6,1% 5,17% 5,4% 6,9% 86,5% 88,45% 87% 100% 100% 100% 33,3% 33,3% 33,3% jumlah Rata-rata DDF 6,86% 5,82% 87,32% 100% 33,3% Sumber: Lampiran

Berdasarkan perhitungan diatas dapat diketahui bahwa secara umum dari analisis Indeks Desentralisasi bisa dikatakan tinggi, semakin tinggi kontribusi Pendapatan Asli Daerah dan semakin tinggi kemampuan daerah untuk membiayai kemampuannya sendiri akan menunjukkan kinerja keuangan daerah yang positif dapat diartikan sebagai kemandirian

keuangan dalam membiayai kebutuhan daerah dan mendukung pelaksanaan otonomi daerah pada daerah tersebut.

Sehingga dilihat pada tahun 2007 persentase terendah terhadap Pendapatan Asli Daerah di satuan wilayah Pembangunan IV Jawa Timur adalah Kota Situbondo yaitu sebesar 6,1%. Sedangkan persentase tertinggi terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Jember sebesar 8,33% . Dari data diatas juga dapat dilihat bahwa sumbangan daerah terbesar diterima oleh kabupaten Bondowoso. Sedangkan nilai dengan total Analisis Indeks Desentralisasi yang tertinggi di tahun 2007 terdapat di Kabupaten Jember hal ini merupakan perkembangan paling tinggi. Akan tetapi dengan jumlah persentase tinggi di suatu kabupaten /kota masih belum bisa di katakan mandiri.

Tabel 4.5

Rasio PAD terhadap TPD ,Rasio BHPBP terhadap TPD,Rasio SB terhadap TPD pada Satuan Wilayah Pembangunan IV di Jawa Timur

Tahun 2008 i ii iii No Kabupaten / Kota TPD PAD TPD BHPBD TPD SB Σ IDF Rasio Persentase 1. 2. 3. Kabupaten Jember Kab. Bondowoso Kab. Situbondo 11.3% 6,33% 6,34% 5,15% 5,45% 5,84% 83.55 % 88.22% 87,22% 100% 100% 100% 33.3% 33.3% 33.3% jumlah Rata-rata DDF 7,99% 5,48% 86,33% 100% 33.3% Sumber: Lampiran 8 - 11

Sedangkan dilihat di tahun 2008 tidak banyak perubahan dimana persentase Pendapatan Ali Daerah terhadap Total Penerimaan Daerah yang tertinggi tetap pada kabupaten Jember sebesar 11,3%. Sedangkan persentase terendah terdapat pada Kabupaten Bondowoso 6,33%. Sumbangan Daerah terbesar tetap diperoleh oleh Kabupaten Bondowoso sebesar 88,22.

Uji Analisis Derajat Desentralisasi Fiskal

Komponen dimana derajat desentralisasi rendah bila kontribusi pos sumbangan dan bantuan terhadap total penerimaan daerah lebih besar atau

kontribusi pendapatan asli daerah dan bagi hasil pajak dan bukan pajak terhadap total penerimaan daerah yang berarti keuangan daerah masih tergantung pada pemerintah pusat.

Derajat desentralisasi fiscal tinggi jika kontribusi pendapatan asli daerah dan bagi hasil pajak dan bukan pajak terhadap total penerimaan daerah lebih besar dari kontribusi bantuan dan sumbangan terhadap total penerimaan daerah yang berarti keuangan daerah dikatakan mandiri.

Tabel 4.6

Hasil Perhitungan Kontribusi PAD dan Kontribusi BHPBP terhadap Kontribusi SB Untuk Mengetahui Derajat Desentralisasi Fiskal (Kemandirian

fiskal Tahun 2007)

No Kabupaten / Kota TPDPADBHPBPTPD 

TPD SB 1. 2. 3. Kabupaten Jember Kabupaten Bondowoso Kabupaten Situbondo 13,5% 11,55% 13% < < < 86,5% 88,45% 87% Jmlh Rata – rata DDF 12,68% < 87,32% Sumber: Lampiran 4 - 7

Berdasarkan pada perhitungan diatas dapat dilihat bahwa dari semua kabupaten yang ada di Satuan Wilayah Pembanguna (SWP) IV

pendapatan asli daerah dan bagi hasil pajaknya lebih kecil dari kontribusi sumbangan daerah. Sehingga dapat dilihat bahwa Kabupaten-Kabupaten yang ada di Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) IV bisa dikatakan tidak mandiri.

