• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkiraan Manfaat dan Dampak

Dalam dokumen lapkir pendampingan cabai 2016 (Halaman 17-40)

1. Peningkatan pengetahuan, sikap, keterampilan petani dan penyuluh dalam menerapkan komponen teknologi produksi serta kemampuan merancang efisiensi usahatani cabai dalam penggunaan input maupun pemanfaatan sumberdaya lahan.

2. Percepatan penguna dan pelaku dalam mengadopsi dan menerapan komponen teknologi untuk meningkatkan produktivitas, produksi dan pendapatan petani cabai.

3. Terjalinnya hubungan kelembagaan melalui koordinasi, komunikasi dan padu padan program pengembangan kawasan agribisnis dalam meningkatkan produksi cabai.

1.4.2. Dampak

1. Terjadinya peningkatan produtivitas dan pendapatan petani cabai melalui pengembangan kawasan agribisnis serta efisiensi usahatani komoditas pangan unggulan sesuai kondisi wilayah.

2. Meningkatnya jumlah petani dan penyuluh dalam mengadopsi dan menerapan inovasi teknologi produksi cabai dalam suatu kawasan mewujudkan usahatani berkelanjutan dan ramah lingkungan.

3. Penguatan kelembagaan agribisnis berbasis sumberdaya lokal dalam pengembangan kawasan cabai di Bengkulu

I I . TI NJAUAN PUSTAKA

Bidang pertanian harus menyesuaikan perkembangan lingkungan strategis yang terjadi secara global melalui peningkatan kemampuan petani. Teknologi hasil penelitian dan pengkajian tidak bermanfaat jika tidak sampai, tidak diterima atau tidak diadopsi oleh petani. I mplementasi teknologi hasil penelitian akan memberikan manfaat, jika proses adopsi berjalan secara informatif, aplikatif dan efektif bagi usahataninya. Untuk itu BPTP memerlukan suatu sistem diseminasi atau penyebaran informasi dan alih teknologi yang efektif dan efisien agar khalayak pengguna dapat memperoleh informasi maupun teknologi yang dibutuhkan dengan mudah dan relatif cepat (Fawzia, 2002).

Kebijakan pendampingan pengembangan kawasan pertanian nasional, merupakan suatu wujud peningkatan produksi pangan nasional dan pendapatan petani melalui implementasi inovasi dan transfer teknologi dalam suatu model diversifikasi usahatani secara terpadu. Termasuk pendampingan pengembangan komoditas cabe yang merupakan salah satu pangan unggulan nasional dan diharapkan mampu mengoptimalkan penggunaan sumberdaya pertanian, mewujudkan pemerataan pendapatan maupun pertumbuhan ekonomi di daerah (Kementerian Pertanian, 2014).

Umumnya tanaman cabai merah ini tersentra di daerah dataran tinggi, namun saat sekarang pengembangan kawasan cabai tidak hanya didataran tinggi namun juga sudah dikembangkan di dataran rendah. Akan tetapi dalam peningkatan produktivitasnya terkendala pada kondisi iklim yang berubah-ubah, sekaligus juga memicu serangan hama dan penyakit yang mengakibatkan pertumbuhan tanaman tidak optimal serta menurunkan kualitas maupun kuantitas cabai merah yang diproduksi. Hal ini menuntut adanya pengembangan teknologi pertanian secara terpadu dan terencana, guna mendapatkan nilai tambah setiap produk komoditi pertanian. Seperti halnya memanfaatkan teknologi produksi cabai merah di bawah naungan atau mulsa, diharapkan masalah rendahnya hasil dengan kualitas yang rendah serta fluktuasi produksi cabai merah sepanjang tahun dapat teratasi. Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan mulsa plastik hitam perak meningkatkan hasil beberapa tanaman sayuran seperti cabai merah (Fahrurrozi, et al., 2006).

