SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
Jurusan Ilmu Ekonomi
Diajukan Oleh:
STEVANI SHYEH
0711010033 /FE/ IE
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN”
JAWA TIMUR
SKRIPSI
Diajukan Oleh:
STEVANI SHYEH
0711010033 /FE/ IE
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN”
JAWA TIMUR
PEMBANGUNAN ( SWP ) IV
JAWA TIMUR
Disusun Oleh :
STEVANI SHYEH
0711010033 /FE/ IE
Telah Dipertahankan Dihadapan dan Diterima Oleh
Tim Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi
Univeritas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
Pada Tanggal 22 Oktober 2010
Pembimbing
: Tim
Penguji
:
Pembimbing Utama :
Ketua
Drs. Ec. Marseto, DS, MSi
Drs. Ec. Arief Bachtiar, MSi
Sekretaris
Drs. Ec. Marseto, DS, MSi
Anggota
Dra. Ec.Hj. Titik Nur. H
Mengetahui
Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Jawa Timur
Assalamu’ alaikum Wr. Wb.
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat
serta hidayahnya yang telah dilimpahkan sehingga penulis bisa menyelesaikan
skripsi ini. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu kewajiban mahasiswa
untuk memenuhi tugas dan syarat akhir akademis di Perguruan Tinggi Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Fakultas Ekonomi khususnya
Jurusan Ekonomi Pembangunan. Dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil
judul “ ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL SATUAN WILAYAH
PEMBANGUNAN ( SWP ) IV JAWA TIMUR ”.
Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa didalam penyusunan skripsi ini
masih banyak kekurangannya. Hal ini disebabkan karena masih terbatasnya
kemampuan dan pengetahuan yang ada.Walaupun demikian berkat bantuan dan
bimbingan yang diterima dari Drs. Ec. Marseto, DS, MSi Selaku Dosen
Pembimbing Utama yang dengan penuh kesabaran telah mengarahkan dari awal
untuk memberikan bimbingan kepada peneliti, sehingga skripsi ini dapat tersusun
dan terselesaikan dengan baik.
Atas terselesainya skripsi ini, penulis menyampaikan rasa hormat dan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1.
Prof. Dr. Ir. Teguh Soedarto, MP selaku Rektor Universitas
Pembangunan Nasional “ Veteran” Jawa Timur.
2.
Bapak Dr. Dhani Ichsanuddin Nur, MM, selaku Dekan Fakultas
Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran” Jawa Timur.
3.
Bapak Drs. Ec. Marseto, DS, Msi, selaku Ketua Jurusan Ilmu
5.
Segenap staf pengajar dan staf kantor Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Jawa Timur. Yang telah dengan iklas memberikan
ilmu dan pelayanan akademik bagi penulis dan semua mahasiswa
UPN.
6.
Keluarga tercinta yang telah sabar mendidik dan membesarkan dengan
penuh kasih sayang baik moral, material, maupun spiritual. Dan semua
keluarga besar serta teman-teman semuanya Semoga mendapatkan
pahala yang besar dari Allah SWT.
7.
Bapak-bapak dan ibu-ibu staf instansi, dan Badan Pusat Statistik
cabang Surabaya, yang telah memberikan banyak informasi dan
data-data yang dibutuhkan untuk mengadakan penelitian dalam penyusunan
skripsi ini.
8.
Seluruh mahasiswa dari Jurusan Ilmu Ekonomi Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, serta semua pihak
yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu yang selalu memotivasi,
membantu, dan mendukung peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhir kata yang dapat terucapkan semoga penyusunan skripsi ini
dapat berguna bagi pembaca dan pihak-pihak lain yang membutuhkan,
semoga Allah SWT memberikan balasan setimpal.
Wassallamualaikum Wr.Wb
Surabaya, Agustus 2010
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
ABSTRAKSI ... x
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang...1
1.2. Perumusan Masalah...6
1.3. Tujuan Penelitian...…...6
1.4. Manfaat Penelitian...7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hasil Penelitian Terdahulu...8
2.2. Landasan Teori...10
2.2.1. Desentralisasi fiskal...….8
2.2.1.1. Sejarah desentralisasi fiskal di Indonesia...14
2.1.1.2. Indikator Desentralisasi fiskal...18
2.1.1.3. Keuntungan dan kerugian ...21
2.2.2. Pendapatan Asli daerah (PAD)...24
2.2.4. Sumbangan Daerah...37
2.2.4.1. Dana Alokasi Umum...39
2.2.4.2. Dana Alokasi Khusus...40
2.2.5. Hubungan Keuangan dan Tingkat Kemandirian Daerah.42
2.2.6. Perwilayahan...45
2.3 Kerangka Pikir...47
2.4. Hipotesis...48
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Definisi Operasional Dan Pengukuran Variabel...50
3.2. Jenis dan Sumber data...51
3.2.1.
Jenis
Data...51
3.2.2.
Sumber
Data...51
3.3. Teknik Pengumpulan Data...51
3.4. Teknik Analisis...52
Provinsi
Jawa
Timur...54
4.1.1.1 Kondisi Umum Kabupaten Jember...54
4.1.1.1.1. Letak Geografis...54
4.1.1.1.2. Penduduk...56
4.1.1.2. Kondisi Umum Kabupaten Bondowoso...56
4.1.1.2.1. Letak Geografis...56
4.1.1.2.2. Penduduk...57
4.1.1.3. Kondisi Umum Kabupaten Situbondo...54
4.1.1.3.1. Letak Geografis...58
4.1.1.3.2. Penduduk...59
4.2. Deskripsi Hasil Penelitian...60
4.2.1. Perkembangan penerimaan pemerintah kabupaten
jember...60
4.2.2. Perkembangan penerimaan pemerintah kabupaten
Bondowoso...61
4.2.3. Perkembangan penerimaan pemerintah kabupaten
Situbondo...62
Dan Tingkat Kemandirian Daerah..…...70
4.4. Pembahasan...71
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan...75
5.2.
Saran...76
Tabel 2.1 : Perjalanan Desentralisasi Di Indonesia...16
Tabel 2.2 : Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal...20
Tabel 2.3 : Pola Hubungan Keuangan Dan Tingkat Kemandirian Daerah...44
Tabel 4.1 : Penerimaan Daerah Kabupaten Jember Tahun 2007-2008…...60
Tabel 4.2 : Penerimaan Daerah Kabupaten Bondowoso Tahun 2007-200...61
Tabel 4.3 : Penerimaan Daerah Kabupaten Situbondo Tahun 2007-2008...62
Tabel 4.4 : Rasio PAD Terhadap TPD, Rasio BHPBP Terhadap TPD
Rasio SB Terhadap TPD SWP iv JATIM Tahun 2007………...65
Tabel 4.5 : Rasio PAD Terhadap TPD, Rasio BHPBP Terhadap TPD
Rasio SB Terhadap TPD SWP iv JATImM 2008…………....…..66
Tabel 4.6 : Hasil Perhitungan Kontribusi PAD Dan Kontribusi BHPBP
Terhadap Kontribusi SB Untuk Mengetahui Desentralisasi
Fiskal (Kemandirian Fiskal Th 2007) ………...68
Tabel 4.7 : Hasil Perhitungan Kontribusi PAD Dan Kontribusi BHPBP
Terhadap Kontribusi SB Untuk Mengetahui Desentralisasi
Fiskal (Kemandirian Fiskal Th 2008)..………...69
Lampiran
1.
Tabel Rencana dan Realisasi Penerimaan Kabupaten Jember 2007
2.
Tabel Rencana dan Realisasi Penerimaan Kabupaten Bondowoso
2007
3.
Tabel Rencana dan Realisasi Penerimaan Kabupaten Situbondo
2007
4.
Tabel Rencana dan Realisasi Penerimaan Kabupaten Jember 2008
5.
Tabel Rencana dan Realisasi Penerimaan Kabupaten Bondowoso
2008
6.
Tabel Rencana dan Realisasi Penerimaan Kabupaten Situbondo
2008
Oleh :
Stevani Shyeh
ABSTRAKSI
Dengan Diberlakukannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah sebagai pengganti Undang-Undang No. 5
tahun 1974 tentang pokok–pokok pemerintah di daerah dan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa dan Undang-Undang-Undang-Undang
No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah sebagai Pengganti Undang- Undang No. 32 tahun 1956
tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dan Daerah pada 1 januari
2001 maka Bangsa dan Negara Indonesia memulai babak baru
penyelenggaraan pemerintahan, dimana otonomi daerah dilaksanakan di
seluruh Dati II (kota dan kabupaten) yang jumlahnya mencapai 336.
