V. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.4. Perkembangan Pergerakan Nilai Tukar Rupiah terhadap
Pergerakan nilai tukar Rupiah memiliki keterkaitan dengan perkembangan neraca modal. Keterkaitan antara neraca modal dengan pergerakan nilai tukar Rupiah dapat terlihat jelas ketika krisis ekonomi mulai terjadi dan setelah diterapkannya sistem nilai tukar mengambang penuh. Perkembangan pergerakan nilai tukar Rupiah dapat dilihat pada (Gambar 4.4).
0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000
I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Periode (triwulan) Rp /US $ Sumber: Bank Indonesia (19902005). Gambar 4.4. Perkembangan Pergerakan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Pergerakan nilai tukar Rupiah pada waktu sebelum terjadinya krisis ekonomi menunjukkan pergerakan yang stabil. Namun, setelah krisis ekonomi yang melanda Indonesia baik itu pergerakan pada nilai tukar Rupiah maupun neraca modal (Gambar 4.4.) menunjukkan volatilitas yang tinggi. Pada awal terjadinya krisis ekonomi, neraca modal mencatat defisit yang tinggi, hal tersebut terjadi karena menurunnya kepercayaan investor asing atas bertahannya perekonomian Indonesia dari guncangan krisis, sehingga hal tersebut menimbulkancapital flight.
Tingginya capital flight yang terjadi pada awal terjadinya krisis menyebabkan permintaan terhadap valuta asing turut mengalami peningkatan. Peningkatan terhadap valuta asing ini menyebabkan nilai tukar Rupiah mengalami
depresiasi yang cukup tajam sehingga posisi nilai tukar pada pertengahan tahun 1998 sempat menyentuh angka Rp 14900/US$ yang merupakan tingkat depresiasi terbesar sepanjang sejarah setelah diterapkannya sistem nilai tukar mengambang penuh. Setelah menyentuh tingkat tersebut, pergerakan nilai tukar mengalami penguatan, dimana pada triwulan kedua tahun 1999 nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika berada pada Rp 6726/US$. Terapresiasinya Rupiah ini sejalan dengan adanya peningkatan surplus pada neraca modal selama selang waktu triwulan ketiga tahun 1998 sampai dengan triwulan pertama tahun 1999, dengan tingkat surplus terbesar terjadi pada triwulan keempat tahun 1998 yaitu sebesar US$ 1532 juta.
Nilai tukar Rupiah kembali mengalami kecenderungan yang terdepresiasi pada selang waktu dari triwulan keempat tahun 1999 sampai dengan triwulan kedua tahun 2001, depresiasi terlemah Rupiah pada selang tersebut berada pada level Rp 11440/US$. Depresiasinya Rupiah ini terjadi karena adanya kecenderungan defisit pada neraca modal yang mencirikan tingginnya arus modal yang keluar. Neraca modal cenderung mengalami defisit pada selang waktu triwulan kedua tahun 1999 sampai dengan triwulan ketiga tahun 2001. Defisit terbesar pada neraca modal pada selang tersebut terjadi pada triwulan pertama tahun 2001 yaitu sebesar US$ 3245 juta.
Melemahnya nilai tukar Rupiah bukan hanya disebabkan oleh tingginya arus modal keluar tetapi juga banyak disebabkan oleh meningkatnya kegiatan spekulasi terhadap Rupiah. Banyak hal yang dilakukan untuk meredam depresiasi nilai tukar Rupiah ketika itu, diantaranya untuk mengurangi permintaan terhadap
valuta asing pada tahun 1998 maka transaksi forward jual Rupiah antara bank dengan nonresident dibatasi maksimal US$ lima juta pernasabah. Selanjutnya, pada 12 Januari 2001 kembali dilakukan pembatasan terhadap transaksi derivatif antara bank dengan nonresident menjadi maksimal US$ tiga juta perhari apabila transaksi tersebut underlying, apabila bank dapat menunjukkan adanya underlying transactionmaka transaksi tersebut dilakukan pembatasan (Suseno, 2004).