Keputusan petani untuk menerima atau menolak teknologi baru bukan tindakan sekali jadi, melainkan merupakan proses yang terdiri dari serangkaian tindakan dalam jangka waktu tertentu. Karena itulah maka adopsi suatu inovasi teknologi berlangsung secara bertahap dan berdasarkan konsep tersebut, maka model percepatan adopsi akan terbangun oleh peubah-peubah yang berhubungan dengan proses menarik perhatian, menumbuhkan minat, membangkitkan hasrat sehingga akhirnya memutuskan untuk menerapkan inovasi. Menurut Tjiptopranoto (2000) dalam penerapan teknologi yang akan dikembangkan harus disesuaikan dengan potensi sumberdaya setempat dengan biaya murah dan mudah untuk diterapkan, akan tetapi dapat memberikan kenaikan hasil dengan cepat. Hal ini menjadi aspek penting untuk keberlanjutan penerapan teknologi maupun sistem usahatani yang dianjurkan dan dengan demikian diharapkan petani mampu mengadopsi dan menerapkan teknologi dimaksud dalam usahataninya, sehingga pendapatan menjadi meningkat.

Untuk dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani serta produktivitas cabe diperlukan suatu sistem pengembangan dan diseminasi yang dapat mengimplementasikan inovasi teknologi langsung bagi pengguna, melalui pendampingan dalam suatu wilayah kawasan komoditas terkait. Sehingga diperlukan suatu upaya pendekatan sesuai sistem dengan arahan kebijakan yang berdasarkan apresiasi atau kebutuhan masyarakat (bottom up), yaitu berupa pendekatan lansung dalam bentuk pendampingan terhadap pengembangan kawasan komoditas (Kementerian Pertanian, 2014) maupun suatu kebijakan dalam peningkatan produktivitas dan pengembangan pada suatu kawasan sentra produksi. Dimana keberhasilannya tentu perlu pendampingan dan dukungan inovasi, serta dalam pelaksanaannya perlu disinergikan dengan program daerah kawasan terkait.

Pendampingan merupakan bagian dari kegiatan diseminasi atau penyebarluasan. Diseminasi teknologi merupakan proses timbal balik, para pelaku dalam menyediakan, menerima informasi dan teknologi sehingga diperoleh kesepahaman dan kesepakatan bersama. Kegiatan diseminasi dalam pendekatan Spectrum Diseminasi Multi Chanels (SDMC), dilakukan dengan memanfaatkan berbagai jalur komunikasi dan pemangku kepentingan (stakeholders) terkait. GP2TT perlu dilakukan pengawalan dengan berbagai metode komunikasi yang sesuai kebutuhan sasaran.

Pendampingan merupakan bagian dari kegiatan pengembangan dan diseminasi inovasi teknologi dengan proses komunikasi timbal balik, dimana para pelaku menyediakan sekaligus juga menerima informasi dan teknologi serta adanya kesepahaman dan kesepakatan bersama. I novasi teknologi berpeluang untuk diadopsi oleh petani apabila teknologi yang diintroduksikan memiliki sifat -sifat antara laian; 1) bermanfaat bagi petani secara nyata, 2) lebih unggul dibandingkan dengan teknologi yang telah sudah ada, 3) sudah tersedianya bahan, sarana, alat mesin, modal dan tenaga untuk mengadopsi teknologi, 4) memberikan nilai tambah dan keuntungan ekonomi, 5) meningkatkan efisiensi dalam berproduksi, 6) bersifat ramah lingkungan dan menjamin keberlanjutan usaha pertanian (Kartono, 2009).

Kawasan tanaman hortikultura adalah kawasan usaha komoditas pangan nasional cabe dan jeruk yang disatukan oleh faktor alamiah, sosial budaya, infrastruktur fisik buatan, serta dibatasi oleh agroekosistem yang sama sehingga mencapai skala ekonomi dan efektivitas manajemen usha tanaman pangan. Kawasan yang akan dibangun dapat berupa kawasan yang telah eksis atau calon lokasi baru dan lokasinya dapat berupa hamparan dengan aksesibilitas yang memadai.

Saat sekarang pengembangan kawasan cabai tidak hanya didataran tinggi, akan tetapi jugas didataran rendah. Sehingga pada tahun 2015 pengembangan kawasan cabai di Provinsi Bengkulu diarahkan pada wilayah Kabupaten; Rejang Lebong, Kepahiang, Lebong, Mukomuko, dan Kaur dengan dukungan berbagai inovasi, termasuk halnya memanfaatkan teknologi produksi cabai merah dibawah naungan atau mulsa serta pengembangan program gerakan tanam cabai dimusim kering (GTCK).