Otonomi daerah yang dilasanakan sejak awal 2001 memberikan
kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara
proposional yang diwujudkan dengan pembagian dan pemanfaatan sumber
daya nasional serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Oleh
karena itu tumpuan dan harapannya adalah dengan cara pemerintah daerah
menggali dan mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Penelitian ini betujuan untuk mengetahui tingkat dan perbedaan
kemandirian fiscal pada Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) IV
(Kabupaten Jember, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo) pada
tahun 2007 sampai 2008 dengan menganakan analisis derajat
desentralisasi fiscal. Hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa
derajat desentralisasi fiscal di Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) IV
Jawa Timur masih sangat rendah yaitu dibawah 25% dan menpunyai pola
hubungan keuangan dengan pemerintah pusat yang bersifat instruktif, hal
ini dikarenakan persentase sumbangan daerah lebih besar daripada
persentase pendapatan asli daerah dengan bagi hasil pajak dan bagi hasil
bukan pajak, sehingga daerah –daerah tersebut dapat dikatan belum dapat
melaksanakan otonomi daerah.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bangsa dan Negara Indonesia memulai babak baru
penyelenggaraan pemerintahan, dimana otonomi daerah dilaksanakan di
seluruh Dati II (kota dan kabupaten) yang jumlahnya mencapai 336.
Otonomi daerah yang dilasanakan sejak awal 2001 memberikan
kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah
secara proposional yang diwujudkan dengan pembagian dan
pemanfaatan sumber daya nasional serta perimbangan keuangan antara
pusat dan daerah. Oleh karena itu tumpuan dan harapannya adalah
dengan cara pemerintah daerah menggali dan mengoptimalkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan demikian Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai wakil rakyat menjawab
tuntutan tersebut dengan menghasilkan beberapa ketetapan yang harus
dilaksanakan dilaksanakan oleh pemerintah. Salah satu ketetapan yang
dimaksud adalah ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tentang
perimbangan keuangan pusat dan daerah. Berdasarkan ketetapan MPR
tersebut, pemerintah telah mengeluarkan satu paket kebijakan tentang
1. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah sebagai pengganti Undang-Undang No. 5 tahun 1974
tentang pokok–pokok pemerintah di daerah dan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa.
2. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai
Pengganti Undang-Undang No. 32 tahun 1956 tentang
Perimbangan Keuangan antara Negara dan Daerah.
Kedua Undang-Undang tersebut dijadikan acuan dalam
pelaksanaan Otonomi Daerah (Otoda). Kebijakan otonomi daerah ini
bertujuan untuk memberikan wewenang yang lebih luas kepada
pemerintah daerah untuk mengatur pembangunan daerahnya sendiri.
Pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah tersebut harus diimbangi dengan pelimpahan keuangan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pada dasarnya beberapa
daerah mempunyai potensi untuk dapat mengembangkan kesejahteraan
masyarakatnya dengan cara memberdayakan masyarakat atau dengan
cara mengembangkan potensi yang ada di daerah nya seperti potensi
keragaman budaya, objek wisata ataupun industri rumah tangga (home
industry) yang beragam, saat ini sepertinya mereka berjalan sendiri
tanpa adanya dukungan dari pemerintah pusat maupun pemerintah
Hampir seluruh kewenangan pemerintah pusat diserahkan pada
daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi merupakan langkah strategis
bangsa Indonesia untuk menyongsong era globalisasi ekonomi dengan
memperkuat basis perekonomian daerah. Menurut United Nation
Development Program (UNDP) bentuk-bentuk desentralisasi dalam era
otonomi daerah adalah sebagai berikut; desentralisasi administratif,
desentralisasi fiskal, desentralisasi politik, dan desentralisasi pelayanan.
(JurnalSkripsi.com, 2005)
Salah satu desentralisasi yang paling banyak disoroti dan paling
banyak berpengaruh terhadap perkembangan pembangunan daerah
adalah desentralisasi fiskal yang merupakan bagian terpenting dalamm
implementasi otonomi daerah. Kebijakan fiskal pada dasarnya
merupakan alat atau instrument pemerintah yang berperan penting
dalam sistem perekonomian, yang berguna untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi, memperluas basis kegiatan ekonomi dalam
berbagai sektor, dan secara khusus memperluar lapangan pekerjaan
untuk menurun angka pengangguran. Dengan kebijakan fiskal,
pemerintah dapat memanfaatkan sumber daya ekonomi untuk
menyelesaikan berbagai permasalahan ekonomi yang dikehendakinya.
Kebijakan fiskal juga sekaligus sebagai kesempatan emas untuk
memberikan sinyal, baik bagi pelaku ekonomi, dunia usaha, investor,
maupun yang lainnya. (JurnalSkripsi.com, 2005)
mendorong pertumbuhan ekonomi telah menarik perhatian dari banyak
ahli, antara lain dikemukakan oleh Tiebout, Oates, Tresch, Breton,
Weingast, dan sebagaimana dikutip oleh Litvack et al dalam Sidik
(2002) yang mengatakan bahwa pelayanan publik yang paling efisien
seharusnya diselenggarakan oleh wilayah yang memiliki kontrol
geografis yang paling minimum karena :
1. Pemerintah lokal sangat menghayati kebutuhan masyarakatnya;
2. Keputusan pemerintah lokal sangat responsif terhadap
kebutuhan masyarakat, sehingga mendorong pemerintah lokal
untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal
dari masyarakat;
3. Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal untuk
meningkatkan inovasinya.
Dalam hal ini, kewenangan keuangan yang melekat pada setiap
kewenangan pemerintah menjadi kewenangan daerah. Dalam menjamin
terselenggaranya otonomi daerah semakin mantap, maka diperlukan
usaha-usaha untuk meningkatkan kemampuan keuangan sendiri yakni
dengan upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan
pengalian sumber pendapatan asli daerah yang baru sesuai dengan
ketentuan yang ada serta memperhatikan kondisi dan potensi ekonomi
masyarakat. Dalam melaksanakan upaya peningkatan Pendapatan Asli
Asli Daerah Satuan Wilayah Pembangunan (SWP IV) yaitu Kabupaten
Jember, Kabupaten Bondowoso, dan Kabupaten Situbondo.
Pembangunan nasional harus dilakukan melihat berbagai potensi
yang ada dan harus dimanfaatkan seefisien mungkin. Mengingat
keterbatasan tenaga yang professional maupun dana yang tersedia maka
pembangunan nasional dilaksanakan secara bertahap melalui perencanaan
jangka pendek, menengah dan panjang. Pembangunan itu sendiri tentunya
memerlukan biaya yang sangat besar. Kondisi yang demikian itu akan
mendorong para pelaku pembangunan untuk lebih berorientasi kepada
kemampuan sendiri. Dengan mengacu pada pasal 18 Undang-Undang
Dasar 1945 tentang asas desentralisasi maka dalam rangka melaksanakan
pembangunan yang merata, berdaya guna dan berhasil guna maka
dibentuklah daerah otonomi. (Kuncoro, 2004)
Di harapkan terjadi perubahan paragdigma dari sentralisasi
menjadi desentralisasi. Dari budaya petunjuk menjadi penekanan
prinsip demokrasi, prakasa, dan aspirasi masyarakat daerah. UU No. 22
dan 25 tahun 1999, beserta serangkaian Praturan Pemerintah, mencoba
memberikan alternatif format otonomi daerah yang baru. Ini terlihat dari
adanya kesadaran bahwa ”pembangunan di daerah” tidak identik dengan
”pembangunan daerah” . Perubahan struktural yang layak di catat berkat
UU ini adalah pelaksanaan otoda secara utuh dan luas di kabupaten dan
kota, sedang provinsi hanya memiliki otonomi daerah terbatas.
Sebelum dikeluarkannya undang-undang otonomi daerah tahun
1999, sumber keuangan daerah baik propinsi, kabupaten, maupun
kotamadya menurut UU nomor 5 tahun 1974 adalah sebagai berikut:
1. Penerimaan Asli Daerah (PAD)
2. Bagi hasil pajak dan non pajak
3. Bantuan pusat (APBN) untuk daerah tingkat I dan tingkat II
4. Pinjaman daerah
5. Sisa lebih anggaran tahun lalu
6. Lain-lain penerimaan daerah yang sah
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan atas uraian latar belakang dalam bagian sebelumnya,
maka dalam penelitian ini dirumuskan beberapa permasalahan yang
akan dibahas diantaranya :
1. Bagaimana tingkat kemandirian fiskal pada Satuan Wilayah
Pembangunan (SWP) IV (Kabupaten Jember, Kabupaten
Bondowoso, Kabupaten Situbondo)?
2. Apakah ada perbedaan kemandirian fiscal antar daerah pada
Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) IV (Kabupaten Jember,
Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo)?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan permasalahan sebagaimana dalam bagian
sebelum, maka penelitian ini bertujuan untuk :
Pembangunan (SWP) IV (Kabupaten Jember, Kabupaten
Bondowoso, Kabupaten Situbondo).
