• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkerasan jalan adalah konstruksi yang dibangun di atas lapisan tanah dasar (subgrade), yang berfungsi untuk menopang beban lalu-lintas. Jenis konstruksi perkerasan jalan pada umumnya ada dua jenis, yaitu perkerasan lentur (flexible pavement) dan perkerasan kaku (rigid pavement). Selain kedua jenis

perkerasan tersebut, saat ini telah banyak digunakan jenis gabungan (composite pavement), yaitu perpaduan antara lentur dan kaku. Perencanaan konstruksi perkerasan juga dapat dibedakan antara perencanaan untuk jalan baru dan untuk peningkatan (jalan lama yang sudah pernah diperkeras). Perencanaan konstruksi atau tebal perkerasan jalan dapat dilakukan dengan banyak metode, antara lain:

AASHTO dan The Asphalt Institute (Amerika), Road Note (Inggris), NAASRA (Australia), dan Bina Marga (Indonesia). Mengingat perkerasan jalan diletakkan di atas tanah dasar, maka secara keseluruhan mutu dan daya tahan konstruksi perkerasan tidak terlepas dari sifat tanah dasar. Tanah dasar yang baik untuk konstruksi perkerasan adalah tanah dasar yang berasal dari lokasi setempat atau dengan tambahan timbunan dari lokasi lain yang telah dipadatkan dengan tingkat kepadatan tertentu, sehingga mempunyai daya dukung yang mampu mempertahankan perubahan volume selama masa pelayanan, walaupun terdapat perbedaan kondisi lingkungan dan jenis tanah setempat.

Banyak metode yang dapat dipergunakan untuk menentukan daya dukung tanah dasar. Di Indonesia, daya dukung tanah dasar (DDT) pada perencanaan perkerasan lentur dinyatakan dengan nilai CBR (California Bearing Ratio), yaitu nilai yang menyatakan kualitas tanah dasar dibandingkan dengan bahan standar berupa batu pecah yang mempunyai nilai CBR sebesar 100% dalam memikul beban lalu lintas. Menurut Basuki, I. (1998), nilai daya dukung tanah dasar (DDT) pada proses perhitungan perencanaan tebal perkerasan lentur jalan raya dengan metode analisa komponen sesuai dengan SKBI-2.3.26.1987 dapat diperoleh dengan menggunakan rumus konversi nilai CBR tanah dasar.

Menurut Departemen Pekerjaan Umum (1987), yang dimaksud dengan perkerasan lentur (flexible pavement) adalah perkerasan yang umumnya menggunakan bahan campuran beraspal sebagai lapisan permukaan, serta bahan berbutir sebagai lapisan di bawahnya. Perkerasan lentur jalan dibangun dengan susunan sebagai berikut.

1. Lapisan permukaan (surface course), yang berfungsi untuk:

a. Memberikan permukaaan yang rata bagi kendaraan yang melintas di atasnya.

b. Menahan gaya vertikal, horisontal, dan getaran dari beban roda, sehingga harus mempunyai stabilitas tinggi untuk menahan beban roda selama masa pelayanan.

c. Sebagai lapisan rapat air untuk melindungi lapisan di bawahnya.

d. Sebagai lapisan aus.

2. Lapisan pondasi atas (base course), yang berfungsi untuk:

a. Mendukung fungsi lapisan permukaan sebagai penahan gaya geser dari beban roda, dan menyebarkannya ke lapisan di bawahnya.

b. Memperkuat konstruksi perkerasan, sebagai bantalan terhadap lapisan permukaan.

c. Sebagai lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah.

3. Lapisan pondasi bawah (subbase course), yang berfungsi untuk:

a. Menyebarkan tekanan yang diperoleh ke tanah

b. Mengurangi tebal lapisan pondasi atas yang menggunakan material berkualitas lebih tinggi, sehingga dapat menekan biaya yang digunakan agar lebih efisien

c. Sebagai lapisan peresapan air

d. Mencegah masuknya tanah dasar yang berkualitas rendah ke lapisan pondasi atas

e. Sebagai lapisan awal untuk melaksanakan pekejaan perkerasan jalan

Gambar 2.3 Lapisan tanah

2.3 Unconfined Compresion Strenght Test (UCST)

Unconfined Compresion Strenght Test (UCST) dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kekuatan tekan bebas suatu jenis tanah yang bersifat kohesif dalam keadaan asli (undisturbed) atau dalam keadaan buatan/dibentuk kembali (remoulded). Pengujian kuat tekan batuan utuh tersebut untuk menentukan kekuatan batuan intact dilakukan dengan sampel berbentuk silinder hasil dari pengeboran full coring. Pengujian ini menggunakan mesin tekan untuk menekan sampel batuan yang berbentuk silinder dari satu arah (uniaksial). Perbandingan antara tinggi dan diameter percontoh (l/D) mempengaruhi nilai kuat tekan batuan.

