• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlakuan Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah

B. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Profil Anak Berkebutuhan Khusus

4. Perlakuan Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah

Sejarah penyelenggaraan pendidikan inklusif di SMP Negeri 1 Alla mengalami pentahapan seperti halnya kehidupan yang melalui fase demi fase. Namun demikian, konsep pendidikan inklusif memang sudah mereka terapkan sebelum dicanangkan pemerintah menjadi sekolah inklusif pada tahun 2014 lalu. Hal tersebut terlihat dari adanya alumni sekolah yang merupakan anak berkebutuhan khusus. Lingkungan sekolah yang ramah dan menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman sangat dibutuhkan untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh anak. Akan tetapi, keberadaan anak berkebutuhan khusus di sekolah-sekolah umum terkadang menemui berbagai persoalan seperti: kesiapan para pengajar, metode pengajaran, kurikulum serta kelengkapan sarana prasarana dalam pengajaran.

Hal tersebut sejalan dengan informasi yang di dapat dari Ibu MA sebagai Kepala sekolah di SMPN 1 Alla. Beliau sudah lama mengabdi di sekolah tersebut sehingga banyak mengetahui seluk beluk sekolah dari dulu hingga sekarang. Penuturannya ibu MA seperti berikut:

“Saya di sini sudah mengabdi selama + 17 tahun jadi sedikit banyak tau perkembangan siswa lebih khususnya tentang anak inklusi. Pada tahun 2014 sekolah dicanangkan sebagai sekolah percontohan inklusi oleh pemerintah kota. Namun sebelum menjadi sekolah inklusi, pihak sekolah memang sudah lebih dahulu menerima anak berkebutuhan khusus.

Sekolah punya beberapa alumni yang termasuk kategori anak berkebutuhan khusus. Ada yang autis, tunadaksa dan kebanyakan yang gangguan prilaku serta kesulitan belajar.

Mereka diberi pengajaran di kelas yang sama anak normal lainnya”. (Wawancara tanggal 8 Mei 2017)

Ibu MA mengatakan bahwa sebelumnya banyak guru yang merasa keberatan dengan keberadaan anak berkebutuhan khusus di sekolah.

Namun setelah dijadikan sekolah inklusif, beliau bersama guru-guru lainnya mendapatkan pelatihan mengenai cara dalam menghadapi anak berkebutuhan khusus, sehingga mereka sudah lebih bisa menerima keberadaan anak inklusif. Hal ini seperti yang dituturkan beliau:

“Sebelum dicanangkan sebagai sekolah inklusi, memang ada beberapa guru yang keberatan dan mengeluh tidak menerima keberadaan siswa berkebutuhan khusus. Selain karena akan menghambat proses belajar mengajar, guru juga mengalami kesulitan dalam memberi pemahaman mengenai pelajaran kepada mereka. Akan tetapi, setelah menjadi sekolah inklusif, para guru harus bisa menerima keberadaan anak inklusif karena mau tidak mau sekolah sudah diamanahkan oleh pemerintah kota Enrekang untuk mengajar anak berkebutuhan khusus”. (Wawancara tanggal 8 Mei 2017)

“Ada pelatihan yang diterima tentang cara penanganan ABK di Jakarta pada tahun 2015. Pelatihan tersebut di wakili oleh beberapa Kepala sekolah dari sekolah Inklusi di seluruh Indonesia. Nantinya kepala sekolah yang akan membagikan informasinya kepada guru yang ada di sekolah masing-masing. Namun pelatihannya baru sekali, jadi saya rasa informasi yang di dapat juga belum cukup bagi guru untuk mengasuh anak-anak inklusif”. (Wawancara tanggal 8 Mei 2017)