2. Untuk mengetahui perbedaan kemandirian fiscal antar daerah pada
Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) IV (Kabupaten Jember,
Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo).
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:
1. Dapat memberi informasi dan sebagai sambungan pemikiran terhadap
pembuat kebijakan dalam hal ini pemerintah Kabupaten Jember,
Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo dalam menetapkan
kebijakan dalam ketenagakerjaan industri dalam meningkatkan
keterampilan teanga kerja bagi porsi yang tepat dalam memilih
alternatif.
2. Sebagai bahan untuk penelitian selanjutnya bagi penulis atau peneliti
yang mengambil topik pendapatan asli daerah yang terkait dengan IDF
(Indeks Desentralisasi Fiskal ).
3. Sebagai bahan untuk menambah wawasan dan perbendaharaan literatur
perpustakaan UPN “Veteran” Jawa Timur Khususnya perpustakaan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian-Penelitian Terdahulu
Bagian ini berisikan tentang hasil penelitian mengenai
pendapatan asli daerah yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti:
1. Yopy Sumendap ( 2001 : 55 ) dengan judul penelitian ” Analisis
beberapa faktor yang mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah
Kabupaten Bondowoso ” dengan menggunakan analasis regresi linier
berganda diperoleh kesimpula : Bahwa adanya suatu hubungan
simultan atau pengaruh yang nyata antara variabel jumlah penduduk
(X1), pajak (X2), dan retribusi (X3) terhadap Penerimaan Asli Daerah
Bondowoso (Y) dengan Fhitung = 146,106 > Ftabel = 3,71 pada tingkat
signifikan ( α ) = 5% dengan df = (3,10). Melalui uji secara simultan
tersebut diperoleh nilai koefisien determinasi ( R²) sebesar 0, 978 yang
menunjukan kemampuan variabel bebas dalam menjelaskan variabel
terikat sebesar 97,8% sedangkan sisanya 2,2% di jelaskan oleh
variabel lain.
2. Ratna Yulianti ( 2002 : ix ) dengan judul penelitian ” Beberapa faktor
yang mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten
Sidoarjo dalam rangka Otonomi Daerah ” dengan menggunakan
simultan faktor / variabel Produk Domestik Regional Bruto (X1),
pengeluaran pemerintah (X2) dan inflasi (X3) berpengaruh signifikan
terhadap Pendapatan Asli Daerah (Y), hal ini di tunjukan dengan
pengujian Fhitung = 346,159 lebih besar dari Ftabel = 3,587. Setelah diuji
secara parsial dengan uji t ternyata variabel pengeluaran pemerintah
yang berpengaruh signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah.
Sedangkan variabel Produk Domestik Regional Bruto dan Inflasi
berpengaruh tidak signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah.
3. Enggak ( 2010 : 92 ) dengan judul penelitian ” Analisis Index
Desentralisasi Fiskal di Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) 1
Propinsi Jawa Timur ” kesimpulannya adalah Derajat desentralisasi
fiskal (DDF) dari hasil perhitungan rasio pendapatan asli daerah
(PAD) terhadap total penerimaan daerah (TPD) ditambah rasio bagi
hasil pajak dan bukan pajak (BHPBP) terhadap TPD selama kurun
waktu tahun 2007 sampai dengan 2008, sebesar 22.37% yang
menunjukkan bahwa DDF SWP I Jawa Timur rendah dan mempunyai
pola hubungan keuangan diantara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah yang bersifat Intruktif.
Dengan melihat uraian di atas dapat dilihat bahwa Perbedaan
antara Penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah dimana
penelitian ini lebih spesifik untuk meneliti tentang kemandirian fiscal
di Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) IV dengan menggunakan
dilihat seberapa mandiri daerah-daerah di Satuan Wilayah
Pembangunan (SWP) IV dan juga perbandingan kemandirian antara
daerah-daerah di Satuan Wilayah Pembanguna (SWP) IV.
2.2 Landasan teori
2.2.1 Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi yang mengandung arti penyerahan wewenang
pemerintah oleh Pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut UU No.5 tahun 1974, desentralisasi adalah suatu
perpindahan jasa administrasi dari pemerintah pusat atau dari suatu
pemerintah daerah yang lebih tinggi kepada pemerintah daerah yang
lebih rendah untuk menjadi jasa regional.
Desentralisasi adalah diserahkannya sebagian atau seluruh
wewenang pemerintahan dari pusat ke daerah-daerah. Sehingga daerah
yang menerima wewenang bersifat otonom, yakni dapat menentukan
caranya sendiri berdasarkan prakarsa sendiri secara bebas. (Saragih,
2003 : 40 ).
Desentralisasi berarti memberikan sebagaian dari wewenang
pemerintah pusat kepada daerah untuk melaksanakan dan
menyelesaikan urusan yang menjadi tanggung jawab dan menyangkut
kepentingan daerah yang bersangkutan (otonomi). Urusan yang
menyangkut kepentingan dan tanggung jawab suatu daerah, misalnya :
b. Penyelesaian faslitas pelayanan, dan
c. Urusan sosial budaya, agama dan kemasyarakatan (Elmi,
2002).
Jadi, desentralisasi merupakan sebuah bentuk pemindahan
tanggung jawab, wewenang, dan sumber-sumber daya (dana, personil,
dan lain-lain) dari pemerintah pusat ke level pemerintah daerah.
Dasar dari inisiatif seperti ini adalah desentralisasi dapat
memindahkan proses pengambilan keputusan ketingkat pemerintah
yang lebih dekat dengan masyarakat.
Desentralisasi fiskal dapat diartikan sebagai pelimpahan
kewenangan di bidang penerimaan anggaran atau keuangan yang
sebelumnya tersentralisasi, baik secara administrasi maupun yang
pemanfaatannya dilakukan oleh pemerintah pusat.
Dengan terjadinya pelimpahan sebagaian kewenangan terhadap
sumber-sumber penerimaan Negara kepada pemerintahan di daerah, di
harapkan daerah-daerah akan dapat melaksanakan tugas-tugas rutin,
pelayanan public, dan meningkatkan investasi yang produktif (capital
investment) di daerahnya.
Oleh karena itu, salah satu makna desentralisasi fiskal dalam
bentuk pemberian otonomi di bidang keuangan (sebagian sumber
penerimaan) kepada daerah-daerah merupakan suatu proses
pengintesifikasian peranan dan sekaligus pemberdayaan daerah dalam
tanggung jawab terhadap (revenue) dan atau pembelanjaan
(expenditure) ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Faktor yang
sangat penting menentukan desentralisasi fiskal adalah sejauh mana
pemerintah daerah diberi wewenang (otonomi) untuk menentukan
alokasi atas pengeluaran sendiri.
Desentralisasi fiscal terutama di maksudkan untuk memindahkan
atau menyerahkan sumber-sumber pendapatan dan factor-faktor
pengeluaran ke daerah dengan mengurangi birokrasi pemerintahan.
Dengan membawa pemerintah lebih dekat ke masyarakat, desentralisasi
fiscal diharapkan dapat mendorong efesiensi sector public, juga
akuntabilitas public, dan transportasi dalam penyediaan jasa public serta
pembuatan keputusan yang transparan dan demokratis (Demelo, 2000)
Pelaksanaan desentralisasi fiscal akan berjalan dengan baik
dengan berpedoman pada hal-hal sebagai berikut :
a. Adanya pemerintah pusat yang kapabel dalam melakukan
pengawasan dan low enforcement.
b. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan
kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi
daerah.
Desentralisasi fiskal harus diikuti oleh kemampuan pemerintah
Tujuan peningkatan desentralisasi adalah untuk mengembangkan
perencanaan dan pelaksanaan pelayanan public dengan menggabungkan
kebutuhan dan kondisi local yang sekaligus untuk mencapai obyektifitas
pembangunan sosial, ekonomi pada tingkat daerah dan nasional,
peningkatan perencanaan, pelaksanaan dan anggaran pembangunan
sosial dan ekonomi diharapkan dapat digunakan dengan lebih efektif
dan efesien. Untuk memenuhi kebutuhan local.
Asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
menurut UU No.22 tahun 1999 mencakup paling tidak empat hal.