Pengujian kuat tekan secara umum menggunakan perbandingan L=2D, dengan keterangan, L merupakan Length atau panjang dari sampel, sedangkan D adalah diameter dari sampel batuan yang akan diuji.

Kuat geser tanah adalah gaya perlawanan yang dilakukan oleh butir tanah terhadap desakan atau tarikan. Bila tanah mengalami pembebanan, maka tanah tersebut akan ditahan oleh kohesi tanah yang tergantung pada jenis tanah dan kepadatannya, serta gesekan antar butir – butir tanah.

2.4 California Bearing Ratio (CBR)

CBR merupakan suatu perbandingan antara beban percobaan (test load) dengan beban standar (standard load) yang dinyatakan dalam persentase. Harga CBR adalah nilai yang menyatakan kualitas tanah dasar dibandingkan dengan bahan standar berupa batu pecah yang mempunyai nilai CBR sebesar 100% dalam memikul beban. Tanah dasar (subgrade) pada konstuksi jalan baru dapat berupa tanah asli, tanah timbunan, atau tanah galian, yang telah dipadatkan sampai mencapai kepadatan 95% kepadatan maksimum. Untuk menentukan tebal perkerasan secara umum, kekuatan tanah dasar dinyatakan dalam nilai CBR. CBR diperoleh dari percobaan, baik untuk sampel tanah asli (undisturb sample), maupun contoh tanah yang dipadatkan (compacted sample). Percobaan dapat dilakukan secara langsung di lapangan. Pada perencanaan jalan baru, tebal perkerasan biasanya ditentukan dari nilai CBR tanah dasar yang dipadatkan. Nilai CBR yang digunakan untuk perencanaan disebut CBR desain. Desain CBR dari

hasil percobaan di laboratorium dilakukan dengan memperhitungkan dua faktor, yaitu :

a. Kadar air tanah serta berat isi kering pada waktu dipadatkan.

b. Percobaan pada kadar air yang mungkin terjadi setelah perkerasan selesai dibuat. Sample tanah yang diuji mempunyai kadar air mendekati air optimum (toleransi ± 5%).

2.5 Parameter Pemadatan Tanah/Kompaksi a. Berat Isi Kering Maksimum (γdmaks)

Kamarudin F.B (2005) mengatakan bahwa untuk suatu jenis tanah yang dipadatkan dengan daya pemadatan tertentu, kepadatan yang dicapai tergantung pada banyaknya air (kadar air) tanah tersebut. Besarnya kepadatan tanah dinyatakan dalam nilai berat isi kering (ᵞd) nya. Apabila tanah dipadatkan dengan adanya pemadatan yang tetap pada kadar air yang bervariasi, maka pada nilai kadar air tertentu akan tercapai kepadatan maksimum (γdmaks). Kadar air yang menghasilkan kepadatan maksimum disebut kadar air optimum (wopt).

Derajat kepadatan tanah dinyatakan dalam istilah berat isi kering (γd), yaitu perbandingan berat butiran tanah dengan volume total tanah. Berat volume tanah dapat dinyatakan dalam persamaan:

Pertambahan dan pengurangan nilai kepadatan kering tergantung kepada kadar air dalam sampel tanah, berat pemadatan, dan tenaga pemadatan. Craig (1993) mengatakan bahwa pada umumnya penambahan air akan memenuhi ruang antar partikel yang sebelumnya dipenuhi udara. Di samping itu, air juga akan merespon partikel tanah dan menambah kemampuan tanah. Peningkatan kemampuan tanah akan mengurangi sifat kaku tanah untuk dipadatkan dan menghasilkan berat isi kering (γd) yang lebih tinggi, sedangkan penambahan

volume air yang terlalu besar akan menyebabkan sebagian volume tanah akan dipenuhi air dan akan mengurangi berat isi kering tanah (γd).