Ibu MA mengungkapkan pihak sekolah berusaha menerima semua jenis anak berkebutuhan khusus, namun menemui kendala-kendala dalam mewujudkannya. Seperti saat ada siswa tuna rungu dan tunanetra yang mendaftar di sekolah. Tidak guru pembimbing khusus yang menangani mereka. Sehingga pihak sekolah mengarahkan anak tunarungu dan tunanetra tadi ke SLB. Sekolah hanya menerima siswa yang bisa

ditangani oleh guru mata pelajaran seperti siswa sengau, tunadaksa, autis, ADHA, berkesulitan belajar, tunagrahita ringan, tunalaras dan tunadaksa. Hal tersebut di paparkan dalam penggalan wawancara berikut:

”Pihak sekolah sebenarnya tidak memberi kriteria khusus mengenai anak berkebutuhan khusus yang terima, karna pada dasarnya guru-guru disini ingin membantu dalam meningkatkan mutu pendidikan segala pihak termasuk bagi anak inklusi yang ada di Kabupaten Enrekang. Bapak Bupati menghimbau untuk tidak membatasi siapa saja yang mau bersekolah sehingga anak inklusi juga mendapat perhatian dari Pemerintah. Tujuan dari pencanangan sekolah inklusif adalah untuk menyetarakan pendidikan antara anak inklusif dengan anak normal. Setelah dicanangkan menjadi sekolah inklusif, kami mendapat bantuan uang sejumlah 20 juta yang digunakan untuk kebutuhan fisik seperti membangun ruang sumber, pengadaan mebeler di dalam ruangan serta jalanan yang bisa dilalui oleh pengguna kursi roda. Jalanan ini berhubungan langsung dengan ruangan inklusi tersebut”.

(Wawancara tanggal 24 Juli 2017)

“Meskipun ada keinginan untuk tidak memberi batasan dalam penerimaan semua jenis anak berkebutuhan khusus, namun ada banyak kendala yang ditemui guru dalam menghadapinya diantaranya banyak guru memiliki sedikit pengetahuan tentang anak berkebutuhan khusus. Selain itu juga tidak ada guru pendamping khusus bagi ABK yang mengetahui betul cara mengajar anak inklusif, sehingga pembelajaran yang diberikan menjadi tidak maksimal. Faktor lain yang menjadi kendala yakni sarana prasarana yang mendukung proses pengajaran anak inklusif tidak lengkap.

Misalnya sekolah ingin menerima anak tunarungu dan tunanetra, pihak sekolah tidak memiliki fasilitas pengajaran dan tidak ada guru yang ahli menangani siswa tersebut. Jadi apabila ada pendaftar yang termasuk anak tunarungu dan tunanetra kami hanya bisa arahkan ke SLB. Jadi di sekolah ini menerima anak inklusif yang masih bisa di tangani oleh guru mata pelajaran seperti siswa sengau, pertumbuhan kerdil, autis, ADHA, berkesulitan belajar, tunagrahita ringan, tunalaras dan tunadaksa. Yang paling banyak itu anak berkesulitan belajar. Ada biasa pendaftar yang tidak pintar

menentukan trik apa yang bisa dipakai dalam mengajar”.

(Wawancara tanggal 24 Juli 2017)

“Selama menjadi sekolah inklusi penambahan fasilitas di sekolah masih sebatas pembangunan satu ruangan lengkap dengan mebelernya serta jalanan untuk pengguna kursi roda. Tapi saya melihat ada perkembangan dalam diri anak inklusif setelah mendapat perlakuan yang sama dengan teman-temannya yang normal. Mereka terlihat lebih percaya diri dan menurut saya itu modal paling utama karena dengan adamya rasa percaya diri untuk maju, sang anak tidak merasa ada batasan bagi dirinya untuk berkembang”.