Pertama memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk
menyelenggarakan otonomi daerah. Keleluasaan otonomi artinya
mencakup kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan
pemerintahan termasuk penyusunan perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Kedua, otonomi yang nyata,
artinya daerah punya keleluasaan untuk menyelenggarakan kewenangan
pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada, dibutuhkan
tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Ketiga, otonomi yang
bertanggung jawab, berarti sebagai konsekuensi logis dari pemberian
hak dan kewenangan kepada daerah dalam pemberian pelayanan kepada
public dan peningkatan kesejahteraan bagi rakyat daerahnya, Keempat,
otonomi untuk daerah provinsi diberikan secara terbatas, yaitu (a)
kewenangan lintas kabupaten/kota; (b) kewenangan yang belum
No.25 tahun 2000. sedangkan asas dekonsentrasi diberikan pada daerah
provinsi sebagai wilayan administrasi, untuk melaksanakan kewenangan
tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah.
Asas tugas pembantuan adalah pemberian kewenangan oleh pemerintah
kepada daerah dan desa.
Desentralisasi saat ini telah menjadi perhatian pokok dan
merupakan fenomena bagi Negara-negara di dunia, baik di Negara
berkembang maupun di Negara-negara maju. Desentralisasi seakan
menjadi suatu resep atas kebijakan-kebijakan yang dapat mengatasi
berbagai persoalan yang dihadapi suatu Negara. Negara-negara di eropa
timur dan tengah saat ini banyak mengalami proses transisi dalam
membenahi sistem keuangan. Pemerintah daerah dan perimbangan
keuangan pusat dan daera (Bird, ebel, dan wallich, 1995)
Perhatian kepada desentralisasi fiscal sudah demikian
mengglobal saat ini banyak Negara yang merubah tata pemerintahannya
dari sentralistik menuju desentralistik, di antaranya adalah Meldova
(IMF, 1999), Uganda (Livingstone dan chalton, 2001) Indonesia
(Boedjonegoro dan Asanuma, 2000). Filipina (Eatan, 2001), da Afrika
Selatan (Ahmad, 1998) dalam (Khusaini, 2006)
2.2.1.1 Sejarah Desentralisasi fiskal di Indonesia
Sejarah perkembangan sistem tata pemerintah di Indonesia telah
saat itu. Sejak pemerintahan Republik Indonesia berdiri terdapat
beberapa Undang-undang tentang pemerintahan daerah yang telah
ditetapkan silih berganti untuk mencari bentuk dan sistem pemerintahan
yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi pada saat itu,
sampai tahun 1959 berlaku de facto federalism, yaitu lemahnya
kekuasaan pusat atas daerah seiring dengan turunnya efektivitas
kekuasaan pusat dan merebaknya gerakan separatisme di Indonesia.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menandai sentralisasi sepenuhnya berada di
Tabel 2.1
Perjalanan Desentralisasi di Indonesia
Periode
Konfigurasi
Politik UU Desentralisasi
Hakikat Desentralisasi Perjuangan Kemerdekaan (1945-1949) Demokrasi
UU No. 1 Tahun 1945
UU No. 22 tahun 1948
Otonomi luas
Pasca
Kemerdekaan (1950-1959)
Demokrasi UU No. 1 tahun 1957 Otonomi Luas
Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Otorotarian
Perpres No.6 tahun 1959
UU No. 18 tahun 1965
Otonomi terbatas
Orde Baru
(1965-1998) Otorotarian UU No. 5 tahun 1974 Sentralisasi
Pasca Orde Baru(1998-sekarang)
Demokrasi
UU No. 22 Tahun 1999
UU No. 25 tahun 1999
UU No. 32 Tahun 2004
UU No. 33 tahun 2004
Otonomi Luas
Sesuai UU No.32 tahun 2004, daerah diberikan kewenangan
untuk menyelenggarakan seluruh fungsi pemerintahan, kecuali
kewenangan pemerintahan dalam bidang pertahanan keamanan, politik
luar negeri, yustisi, moneter, dan fiscal nasional serta agama.Dengan
pembagian kewenangan/ fungsi tersebut pelaksanaan pemerintahan di
daerah di laksanakan berdasarkan asas desentralisasi, asas dekonsentasi,
dan tugas pembantuan. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam UU
tersebut antara lain sebagai berikut :
a. Dijelaskan daftar tugas, baik untuk provinsi maupun kabupaten/
kota.
b. Memuat daftar urusan wajib untuk provinsi dan kabupaten/ kota.
c. Departemen dalam Negeri menentukan daerah penghasil sumber
daya alam antara provinsi dan kabupaten/ kota.
d. Memuat pembagian hasil sumber daya alam antara provinsi dan
kabupaten/kota.
e. Daerah tidak dapat secara langsung mengajukan pinjaman hutang
luar negeri tetapi daerah dapat melakukan pinjaman dari
pemerintah daerah lain.
f. Mengatur tentang pemilihan langsung kepala daerah/ wakil kepala
daerah.
Pengembangan kelembagaan yang mengarah pada tata pemerintahan
kebijakan-kebijakan lain yang lebih baik akan memerlukan waktu yang lama,
tahunan bahkan dekade. (ginting dan candra, 2000)
2.2.1.2 Indikator Desentralisasi Fiskal
Dalam membahas mengenai indikator desentralisasi fiskal,
terdapat tiga variabel yang merupakan reprerensi desentralisasi fiskal di
Indonesia, ketiga variable tersebut adalah sebagai berikut :
a) Desentralisasi Pengeluaran
Variabel didefiniskan sebagai rasio pengeluaran total.
Masing-masing kabupaten/ kota (APBD) terdapat total pengeluaran pemerintah
(APBN) (Kerk dan Waller, 1997, zhang dan zou, 1998). Hal ini
menunjukkan ukuran relatif pengeluaran pemerintah antara pemerintah
daerah dengan pemerintah pusat. Hasil study yang dilakukan Zhang dan
Zou (1998), menunjukkan bahwa variable ini mempunyai pengaruh
negative terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil ini
mengimplementasikan bahwa desentralisasi fiscal gagal mendorong
pertumbuhan ekonomi di China, hal ini mungkin merefleksikan bahwa
pemerintah memiliki keterbatasan sumber daya untuk melakukan
investasi di sector infrastruktur. Sementara studi yang dilakukan oleh
Phillips dan Woller (1997) juga menunjukkan efek negative
desentralisasi fiscal terhadap pertumbuhan ekonomi pada Negara-negara
maju. Dan mereka gagal menjelaskan efek desentralisasi fiscal terhadap
pertumbuhan ekonomi di Negara-negara berkembang.
Variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total pengeluaran
pembangunan masing-masing kabupaten atau kota (APBD) terhadap
total pengeluaran pembangunan Nasional (APBN) (Zhang dan Zou,
1998). Variabel ini menunjukkan besaran relative pengeluaran
pemerintah dalam pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah. Di
samping itu, variable ini juga mengekspresikan besarnya alokasi
pengeluaran pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah. Dari
rasio ini juga dapat diketahui apakah pemerintah daerah dalam posisi
yang baik untuk melaksanakan investasi sector public atau tidak. Jika
terdapat hubungan positif antara variable ini terhadap pertumbuhan
ekonomi, maka pemerintah local dalam posisi yang baik untuk
melakukan investasi di sektor public.
c) Desentralisasi Penerimaan
Variabel ini didefenisikan sebagai rasio antara total penerimaan
masing-masing kabupaten/kota (APBD) tidak termasuk subsidi terhadap
total penerimaan pemerintah (Phillips dan Woller, 1997). Variable ini
mengekspresikan besaran relative antara pendapatan pemerintah daerah
Tabel 2.2
Skala Interval Derajat Desentralisasi fiskal
PAD/TPD (%) Kemampuan Keuangan Daerah
0,00 – 10,00 Sangat Kurang
10.01 - 20.00 Kurang
20,01 - 30-00 Sedang
30,01 – 40,00 Cukup
40,01 – 50,00 Baik
50,00 Sangat Baik
Sumber : Fisipol UGM ,1991
Untuk mengetahui apakah suatu daerah otonom itu mampu
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, (Syamsi, 2002)
menegaskan beberapa ukuran :
1. Kemampuan struktural organisasinya
Struktur organisasi Pemerintah Daerah harus mampu menampung
segala aktifitasnya dan tugas-tugas yang menjadi beban dan
tanggung jawabnya.jumlah unit-unit beserta macamnya cukup
mencerminkan kebutuhan ,pembagian tugas ,wewenang dan
tanggung jawab yang cukup jelas.
2. Kemampuan aparatur pemerintah daerah
Aparat Pemerintah daerah harus mampu menjalankan tugasnya
Keahlian, moral disiplin dan kejujuran saling menunjang
tercapainya tujuan yang di idam-idamkan daerah.
3. Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat.
Pemerintah Daerah harus mampu mendorong agar masyarakat mau
berperan serta dalam kegiatan pembangunan .
4. Kemampuan keuangan daerah
Pemerintah Daerah Harus mampu membiayai semua kegiatan
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sebagai
pelaksanaan pengaturan dan pengurusan rumah tangganya sendiri.
