• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Perkembangan BPR

Perkembangan BPR menunjukkan peningkatan yang pesat, yang ditandai dengan meningkatnya jumlah dan jaringan kantor BPR. Peningkatan jumlah kantor BPR memiliki trend yang positif dari tahun ke tahun, dengan rata-rata peningkatan jumlah kantor BPR selama enam tahun sebesar 3,46 persen. Data akhir Mei 2008 menunjukkan bahwa jumlah kantor BPR adalah sebanyak 3.289, yang terdiri dari 1.811 Kantor Pusat (KP), 686 buah Kantor Cabang (KC), dan 792 buah Kantor Kas.

Tabel 2.1 Perkembangan Jumlah Kantor BPR 2001 s.d. Mei 2008 Jumlah Kantor Pusat Jumlah Kantor Cabang Jumlah Kantor Kas Total Des. 2002 2.141 140 466 2.747 Des. 2003 2.141 140 1.018 3.299 Des. 2004 2.158 163 1.186 3.507 Des. 2005 2.009 311 790 3.110 Des. 2006 1.880 477 791 3.169 Des. 2007 1.817 642 791 3.250 Mei 2008 1.811 686 792 3.289

Sumber : Bank Indonesia 2008

Tabel 2.1 memperlihatkan selama lima tahun terakhir terjadi penurunan jumlah BPR dari 2.141 unit BPR pada bulan Desember 2002 menjadi 1.811 unit BPR pada bulan Mei 2008, akan tetapi penurunan tersebut tidak menghalangi peningkatan jangkauan pelayanan BPR terhadap sektor UMKM. Hal ini, terlihat dengan semakin

meningkatnya jumlah kantor BPR dan jumlah kredit modal kerja yang disalurkan BPR kepada sektor UMKM, yang mengalami pertumbuhan sebesar 20,83 persen per Mei 2008 (Bank Indonesia, 2008).

Industri BPR yang saat ini berjumlah 1.811 unit, dalam perjalanannya berkembang dengan kondisi yang beragam. Terdapat BPR yang sampai saat ini memiliki total aset tertinggi hingga Rp. 1.164 triliun, di sisi lain terdapat BPR yang mampu bertahan dengan volume usaha hanya sebesar Rp. 11,63 juta. Mayoritas BPR (61,29%) di Indonesia memiliki aset yang berada pada kisaran Rp. 1 hingga 10 miliar, dan sekitar 4,20 persen BPR lainnya memiliki asset di bawah Rp. 1 miliar (Bank Indonesia, 2008).

Sumber : Bank Indonesia, 2008

Berdasarkan Gambar 2.1 terlihat bahwa BPR selama enam tahun terakhir mengalami perkembangan asset yang cukup baik. Hal ini terlihat dari semakin berkurangnya proposi BPR yang memiliki asset di bawah Rp 5 Milliar, dari 76 persen total BPR pada tahun 2003 menjadi hanya 38 persen dari total BPR.

Kondisi serupa juga terlihat pada penyebaran modal inti BPR, masih terdapat 44,71 persen BPR yang beroperasi dengan modal inti kurang dari Rp. 1 miliar, sementara itu terdapat BPR dengan modal inti mencapai Rp. 161,66 miliar. Mayoritas BPR (52,38%) memiliki modal inti yang berada pada range Rp. 1 hingga 10 miliar. Sedikit berbeda dengan sebaran aset dan modal inti, rata-rata (52,32%) BPR memiliki modal disetor sebesar kurang dari Rp. 1 miliar (Bank Indonesia, 2008).

Hasil Laporan Kuawartal I 2008 (Bank Indonesia, 2008), dilihat dari aspek keuangan Loan to Deposit Ratio (LDR) BPR mencapai sekitar 81,25 persen dengan pertumbuhan kredit per Mei mencapai 24,30 persen. Untuk NPL BPR, walaupun masih cukup tinggi risiko kredit BPR menunjukkan perbaikan dengan turunnya rasio NPL gross menjadi 7,46 persen dari 9,34 persen per Mei 2008. Selain nilai NPL BPR, secara umum kinerja BPR sampai dengan bulan Mei 2008 mengalami perkembangan yang cukup baik. Hal ini ditunjukkan oleh indikator rentabilitas yakni ROA dan ROE berada pada 3,74 persen dan 25,11 persen.