(Wawancara tanggal 24 Juli 2017)

Ibu MA melihat bahwa para orang tua siswa berkebutuhan khusus banyak yang sudah mengetahui kalau anaknya memiliki kelainan sebelum mendaftarkan anak mereka di SMP Negeri 1 Alla. Hal tersebut dituturkan seperti berikut:

“Pada saat ajaran baru, pihak sekolah selalu mengundang orang tua murid baru ke sekolah. Itu semacam penyambutan bagi siswa baru. Di saat itu kami memberitahukan kepada orang tua tugas dan amanah yang sekolah emban sebagai sekolah inklusif. Ada orang tua yang memang sudah tau kalau sekolah ini sudah termasuk sekolah inklusif. Pada awal dicanangkan, saya dan guru yang lainnya mempromosikan sekolah kepada orang lain melalui banyak cara seperti di acara majelis taklim, arisan dan kegiatan kemasyarakatan lainnya. Saya juga informasikan kepada Kepala sekolah SD yang saya kenal. Lalu kemudian banyak yang tau melalui cerita dari mulut ke mulut. Tapi ada juga orang tua belum tahu mengenai sekolah inklusi. Jadi kami tetap informasikan saat acara penyambutan siswa baru”. (Wawancara tanggal 8 Mei 2017)

“Sebelum mendaftarkan anak ke sekolah, kebanyakan orang tua sudah mengetahui kondisi anaknya. Ada juga orang tua yang menemui saya secara langsung. Mereka menceritakan kekurangan dari anak mereka tersebut. Dari cerita mereka, saya mendapat informasi mengenai kesulitan-kesulitan anak dalam belajar. Ada anak yang belum bisa membaca, tidak lancar menulis, mengalami gangguan emosi bahkan autis.

mereka masing-masing kalau ada anak walinya termasuk anak berkebutuhan khusus. Tolong diperhatikan dan berikan binaan yang baik tetapi dalam aspek proses pembelajaran usahakan selalu sama, Sehingga kita bisa melihat di SMPN 1 Alla baik anak normal maupun anak berkebutuhan khusus mendapat perlakuan yang sama”. (Wawancara tanggal 24 Juli 2017)

Mengenai kurikulum, Ibu MA mengatakan bahwa sekolah SMP Negeri 1 Alla menggunakan dua jenis yakni KTSP dan K13. Sekolah tidak memiliki kurikulum khusus bagi anak inklusif. Jadi bahan ajar yang digunakan sama dengan kurikulum pengajaran anak normal lainnya.

Selain itu, sekolah juga tidak memiliki guru pendamping khusus bagi anak berkebutuhan khusus.

Hal tersebut terungkap dalam penggalan wawancara berikut:

“Pihak sekolah menggunakan kurikulum KTSP dan K13.

Tidak ada kurikulum khusus bagi anak berkebutuhan khusus disebabkan guru pendampingnya belum ada. Untuk saat ini, tugas pendamping khusus diserahkan kepada guru BK.

Siswa inklusif dibiarkan belajar dan menerima mata pelajaran dari guru yang sama. Metode dan kurikulumnya juga sama. Hal yang membedakan nantinya adalah dari segi hasil rekap nilai setiap siswa. Disitu akan ditemukan hasil ulangan siswa berkebutuhan khusus mendapat nilai sangat rendah dan hasil tugas-tugas yang diberikan tidak tuntaslah”.

(Wawancara tanggal 24 Juli 2017)

Selain masalah kurikulum, Ibu MA mengatakan bahwa masih ada guru yang mengalami kesulitan dalam memberikan penilaian pada siswa berkebutuhan khusus. Berikut penuturan beliau:

“Banyak guru yang merasa kesulitan dalam memberikan penilaian kepada anak berkebutuhan khusus. Bagaimana tidak, ada anak inklusif yang belum lancar membaca dan

menulis soal saat ulangan dan tidak dapat menjawab pertanyaan. Meskipun ada sosialisasi mengenai gambaran cara penilaian anak berkebutuhan khusus, akan tetapi masih ada guru yang mengaku masih kebingungan dalam mengisi daftar nilai siswa yang berkebutuhan khusus”. (Wawancara tanggal 24 Juli 2017)

Adapun cara memberi penilaian yang biasa diterapkan di SMP Negeri 1 Alla di ungkapkan ibu MA dalam penggalan wawancara berikut:

“Guru disini memberi penilaian bukan hanya berfokus pada nilai ulangan dan nilai tugas saja. Tetapi mereka juga menilai perkembangan pengetahuan siswa dari waktu ke waktu. Ada anak yang sebelumnya tidak bisa mengenal huruf menjadi bisa mengeja, sebelumnya tidak lancar membaca dan menulis menjadi lebih lancar itu semua kami masukkan penilaian. Kami juga mengambil nilai keseharian anak di sekolah seperti tingkat kehadiran, kerajinan siswa, sopan kepada guru dan warga sekolah yang lain, dan keaktifan dalam kelas, dan tingkah laku lainnya di dalam kelas. Semua itu di beri nilai oleh guru. Bahkan ketika ulangan dan anak hanya menulis soal ulangan juga diberi penilaian. Jadi ada anak yang memang sangat rendah nilai akademiknya tetapi tetap naik kelas karna nilai dalam kesehariannya baik serta ditemukan ada perkembangan dari segi pengetahuan yang bisa dilihat sebelum dan sesudah anak diberi pengajaran”.

(Wawancara tanggal 24 Juli 2017)

“Dulu ada siswa disini yang termasuk anak autis bernama AG. Dia hanya menyukai 2 bidang studi yaitu bahasa inggris dan computer. Kemampuannya di dua bidang ini lebih unggul ketimbang teman-temannya yang lain. Jadi kalau ada tugas diberikan di sekolah, AG biasanya hanya mampu menulis soal. Karna hanya mampu menulis soal jadi apabila ada tugas bahkan soal ulangan kami suruh bawa pulang soalnya, nanti di kerjakan di rumah di bantu oleh orang tua atau kakaknya. Meskipun hanya bisa menulis soal saat ulangan akan tetapi dia memiliki kemampuan dalam bidang bahasa inggris dan computer, sehingga guru tetap harus memberikan AG nilai dan mengusahakan dia agar tidak tinggal kelas. Kami tidak ingin membuat anak ini terhambat mengembangkan kemampuannya hanya karena dia kurang pandai dalam mata pelajaran lain”. (Wawancara tanggal 24 Juli 2017)

Adapun strategi yang di gunakan ibu MA dalam mengajar anak inklusif diceritakan dalam penggalan wawancara di bawah ini:

“Strategi yang biasa saya terapkan dalam mengajar anak inklusif yakni mereka diberikan tempat duduk di bagian depan agar guru mata pelajaran mudah mengontrol dan memantau sambil memberi tugas temannya yang lain. Saya juga memberi pemahaman secara berulang-ulang di bagian anak mengalami kesulitan dan menjelaskan pelajaran dengan cara tidak terburu-buru agar anak berkebutuhan khusus memiliki kesempatan untuk mencerna penjelasan kata demi kata. Biasanya anak berkebutuhan khusus saya pilihkan tempat supaya bisa duduk satu bangku dengan murid yang pintar sehingga bisa meminta bantuan kepada teman sebangkunya untuk mengajari mereka pada pelajaran yang belum dimengerti dengan baik. Selain itu, saat anak berkebutuhan khusus ini mulai mengamuk dalam kelas dan tidak mau mematuhi perintah, saya biasa pancing dengan barang-barang yang mereka minati. Seperti dulu waktu masih mengajar anak autis. Kalau dalam kelas di mulai bosan atau tidak suka dengan sesuatu pasti dia akan mengamuk dan merusak barang dalam kelas. Dia juga mengusir temannya dari kelas. Kalau sudah begitu biasanya saya pura-pura mengaku laptopku bermasalah, ada file yang rusak gara-gara virus. Saya kemudian meminta bantuan dia untuk memperbaiki. Cara tersebut selalu berhasil karna dia memang sangat suka bermain komputer. Dia langsung duduk tenang di meja guru mengotak-atik laptop dan saya juga bisa melanjutkan pelajaran bersama temannya yang lain”. (Wawancara tanggal 24 Juli 2017)

Perhatian lebih yang diberikan kepada anak berkebutuhan khusus terkadang mengundang kecemburuan bagi siswa normal yang lainnya.