Tabel 4.7

Hasil Perhitungan Kontribusi PAD dan Kontribusi BHPBP terhadap Kontribusi SB Untuk Mengetahui Derajat Desentralisasi Fiskal (Kemandirian

fiskal Tahun 2008)

No Kabupaten / Kota TPDPADBHPBPTPD 

TPD SB 1. 2. 3. Kabupaten Jember Kabupaten Bondowoso Kabupaten Situbondo 16,45% 11,78% 12,18% < < < 83,55% 88,22% 87,22% Jmlh Rata – rata DDF 13,47% < 86,33% Sumber: Lampiran

Berdasarkan pada perhitungan diatas dapat kita lihat bahwa persentase kontribusi pendapatan asli daerah dengan bagi hasil pajak dan bukan pajak dari naik dibandingkan tahun lalu, tetapi kontribusi pendapatan asli daerah dengan bagi hasil pajak dan bukan pajak lebih kecil daipada kontribusi sumbangan daerah sehingga kabupaten-kabupaten di

Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) IV Jawa Timur masih belum mandiri.

4.3.1.2Uji Analisis terhadap Pola Hubungan Keuangan dan Tingkat

Kemandirian Daerah

Pada hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah harus dilakukan sesuai dengan kemampuan daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan. Derajat desentralisasi fiskal menunjukan berapa besar peranan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah tercemin dalam Sumbangan dan Bantuan (SB) yang terdiri dari Dana Alikasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU). Derajat desentralisasi fiskal merupakan rata-rata perbandingan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD), rata-rata perbandingan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) terhadap TPD. TPD dalam hal ini merupakan penjumlahan dari PAD, BHPBP, dan SB. Semakin Derajat desentralisasi fiskal, Khususnya yang di hitung dengan membandingkan PAD terhadap TPD dan BHPBP terhadap TPD, maka suatu daerah dapat di katakan semakin mampu melaksanakan otonomi daerah. Sebaliknya semakin rendah derajat desentralisasi fiskal, maka suatu daerah di katakan semakin kurang mampu melaksanakan otonomi daerah.

Tabel 4.8

Hasil Perhitungan untuk Mengetahui Tingkat Kemandirian Daerah

No Kabupaten / Kota IDF

Kemampuan Daerah Pola Hubungan 1. 2. 3. Kabupaten Jember Kabupaten Bondowoso Kabupaten Situbondo 14,97% 11,7% 12,6% Rendah sekali Rendah sekali Rendah sekali Instruktif Instruktif Instruktif Sumber: Lampiran 12

Dari hasil perhitungan dapat dilihat bahwa kemampuan persentase dari Kabupaten Jember paling tinggi yaitu sebesar 14,97%, tetapi dari daerah-daerah tersebut diatas kemampuan daerahnya rendah sekali sehingga pola hubungannya dinyatakan Intruktif. Jadi dari ketiga daerah di Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) IV Jawa Timur tersebut rata-rata pola hubungannya yaitu Instruktif dimana tingkat kemandiriannya sangat kurang atau bisa dikatakan belum mampu melaksanakan otonomi daerah. Sehingga pemerintah pusat masih terlibat dalam keuangan daerah itu sendiri.