Sumber-sumber dananya apasaja ,apakah PAD atau sebagian dari
subsidi Pemerintah pusat.
2.2.1.3Keuntungan dan Kerugian Desentralisasi
a) Keuntungan Desentralisasi
Keuntungan dari desentralisasi fiskal adalah bahwa
pemerintah daerah akan lebih tanggap terhadap kebutuhan
masyarakatnnya sendiri. Proses politik dalam masyarakat yang lebih
sempit akan lebih cepat dan efisien daripada dalam masyarakat yang lebih
luas. Dengan pemerintah yang lebih dekat dengan masyarakat akan lebih
sedikit kekurangan atau kesalahan yang akan dibuat dalam mekanisme
pengambilan keputusan. Selanjutnya dengan desentralisasi fiskal akan
lebih banyak eksperimen dan inovasi dalam bidang administrasi dan
ekoomi yang dapat dilakukan. Karena banyak pemerintah daerah yang
ekonomi yang berbeda-beda yang diterapkan pada daerah yang berbeda.
Suatu kenerhasilan atau kegagalan merupakan suatu inovasi yang
nantinya dapat ditiru oleh daerah-daerah lain yang juga ingin
mendapatkan keberhasilan tentunya dengan mengingat kondisi daerah
masing-masing. Jadidalam suatu negara segala sesuatu tidak harus
seragam secara nasional, melainkan justru dapat beraneka ragam atau
bervariasi.
Dari sisi politik, desentralisasi dapat meningkatkan
demokrasi melalui partisipasi masyarakat secara langsung, mendidik
masyarakat tentang proses pengambilan keputusan dan meningkatkan
persatuan dalam Negara yang multicultural.
(http://pojokinfo.wordpress.com, 2006)
b) Kerugian Desentralisasi
Dalam hal-hal tertentu pemerintah daerah akan kurang efektif dan
efisien dalam mengatasi permasalahan yang ada. Sebagai contoh bila
pemerintah daerah diminta untuk menyediakan barang publik nasional
seperti pertahanan dan keamanan nasional, masalah pemerataan
penghasilan dan pemecahan masalah ekonomi makro, tentu hasilnya
tidak akan memuaskan.
1. Dalam hal pertahanan dan keamanan apabila hal ini diserahkan
kepada pemerintah daerah, tentu setiap daerah akan bertanggung
serangan dari luar. Apabila kita menjumlahkan semua usaha
pertahanan masin-masing daerah tersebut akan kurang memadai.
2. Dalam hal retribusi pendapatan, pemerintah daerah juga tidak
akan efisien dalam mengusahakannya. Retribusi pendapatan
biasanya ditempuh dengan mengenakan pajak pada kelompok
kaya dengan memberikan subsidi kepada kelompok
berpenghasilan rendah. Kelompok kaya mungkin pindah ke
daerah dimana perpajakan dan pungutan tidak terlalu tinggi, dan
orang-orang kelompok berpenghasilan rendah akan pindah ke
daerah berpenghasilan tinggi dengan maksud untuk mendapatkan
subsidi atau bantuan sosial. Akibatnya pendapatan perkapita di
daerah yang berpenghasilan tinggi akan turun dan program
kesejahteraan sosial tidak dapat dilaksanakan lagi.
3. Dalam kaitannya dengan tujuan ekonomi makro, jelas pemerintah
daerah tidak akan dapat melaksanakannya, khususnya yang
berkaitan dengan kebijakan moneter. Pemerintah daerah tidak
dapat menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar.
Demikian pula kebijakan pemerintah daerah dalam bidang
kesempatan kerja dan harga tidak akan banyak berpengaruh dalam
suatu daerah. Setiap kebijakan fiskal (perpajakan dan
pengeluaran) tentu akan ditanggapi dengan kepindahan subyek
pajak ke daerah lain yang lebih menguntungkan. Jadi pemerintah
stabilisasi ekonomi secara ekonomi.
(http://pojokinfo.wordpress.com, 2006)
2.2.2 Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan adalah jumlah seluruh uang yang diterima oleh
seorang atau rumah tangga dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu
tahun). Pendapatan terdiri dari upah atau penerimaan kerja, pendapatan
dari kekayaan seperti sewa bunga atau devidan serta pembayaran atau
penerimaan dari pemerintah seperti tunjangan sosial atau asumsi
pengangguran (Nordhaus, 2000)
Pendapatan asli daerah adalah pendapatan yang bersumber dari
potensi daerah itu sendirian di pergunakan untuk membiayai kebutuhan
rumah tangganya sendiri (Anonim, 2002 : 1)
Pendapatan asli daerah adalah pendapatan yang menunjukkan
kemampuan suatu daerah dalam menghimpun sumber-sumber dana
untuk membiayai kegiatan baik rutin maupun pembangunan. Jadi
pengertian dari usaha-usaha pemerintah daerah dalam memanfaatkan
potensi-potensi keuangan daerahnya untuk membiayai tugas dan
tanggung jawabnya (Anonim, 2002 : 20).
Pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang berasal dari
sumber-sumber pendapatan daerah dan pengolahan kekayaan daerah
lainnya yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah
(Anonim, 2002 : 79).
asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber
pendapatan daerah yang digali dan dikelola sendiri oleh pemerintah
daerah dengan pola menggunakan pungutan-pungutan yang berdasarkan
peraturan-peraturan yang ditetapkan.
Jadi dapat disimpulkan pendapatan asli daerah adalah pendapatan
yang berasal dari dalam daerah yang bersangkutan guna membiayai
kegiatan-kegiatan tersebut, semakin tinggi pendapatan asli daerah maka
semakin tinggi kualitas otonominya.
Peraturan pemerintah No.5 tahun 1975 pasal 12 sampai dengan
pasal 20 yang penyusunannya masuk dalam anggaran pendapatan dan
belanja daerah (APBD) yang disesuaikan dalam undang-undang No.22
tahun 1999 tentang pemerintah daerah otonomi pasl 86. Pendapatan
aerah diatur dalam undang-undang No.22 tahun 1999 pasal 79 sampai
dengan pasal 86.
Menurut Basri (2002 : 174) adapun langkah-langkah nyata yang
harus ditempuh pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan Asli
daerah adalah:
1. Mengenali dengan baik potensi daerah sendiri dan menggalang
kemampuan untuk menguatkan potensi tersebut.
2. Menitikberatkan kepada penerimaan yang besar saja
3. Menetapkan kebijaksanaan harga yang mampu menopang
pendapatan pencapaian optimalisasi kapasitas produksi
makroskopis
5. Peningkatan kemampuan apratur Dinas Pendapatan Daerah yang
disertai penyempurnaan administrasi dan sistem akuntansi
6. Mengefektifkan pengenaan local user changes
Selama ini, PAD dalam pembiayaan kebutuhan daerah
disebagian besar daerah kurang dari 10% dan sangat bervariasai antar
daerah dari 10% hingga 50%. Penguasaan sumber-sumber penerimaan
pajak oleh pemerintah pusat pada dasarnya dengan administrasi
pemungutan, mobilitas objek pajak, fungsi stabilisasi, dan distribusi dari
pajak). Hal ini menjadi alasan yang kuat bagi pemerintah pusat untuk
memiliki basis pajak-pajak yang besar.
Permasalahan lain yang berkaitan dengan PAD adalah
kewenangan perpajakan (taxing power) daerah yang sangat terbatas
yang tercermin dari rendahnya kontribusi PAD terhadap APBD
(rata-rata kurang dari 10%). Keadaan ini kurang mendukung akuntabiitas dari
penggunaan anggaran daerah dimana keterbatasan dana transfer dari
pusat untuk membiayai kebutuhan daerah idealnya dapat ditutup oleh
daerah dengan menyesuaikan basisi pajak atua tarif pajak daerahnya.
Hal ini hanya dapat dilakukan apabila taxing power dari daerah
diperbesar.
2.2.2.1 Sumber Pendapatan Daerah
Pada umumnya fungsi-fungsi yang berifat nasional berada
lokal biasanya diserahkan kepadala pemerintah daerah, dengan tujuan
untuk mendekatan pelayanan kepada masyarakat seperti halnya dengan
pendidikan dasar, pembangunan jalan lokal dan sebagainya.
Berdasarkan asas desentralisasi hal-hal yang menyangkut
kebijaksanaan, perencanaan, pengawasan maupun pembiayaan
kegiatan-kegiatan pemerintah daerah menjadi tugas dan wewenang
pemerintah daerah. Keuangan daerah dengan adanya penyelenggara
fungsi-fungsi pemerintah, yang dilaksanakan dalam dua atau lebih
tingkat pemerintahan berdasarkan atas desentralisasi. Dengan demikian
pemerintah perlu memiliki sumber-sumber keuangan agar hal-hal
tersebut di atas dapat diselenggarakan sebaik mungkin.