Perdagangan nilai tukar di pasar valuta asing antar bank juga tidak dapat terlepas dari beberapa norma, faktor teknis, mekanisme aturan perdagangan, yang tidak mungkin dapat dijelaskan dari sudut pandang fundamental ekonomi, misalnya buy high, sell low merupakan aturan umum yang berlaku di pasar. Ketika kecenderungan nilai tukar Rupiah dilihatnya bergerak turun (apresiasi), pelaku pasar ramairamai akan menjual Dollar. Sudah menjadi aturan tidak tertulis di pasar bahwa pelaku pasar jangan cobacoba melawan tren pasar yang dibentuk oleh mayoritas, bila tidak ingin merugi. Demikian pula beberapa aturan seperti stop loss buying/selling pada dasarnya akan membuat nilai tukar bergerak sangat cepat dan satu arah.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Pengujian AkarAkar Unit
Untuk melihat kestasioneran data yang akan dianalisis maka dilakukan uji akar unit. Uji ini dilakukan agar hasil regresi yang dilakukan tidak menghasilkan spurious regression. Uji akar unit dalam hal ini yaitu dengan membandingkan nilai statistik ADF suatu variabel dengan nilai kritisnya. Jika nilai mutlak dari ADF suatu variabel lebih besar dari nilai mutlak kritisnya maka variabel tersebut dikatakan stasioner. Hasil pengujian akar unit dapat dilihat pada Tabel 5.1 di bawah ini. Tabel 5.1. Hasil Pengujian Akar unit Nilai tes statistic DF atau ADF berdasarkan SBC terbesar Nilai tes statistic DF atau ADF berdasarkan SBC terbesar Variabel Level 1 st Different LER 1,2015(2,2385) 5,6484(5,6055) LM2 2,1045(0,45051) 5,9886(6,2430) R 3,0567(3,0353) 6,3875(6,3300) LKA 7,1287(7,0923) 8,7619(8,6930) LPDB 0,26089(1,3487) 7,7043(7,6343) LCA 7,8232(7,7558) 7,5265(7,4587) Sumber : Lampiran 4 Keterangan:
Pengujian stasioneritas di set memiliki maksimum lag empat baik di level maupun dalam
first different. Nilai kritis 95 persen untuk tes statistik Dickey Fuller tanpa trend dan
dengan trend pada level yaitu 2,9109 dan 3,4862, sedangkan untuk tes statistik Dickey
Fuller tanpa trend dan dengantrend pada first different yaitu 2,9118 dan 3,4875. nilai di
luar tanda kurung adalah tes statistik tanpa trend, sedangkan nilai dalam tanda kurung adalah niai tes statistik dengan trend. SBC = Schwarz Bayesian Criteria.
Hasil uji akarakar unit menunjukkan bahwa variabel LER, LM2 dan LPDB tidak stasioner pada level, maka uji akar unit dilanjutkan pada first different. Berdasarkan hasil uji akar unit pada tingkat first different menunjukkan bahwa semua variabel telah stasioner pada tingkat tersebut.
5.2. Pengujian LagOptimal
Penggunaan lag optimal sangat penting dalam menggunakan metode VECM karena lag dari variabel endogen dalam sistem persamaan akan digunakan sebagai variabel eksogen. Untuk melihat lag optimal dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan uji Likelihood Ratio (LR test). Uji statistik dimulai dari nilaip (pvalue) tertinggi hingga lebih kecil dari nilai nyatanya. Ordo optimal adalah jumlah lag sebelum tercapai nilaip pertama kali tidak nyata pada α=0,05. Berdasarkan hasil pengujian lag dengan menggunakan uji LR, maka diperolehlag optimal yaitu 4 (hasil Uji lag Optimal dapat dilihat pada Lampiran 5).
5.3. Pengujian Kointegrasi
Menurut Enders (2000) apabila ada kombinasi linear antara variabel non stasioner yang terintegrasi pada ordo yang sama, maka kondisi tersebut dinamakan kointegrasi. Untuk mengetahui informasi jangka panjang yang stabil, analisis dilakukan dengan menentukan rank kointegrasi untuk mengetahui berapa sistem persamaan yang dapat menerangkan dari keseluruhan sistem yang ada. Rank kointegrasi dilakukan melalui uji Johansen Maximum Likelihood test yaitu dengan mengurangi ordo VAR k menjadi (k1), maka diperoleh VECM (k1).
Untuk menentukan berapa banyak rank yang terkointegrasi dalam jangka panjang maka dalam uji Johansen Maximum Likelihood test terutama dengan berdasarkan maximal eigenvalue dan trace of stochastic matrix. Apabila berdasarkan nilai ini menghasilkan rank kointegrasi yang berbeda maka digunakan asumsi tambahan yaitu berdasarkanselection criteria SBC dan HQC yang menunjukkan angka yang terbesar.