Upaya peningkatan produksi memerlukan strategi yang cermat berdasarkan prakiraan iklim yang akurat. Untuk memandu upaya ini diperlukan alat bantu antisipatif berupa kalender tanam terpadu. Kalender tanam terpadu tidak hanya memuat kapan waktu tanam, tetapi juga memuat rekomendasi pupuk, varietas dan potensi gangguan OPT. Dengan adanya Kalender tanam terpadu diharapkan petani dapat menentukan waktu tanam yang terbaik dan sekaligus menetapkan varietas yang sesuai dan pemupukan yang rasional. Kondisi ini diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan sekaligus menekan gagal panen akibat kondisi iklim yang ekstrem baik genangan maupun kekeringan.

Pada saat ini penggunaan mulsa plastik hitam perak sudah umum digunakan dalam produksi sayuran, karena penggunaan mulsa plastik dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme, memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman melalui peningkatan konsentrasi karbondioksida pada zona pertanaman (Fahrurrozi et al. 2001). Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan mulsa plastik hitam perak meningkatkan hasil beberapa tanaman sayuran termasuk cabai merah (Soetiarsoet al. 2006).

I qbal et al. (2009) melaporkan bahwa hasil panen cabai merah menggunakan mulsa plastik lebih tinggi sebesar 36,5–39,5% dibandingkan dengan hasil tanaman tanpa mulsa plastik, adanya peningkatan hasil diduga berhubungan dengan meningkatnya aktivitas mikroorganisme di daerah izosfir yang disebabkan oleh penggunaan mulsa plastik hitam perak memicu aktivitas penguraian bahan organik meningkat. Liang et al. (2011) melaporkan bahwa mulsa plastik mempertahankan kelembaban tanah, memperbaiki suhu tanah dan kualitas tanah, sehingga mampu meningkatkan laju fotosintesis daun dan mengakibatkan hasil panen meningkat.

Sistem usahatani cabai merah konvensional dengan menggunakan input pupuk buatan (kimia) dalam takaran tinggi dapat meningkatkan hasil panen cabai, namun menimbulkan masalah. Seperti hal terjadinya pengerasan lahan, pengurasan unsur hara mikro, pencemaran air tanah, dan berkembangnya OPT tertentu yang pada akhirnya berdampak terhadap penurunan produktivitas lahan dan tanaman. Dengan kata lain penggunaan pupuk buatan dalam takaran tinggi secara terus menerus tidak ramah lingkungan dan tidak berkelanjutan (Reijntjeset al., 1999). Oleh karena itu, perlu adanya terobosan teknologi alternatif yang bertujuan untuk mengurangi input pupuk buatan, melestarikan kesuburan lahan, meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil, serta meningkatkan pendapatan petani. Salah satunya melalui sistem pertanian dengan menggunakan input luar rendah, yaitu melalui perbaikan kesuburan lahan dengan memanfaatkan bahan-bahan organik alami maupun hayati berperan untuk mendorong dan meningkatkan daur ulang biologis dalam sistem usahatani yang melibatkan mikroorganisme, flora serta fauna tanah.

Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa pemberian pupuk organik (alami) pada tanaman cabai merah dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman, cabang, jumlah dan panjang daun), mempengaruhi laju

pertumbuhan akar dan batang, pembentukan daun dan peningkatan kandungan pigmen fotosintesis, serta meningkatkan kualitas maupun hasil cabai merah (Suwandi dan Rosliani, 2004). Peningkatan pertumbuhan dan hasil cabai merah tersebut disebabkan karena pupuk organik tidak hanya menambah unsur hara bagi tanaman, tetapi juga menciptakan kondisi tanah yang sesuai untuk tanaman dengan memperbaiki areasi, mempermudah penetrasi akar ke dalam tanah, memperbaiki kapasitas menahan air, meningkatkan pH tanah, kapasitas tukar kation dan serapan hara, menurunkan zat toksik bagi tanaman, struktur tanah jadi remah.

Pada dasarnya pupuk organik (kompos) mengandung unsur hara sangat lengkap, akan tetapi konsentrasinya rendah. Oleh karena itu perlu inokulasi mikroorganisme yang dapat mempercepat perombakan dan pelepasan hara pupuk organik, membantu menambat N dan melarutkan P di dalam tanah, sehingga siap untuk diserap tanaman (Mujiyati dan Supriyadi 2009). Penggunaan pupuk organik dan pupuk hayati selain dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman, hasil dan kualitas cabai merah (Reyes et al. 2008) juga dapat mengurangi penggunaan pupuk NPK (Rosliani et al. 2004).