2.3 Produk Pelayanan BPR

Produk pelayanan yang umum diberikan oleh BPR kepada masyarakat berbentuk tabungan, dan kredit. Bank Indonesia untuk jenis pelayanan kredit,

membagi dalam 3 kategori, yaitu berdasarkan plafon, berdasarkan penggunaan, dan berdasarkan sektor ekonomi. Berikut ini diuraikan secara ringkas 3 kategori tersebut : a. Berdasarkan Plafon

Plafon adalah nilai nominal kredit yang diberikan BPR kepada debitur. Kredit berdasarkan plafon terdiri dari:

1. Kredit Mikro : sampai dengan Rp 50 juta

2. Kredit Kecil : di atas Rp 50 juta sampai dengan Rp 500 juta 3. Kredit Menengah : di atas Rp 500 juta sampai dengan Rp 5 milyar b. Berdasarkan Penggunaan

Kredit berdasarkan penggunaan adalah tujuan penggunaan kredit oleh debitur. Kredit berdasarkan penggunaan terdiri dari kredit modal kerja, investasi, dan konsumsi. Kredit modal kerja adalah kredit yang di peruntukkan untuk modal kerja debitur; kredit investasi adalah kredit yang diperuntukkan untuk pembelian barang modal dan jasa debitur; kredit konsumsi diperuntukkan untuk keperluan konsumsi berupa barang atau jasa.

c. Berdasarkan ekonomi

Kredit berdasarkan sektor ekonomi dirinci atas : 1. Pertanian

Kredit yang diberikan kepada bidang usaha pertanian dalam arti luas, seperti perkebunan, perikanan, peternakan, termasuk pula usaha-usaha di bidang perburuan dan sarana pertanian.

2. Perindustrian

Kredit yang diberikan kepada bidang usaha yang mengubah bentuk/ mengolah menjadi barang baru baik dikerjakan dengan mesin, tenaga manusia, maupun lainnya seperti industri kecil. Termasuk pula dalam sektor ini jasa-jasa seperti reparasi dan pengangkutan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari sektor industri bersangkutan.

3. Perdagangan, Restoran, dan Penginapan

Kredit yang diberikan kepada bidang usaha yang bergerak dibidang perdagangan barang, rumah makan dan penginapan.

4. Jasa-Jasa

Kredit yang diberikan kepada usaha yang bergerak dibidang pemberian jasa untuk membangun dan memperbaiki gedung, rumah tempat tinggal, pasar dan sebagainya, baik untuk disewakan maupun untuk dijual. Termasuk pula dalam sektor ini adalah usaha dibidang pengangkutan, jasa sosial masyarakat seperti hiburan dan kebudayaan, kesehatan, penyelenggaraan kursus-kursus dan pendidikan serta jasa lainnya seperti bengkel.

5. Lain-lain

Kredit yang diberikan kepada usaha yang tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu bidang usaha di atas (1-4), misalnya sektor ekonomi dari kredit konsumsi berupa keperluan akan perumahaan, kendaraan, dan alat-alat rumah tangga.

2.4 Indikator Kinerja BPR

Kinerja lembaga keuangan mikro menurut Zeller dan Meyer (2002) diklasifikasikan dalam tiga kategori indikator penilaian yang disebut sebagai segitiga keuangan mikro (The Triangle of Microfinance). Ketiga indikator kinerja tersebut adalah stabilitas keuangan (financial sustainability), keterjangkauan BPR (outreach), dan dampak keberadaan BPR dalam sebuah lingkungan (impact). Suatu lembaga keuangan mikro harus dapat memenuhi ketiga indikator tersebut jika ingin dikatakan memiliki kinerja yang baik. Pencapai ketiga hal tersebut secara bersamaan perlu didukung oleh adanya inovasi kelembagaan yang mencakup berbagai aspek, dan dukungan kebijakan pemerintah. Berikut ini diuraikan secara ringkas indikator- indikator turunan dari theTriangle of Microfinance :

2.4.1 Financial Sustainabiltiy

Menurut InterCAFE (2008) indikator stabilitas keuangan (financial sustainability) mengacu pada profitabilitas dan efisiensi BPR sebagai lembaga keuangan mikro. Profitabilitas berarti bahwa kesehatan suatu LKM dapat diindikasikan oleh kemampuan LKM tersebut dalam memperoleh pendapatan yang dapat menutupi opportunity cost dari input dan asset yang ada. Di samping itu, LKM juga harus efisien yang ditunjukkan dengan produktivitas.