b. Kadar Air Optimum (wopt)

Bambang Surendro (2014) menyatakan bahwa suatu tanah yang kohesif (lempung) dalam keadaan kering keras dan berbongkah-bongkah, sangat sukar dipadatkan. Untuk memudahkan pemadatan, tanah lempung perlu dibasahi, karena semakin basah tanah, maka akan semakin mudah dihancurkan. Namun, bila terlalu basah akan menghasilkan tanah yang kurang padat. Dengan peningkatan kadar air, partikel tanah memiliki lapisan air di sekelilingnya, sehingga lapisan air tersebut menjadi pelicin/pelumas yang menyebabkan partikel lebih mudah untuk digerakkan. Kepadatan maksimum akan diperoleh pada saat tanah memiliki kondisi kadar air optimum (wopt), yakni pada saat berat isi kering maksimum (ᵞdmax). Hubungan antara kadar air optimum dengan berat isi kering tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Hubungan kadar air optimum dengan berat isi kering maksimum.

Pengujian di lapangan perlu dilakukan untuk memastikan bahwa pemadatan sudah sesuai dengan spesifikasi. Sampel tanah diuji di laboratorium untuk diukur nilai kepadatannya. Menurut spesifikasi umum, kepadatan tanah di lapangan harus mencapai 100% dari pemadatan di laboratorium, dan 95% untuk material granural. Jika kondisi tersebut tidak tercapai maka pemadatan dinyatakan gagal

atau tidak memenuhi syarat. Persamaan tersebut dinyatakan sebagai berikut.

𝐷𝑒𝑟𝑎𝑗𝑎𝑡 𝐾𝑒𝑝𝑎𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛 = 𝐾𝑒𝑝𝑎𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑑𝑖 𝑙𝑎𝑝𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛

𝐾𝑒𝑝𝑎𝑑𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑑𝑖 𝑙𝑎𝑏𝑜𝑟𝑎𝑡𝑜𝑖𝑢𝑚× 100%

Terdapat empat faktor yang mempengaruhi kontrol pemadatan dalam hal pemadatan tanah, yaitu : tipe tanah dan gradasi, kadar air optimum (wopt), berat isi kering (γd), dan energi pemadatan (compaction effort). Pemadatan tanah merupakan fungsi dari kadar air, karena pada kondisi tersebut, air berperan sebagai pelembut (softening agent) atau lubrikasi pada partikel tanah yang akan membantu menyusun partikel tanah mengisi rongga udara menjadi lebih padat.

Namun, kelebihan air tidak akan membantu tanah mencapai densitas yang padat, karena rongga udara telah terisi oleh air yang bersifat inkompresibel. Hal ini menyebabkan partikel tanah akan mengalir atau kehilangan friksi, dan energi pamadatan langsung diterima oleh air.

Tipe tanah serta gradasi juga akan mempengaruhi kurva pemadatan.

Umumnya tanah yang dominan berbutir halus atau fine grain akan membutuhkan kadar air lebih untuk mencapai pemadatan optimum. Sebaliknya, tanah dominan berbutir kasar atau coarse grain membutuhkan sedikit kadar air untuk mencapai kadar air pemadatan optimum. Hal ini juga terkait dengan sifat plastis tanah.

Tanah berbutir halus atau fine grain seperti lempung kelanauan memiliki sifat yang lebih plastis jika dibandingkan dengan tanah berbutir kasar, seperti pasir kelanauan yang memiliki indeks plastis rendah. Secara umum, semakin tinggi derajat pemadatannya maka kemampuan tanah menahan gaya geser (shearing force) akan semakin rendah.

2.6 Stabilisasi Tanah

Stabilisasi tanah adalah pencampuran tanah dengan bahan tertentu, dengan tujuan untuk memperbaiki sifat-sifat teknis tanah. Dengan kata lain, stabilisasi tanah merupakan usaha untuk merubah atau memperbaiki sifat-sifat teknis tanah agar memenuhi syarat teknis tertentu. Dalam pembangunan perkerasan jalan, stabilisasi tanah didefinisikan sebagai perbaikan material jalan lokal yang ada, dengan cara stabilisasi mekanis atau dengan cara menambahkan suatu bahan

tambah (additive) ke dalam tanah. Stabilisasi tanah dapat dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut.

