• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLAKUAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI (Studi Kasus di Sekolah Inklusi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERLAKUAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI (Studi Kasus di Sekolah Inklusi"

Copied!
175
0
0

Teks penuh

(1)

PERLAKUAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI (Studi Kasus di Sekolah Inklusi

SMP Negeri 1 Alla Kabupaten Enrekang)

TREATMENT OF CHILDREN WITH SPECIAL NEEDS IN SOCIOLOGY PERSPECTIVE (Case Study at Incubation School

of SMP Negeri 1 Alla Enrekang District)

HASTUTI P1600215002

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

PERLAKUAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI (Studi Kasus di Sekolah Inklusi

SMP Negeri 1 Alla Kabupaten Enrekang)

TREATMENT OF CHILDREN WITH SPECIAL NEEDS IN SOCIOLOGY PERSPECTIVE (Case Study at Incubation School

of SMP Negeri 1 Alla Enrekang District)

HASTUTI P1600215002

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

PERLAKUAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI (Studi Kasus di Sekolah Inklusi

SMP Negeri 1 Alla Kabupaten Enrekang)

TREATMENT OF CHILDREN WITH SPECIAL NEEDS IN SOCIOLOGY PERSPECTIVE (Case Study at Incubation School

of SMP Negeri 1 Alla Enrekang District)

HASTUTI P1600215002

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

(2)

PERLAKUAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI (Studi Kasus di Sekolah Inklusi

SMP Negeri 1 Alla Kabupaten Enrekang)

HASTUTI P1600215002

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

(3)

PERLAKUAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI (Studi Kasus di Sekolah Inklusi

SMP Negeri 1 Alla Kabupaten Enrekang)

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi Sosiologi

Disusun dan Diajukan Oleh HASTUTI

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANAUDDIN

MAKASSAR

2018

(4)
(5)

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : HASTUTI

Nomor mahasiswa : P1600215002

Program Studi : SOSIOLOGI

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, Februari 2018 Yang menyatakan

Hastuti

(6)

PERSEMBAHAN

Untuk Bapak dan Ibunda tercinta

(7)

PRAKATA

Bismillahirrahmanirrahim, segala puji serta syukur penulis haturkan ke hadirat Ilahi Robbi atas segala rahmat dan hidayahnya, sehingga tesis ini bisa terselesaikan seperti yang ada di tangan pembaca. Tidak lupa salam dan salawat selalu dipanjatkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, Nabi yang menghantarkan umatnya dari zaman keterpurukan menuju zaman terang benderang.

Tesis penulis berjudul Perlakuan Anak Berkebutuhan Khusus dalam Perspektif Sosiologi (Studi Kasus di Sekolah Inklusi SMP Negeri 1 Alla Kabupaten Enrekang) dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan magister di program studi sosiologi Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Hasanuddin. Dimana terpaut suatu harapan untuk mengasah kemampuan diri agar menjadi bermanfaat pada masyarakat.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah sangat membantu dalam penyelesaian tesis ini, yakni kepada:

1. Ayahanda tercinta, Alex dan ibunda, Jaharia yang selalu menghujani ananda dengan cinta kasih, doa, motivasi, semangat dan pengorbanan materiil. Setiap titik keringat tidak akan pernah bisa tergantikan oleh apapun. Tidak ada kata yang cukup menggambarkan betapa bahagia

(8)

2. Prof. Dr. Maria E. Pandu, MA (Almarhuma), selaku pembimbing 1 dan Dr. H. Suparman Abdullah, M.Si diamanahkan sebagai pembimbing 2.

Keduanya telah banyak meluangkan waktu dan pikiran untuk memberi pengarahan sekaligus saran-saran yang memperkaya tesis ini.

3. Dr. M. Ramli AT., M.Si, Dr. Mansyur Radjab, M.Si dan Dr. Rahmat Muhammad, M.Si, yang masing-masing diamanahkan sebagai penguji dalam sidang tesis ini. Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak luput dari beberapa kekurangan, karena itu pula beragam saran dan kritik yang membangun dari penguji menjadi vitamin dalam perbaikan dan pengembangan tesis ini.

4. Dr. H. Suparman Abdullah, M.Si selaku ketua jurusan pascasarjana sosiologi, sekaligus menjadi pembimbing 2 yang telah memberikan arahan dan menyediakan waktu dengan sikap yang ramah untuk mendukung kelancaran dari penyelesaian tesis ini.

5. Para dosen pengajar di Pascasarjana Sosiologi yang telah bersedia memberikan ilmu dan perhatiannya.

6. Segenap staff administrasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang dengan keramahan dan pelayanan terbaiknya menghadapi penulis.

7. Seluruh informan yang telah memberikan banyak informasi terkait permasalahan yang diteliti oleh penulis. Segala suka duka serta keterbukaan terhadap penulis menjadi pengetahuan yang mampu memompa semangat bagi penulis dan semoga begitu pula pihak-pihak yang membaca tesis ini.