Organisme pengganggu tumbuhan (OPT) masih menjadi salah satu kendala utama pada budidaya cabai merah. Sejak fase vegetatif hingga fase generatif, tanaman cabai merah selalu mendapat serangan OPT. Setiawati et al. (2011), melaporkan bahwa pada tahun 1980 - 1990 trips mulai menjadi ancaman pada budidaya cabai merah di dataran rendah dan hama yang menyerang daun muda ini dapat mengakibatkan kehilangan hasil sekitar 23% . Hasil survei di Jawa Barat menunjukkan bahwa petani menempatkan ulat grayak (Spodoptera litura) dan trips sebagai OPT utama pada musim kemarau, sedangkan pada musim hujan ialah penyakit antraknos (Colletotrichum spp.) dan penyakit virus (Adiyogaet al., 1996). Menurut Gunaeni dan Wulandari (2010), kehilangan hasil akibat serangan penyakit virus CMV berkisar antara 18,3 – 98,6% . Serangan hama ulat buah Helicoverpa armigera mengakibatkan kehilangan hasil hingga 60% (Setiawatiet al. 2011) dan penyakit antraknos dapat menyebabkan kerusakan buah hingga 100% . Dalam upaya memperkecil kerugian ekonomi akibat serangan Helicovera armigera, para petani masih mengandalkan penggunaan insektisida yang dilakukan secara periodik. Petani umumnya mencampur 2–6 jenis insektisida dan melakukan penyemprotan sebanyak 21 kali per musim tanam (Adiyoga 2007). Sementara itu

Gunaeni dan Wulandari (2010) melaporkan, bahwa penggunaan mulsa plastik perak dapat menekan serangan trips hingga di bawah ambang pengendalian dan dapat menekan populasi kutu daun hingga 88% serta penyakit antraknos hingga 60% .

Keputusan petani untuk menerima atau menolak teknologi baru bukan tindakan sekali jadi, melainkan merupakan proses yang terdiri dari serangkaian tindakan dalam jangka waktu tertentu. Karena itulah proses adopsi suatu inovasi teknologi berlangsung secara bertahap dan berdasarkan konsep tersebut, maka model percepatan adopsi akan terbangun oleh peubah-peubah yang berhubungan dengan proses menarik perhatian, menumbuhkan minat, membangkitkan hasrat sehingga akhirnya memutuskan untuk menerapkan inovasi. Menurut Tjiptopranoto (2000) dalam penerapan teknologi yang akan dikembangkan harus disesuaikan dengan potensi sumberdaya setempat dengan biaya murah dan mudah untuk diterapkan, akan tetapi dapat memberikan kenaikan hasil dengan cepat. Hal ini menjadi aspek penting untuk keberlanjutan penerapan teknologi maupun sistem usahatani yang dianjurkan, dengan demikian diharapkan petani mampu mengadopsi dan menerapkan teknologi dimaksud dalam usahataninya sehingga pendapatan menjadi meningkat.

Proses pembelajaran bagi petani haruslah dilakukan secara sistematis, lengkap, sederhana/ aplikatif, dan partisipatif dengan mengoptimalkan kinerja dari panca indra. Learning by doing secara partisipatif merupakan metode pembelajaran yang tepat, karena petani tidak hanya mendengar ataupun melihat, tetapi lebih ditekankan untuk mampu melaksanakan, mengevaluasi/ membuat penilaian (menemukan), menentukan pilihan, mengadopsi, dan mendifusikan teknologi yang spesifik lokasi.

Teknologi hasil penelitian dan pengkajian tidak bermanfaat jika tidak sampai, tidak diterima atau tidak diadopsi oleh petani. I mplementasi teknologi hasil penelitian akan memberikan manfaat, jika proses adopsi berjalan secara informatif, aplikatif dan efektif bagi usahataninya. Proses pembelajaran bagi petani haruslah dilakukan secara sistematis, lengkap, sederhana/ aplikatif, dan partisipatif dengan mengoptimalkan kinerja dari panca indra. Learning by doing secara partisipatif merupakan metode pembelajaran yang tepat,. Untuk itu BPTP memerlukan suatu sistem diseminasi atau penyebaran informasi dan alih teknologi yang efektif dan efisien agar khalayak pengguna dapat memperoleh informasi

maupun teknologi yang dibutuhkan dengan mudah dan relatif cepat (Fawzia, 2002). karena petani tidak hanya mendengar ataupun melihat, tetapi lebih ditekankan untuk mampu melaksanakan, mengevaluasi/ membuat penilaian (menemukan), menentukan pilihan, mengadopsi, dan mendifusikan teknologi sesuai kondisi wilayah.