4.4 Pembahasan

Pada penelitian ini terdapat beberapa alat analisis untuk memecahkan rumusan masalah. Alat analisis tersebut telah digunakan untuk mengelola

dana yang kemudian dianalisis pada pembahasan sebelumnya. Berdasarkan analisis data diketahui bahwa rata-rata Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) satuan wilayah pembangunan (SWP) IV dari tahun 2007 dan tahun 2008 dari kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD), terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) adalah pada tahun 2007 sebesar 6,86% dan tahun 2008 sebesar 7,99% dan terjadi kenaikan sebesar 1,13%. Rata-rata DDF kontribusi bagi hasil pajak dan bukan pajak (BHPBP) terhadap TPD pada tahun 2007 sebesar 5,82% dan tahun 2008 sebesar 5,48% dan terjadi penurunan sebesar 0,34%, dan rata-rata DDF kontribusi gabungan antara PAD dengan BHPBP terhadap TPD pada tahun 2007 sebesar 12,68% dan tahun 2008 sebesar 13,47%. Rata-rata DDF dari masing-masing kontribusi tersebut terhadap TPD masih tergolong rendah sekali persentasenya. Sebaliknya rata-rata DDF satuan wilayah pembangunan IV dari kontribusi sumbangan dan bantuan (SB) yang berupa dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) terhadap TPD tahun 2007 sebesar 87,32% dan tahun 2008 sebesar 86,33%. Dimana rata-rata IDF Kabupaten Jember 14,97% yang menunjukkan kemampuan sangat rendah (instruktif). Kabupaten Bondowoso sebesar 11,7% sangat rendah (instruktif), Kabupaten Situbondo 12,6% menunjukkan kemampuan sangat rendah (instruktif). Rendahnya tingkat kemampuan keuangan tersebut menunjukkan bahwa tergantungan Kabupaten/kota di SWP IV Jawa Timur terhadap sumbangan dan bantuan dari pemerintah pusat yang berasal dari dana alokasi umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) masih tinggi, yang berarti peran pemerintah pusat

lebih dominan daripada kemandirian pemerintah daerah. Kontribusi PAD sebagai barometer tingkat kemandirian dalam otonomi daerah masih belum dapat diandalkan.

Semakin besar rasio Sumbangan/Bantuan (SB) dari pemerintah pusat yang berupa dana alokasi umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap TPD menunjukkan ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat semakin tinggi, demikian pula sebaliknya. Modal derajat desentralisasi fiskal maupun tingkat kemandirian daerah menunjukkan bahwa PAD memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan kemampuan keuangan suatu daerah dalam melaksanakan otonomi.

Dengan dilihat bahwa tidak ada satu Kabupaten/Kota di SWP IV yang mandiri dan untuk meningkatkan derajat desentralisasi fiskal yaitu membangun program kemitraan antara industri besar, sedang dan kecil yang saling menguntungkan, kedua menyediakan sarana pusat pelayanan informasi bisnis yang mudah dijangkau dengan dilengkapi sarana hiburan, rumah makan dan lahan parkir yang memadai dan yang ketiga, Mengefektifkan lahan industri yang telah tersedia dengan mengundang investor baru.

Sedangkan nilai rata-rata Kabupaten/Kota tidak lebih dari 50% yang berarti kemampuan keuangan daerah rendah atau dapat disebut tidak mandiri. Dimana dalam pola hubungan ini pemerintah pusat memegang perairan yang dominan dalam bidang keuangan dibandingkan dengan Kabupaten/Kota di SWP

IV. Hal ini menyebabkan pemerintah Kabupaten/Kota di Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) SWP IV sangat tergantung terhadap bantuan keuangan dari pusat. Maka dapat dikatakan bahwa Kabupaten/Kota di SWP IV masih belum mampu melaksanakan ekonomi daerah. Ketergantungan yang tinggi terhadap pemerintah pusat di satu sisi dan rendahnya kontribusi PAD dalam penerimaan daerah di sisi lain membawa konsekuensi terhadap rendahnya kemampuan PAD dan membiayai pengeluaran daerah.

       

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Derajat desentralisasi fiskal (DDF) dari hasil perhitungan rasio pendapatan asli daerah (PAD) terhadap total penerimaan daerah (TPD) ditambah rasio bagi hasil pajak dan bukan pajak (BHPBP) terhadap TPD selama kurun waktu tahun 2007 sampai dengan 2008, sebesar 13,1% yang menunjukkan bahwa DDF SWP IV Jawa Timur rendah dan mempunyai pola hubungan keuangan diantara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang bersifat Instruktif.