Sumber-sumber keuangan daerah dapat diperoleh melalui
berbagai cara yaitu:
1. Pemerintah daerah dapat mengumpulkan dana dari pajak daerah
yang telah disetujui oleh pemerintah pusat.
2. Pemerintah dareah dapat mengambil bagian dalam pendapatan
pajak sentral yang dipungut oleh daerah, misalnya sekian persen
dari pajak sentral tersebut.
3. Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga,
pasar, bank atau pemerintah pusat
4. Pemerintah daerah dapat menerima bantuan atau subsidi dari
pemerintah pusat (Kaho, 2005 : 140-141).
tahun1999, sumber keuangan daerah, baik propinsi, kabupaten, maupun
kotamadya menurut UU Nomor 5 tahun 1974 adalah sebagai berikut:
1. Penerimaan asli daerah (PAD)
2. Bagi hasil pajak dan non pajak
3. Bantuan pusat (APBN) untuk daerah tingkat I dan tingkat II
4. Pinjaman daerah
5. Sisa lebih anggaran tahun lalu
6. Lain-lain penerimaan daerah yang sah
Sedangkan sesuai dengan pasal 79 UU Nomor 22 tahun1999 dan
pasal 3, 4, 5 dan pasal 6 UU Nomor 25 tahun 1999, sumber pendapatan
daerah terdiri atas sebagai berikut:
1. Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan yang menunjukkan kemampuan suatu daerah dalam
menghimpun sumber-sumber dana untuk membiayai kegiatan baik rutin
maupun pembangunan, terdiri atas:
a. Hasil pajak daerah
b. Hasil restribusi daerah
c. Hasil perusahaan daerah
d. Penerimaan lain-lain dan pendapatan dinas-dinas
2. Dana Perimbangan, terdiri dari:
a. Bagian daerah dari penerimaan pajak bumi dan bangunan
(PBB), Bea perolehan atas tanah dan bangunan (BPHIB)
c. Dana alokasi khusus (DAK)
3. Pinjaman Daerah
Untuk membiayai kebutuhan daerah berkaitan dengan
penyediaan prasarana yang dapat menghasilkan (pengeluaran modal),
daerah yang dapat melakukan pinjaman, baik dari dalam negeri (pusat
dan lembaga keuangan) maupun dari luar negeri dengan persetujuan
pemerintah pusat, atau dengan penerbitan obligasi) dan dari luar negeri,
dengan persetujuan pemerintah pusat. Ketentuan penggunaan pinjaman
daerah adalah sebagai berikut:
a. Pinjaman jangka panjang, untuk membiayai pembangunan
prasarana yang merupakan asset daerah, yang dapat
menghasilkan penerimana untuk pembayaran pinjaman yang
bersangkutan, serta memberikan manfaat bagi pelayanan
umum
b. Pinjaman jangka pendek, hanya dapat dilakukan dalam rangka
pengelolaan kas daerah.
4. Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah
Pendapatan daerah di Indonesia diklasifikasikan sebagai
pendapatan rutin dan pembangunan, klasifikasi ini disesuaikan dengan
jenis pembiayaan kegiatan dari pemerintah daerah. Pendapatan rutin
berasal dari pendapatan asli daerah, subsidi dari pemerintah pusat dan
pendapatan rutin lainnya. Pendapatan asli daerah meliputi pendapatan
2.2.2.2 Pendapatan Asli Daerah Sebagai Bagian dan Pendapatan Daerah
Pengertian mengenai pendapatan asli daerah selama ini secara
tegas belum ada yang merumuskan. Berikut ini batasan pengertian
pendapatan asli daerah sendiri oleh Ibnu Syamsi (1988 : 213) yaitu,
pendapatan asli daerah sendiri adalah: pendapatan yang berasal dari
dalam daerah yang bersangkutan guna membiayai kegiatan-kegiatan
daerah tersebut. Semakin tinggi pendapatan asli daerah, maka semakin
tinggi kualitas otonominya.
2.2.2.3 Penyebab Ketergantungan Fiskal
Ada lima penyebab rendahnya PAD yang pada gilirannya
menyebabkan tingginya ketergantungan terhadap subsidi dari pusat:
a. Kurangnya berperannya perusahaan daerah sebagai sumber
pendapatan daerah
b. Tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan (semua
pajak utama yang paling produktif dan buoyant, baik pajak
langsung dan tak langsung ditarik oleh pusat.
c. Kendati pajak cukup beragam, ternyata hanya sedikit yang bisa
diandalkan sebagai sumber penerimaan. (Pajak daerah saat itu
berjumlah 50 jenis pajak, tetapi yang dianggap bersifat ekonomis
bila dilakukan pemungutannya hanya terdiri dari 12 jenis pajak
d. Bersifat politis (Ada kekhawatiran apabila daerah mempunyai
sumber keuangan yang tinggi akan mendorong terjadinya dis
integrasi dan separatisme.
e. Adanya ketergantungan tersebut adalah kelemahan dalam
pemberian subsidi dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah.
Alternative solusi yang ditawarkan adalah :
a) Meningkatkan peran BUMN
b) Meningkatkan penerimaan daerah
c) Mengubah pola pemberian subsidi
d) Meningkatkan pinjaman daerah (kuncoro et.al, 2004)
2.2.3. Prosentase Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP)
bagian pendapatan daerah yang diperoleh dari penerimaan bagi
hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak.
1. Bagi hasil pajak
a) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% untuk daerah
dengan rincian:
1) 16,2% untuk daerah propinsi yang bersangkutan dan
2) 64,8% untuk daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan
disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah kabupaten/kota,
dan
3) 9% untuk biaya pemungutan.
4) 10% bagian Pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan
kepada seluruh daerah kabupaten dan kota yang didasarkan
atas realitas penerimaan PBB tahun anggaran berjalan, dengan
imbangan sebagai berikut:
a) 65% dibagikan secara merata kepada seluruh
daerah kabupaten dan kota, dan
b) 35% dibagikan sebagai insentif kepada daerah
kabupaten dan kota yang realisasi tahun
sebelumnya mencapai/melampaui rencana
penerimaan sektor tertentu.
b). Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Dana Bagi Hasil dari penerimaan (BPHTB) adalah 80% untuk
daerah dengan rincian sebagai berikut:
1) 16% untuk daerah propinsi yang bersangkutan dan
disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Propinsi,
2) 64% untuk daerah kabupaten dan kota penghasil dan
disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah
Kabupaten/kota.
3) 20% bagian Pemerintah dari penerimaan BPHTB
dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk
seluruh kabupaten dan kota.
4) Pajak Penghasilan (PPh) pasal 25 dan pasal 29 Wajib
Pajak Orang Pribadi dalam Negeri dan PPh pasal 21.
Dana Bagi Hasil dari penerimaan Pajak Penghasilan (PPH) Pasal
25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh
Pasal 21 adalah 20% dengan rincian:
a) 60% untuk kabupaten/kota
b). 40% untuk propinsi, sedangkan yang diterima pemerintah
pusat sebesar 80 %.
1. Bagi hasil bukan pajak (sumber daya alam)
A. Kehutanan
1) Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi
Sumber Daya Hutan (PSDH).
Penerimaan kehutanan yang berasal dari
penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan provisi
Sumber Daya Hutan (PSDH) untuk daerah adalah 80% dengan
a. 16% untuk propinsi
b. 64% untuk kabupaten/kota penghasil
Sedangkan yang diterima oleh pemerintah pusat adalah 20%.
2. Dana reboisasi
Penerimaan kehutanan yang berasal dari dana reboisasi
adalah 40% untuk daerah dengan rincian:
a) 16% untuk propinsi yang bersangkutan
b) 32% untuk kabupaten/kota penghasil
c) 32% dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk
kabupaten/kota lainnya dalam propinsi yang bersangkutan
Sedangkan yang diterima oleh pemerintah pusat adalah 60%.
B. Pertambangan Umum
1. Iuran tetap (land – rent)
Penerimaan Iuran Tetap untuk daerah adalah 80% dengan
rincian:
a. 16% untuk propinsi yang bersangkutan
b. 64% untuk kabupaten/kota penghasil
Sedangkan yang diterima oleh pemerintah pusat adalah
20%.
Penerimaan Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (Royalty)
untuk daerah adalah 80% dengan rincian:
a) 16% untuk propinsi yang bersangkutan
b) 32% untuk kabupaten/kota penghasil
c) 32% untuk kabupaten/kota lainnya dalam propinsi yang
bersangkutan
Sedangkan yang diterima pemerintah pusat adalah 20%.
C. Perikanan
Penerimaan perikanan yang diterima secara nasional dibagi
dengan imbangan:
a. 20% untuk pemerintah pusat.
b. 80% untuk pemerintah daerah.