1. Stabilisasi Mekanis

Stabilisasi mekanis dilakukan dengan cara mencampur atau mengaduk dua macam tanah atau lebih yang bergradasi berbeda untuk memperoleh material yang memenuhi syarat kekuatan tertentu. Pencampuran tanah ini dapat dilakukan di lokasi proyek, di pabrik, atau di tempat pengambilan bahan timbunan (borrow area). Material yang telah dicampur kemudian dihamparkan dan dipadatkan di lokasi proyek. Stabilisasi mekanis dapat juga dilakukan dengan cara menggali tanah uruk di tempat dan menggantinya dengan material granuler dari tempat lain.

2. Stabilisasi dengan Bahan Tambahan

Bahan tambahan (additives) adalah bahan hasil olahan pabrik yang apabila ditambahkan ke dalam tanah dengan perbandingan yang tepat akan memperbaiki sifat-sifat teknis tanah, seperti kekuatan, tekstur, kemudahan dikerjakan (workability), dan plastisitas tanah. Contoh-contoh bahan tambah adalah kapur, semen portland, abu terbang (fly ash), abu dasar (bottom ash), aspal (bitumen), dan lain-lain.

2.7 Proctor Standard (Pemadatan)

Percobaan proctor dilakukan untuk mendapatkan nilai ω maksimum atau optimum dan ℽ dry maksimum dari tanah, dan berguna untuk standar pemadatan di lapangan dengan jenis tanah tersebut. Untuk mendapatkan ω maksimum atau optimum dan ℽ dry maksimum, maka dilakukan penambahan air dengan kadar air yang berbeda – beda. Namun, sebelum percobaan dilakukan, nilai PL (plastic limit) harus diketahui terlebih dahulu.

2.8 Hubungan Parameter Kompaksi dengan Index properties

Penelitian dalam memprediksi nilai kompaksi tanah (berat isi kering maksimum dan kadar air optimum) telah banyak dikembangkan. Penelitian-penelitian tersebut menggunakan beberapa parameter geoteknik, seperti batas plastis (plastic limit), batas cair (liquid limit), specific gravity, energi kompaksi

(compaction energy), analisa distribusi butiran (grain size distribution), dan klasifikasi tanah. Penelitian untuk mengetahui hubungan antar parameter kompaksi. Nilai-nilai tersebut dihubungkan dengan cara regresi linear berdasarkan nilai indeks properties (Siagian, D.W dan Muis, Z.A., 2013). Besaran prediksi X1 = % berat tertahan saringan 4,75 mm

X2 = % berat saringan 4,75 mm dan tertahan saringan 0,075 mm X3 = % berat saringan lewat 0,075 mm

A, B, C = Konstanta nomor saringan F = % butiran halus

Konstanta m dan k diperoleh dari grafik hubungan antara Log G dengan nilai berat isi kering maksimum serta nilai kadar air optimum dari hasil percobaan di laboratorium, sedangkan F merupakan % butiran halus yang ditentukan.

Tabel 2.1 Penentuan Nilai F

2.9 Grup Index Tanah

Dalam sistim klasifikasi AASHTO, tanah kelompok A-1 sampai A-7 diilustrasikan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Klasifikasi tanah menurut AASHTO

Pengelompokan tanah A-7 terbagi menjadi dua kategori, yaitu: A-7-5 apabila IP < ( LL-30 ), dan A-7-6 apabila IP > ( LL-30 ). Sedangkan untuk kelompok tanah berbutir kasar, A-1, A-2 dan A-3, definisikan masing-masing ketiga jenis tersebut dijabarkan sebagai berikut.

 A-1 adalah kelompok tanah yang terdiri dari kerikil dan pasir kasar dengan sedikit atau tanpa butir halus, dengan atau tanpa sifat-sifat plastis.

 A-2 adalah kelompok batas antara kelompok tanah berbutir kasar dengan tanah berbutir halus. Kelompok A-2 terdiri dari campuran kerikil/pasir kasar dengan tanah berbutir halus yang cukup banyak (< 35%).

 A-3 adalah kelompok tanah yang terdiri dari pasir halus dengan sangat sedikit mengandung butir-butir halus yang lolos saringan No. 200 dan bersifat tidak plastis.

Kelompok tanah berbutir halus yaitu jenis A-4, A-5, A-6, dan A-7, didefinisikan sebagai berikut.