2. Dengan menggunakan kontribusi perbandingan yaitu Pendapatan Asli Daerah dan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak terhadap Sumbangan Daerah di tahun 2007 sampai 2008 tidak ada satupun daerah yang mandiri.

3. Dengan menggunakan kontribusi perbandingan yaitu Pendapatan Asli Daerah dan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak terhadap Sumbangan Daerah pada Tahun 2008 tidak ada satupun daerah yang mandiri.

4. Dengan menggunakan hasil perhitungan rata-rata DDF untuk mengetahui pola hubungan yaitu :

Dengan pola hubungan instruktif dimana pola ini menunjukkan peranan pemerintah pusat lebih dominan daripada kemandirian pemerintah daerah (daerah yang tidak mampu melaksanakan otonomi daerah), yaitu daerah Kabupaten Jember, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo atau bisa dikatakan semua daerah di Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) IV belum mampu melaksanakan otonomi daerah.

5.2Saran

1. Sangatlah penting didalam melakukan suatu perencanaan keuangan daerah dimana pemerintah hendaknya juga memperhatikan suatu pula hubungan kemandirian daerah dimana suatu daerah mempunyai tingkat keuangan daerah yang tidak sama.

2. Dengan mengidifikasian suatu daerah yang lebih mandiri maka akan bisa mempengaruhi daerah lain untuk meningkatkan potensi yang mandiri yang akan memperjelas untuk meratakan kemandirian di Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) IV.

3. Untuk daerah yang mendapat penurunan hendaknya lebih meningkatkan Potensi Pendapatan Asli Daerah.

4. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia terutama aparatur daerah

5. Meningkatkan efiensi dan efektifitas dalam penggunaan anggaran yang dapat dilakukan dengan meminimalisasi pengeluaran yang tidak memberikan peningkatan produktifitas.

6. Untuk para peneliti selanjutnya diharapkan bisa membuat metode dengan analisis untuk disetiap daerahnya bukan hanya per Kabupaten tetapi per Kecamatan tiap satu Kabupaten.

7. Indeks desentralisasi fiscal ada kecenderungan diperkecil, hal ini dilakukan suatu daerah agar tetap memperoleh subsidi dari pemerintah pusat. Hal ini dapat dilihat dari pendapatan per kapita yang tinggi.

                 

ABSTRAKSI

Dengan Diberlakukannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah sebagai pengganti Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang pokok–pokok pemerintah di daerah dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa dan Undang-Undang-Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai Pengganti Undang- Undang No. 32 tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dan Daerah pada 1 januari 2001 maka Bangsa dan Negara Indonesia memulai babak baru penyelenggaraan pemerintahan, dimana otonomi daerah dilaksanakan di seluruh Dati II (kota dan kabupaten) yang jumlahnya mencapai 336.

Otonomi daerah yang dilasanakan sejak awal 2001 memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proposional yang diwujudkan dengan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Oleh karena itu tumpuan dan harapannya adalah dengan cara pemerintah daerah menggali dan mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Penelitian ini betujuan untuk mengetahui tingkat dan perbedaan kemandirian fiscal pada Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) IV (Kabupaten Jember, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo) pada tahun 2007 sampai 2008 dengan menganakan analisis derajat desentralisasi fiscal. Hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa derajat desentralisasi fiscal di Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) IV Jawa Timur masih sangat rendah yaitu dibawah 25% dan menpunyai pola hubungan keuangan dengan pemerintah pusat yang bersifat instruktif, hal ini dikarenakan persentase sumbangan daerah lebih besar daripada persentase pendapatan asli daerah dengan bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak, sehingga daerah –daerah tersebut dapat dikatan belum dapat melaksanakan otonomi daerah.

Kata kunci : Pendatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bagil Hasil Bukan Pajak (BHPBP), Sumbangan Daerah (SB)

Dokumen terkait