D. Pertambangan Minyak Bumi
Penerimaan pertambangan minyak bumi yang dihasilkan
dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi dengan
komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dibagi dengan imbangan:
1. 84,5% untuk pemerintah pusat
2. 15,5% untuk daerah, dengan rincian:
a). 3% untuk propinsi yang bersangkutan
c). 6% dibagikan untuk kabupaten/kota lain dalam propinsi
yang bersangkutan
d). 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran
pendidikan dasar.
E. Pertambangan Gas Bumi
Penerimaan pertambangan gas bumi yang dihasilkan dari
wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi dengan
komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dibagi dengan imbangan :
1. 69.5% untuk pemerintah pusat
2. 30.5% untuk daerah, dengan rincian:
a. 6% untuk propinsi yang bersangkutan
b. 12% untuk kabupaten/kota penghasil
c. 12% dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam
propinsi yang bersangkutan
d. 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran
pendidikan dasar
F. Pertambangan panas bumi
Penerimaan pertambangan panas bumi yang dihasilkan dari
komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dibagi dengan imbangan:
1. 20% untuk pemerintah pusat
2. 80% unuk daerah, dengan rincian:
a. 16% untuk propinsi yang bersangkutan
b. 32% untuk kabupaten/kota penghasil
c. 32% dibagikan untuk kabupaten/kota dalam propinsi
yang bersangkutan
2.2.4. Sumbangan Daerah
Sumbangan/ bantuan dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah yang berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi
Khusus (DAK). Hal ini bertujuan untuk pemerataan antar daerah
melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan
belanja pegawai, kebutuhan fiskal dan potensi daerah. Dimana dana
ini juga digunakan untuk mendanai kegiatan khusus yang menjadi
urusan daerah dan merupakan prioritas nasional, sesuai dengan funsi
yang merupakan perwujudan tugas pemerintahan di bidangtertentu
khususnya dalam pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana
pelayanan dasar masyarakat.
2.2.4.1 Dana Alokasi Umum
Hal penting lain dari pengaturan keuangan menurut UU No.
kabupaten dan kota yang disebut dengan Dana Alokasi Umum (DAU)
dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Diperkenalkannya DAU dan DAK
berarti menghapus Subsidi Daerah Otonom dan dana Inpres yang
diperkenalkan pada era Soeharto.
DAU merupakan block grant yang diberikan kepada semua
kabupaten dan kota untuk tujuan mengisi kesenjangan antara kapasitas
dan kebutuhan fiskalnya, dan didistribusikan dengan formula
berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang secara umum
mengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima
lebih banyak daripada daerah kaya. Dengan kata lain, tujuan penting
alokasi DAU adalah dalam kerangka pemerataan kemampuan
penyediaan pelayanan publik antar Pemda di Indonesia. UU No.25/1999
pasal 7 menggariskan bahwa pemerintah pusat berkewajiban
menyalurkan paling sedikit 25% dari Penerimaan Dalam Negerinya
dalam bentuk DAU.
Secara definisi, Dana Alokasi Umum dapat diartikan
sebagai berikut (Sidik, 2003, dalam Kuncoro,2004).
komponen dari Dana Perimbangan pada APBN, yang
pengalokasiannya didasarkan atas konsep Kesenjangan Fiskal atau
Celah Fiskal (Fiscal Gap), yaitu selisih antara Kebutuhan Fiskal dengan
Kapasitas Fiskal.
1. Instrumen untuk mengatasi horizontal imbalance yang
antar-daerah dan penggunaannya ditetapkan sepenuhnya oleh
daerah.
2. Equalization grant, berfungsi untuk menetralisasi ketimpangan
kemampuan keuangan dengan adanya PAD, Bagi Hasil Pajak, dan
Bagi Hasil SDA yang diperoleh Daerah.
Kebijakan perhitungan DAU Tahun Anggaran (TA) 2003
menggunakan formula dengan konsep Kesenjangan Fiskal (fiscal gap)
yang diatur dalam PP 84/2001 sebagai perubahan atas PP 104/2000
tentang Dana Perimbangan (digunakan dalam perhitungan DAU TA
2002). Selain dengan formula Kesenjangan Fiskal, perhitungan DAU
juga ditentukan dengan menggunakan faktor penyeimbang (FP) berupa
Alokasi Minimum (AM).
Ditetapkan dalam rapat Panitia Anggaran DPR-RI dengan
Pemerintah tanggal 10 Juli 2002, bahwa penyempurnaan formula dan
perhitungan DAU dilakukan dengan:
1. Meningkatkan akurasi data dasar yang digunakan
2. Mengurangi porsi DAU dalam perhitungan AM dan memperbesar
porsi DAU yang dialokasikan untuk mengurangi kesenjangan
keuangan antar daerah (perhitungan DAU dengan formula dalam
PP 84/2001)
3. Mengupayakan untuk tetap mempertahankan bahwa tidak ada
sama dengan DAU plus Dana Penyeimbang TA 2002. Oleh karena
itu, diberikan tambahan dana melalui Dana Penyeimbang TA 2003.
Berdasarkan pasal 7 ayat (1) UU No.25/1999, plafon DAU
ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari PDN dalam APBN. Dalam
praktek dirinci menjadi:
1. Dibagi antara Provinsi dan Kabupaten/Kota, dengan rasio 10%
Provinsi dan 90% Kabupaten/Kota. (Pasal 7 ayat (2) UU
No.25/1999).
2. Dalam implementasinya, plafon DAU untuk provinsi (10%) lebih
kecil dari kebutuhan DAU-nya. Kenyataannya, plafon DAU TA
2002 Provinsi (10%) sebesar Rp. 6.911,41 miliar ternyata lebih kecil
dibandingkan DAU Provinsi TA 2001 ditambah Dana Kontinjensi
yang mencapai Rp. 7.465,46 miliar.
Untuk mengkompensasi kekurangan, dana ditambahkan melalui
Dana Penyeimbang. Dengan asumsi terdapat tambahan dana untuk
DAU melalui Dana Penyeimbang, sebenarnya kebutuhan plafon DAU
lebih besar dari 25% PDN netto dalam APBN.
2.2.4.2 Dana Alokasi Khusus
DAK ditujukan untuk daerah khusus yang terpilih untuk tujuan
khusus.Karena itu, alokasi yang didistribusikan oleh pemerintah pusat
sepenuhnya merupakan wewenang pusat untuk tujuan nasional khusus.
1. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah terpencil yang tidak
mempunyai akses yang memadai ke daerah lain
2. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah yang menampung
transmigrasi
3. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik yang terletak di daerah
pesisir kepulauan tidak memadai
4. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah guna mengatasi
dampak kerusakan lingkungan.
UU No. 25/1999 pasal 8 menggariskan bahwa kebutuhan
khusus yang dapat dibiayai dengan DAK antar lain kebutuhan yang
tidak dapat diperkirakan secara umum dengan menggunakan rumus
DAU atau kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.
Empat puluh persen dari penerimaan negara yang berasal
dari Dana Reboisasi disediakan kepada daerah sebagai DAK. DAK
diberikan kepada daerah tertentu berdasarkan usulan daerah dengan
penyediaan Dana Pendamping 10% yang berasal dari penerimaan umum
APBD (kecuali untuk DAK Reboisasi). Untuk APBN Tahun Anggaran
2001 dan 2002, DAK hanya berasal dari Dana Reboisasi (DR)
masing-masing dengan jumlah Rp 700,6 miliar dan Rp 817,3 miliar. APBN
Tahun Anggaran 2003 dianggarkan Rp 2.616,6 miliar yang terdiri dari
DAK-DR sebesar Rp 347,6 miliar dan DAK non DR sebesar Rp 2.269
Persyaratan untuk memperoleh DAK adalah sebagai berikut:
Daerah perlu membuktikan bahwa daerah kurang mampu
membiayai seluruh pengeluaran usulan kegiatan tersebut dari PAD,
Bagi Hasil Pajak dan SDA, DAU, Pinjaman Daerah, dan lain-lain
penerimaan yang sah.
a) Daerah menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya 10%
dari kegiatan yang diajukan (kecuali untuk DAK dari Dana
Reboisasi)
b). Kegiatan tersebut memenuhi kriteria teknis sektor/ kegiatan yang
ditetapkan oleh Menteri Teknis /Instansi terkait.
Kegiatan DAK berdasarkan PP 104/2000 meliputi:
a. DAK digunakan untuk membiayai investasi pengadaan dan atau
peningkatan dan atau perbaikan prasarana dan sarana fisik dengan
umur ekonomis yang panjang;
b. Dalam keadaan tertentu, DAK dapat membantu membiayai
pengoperasian dan pemeliharaan prasarana dan sarana tertentu
untuk periode terbatas, tidak melebihi 3 (tiga) tahun.