I I I . PROSEDUR PELAKSANAAN

3.1. Lokasi dan Waktu

Kegiatan diseminasi pendampingan pengembangan kawasan komoditas cabai dilaksanakan selama 3 tahun mulai Tahun 2015 sampai Tahun 2017 di 5 (lima) wilayah kawasan pengembangan komoditas cabai, meliputi 5 (lima) Kabupaten, yaitu; Kabupaten Rejang Lebong, Kepahiang, Bengkulu Utara, Kaur dan Mukomuko. Tahun 2016 kegiatan pendampingan dan pengembangan kawasan cabai dilaksanakan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas serta pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) Cabai.

3.2. Metode Pelaksanaan

Metode pelaksanaan kegiatan pendampingan dan pengawalan pengembangan kawasan, adalah 1) on farm assessment ; 2) experimental design; 3) komunikasi tatap muka/ langsung; 4) identifikasi lapangan dan need assessment terhadap kebutuhan pendampingan pengembangan kawasan cabai dan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) Cabai di 5 kabupaten lokasi pengembangan kawasan cabai.

3.3. Ruang Lingkup Kegiatan

Pendampingan dilakukan pada 5 lokasi program pengembangan kawasan cabai di Provinsi Bengkulu yaitu; Kabupaten Rejang Lebong, Kepahiang, Bengkulu Utara, Kaur dan Mukomuko melalui tahapan diseminasi inovasi secara partisipatif, sesuai kondisi, kebutuhan wilayah, karakteristik petani dan kelompok, pemerintah daerah, penyuluh dan swasta secara terkoordinasi. Diseminasi pendampingan dilakukan pada satu musim tanam, melalui kegiatan percontohan inovasi cabai merah 0,2 ha dilahan petani, pengawalan inovasi, pertemuan, pelatihan, pengenndalian OPT, narasumber, pembinaan poktan-gapoktan mitra usaha dan sinergi program terkait serta penyebaran media informasi, bimbingan tekhnis dan sosialisasi.

3.4. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan 3.4.1. Persiapan

Koordinasi dan sinergi program daerah

a. Menyampaikan tujuan dan rencana pelaksanaan pendampingan inovasi, sasaran penerapan dan adopsi inovasi, peningkatan produksi dan produktivitas kawasan.

b. Mendiskusikan lokasi desa, patani, kawasan untuk didampingi. Baik itu; pengawalan, penerapan, pelatihan, percontohan bimbingan tekhnis dan sosialisasi yang dilaksanakan di 5 (lima) kabupaten, berdasarkan:

• lokasi kegiatan tahun 2015 dan sinergi program daerah, yaitu pada Kabupaten; Rejang Lebong, Kepahiang, Bengkulu Utara, Kaur dan Mukomuko.

• pelaksanaan hasil identifikasi kawasan pendampingan tahun 2015 dan program pengembangannya.

c. Sinergi program pengawalan inovasi dan pendampingan pengembangan kawasan cabai

3.4.2. Pelaksanaan

3.4.2.1. Meningkatkan produktivitas cabai merah kaw asan pengembangan

1) Menyiapkan dan implementasi teknologi rekomendasi budidaya cabai merah Pendampingan dan pengawalan pada petani maupun kelompok dalam rangka mengimplementasikan teknologi budidaya cabai merah, sesuai kebutuhan kawasan pengembangan di 5 Kabupaten dan dukungan terhadap program daerah yang meliputi komponen teknologi;

• varietas, benih (sumber dan produktivitas)

• cara pengolahan tanah dan kompos organik

• cara dan sistem tanam (pola, jarak, waktu, dan lain-lain)

• pemupukan (jenis, dosis, cara, waktu per jenis)