 A-4 adalah kelompok tanah lanau berplastisitas rendah.

 A-5 adalah kelompok tanah lanau yang mengandung lebih banyak parikel-partikel halus yang bersifat plastis. Sifat plastis tanah ini lebih besar dari kelompok A-4.

 A-6 adalah kelompok tanah lempung yang masih mengandung butir-butir pasir dan kerikil, tetapi sifat perubahan volumenya cukup besar.

 A-7 adalah kelompok tanah lempung yang lebih bersifat plastis. Tanah ini mempunyai sifat perubahan volume besar.

AASHTO memperkenalkan Indeks Kelompok atau Grup Indeks (GI) untuk membedakan kemampuan tanah dasar dalam memikul beban roda, yang merupakan fungsi dari persentase tanah yang lolos saringan No.200 dan batas Atterberg. Grup Indeks dibuat dengan assumsi sebagai berikut.

- Semua kelompok yang masuk dalam kelompok A-1, A-3 dan A-2, kecuali A-2-6 dan A-2-7 adalah kelompok tanah yang baik untuk dijadikan tanah dasar.

- Tanah berbutir halus adalah 35% tanah yang lolos saringan No. 200.

- Batas cair tanah adalah 40% dan batas indeks plastis adalah 10%.

Dengan berdasarkan assumsi tersebut, AASHTO merumuskan GI sebagai berikut.

GI = (F – 35) {0,2 + 0,005 (LL – 40)} + 0,01 (F – 15) (IP – 10) Keterangan :

GI = Grup indeks

F = Jumlah persentase yang lolos saringan No. 200 dari material yang lolos saringan 3 inch.

LL = Batas cair IP = Indeks plastis

Nilai GI dinyatakan dalam bilangan bulat dan dituliskan dalam tanda kurung di belakang kelompok jenis tanahnya. Jika GI yang diperoleh bernilai negatif, maka dituliskan sebagai bilangan nol, dan jika nilai GI >

20, maka dituliskan sebagai bilangan 20. Contoh A-1-a (0) dan A-2-4 (20). Pada umumnya, semakin besar nilai GI tanah dalam satu kelompok, maka tanah tersebut semakin kurang baik untuk dipakai sebagai tanah dasar. Sebagai contoh, tanah dalam kelompok A-2-4(2) lebih baik digunakan sebagai tanah dasar dari pada tanah dalam kelompok A-2-4(10).

2.10 Penelitian Terdahulu

1. Ole Hjelmar, Jesper Holm, Kim Crillesen (2007) melakukan penelitian tentang “Pemanfaatan Abu Dasar Limbah Padat Kota sebagai Sub-base dalam Pembangunan Jalan: Hasil Pertama dari Uji Skala Besar”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari penambahan abu dasar pada pada subbase perkerasan jalan dalam jangkauan yang besar. Hasilnya ialah sebagai berikut.

a. Terdapat perbedaan hasil pH antara hasil uji laboratorium dengan pengaplikasian di jalan dikarenakan karbonasi yang terjadi akibat keadaan lahan.

b. Dari percobaan, bottom ash dapat digunakan sebagai bahan pengisi pada subbase dengnan kondisi yang telah ditentukan.

2. Hui-Lan Chang, Wen-Chen Jau, Kung-Cheh Li, dan Cheng-Fang Lin (2004) melakukan penelitian tentang “Evaluasi Kelayakan Pemanfaatan Insinerasi Abu Dasar sebagai Bahan Subbase”. Penelitian ini membahas tentang kegunaan abu dasar sebagai campuran tanah subbase. Hasil yang didapat ialah sebagai berikut.

a. Karakteristik dasar dan hasil uji teknik menunjukkan bahwa abu dasar, setelah modifikasi, cocok untuk digunakan kembali sebagai agregat subbase. Namun, hasil analisis saringan yang tidak konsisten dengan gradasi subbase memiliki kemungkinan mempengaruhi kualitas teknik dari abu dasar sebagai subbase.

b. Sebelum perawatan, penurunan jumlah isi organik dan garam yang larut dalam air sangat dianjurkan dan dianggap sebagai proses kebutuhan untuk pembangunan jalan.