2.2.5 Pola Hubungan Keuangan dan Tingkat Kemandirian Daerah
Secara konseptual, pola hubungan keuangan antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah harus dilakukan sesuai dengan
pemerintahan dan pembagunan daerahnya, walaupun pengukurannya
kemampuan daerah ini akan menimbulkan perbedaan. Ada empat
macam pola hubungan yang dapat digunakan dalam pelaksanaan
otonomi daerah berdasarkan konsep pola “Hubungan Situasional” yang
dikemukakan oleh heresy dan Blanchard (Halim, 2004 : 188), yaitu :
1. Pola Hubungan Instruktif
Pola hubungan ini menunjukkan peranan pemerintah pusat lebih
dominandaripada kemandirian pemerintah daerah (daerah yang
tidak mampu melaksanakan otonomi daerah).
2. Pola Hubungan Konsultatif
Pola hubungan ini campur tangan pemerintah pusat sudah mulai
berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu
melaksanakanotonomi.
3. Pola Hubungan Partisipatif
Pola hubungan ini peranan pemerintah pusat semakin berkurang,
mengingat tingkat kemandirian daerah yang bersangkutan
mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi.
4. Pola Hubungan Delegatif
Pada pola hubungan ini campur tangan pemerintah pusat sudah
tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu dalam
sumberdaya manusia yang berbeda menyebabkan terjadinya
perbedaan pola hubungan dan tingkat kemandirian antar daerah.
Sebagai pedoman dalam melihat pola hubungan dan tingkat
kemandirian daerah (dari sisi keuangan) dapat dilihat pada Tabel 2.3
[image:57.612.132.504.196.586.2]berikut:
Tabel 2.3
Pola Hubungan Keuangan dan Tingkat Kemandirian Daerah
Kemampuan Keuangan Kemandirian (%) Pola Hubungan
Rendah Sekali
Rendah
Sedang
Tinggi
0-25
25-50
50 - 75
75-100
Instruktif
Konsultatif
Partisipatif
Delegatif
(Tumilar ,1997: 15 )
Dapat di simpulkan bahwa yang dimaksud dengan derajat
otonomi fiscal menunjukan kepada kemampuan daerah dalam
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah ,sebagai salah satu indicator
kemampuan otonomi daerah tingkat kabupaten atau kota.Salah satu
ukuran yang di gunakan untuk mengukur derajat otonomi fiscal daerah
adalah rasio antara PAD dengan total penerimaan APBD tanpa
sumbangan dan bantuan pemerintah pusat serta tercemin melalui angka
Indeks Kemampuan Rutin (IKR) yaitu proposi antara PAD dengan
2.2.6 Perwilayahan
Pembangunan ekonomi selain dilihat dari segi sektoralnya juga
dilihat dari segi perwilayahannya. Pembangunan ekonomi daerah adalah
suatu proses dimana pemerintah daerah dan masjyarakatnya mengelola
semua sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan
antara pemerintah daerah dan sektor swasta untuk menciptakan suatu
lapangan kerja ba'ru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi
rpertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut" adapun tujuan utama
dari pembangunan ekonomi daerah adalah untuk meningkatkan jumlah
dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah dan merangsang
pertumbuhan ekonomi dalam wilayah lersebut. Sehinga perlu
diperhatikan juga aspek raang (space) atau lokasi dalam
pelaksanaannya, dengan demikian pembangunan ekonomi selain
bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan juga untuk meningkatkaii
target pemerataan (Arsyad, 1999 : 109).
Prioritas lokasi pembangunan dilakukan dengan melihat kondisi
fisik alami dan social ekonomi penduduknya, sehingga diusahakan laju
pertumbuhan dan pengembangan daerah dapat berjalan secara
seimbang, sedangkan perwilayahan pembangunan membagi Jawa Timur
menjadi sembilan sektor wilayah pembangunan dan masing-masing
pusat pengembangannya. Kota Surabaya adalah ibukota sekaligus pusat
ekonomi Jawa Timur dan Kawasan Indonesia Timur. Sedangkan
Lamongan, serta Kota Mojokerto, yang dikenal dengan kawasan
GERBANGKERTOSUSILA menjadi wilayah/ kawasan penyanggah
(buffer zone) dari Kota Surabaya. Masing-masing Satuan Wiiayah
Pembangunan ( SWP ) tersebut antara lain adalah sebagai:
1. Keberhasilan pernbangunan ekonomi suatu daerah diukur dengan
melihat besarnya nlai PDRB, yang menunjukan total nilai produksi
barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu daerah dalam kurun
waktu tertentu. Jumiah penduduk yang meningkat dari tahun ke
tahun mempengaruhi besarnya PDRB perkapita. Semakin besar
jumlah penduduknya maka PDRB perkapita semakin kecil. SWP I
meliputi Gerbang Kertosusila, meliputi Kota Surabaya dan
Mojokerto serta Kabupaten Sidoarjo, Mojokerto, Lamongan,
Bangkalan, dan Gresik deng pusatnya di Surabaya.
2. SWP II meliputi Madura dan Kepulauannya, meliputi Kabupaten
Sumenep, Pamekasan dan Sampang dengan pusatnya di Sumenep.
3. SWP III meliputi Banyuwangi sekaligus sebagai pusatnya
4. SWP IV meliputi Jember dan sekitarnya, meliputi Kabupaten :
Jember,Bondowoso dan Situbondo serta Jember sebagai pusatnya.
5. SWP V meliputi Probolinggo - Lumajang dan pusatnya
Probolinggo
6. SWP VI meliputi Malang - Pasuruan, dengan pusatnya di Malang.
7. SWP VII meliputi Kediri dan sekitarnya, meliputi Kota : Kediri
Nganjuk dan Jombang dengan pusatnya di Kodya Kediri.
8. SWP VIII meliputi Madiun dan sekitarnya, meliputi Kota /
Kabupaten Madiun serta Kabupaten Ponorogo, Magetan,
Ngawi dengan pusatnya di Kota Madiun.
9. SWP IX meliputi Tuban dan Bojonegoro, meliputi Kabupaten
Tuban dan Bojonegoro dengan pusatnya di Tuban.
2.3 Kerangka Pikir
Satuan wilayah pembangunan merupakan gabungan dari
beberapa kabupaten/ kotamadya Satuan wilayah pembangunan di Jawa
Timur terbagi menjadi 9 satuan wilayah pembangunan. Dalam
penelitian kali ini yang dijadikan obyek adalah. Satuan Wilayah
Pembangunan IV untuk menentukan daerah mana yang mandiri sebagai
prioritas pembangunan yang bertujuan untuk memicu pertumbuhan
ekonomi di daerah lainnya dengan harapan dapat meningkatkan
GAMBAR KERANGKA PIKIR
Sumber : Peneliti
2.4 Hipotesis
Berdasarkan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini
dengan melihat latar belakang, hasil-hasil penelitian terdahulu dan
landasan teori yang ada, maka dapat ditarik hipotesa sebagai berikut:
1. Diduga,ada peningkatan kemandirian fiskal pada Satuan Wilayah
Pembangunan (SWP) IV (kabupaten Jember, Kabupaten Bondowoso, SWP IV
1. Kabupaten Jember
2. Kabupaten Bondowoso
3. Kabupaten Situbondo
Indek PAD Indek BHPBP Indek SB
HIPOTESIS
MANDIRI TIDAK
Kabupaten Situbondo ) ?
4. Diduga, ada perbedaan kemandirian fiskal antar daerah pada Satuan
Wilayah Pembangunan (SWP) IV (kabupaten Jember, Kabupaten
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Dalam menganalisis sektor-sektor yang akan dijadikan sektor
unggulan agar dapat terarah pada pokok permasalahannya baik itu untuk
uji Location Quotient atau kuosien lokasi maupun untuk Index
Desentralisasi Fiscal (IDF), maka definisi Operasional Variabel adalah
sebagai berikut:
a). Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan pemerintah
daerah yang diperoleh dari sumber-sumber pendapatan daerah
tersebut yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai
dengan perundang-undangan, yang meliputi pajak daerah, retribusi
daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan
kekayaan milik daerah, serta lain-lain PAD yang sah. Dalam satuan
Rupiah.
b). Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) adalah bagian
pendapatan daerah yang diperoleh dari penerimaan bagi hasil pajak
dan bagi hasil bukan pajak. Dalam Satuan Rupiah.
c). Subsidi/ Bantuan (SB) adalah sumbangan/ bantuan dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah yang berupa Dana Alokasi Umum
pendapatan daerah ditambah dengan penerimaan pembiayaan.
Dalam Satua