• penyiangan dan pemangkasan

• pengendalian hama penyakit dan OPT

2) Demplot percontohan diluar musim

Melakukan kegiatan percontohan berupa Demplot mendukung gerakan tanam cabai diluar musim (GTCK), yaitu pada musim kering seluas 0,2 ha dilahan petani kooperator desa Tambak Rejo Kecamatan Padang Jaya Kabupaten Bengkulu Utara sesuai kegiatan pengembangan sinergi program daerah dan kebutuhan pendampingan kawasan cabai. Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan didukung dengan petunjuk teknis pelaksanaan percontohan, berupa diseminasi teknolgi introduksi dan pertanamannya dimulai pada bulan Juli 2016. Difokuskan pada penerapan komponen teknologi; varietas unggul baru (VUB) cabai merah keriting varietas Kencana; penggunaan kompos;, pengaturan jarak tanam 2 baris sistim zig-zag; dan pengendalian hama penyakit tanaman berupa penerapan tanaman perangkap (border) kutu melalui penanaman jaqgung 2 – 4 baris disekeliling lahan tanaman cabai pada awal pengolahan lahan. Sehingga pada saat pertanaman cabai dmulai, border tanam jagung akan berperan menahan dan menjadi perangkap hama inang penyebaran penyakit pada tanaman cabai, seperti halnya kutu kebul sebagai penyebar penyakit virus kuning.

3.4.2.2. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani terhadap pengendalian hama dan penyakit tanaman cabai

1) Pengambilan kusioner penggalian tingkat pengetahuan pengendalian OPT pada petani cabai melalui sinergi progran daerah sesuai pelaksanaan kegiatan SL (sekolah lapang) pengendalian OPT.

2) Nara sumber, bimbingan tekhnis pengendalian OPT sinergi program sesuai pelaksanaan kegiatan daerah pengembangan kawasan cabai

3) Kegiatan pertemuan, pengawalan dan pelatihan inovasi pengo; ahan dan penerapan pupuk orgahik kompos pada tanaman cabai merah dalam rangka peningkatan keterampilan petani/ poktan/ gapoktan sesuai kondisi wilayah pada 5 kabupaten lokasi pengembangan kawasan cabai

4) Penggamatan OPT pada tanaman cabai merah dilakukan pada 5 kabupaten dan upaya penanganan baik langsung maupun melalui penyebaran bahan informasi cetakan pengemdalian OPT pada cabai merah

5) Menyiapkan bahan informasi inovasi teknologi, pengendalian OPT tanaman cabai dan upaya penanganan baik langsung maupun melalui penyebaran bahan informasi teknologi dan pengemdalian OPT pada cabai merah

6) Penyebaran media informasi pengendalian OPT kebutuhan wilayah pengembangan kawasan cabai, berupa Banner penyakit utama tanaman cabai, Folder pengendalian penyakit virus kuning pada cabai, dan pengendalian penyakit layu fusarium pada cabai.

3.4.2.3. Meningkatkan kinerja dan sinergisme pelaku maupun mitra usaha dalam pengembangan kaw asan cabai

1) I mplementasi pendampingan kelembagaan melalui pembinaan dan pemberdayaan poktan/ gapoktan secara terfokus diwilayah pengembangan kawasan cabai, dalam hal;

a. pemasaran hasil dan kemitraan usaha pada 5 lokasi kawasan pengembangan komoditas cabai

b. sinergisme dan padupadan program melalui peningkatan kinerja (fungsi dan peran) saluran diseminasi dalam mempercepat transfer teknologi yang dilakukan secara bertahap, sesuai kebutuhan lapangan maupun pengguna teknologi (petani, petugas, staleholder) serta penyelia teknologi

2) Melakukan pembinaan poktan/ gapoktan melalui pendampingan dan perencanaan diseminasi teknologi dalam kawasan sebagai upaya peningkatan kemampuan dan skala usaha, meliputi:

a. I mplementasi pendampingan aspek teknis inovasi teknologi produksi sesuai kebutuhan (5 lokasi pendampingan), melalui penerapan inovasi teknologi produksi langsung oleh petani

b. I mplemetasi penyebaran hasil pendampingan dan percontohan pengembangan inovasi akan didukung dengan kegiatan;

• Sosialisasii pelaksanaan percontohan, sebagai upaya penyebaran hasil dalam pengembangan kawasan cabai

• Bimbingan tekhnis inovasi teknologi produksi diaplikasikan dan pemberdayaan poktan/ gapoktan pada pengembangan kawasan cabai merah.