Namun, pihak guru berusaha memberi pemahaman kepada siswa yang lain mengenai siswa inklusif. Hal tersebut dituturkan ibu MA sebagai berikut:

“Sebelumnya biasa ada siswa yang protes kalau ada anak

itu siswa yang autis. Dia itu kalau marah na buka rim celananya na pake pukul temannya baru na usir semua temannya dari kelas. Biasa mi juga na banting-banting meja dan kursi di kelas kalau ada sesuatu yang tidak na suka. Jadi kalau sudah begitu haruski pintar-pintar cara ta’ bujuk ki.

Kalau tidak, bisa jadi tambah mengamuk dan memukul.

Teman kelasnya adami yang biasa protes kenapa tidak di keluarkan sekolah saja atau kenapa anak begitu tetap naik kelas padahal nilainya sangat rendah. Jadi tugas kami guru memberi pemahaman tentang kondisi anak inklusif kepada teman-temannya agar mereka bisa menerima dan tidak iri melihat siswa yang berkebutuhan khusus lebih mendapat perhatian yang lebih dari guru”. (Wawancara tanggal 24 Juli 2017)

Informasi yang didapat dari ibu CH tidak terlalu jauh berbeda. Ibu CH merupakan salah satu staff pengajar di SMP Negeri 1 Alla dan mengisi posisi guru BK. Selain itu, dia diberikan amanah oleh Kepala Sekolah sebagai guru pendamping bagi anak berkebutuhan khusus. Hal tersebut seperti yang dituturkan ibu CH berikut ini:

“Saya mulai mengajar di sekolah ini sejak selesai kuliah pada tahun 2011. Kebetulan saat itu guru yang mengajar mata pelajaran BK mau pension, jadi saya yang masuk menggantikan posisi guru tersebut. Saat ini sekolah belum mempunyai guru pembimbing khusus bagi ABK, jadi guru BK diamanahkan Kepala Sekolah untuk memberikan bimbingan kepada siswa inklusif terutama bagi anak yang mengalami gangguan emosi yang suka berkelahi, memukul dan tantrum dalam kelas”. (Wawancara 5 Juni 2017)

“Sebenarnya, walaupun guru BK sudah diamanahkan untuk membimbing anak berkebutuhan khusus di sekolah tapi anak inklusif tetap membutuhkan guru pembimbing khusus yang lebih ahli dan sudah mengetahui secara detail seluk beluk mengenai ABK. Kalau kami guru BK hanya belajar dasar-dasar dalam menghadapi anak-anak inklusif ini jadi pelayanan dan pembelajaran yang kami berikan tidak maksimal”. (Wawancara 5 Juni 2017)

Ada beberapa anak berkebutuhan khusus yang masih bertahan melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Alla, namun ada juga beberapa yang sudah putus sekolah. Informasi tersebut di tuturkan ibu CH dalam penggalan wawancara berikut:

“Masih ada beberapa anak inklusif di SMP Negeri 1 Alla yang bertahan, tapi ada juga yang sudah keluar dari sekolah.

Mereka yang berhenti sendiri dari sekolah. Waktu masuk tahun ajaran baru, tidak datang mi lagi di sekolah. setelah di konfirmasi ke keluarganya, anaknya katanya sudah tidak mau ke sekolah. Siswa berkebutuhan khusus yang masih bersekolah di sini diantaranya adalah ZF dan NU. Keduanya sama-sama duduk di bangku kelas dua. ZF itu anaknya sangat pendiam, pemalu, kurang aktif dan kurang inisiatif baik dalam hal belajar maupun bermain bersama teman-temannya. Saat berlangsung proses pembelajaran di dalam kelas, dia lebih suka diam saja dan tidak pernah bertanya.

Bahkan saat di beri pertanyaan dia juga diam saja Biasa ada guru mata pelajaran yang suruh maju ke depan papan tulis tapi dia tidak mau. Prestasi belajarnya juga selalu di urutan terakhir dibanding teman sekelasnya yang lain.