Tabel 5.2. Hasil Uji Kointegrasi Johansen
Uji Likelihood Ratio (LR)
Tipe Pengujian H0 H1 LR test Kritis=0.05 Nilai r=0 r=1 103,51 49,32 r<=1 r=2 64,77 43,61 r<=2 r=3 41,94 37,86 r<=3 r=4 27,23 31,79 r<=4 r=5 23,09 25,42 r<=5 r=6 6,86 19,22 Berdasarkanmaximal eigenvalue of the stochastic matrix r<=6 r=7 4,84 12,39 r=0 r>=1 272,24 147,27 r<=1 r>=2 168,73 115,85 r<=2 r>=3 103,96 87,17 r<=3 r>=4 62,02 63,00 r<=4 r>=5 34,79 42,34 r<=5 r>=6 11,70 25,77 Berdasarkantrace of the stochastic matrix r<=6 r=7 4,84 12,39 r=0 r=1 r=2 r=3 r=4 r=5 r=6 r=7 SBC 137,48 114,51 106,79 106,37 109,20 109,99 114,78 116,47 HQC 70,09 38,13 22,71 15,88 13,57 10,51 12,73 13,14 Sumber: Lampiran 6
Keterangan: SBC = Scwarz Bayesian Criteria; HQC =Hannan Quinn Criteria
Berdasarkan pada maximal eigenvalue maupun trace of stochastic matrix hipotesis nol pada r<=2 masih dapat ditolak karena nilai LRtest masih lebih besar jika dibandingkan dengan nilai kritis = 0,05, tetapi hipotesis nol pada r<=3 tidak dapat ditolak, dalam hal ini dapat diartikan bahwa setidaknya minimal terdapat tiga persamaan yang terkointegrasi dalam jangka panjang. Selanjutnya
berdasarkan selection criteria SBC dan HQC menunjukkan angka yang terbesar pada r=3 dan r=5. Berdasarkan hasil tersebut, maka rank yang terpilih adalah r=3 yang berarti bahwa terdapat tiga vektor yang terkointegrasi dalam jangka panjang.
5.4. Hasil Estimasi untuk Persamaan Jangka Pendek dan Jangka Panjang Permasalahan pertama dalam penelitian ini akan dijawab melalui hasil estimasi VECM yang dilakukan melalui uji LR yang dapat menunjukkan persamaan jangka pendek dan jangka panjang.
5.4.1. Hasil Estimasi VECM Jangka Pendek untuk Nilai Tukar Rupiah Hasil estimasi VECM untuk jangka pendek dapat dilihat pada (Tabel 5.3). Tabel 5.3. Hasil Estimasi VECM Jangka Pendek untuk Nilai Tukar Rupiah
Regressor Coefficient Standard Error TRatio[Prob]
Intercept 1,5130 3,1669 0,47777[0,635] dLER1 ,40607 0,20376 1,09929[0,053] dLM21 0,44546 0,038089 1,1695[0,249] dR1 0,0013963 0,0036664 0,38084[0,705] dLKA1 0,065515 0,025858 2,5337[0,015] dLPDB1 0,082562 0,25960 0,31804[0,752] dLCA1 0,023980 0,010518 2,2799[0,028] dD1 0,33649 0,11653 2,8876[0,006] dLER2 0,13633 0,17877 2,76260[0,450] dLM22 0,26160 0,41082 0,63677[0,528] dR2 0,0051146 0,0024396 2,0964[0,042] dLKA2 0,050250 0,014800 3,3952[0,001] dLPDB2 0,092917 0,18631 0,49871[0,621] dLCA2 0,014447 0,0077219 1,8710[0,068] dD2 0,46712 0,11584 4,0326[0,000] ecm (1) 0,028856 0,10182 0,28340[0,778] ecm (1) 0,0084227 0,078677 0,10705[0,915] ecm (1) 0,0028954 0,0021682 1,3354[0,189] Sumber: Lampiran 8 Berdasarkan tabel di atas, suatu variabel akan diinterpretasikan jika nilai probabilitas yang ada di dalam kurung lebih kecil dari α=0,05. Berdasarkan hal
tersebut maka variabel yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar Rupiah dalam jangka pendek adalah variabel dLKA1, dCA1, dD1, dR2, dLKA2dandD2.
Pertumbuhan capital account pada satu triwulan yang lalu (dLKA1) menyebabkan nilai tukar Rupiah terapresiasi sebesar 0,0655 persen. Hal ini dapat terjadi karena adanya peningkatan dalam neraca modal dan keuangan (capital account) pada satu triwulan sebelumnya berarti mencirikan adanya peningkatan penawaran terhadap valuta asing. Naiknya penawaran terhadap valuta asing menyebabkan nilai tukar Rupiah mengalami apresiasi.
Pertumbuhan current account satu triwulan yang lalu (dLCA1) menyebabkan nilai tukar Rupiah terapresiasi sebesar 0.005 persen. Terapresiasinya nilai tukar Rupiah karena adanya kenaikan jumlah penawaran valuta asing di pasar valuta asing.
Dummy krisis satu triwulan yang lalu menyebabkan nilai tukar Rupiah terdepresiasi sebesar 0,22156 persen. Dummy krisis yang juga merupakan suatu pertimbangan bagi investor asing dan juga investor domestik untuk menanamkan modalnya di dalam negeri menyebabkan tingkat penanaman modal di Indonesia mengalami penurunan sehingga hal tersebut menyebabkan penurunan dalam penawaran valuta asing. Turunnya penawaran terhadap valuta asing tersebut menyebabkan nilai tukar Rupiah mengalami depresiasi terhadap mata uang asing.