3. Penelitian Al-Khafaji (1993)

Peneliti melakukan pengujian untuk memprediksi nilai kompaksi dengan nilai pemadatan. Metode yang dihasilkan yaitu:

MDD = 2.44 – 0.22PL – 0.008LL OMC = 0.24LL + 0.63PL – 3.13

4. Penelitian B Metacalf et.al (2008)

Peneliti melakukan pengujian untuk memprediksi nilai kompaksi dengan nilai batas plastis dan modulus plastis. Metode yang dihasilkan yaitu:

MDD (t/m3) = 2,0513 – 0,0513*PL – 0,000016*PM + 0,2901*GR2 R2 = 0,81; Standard Error = 0.074 (t/m3)

OMC (%) = 9,4169 + 0,0041*PM – 0,3095*GC + 0,3107*PL R2 = 0,78; Standard Error = 2,46 (%)

5. Penelitian Blotz, et.al (1998)

Peneliti melakukan pengujian untuk memprediksi nilai kompaksi dengan nilai pemadatan. Metode yang dihasilkan yaitu:

MDD= (2.27 log LL – 0.94) Log E – 0.16 LL+ 17.02 OMC = (12.39 – 12.21 log LL) log E + 0.67 LL + 9.21

6. Penelitian Ugbe (2012)

Peneliti melakukan pengujian untuk memprediksi nilai kompaksi dengan nilai persentase butiran halus, batas cair, dan berat jenis. Metode yang dihasilkan yaitu:

MDD = 15.665SG + 1.526LL-4.313F + 2011.960 R2 = 0.895

OMC = 0.129F-0.0196LL-1.4233SG + 11.399 R2 = 0.795

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu tahap persiapan, pemeriksaan mutu bahan (bottom ash, cement, dan soil), perencanaan campuran, dan pengujian sampel di laboratorium. Berikut ini adalah bagan alir yang diterapkan pada penelitian ini.

Gambar 3.1 Bagan Alir Penelitian MULAI

Tahap Persiapan Tahap Pembuatan Benda Uji

Pencampuran tanah dengan kadarbottom ash 2%

Tahap Pengujian di Laboratorium

Tahap Pengolahan Data

Tahap Estimasi Hubungan Parameter Kompaksi dengan Index Properties

Kesimpulan dan Saran

Selesai Tahap Analisa

Engineering properties :

1. Uji Proctor Standar 2. Uji CBR laboratorium 3. Uji UCST

Index properties :

1. Uji Kadar Air 2. Uji Berat jenis 3. Uji Atterberg 4. Analisa Saringan

Campuran sampel yang akan diuji dibuat dengan beberapa jenis, dengan perbandingan yang dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.1 Campuran sampel

Keterangan :

BA = Bottom ash; C = Cement; S = Soil

3.1 Metodologi dan Lokasi Penelitian I. Metode dan Lokasi

Penelitian ini merupakan pengujian yang dilakukan pada tanah sampel subbase yang dicampur dengan bottom ash di Laboratorium Mekanika Tanah Departemen Teknik Sipil, Universitas Sumatera Utara. Penelitian dilakukan dengan index properties yang terdiri dari uji kadar air, uji berat jenis, uji atterberg, dan analisa saringan. Selain itu, penelitian juga dilakukan dengan engineering properties yang terdiri dari uji proktor standar, uji CBR di laboratorium, dan uji UCST.

No Variasi persentase campuran Jumlah sampel 1 BA : C : S = 2% : 10% : 88% 30

II. Persiapan sampel

Tahap persiapan sampel yang akan diuji dijabarkan sebagai berikut.

1. Tanah diambil secara acak dari sekitaran Sibolga, Sumatera Utara. Tanah tersebut diharuskan tidak mengandung akar-akar tanaman dan humus.

Tanah yang akan digunakan sebagai sampel harus memiliki persyaratan IP > 10. Oleh karena itu, terlebih dahulu dilakukan permeriksaan Atterberg limits yang dilakukan langsung di lapangan pada tahap ini. Satu sampel bahan uji membutuhkan berat kurang lebih 15 kg.

2. Bottom ash sebagai materi uji, merupakan limbah dari pembakaran batu bara, sebanyak 250 kg. Kriteria bottom ash pada pengujian adalah bottom ash yang lolos ayakan No.200.