Namun demikan, ZF termasuk anak yang sopan, sangat rajin datang ke sekolah dan rajin juga membersihkan dalam kelas”. (Wawancara 5 Juni 2017)

“Kekurangan ZF yang sangat mencolok dalam dirinya yakni dia sangat lambat dalam penerimaan pelajaran. Sedangkan dalam hal-hal yang berhubungan dengan sosial, dia tidak terlalu anti sosial karena masih biasa terlihat ikut bergaul dengan teman dekatnya di kelas.Teman dekat ZF bernama FH yang selalu dia ikuti saat berada di lingkungan sekolah.

Hanya saja dia tidak seaktif temannya yang lain. Saat teman-temannya sedang asyik bermain, dia hanya duduk saja memperhatikan temannya tersebut tanpa ikut terlibat dalam permainan. (Wawancara 5 Juni 2017)

“Adapun anak inklusif yang lain bernama NU. Baik ZF dan NU memiliki persamaan dalam hal nilai prestasi belajar.

Keduanya di nilai sama-sama lambat dalam penerimaan pelajaran. Selain itu NU juga termasuk anak sangat pemalu,

tidak bagus, tapi dia tetap rajin datang ke sekolah. Dia juga termasuk anak yang sopan dan sabar. Meskipun selalu jadi sasaran ejekan teman-temannya tapi NU selalu diam saja tanpa membalas mengejek ataupun marah pada temannya tersebut”. (Wawancara 5 Juni 2017)

Pihak sekolah berusaha memberikan layanan pendidikan yang sama kepada semua siswa agar bisa memenuhi kebutuhan pendidikan setiap siswa baik normal maupun siswa inklusif. Hal tersebut dituturkan ibu CH dalam penggalan wawancara berikut ini:

“Saya dan guru lainnya berusaha untuk tidak memberikan perlakuan yang berbeda kepada siswa saat dalam kelas dalam pemberian layanan pendidikan. Kami menggunakan kelas yang sama dimana anak inklusif dan anak normal di satukan di dalamnya. Kurikulum yang di gunakan juga sama.

Meskipun sama mengenai pelajaran, akan tetapi mau tidak mau tetap ada perbedaan dalam hal pemberian perhatian.

Kami kebanyakan memberikan perhatian yang lebih kepada anak-anak inklusif. Seperti saat menjelaskan pelajaran kepada anak normal kami mengajar seperti pada umumnya, akan tetapi pada saat berhadapan dengan anak inklusif yang sulit memahami pelajaran, malas memperhatikan ataupun tidak mau mengikuti pelajaran bahkan sering tantrum dalam kelas, kami harus berusaha keras untuk mencari strategi agar mereka mau mengikuti pelajaran dengan aktif, gaya berbicara saat menjelaskan juga harus di perlambat dan tidak boleh di kerasi agar anak lebih bisa mengerti. Yang pasti harus sabar dan rajin membujuk saat mengajar anak inklusif ini”. (Wawancara 5 Juni 2017)

Walaupun sudah memberikan perlakuan yang sama kepada kepada siswa, namun Ibu CH merasa belum bisa memberikan pelayanan pendidikan maksimal disebabkan kurangnya pengetahuan yang dimiliki mengenai cara menangani anak berkebutuhan khusus di kelas. Hal tersebut dituturkannya seperti berikut:

“Menurut saya, perlakuan yang diberikan oleh sekolah belum

siswa berkebutuhan khusus. Hal ini dikarenakan guru yang mengajar di sekolah ini tidak ada yang berlatar pendidikan dari PLB. Kebanyakan tidak terlalu mengetahui tentang anak inklusif dan bagaimana cara menangani ABK di dalam kelas.