Kenaikan tingkat suku bunga dua triwulan yang lalu (dR2) menyebabkan nilai tukar Rupiah mengalami depresiasi sebesar 0,0051persen. Adanya kenaikan tingkat suku bunga selain dapat meningkatkan return investasi portofolio, hal tersebut juga dapat menurunkan investasi pasa sektor riil. Investasi di sektor riil
yang menurun dapat menyebabkan tingkat produksi untuk menghasilkan barang yang dapat diekspor menurun, sehingga hal tersebut dapat mengurangi penawaran valuta asing di pasar uang dan dapat menyebabkan Rupiah mengalami depresiasi.
Pertumbuhan capital account dua triwulan yang lalu (dLKA2) menyebabkan nilai tukar Rupiah terapresiasi sebesar 0,0502 persen. Hal ini membuktikan bahwa adanya peningkatan capital account yang berarti terjadinya peningkatan penawaran terhadap valuta asing dua triwulan yang lalu masih memberikan pengaruh terhadap terapresiasinya nilai tukar Rupiah.
Dummy krisis dua triwulan yang lalu masih berpengaruh terhadap terdepresiasinya nilai tukar Rupiah sebesar 0,27212. Dummy krisis memberikan pengaruh yang negatif terhadap ketertarikan investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia sehingga terjadi penurunan terhadap capital inflow dan menyebabkan nilai tukar terdepresiasi .
5.4.2. Hasil Estimasi VECM Jangka Panjang untuk Nilai Tukar Rupiah Berdasarkan hasil analisis VECM juga diketahui bentuk restriksi tiga persamaan jangka panjang, namun yang menjadi bahasan dalam penelitian ini adalah berapa besar nilai tukar Rupiah dapat dipengaruhi olehcurrent accountdan capital account, maka hasil persamaan untuk jangka panjang yang didapat adalah:
0,13594 1, 2451 0,053747 0,85453 0,029870 ...
LER LKA LPDB LCA D
T
= - - + +
+
Dalam persamaan jangka panjang untuk nilai tukar Rupiah, variabel capital account berpengaruh secara negatif terhadap nilai tukar Rupiah. Kenaikan capital account sebesar satu persen menyebabkan nilai tukar Rupiah mengalami apresiasi sebesar 0,13594 persen. Kenaikan dalam capital account akan
menyebabkan penawaran mata uang asing di pasar valuta asing mengalami peningkatan. Peningkatan penawaran mata uang asing tersebut akan menyebabkan nilai tukar Rupiah mengalami apresiasi.
Variabel produk domestik bruto berpengaruh secara negatif terhadap nilai tukar Rupiah. Kenaikan produk domestik bruto sebesar satu persen akan menyebabkan nilai tukar Rupiah mengalami apresiasi sebesar 1,2451 persen. Kenaikan produk domestik bruto menyebabkan nilai tukar Rupiah terapresiasi dapat terjadi karena kenaikan tersebut dapat mencirikan keadaan ekonomi Indonesia semakin baik dan menurunnya tingkat resiko terhadap kegagalan investasi. Membaiknya perekonomian dan menurunnya resiko terhadap kegagalan investasi menyebabkan adanya respon positif dari investor asing untuk menanamkan modalnya secara langsung di Indonesia. Adanya aliran modal yang masuk tersebut dapat menyebabkan nilai tukar Rupiah mengalami apresiasi terhadap mata uang asing.
Kenaikan current account sebesar satu persen menyebabkan nilai tukar Rupiah mengalami depresiasi sebesar 0,20789 persen. Hal ini membuktikan bahwa walaupun terjadi peningkatan current account belum tentu diikuti oleh peningkatan valas yang masuk ke dalam negeri dan kemungkinan besar valas tersebut banyak tersimpan di bankbank asing sehingga tidak mampu menambah jumlah penawaran dalam valas.
Variabel dummy krisis berpengaruh positif terhadap nilai tukar Rupiah. Adanya dummy krisis menyebabkan nilai tukar Rupiah mengalami depresiasi sebesar 0,85453 persen. Hal ini terjadi karena dummy krisis menyebabkan resiko
kegagalan investasi menjadi meningkat, sehingga menyebabkan tingkat kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia menjadi menurun. Menurunnya modal yang masuk ke Indonesia menyebabkan permintaan terhadap mata uang domestik menjadi menurun dan dapat berakibat pada nilai tukar Rupiah yang terdepresiasi.
5.5. Respon Nilai Tukar Rupiah Akibat Guncangan Variabel Capital