3.5. Parameter

1) Peningkatan produktivitas (sebelum dan setelah pendampingan) 2) Komponen teknologi yang diperbaiki

3) Respon petani terhadap hasil percontohan/ demplot

4) Peningkatan jumlah poktan/ adopter yang mengadopsi I novasi percontohan 5) Jumlah stakeholder (Petugas, Penyuluh, dll) berkunjung / ikut Sosialisasi

dan bimbingan inovasi teknologi

3.6. Pengumpulan Data dan Metode Analisis

Data yang diambil terdiri dari data primer meliputi karakteristik dan tingkat pengetahuan responden terhadap semua aspek dalam usahatani cabai. Data dikumpulkan melalui wawancara, tatap muka dan pertemuan terfokus dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner).

Diseminasi hasil kajian yang dikembangkan adalah untuk mengetahui tingkat pengetahuan, penyebaran inovasi teknologi serta pendampingan dan pembinaan kelembagaan usahatani cabai dengan mengumpulkan data terkait selama kegiatan.

Data terkumpul dianalisis menggunakan metode analisis secara deskriptif dengan membandingkan hasil dicapai dengan hasil pembanding sekitarnya (with and without). Peningkatan hasil dianalisis menggunakan rumus :

N = SP x 100% SM

dimana : N = nilai hasil

SP = nilai didapat

SM = nilai maksimum

3.7. Pelaporan

Hasil yang dicapai dianalisis dengan pengukuran indikator keberhasilan pendampingan, disampaikan melalui laporan pelaksanaan kegiatan pendampingan yang dilakukan setiap bulan (Laporan Bulanan), setiap triwulan (Laporan Triwulan), pada pertengahan tahun (Laporan Tengah Tahun) dan akhir tahun (Laporan Akhir Tahun). Untuk merampungkan hasil yang diperoleh dalam pelaksanaan pendampingan, dilakukan seminar terhadap hasil pelaksanaan pendampingan pengembangan kawasan agribisnis cabai yang dicapai.

I V. HASI L DAN PEMBAHASAN

Hasil pelaksanaan kegiatan diseminasi pendampingan pengembangan kawasan komoditas cabai Provinsi Bengkulu dilaksanakan di 5 (lima) wilayah kawasan pengembangan komoditas cabai Provinsi Bengkulu, meliputi; 1) Kabupaten Rejang Lebong, 2) Kabupaten Kepahiang, 3) Kabupaten Bengkulu Utara, 4) Kabupaten Kaur, dan 5) Kabupaten Mukomuko, dilaksanakan sesuai dengan tahapan dan sararan kegiatan yang meliputi:

4.1. Peningkatan Produksi Cabai Merah Pada Kaw asan Pengembangan

Pengukuran peningkatan produktivitas cabai pada wilayah pengembanagn kawasan cabai di Provinsi Bengkulu dilakukan melalui pendampingan dan pengawalan inovasi teknologi produksi, baik melalui kegiatan percontohan langsung dilahan petani kooperator desa Tambak Rejo.

Hasil pengamatan menunjukan pada awal percontohan pertanaman sampai mulai berbuah umur 80 hst, pertumbuhan tanaman cabai memperlihatkan pertumbuhan yang signifikan. Dimana tinggi tanaman rata-rata mencapai 100,13 cm dan pada umur 87 hst sudah dapat dipanen dengan produksi 35 – 40 gram/ batang bentuk buah panjang runcing dengan ukuran Panjang (P) 13,16 – 13,19 cm dan Diameter (L) 0,601 – 0,651 cm dengan warna merah menyala dan permukaan keriting bergelombang. Menurut Sumarni dan Muharam (2015) bahwa deskripsi cabai varietas kencana yang dihasilkan Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang, untuk tinggi tanamn (115 cm); umur panen ( 95 – 98 hst) dan ukuran buah (P= 13,2 x L= 0,8 cm).

Pada panen ke 3 terjadi serangan penyakit virus kuning sampai mencapai 83.27% dan terjadi layu fusarium sampai 60 batang dari 3000 populasi tanaman cabai, hal ini diakibatkan curah hujan yang tinggi dan diselingi panas terik pada

Dalam dokumen lapkir pendampingan cabai 2016 (Halaman 17-40)

Dokumen terkait