Saya selaku guru BK meskipun diberi kepercayaan untuk membimbing anak inklusif ini, tapi tidak bisa berbuat banyak untuk mereka. Biasanya saya hanya memberikan nasehat apabila anak ini bermasalah di sekolah, memberi mereka motivasi agar lebih giat dalam belajar. Padahal apabila ada guru pembimbing khusus pasti bisa memberikan layanan pendidikan yang lebih baik untuk anak inklusif”. (Wawancara 5 Juni 2017)

“Kalau ada pembimbing khusus yang membantu menangani anak inklusif di sekolah, guru pembimbing dan guru mata pelajaran bisa saling membantu dalam mengajar. Sehingga pengajaran yang didapat anak bisa maksimal”. (Wawancara 5 Juni 2017)

“Sejauh ini kami menangani anak inklusi yang bermasalah di sekolah seperti berkelahi dengan temannya atau mengamuk di kelas, berbuat onar masih sebatas diberi nasehat dan motivasi. Teman-temannya yang normal juga kami berikan pemahaman bahwa temannya merupakan anak inklusif yang mempunyai kebutuhan khusus serta kelainan baik itu dalam hal kelainan emosi, ada juga yang lambat dalam menerima pelajaran. Jadi tolong di maklumi dan jangan di ganggu.

Namun, meskipun sering di berikan pemahaman seperti itu, tapi tidak semua anak bisa menerima. akan tetapi biarpun kami selaku guru BK sudah menerapkan dasar-dasar ilmu menangani ABK yang kami ketahui, tapi tetap saja terkadang tidak berhasil. Seandainya ada guru pendamping khususnya pasti memiliki strategi yang lebih jitu”. (Wawancara 5 Juni 2017)

“Saran saya mungkin sebaiknya ada SLB yang dibangun di kecamatan Alla. Ada SLB di Kabupaten kota tapi letaknya yang jauh jadi sulit di akses oleh anak yang tinggal di seputaran Enrekang Duri. Selain itu, kebanyakan orang tua tidak mau berpisah jauh dengan anaknya kalau mereka berkebutuhan khusus. Kalau ada SLB, anak inklusif seperti ZF dan NU yang sangat sulit memahami pembelajaran di kelas dan tidak mampu bergaul dengan baik bersama anak

guru-gurunya lebih mengetahui cara tepat menangani anak seperti mereka”. (Wawancara 5 Juni 2017)

Selain itu, ibu CH mengatakan bahwa meskipun dijadikan sekolah inklusif, pihak sekolah tidak bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain dalam memantau berjalannya program sekolah inklusif SMP Negeri 1 Alla.

Berikut penuturan ibu CH:

“Tidak ada lembaga lain yang membantu memantau berjalannya program sekolah inklusif di sini. Baik pengawas yang dibentuk pemerintah maupun pengawasan dari pihak-pihak lain seperti LSM. Hanya wali kelas dan guru-guru mata pelajaran bersangkutan yang selalu saling berbagi informasi kepada guru BK tentang perkembangan siswa di lingkungan sekolah khususnya di dalam kelas karena mereka setiap hari berinteraksi dengan anak. Biasa juga kami selaku guru BK yang mengunjungi kelas untuk memantau berjalannya proses pembelajaran sambil melihat perkembangan anak inklusif”. (Wawancara 5 Juni 2017)

Ibu CH mengatakan bahwa dia sudah menerima keberadaan anak berkebutuhan khusus di lingkungan sekolah SMP Negeri 1 Alla. Begitupun juga dengan teman-teman sekolah dari anak berkebutuhan khusus.

Seperti yang dituturkannya sebagai berikut:

“Sebenarnya, saya tidak merasa terbebani dengan adanya anak inklusif di sekolah karena hal itu bisa jadi pembelajaran baru bagi guru tentang cara menangani ABK ke depannya.

Apalagi memang dalam menghadapi siswa pasti banyak karakter yang mau di hadapi. Akan tetapi lebih bagus kalau ada pembimbing khusus karena kemampuan kami untuk menghadapi anak seperti itu terbatas”. (Wawancara 5 Juni 2017)

“Kebanyakan temannya sudah mengetahui kalau ZF dan NU termasuk anak berkebutuhan khusus dan mereka menerima keberadaan anak inklusif di lingkungan sekolah.Saya tidak pernah menemui kasus ada anak inklusif yang dikucilkan temannya di sekolah ini. Akan tetapi, meskipun temannya