3. Penelitian dilakukan dengan pengujian terhadap 390 sampel.

Dokumentasi pengujian di laboratorium dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 3.2 Sampel Tanah yang akan diuji,bottom ash dan tanah yang diayak menggunakan ayakan No.200

(Sumber: Dokumentasi pribadi)

III. Pembuatan Benda Uji

Pembuatan benda uji dibagi menjadi beberapa macam sesuai dengan pengujian masing-masing dengan bottom ash dan semen yang tetap untuk semua pengujian.

IV. Pengujian Benda Uji

Pengujian laboratorium terdiri dari pengujian index properties dan engineering properties. Pengujian index properties meliputi dijabarkan sebagai berikut.

a. Water Content Test (ASTM D 2216-92)

Pengujian dilakukan dengan mengacu pada ASTM D 2216-92,

“Test Method for Laboratory Determination of Water (Moisture) Content of Soil and Rock” untuk mendapatkan besaran kadar air (w).

Kadar air tanah (w) didefinisikan sebagai perbandingan antara berat air (Ww) dengan berat butiran (Ws) dalam tanah tersebut, yang dinyatakan dalam bentuk persentase. Kadar air tanah (w) dapat dinyatakan dalam persamaan:

𝑤 (%) = 𝑊𝑤

𝑊𝑠 𝑥 100 Langkah untuk mendapatkan nilai kadar air adalah dengan pengujian sampel tanah basah yang mula-mula ditimbang, kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 230° F (110° C) hingga mencapai berat konstan. Berat contoh setelah dikeringkan adalah berat partikel solid. Perubahan berat yang terjadi selama proses pengeringan setara dengan berat air. Untuk tanah organik, penurunan suhu pengeringan hingga mencapai 140°F (60°C) sangat disarankan. Kadar air (w) diperlukan untuk menentukan properties tanah dan dapat dikorelasikan dengan parameter-parameter lainnya.

b. Sieve Analysis Test (ASTM C 136-95a,AASTHO T-27)

Pengujian index properties ini dilakukan berdasarkan ASTM D 854-92, “Standard Test Method for Specific Gravity of Soils”. Metode ini digunakan pada contoh tanah dengan komposisi ukuran partikel lebih kecil dari saringan No. 4 (4.75 mm). Untuk partikel dengan ukuran lebih besar dari saringan tersebut, prosedur pelaksanaan mengacu pada Test Method Specific Gravity and Absorptionof Coarse Aggregate (ASTM C 127-88).

Berat jenis tanah (Gs) didefinisikan sebagai perbandingan massa volume partikel tanah di udara dengan massa volume air pada suhu kamar (umumnya 68°F atau 20°C). Berat jenis tanah dapat dinyatakan dalam persamaan:

w2 = Berat piknometer + sampel tanah kering w3 = Berat piknometer + sampel tanah + air suling w4 = Berat piknometer + air suling

w4’= w4 x faktor koreksi suhu [k]

Berat jenis tanah (Gs) ditentukan berdasarkan jumlah dari pycnometer yang sudah di kalibrasi dengan massa dan suhu dari contoh tanah deaerasi/air distilasi yang telah diukur. Specific gravity dari tanah diperlukan untuk menentukan hubungan antara berat dan volume tanah, dan digunakan untuk perhitungan test Laboratorium lainnya.

c. Atterberg limit Test (ASTM D 4318-95,AASTHO T-89 & -90)

Pengujian ini dilakukan sesuai dengan ASTM D 4318-95, ”Test Method for Liquid Limit, PlasticLimit and Plasticity Index of Soils”.

Kadar air pada saat Batas Cair (Liquid Limit=LL) diperoleh dengan cara meletakkan pasta tanah dalam mangkuk kuningan, kemudian

digores tepat ditengahnya dengan alat penggores standar. Kemudian engkol pemutar digerakkan, sehingga mangkuk naik turun dari ketinggian 0.4 inci (10 mm) dengan kecepatan 2 drop/detik. Liquid limit dinyatakan sebagai kadar air dari tanah yang dibutuhkan untuk menutup goresan yang berjarak 0.5 inci (13 mm) sepanjang dasar

digores tepat ditengahnya dengan alat penggores standar. Kemudian engkol pemutar digerakkan, sehingga mangkuk naik turun dari ketinggian 0.4 inci (10 mm) dengan kecepatan 2 drop/detik. Liquid limit dinyatakan sebagai kadar air dari tanah yang dibutuhkan untuk menutup goresan yang berjarak 0.5 inci (13 mm) sepanjang dasar

Dokumen terkait