2.4.2 Outreach

Menurut Schreiner (1999), outreach (jangkauan pelayanan) mengacu pada jumlah nasabah yang dilayani dengan memperhatikan kualitas produk yang ditawarkan. LKM memiliki dua pendekatan dalam meningkatkan outreach yang dimilikinya, yaitu the proverty approach dan the self-sustainabilty approach. The

proverty approach adalah peningkatan outreach suatu LKM yang ditargetkan kepada masyarakat menengah ke bawah yang tidak bankabel untuk dibiayai oleh perbankan. Pendekatan the proverty approach dalam pelaksanaannya memerlukan bantuan dari para donasi untuk menutupi selisih antara keuntungan dengan biaya. The self- sustainabilty approach adalah peningkatan outreach yang ditargetkan kepada masyarakat menengah ke bawah yang bankable untuk dibiayai oleh perbankan.

Kedua pendekatan tersebut digambarkan oleh 6 aspek outreach, yaitu worth (manfaat), cost (biaya), depth (kedalaman), breadth (luas), length (jangka waktu), dan scope (cakupan). The proverty approach memiliki ciri narrow breadth, short length, dan limited scope. Sedangkan the self-sustainabilty approach memiliki ciri wide breadth, long length, dan ample scope.

a. Worth to clients (Nilai/manfaat bagi nasabah)

Nilai outreach dapat didefinisikan sebagai willingness to pay para nasabah. Worth to clients tergantung pada beberapa faktor seperti akad (kontrak) kredit hingga kendala dan peluang yang dihadapi nasabah. Worth to clients relatif sulit untuk diukur karena tergantung pada dua sisi yang berbeda yaitu manfaat subjektif yang diterima dari kontrak kredit serta tidak diketahuinya apa yang akan terjadi tanpa kehadiran lembaga keuangan mikro (LKM).

b. Cost to clients (Biaya yang dikeluarkan nasabah)

Cost to clients merupakan jumlah biaya harga/bunga (price costs) dan biaya transaksi (transaction costs). Dalam hal ini, biaya bunga dan fee merupakan bagian dari price costs dan merupakan pendapatan bagi LKM. Sedangkan biaya transaksi merupakan non-price costs yang terdiri dari a) non cash opportunity costs seperti

waktu yang diperlukan untuk pengajuan kredit, dan b) pengeluaran tunai tidak langsung (indirect cash expenses) seperti biaya untuk transportasi, dokumen, konsumsi dan pajak yang diperlukan untuk menggunakan kontrak kredit.

c. Depth (Kedalaman)

Depth (kedalaman) merupakan manfaat yang diperoleh masyarakat secara umum. Hanya saja, relatif sulit mengukur depth melalui pendapatan dan kesejahteraan. Pengukuran yang lebih sederhana dapat dilihat dari pendekatan tidak langsung seperti jenis kelamin, lokasi, edukasi, etnis, tipe rumah dan akses terhadap layanan publik. Bagi UMK, kriteria ini disesuaikan misalnya berdasarkan asset maupun omset usaha, status kepemilikan, jumlah dan kualitas tenaga kerja.

d. Breadth (Luas)

Breadth mengandung pengertian jumlah nasabah. Indikator ini sangat erat kaitannya dengan kendala anggaran yang dimiliki LKM. Hal ini dikarenakan bahwa selain dapat meningkat profitabilitas LKM, perluasaan jangkauan operasional maupun nasabah akan membawa konsekuensi pada penambahan biaya.

e. Length (Jangka waktu)

Length menunjukkan jangka waktu (time frame) dari supply microfinance. Pengukuran length relatif sulit karena hal tersebut terjadi di masa depan. Salah satu proxy yang dapat diaplikasikan adalah profit. Hal ini dikarenakan profit merupakan sinyal bahwa LKM memiliki kemampuan untuk mendapatkan sumberdaya.

f. Scope (Cakupan)

Scope adalah jumlah berbagai kontrak financial yang ada di LKM. Dalam hal ini, scope dapat dibagi dalam dua hal, yaitu untuk produk pinjaman dan simpanan.

Bagi produk pinjaman, scope juga dapat dilihat dari pinjaman individu dan pinjaman kelompok. Untuk kontrak simpanan, Scope juga dibedakan berdasarkan berbagai skema.

2.4.3 Impact

Menurut Hulme (2000) impact mengacu pada kontribusi BPR dalam lingkungan tempat BPR beroperasi. Kontribusi ini bisa berupa kontribusi positif maupun negatif. Kontribusi positif di antaranya adalah bagaimana LKM memberdayakan nasabah dan para debitur melalui alokasi dana yang diberikan kepada debitur.

Dokumen terkait