(9)

8. Sahabat dan teman seperjuangan yang tidak mampu disebutkan satu persatu terimakasih selalu memotivasi, membantu, menyemangati dengan nasehatnya, penulis bersyukur dipertemukan dengan kalian.

9. Terakhir, kepada Agung, Leo (alm), Ausi, Arul, Lenny dan adik bungsu Nurul Sakinah. Saudara yang selalu melindungi, membantu dan menghargai keterbatasan tanpa pernah meremehkan. Kalian adalah saudara terbaik pernah saya miliki. Terima kasih atas kepercayaan dan cintanya. Tak lupa pula kepada kakak tercinta Abdul Dudi, ST, terimakasih selalu setia jadi pendengar yang baik dan nyaring dengan nasehat serta motivasinya.

Akhir kata, dengan segala keterbatasan dan kerendahan hati, penulis mempersembahkan tesis ini kepada khalayak pembaca. Semoga karya sederhana ini mampu memberikan pengetahuan, serta bermanfaat dalam perbaikan sumber daya manusia, melahirkan insan-insan yang saling menebar kebaikan dalam beragam perbedaan.

Makassar, Januari, 2018

Hastuti

(10)

ABSTRAK

Hastuti. Perlakuan Anak Berkebutuhan Khusus dalam Perspektif Sosiologi (Studi Kasus di Sekolah Inklusi SMP Negeri 1 Alla Kabupaten Enrekang), dibimbing oleh Maria E. Pandu dan Suparman Abdullah.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlakuan yang diterima anak berkebutuhan khusus dalam keluarga, masyarakat dan sekolah.

Metode penelitian yang digunakan adalah model penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi terbatas, wawancara mendalam dan dokumentasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus mendapat perlakuan bervariasi. Dalam keluarga, anak mendapat perlakuan baik berupa diterima keberadaannya, dipenuhi kebutuhannya, diberi pendidikan, kasih sayang, dibekali ilmu agama serta diajarkan nilai dan norma berlaku di masyarakat. Perlakuan salah seperti pelabelan negatif, sering dibentak dan dimarahi serta dibebani banyak pekerjaan rumah. Di lingkungan masyarakat, keberadaan mereka diterima sebagai anggota. Tetapi, anak sering menjadi bahan ejekan, tidak diikutsertakan dalam kegiatan kemasyarakatan dan tidak disediakan layanan sosial di lingkungan masyarakat. Di sekolah, kehadiran mereka diterima sebagai amanah untuk meningkatkan mutu pendidikan semua anak. Anak berkebutuhan khusus berada di kelas bersama anak normal mendapat perlakuan sama dalam metode pembelajaran dan kurikulum yang diajarkan. Evaluasi hasil belajar tidak hanya berfokus pada hasil ulangan dan tugas tapi juga dilihat dari perkembangan pengetahuan anak, kehadiran, kerajinan dan kesopanan. Sekolah juga dilengkapi ruang sumber dan jalanan khusus pengguna kursi roda. Namun, kurangnya pengetahuan mengenai anak menjadikan guru tidak siap dalam menghadapi anak berkebutuhan khusus dalam kelas Sehingga pembelajaran yang diberikan menjadi tidak maksimal.

Kata kunci: anak berkebutuhan khusus, keluarga, masyarakat, perlakuan, sekolah

(11)

ABSTRACT

Hastuti. Treatment of Children with Special Needs in Sociology Perspective (Case Study at Incubation School of SMP Negeri 1 Alla Enrekang District), guided by Maria E. Pandu and Suparman Abdullah.

This study aims to determine the treatment received by children with special needs in the family, community and school.

The research method used is a qualitative research model with data collection techniques done through observation, in-depth interviews and documentation.

The results showed that children with special needs received varying treatment. In the family, the child gets a good treatment in the form of acceptable existence, filled with his needs, given education, compassion, equipped with religious knowledge and taught values and norms apply in the community. False treatments such as negative labeling, often snapped and scolded and loaded with many homework. In the community, their existence is accepted as a member. However, children are often the subject of ridicule, not included in community activities and not provided social services in the community. At school, their presence is accepted as a mandate to improve the quality of education of all children. Children with special needs in the classroom with normal children are treated equally in the method of learning and the curriculum being taught. Evaluation of learning outcomes not only focuses on the results of repetition and task but also seen from the development of children's knowledge, presence, crafts and courtesy. The school also features a special source room and street wheelchair users.

However, the lack of knowledge about the child makes the teacher is not ready in the face of children with special needs in the class So that the lesson given is not maximal.

Keywords: children with special needs, family, community, treatment, school

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PENGAJUAN ii

HALAMAN PENGESAHAN iii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS iv

PERSEMBAHAN v

PRAKATA vi

ABSTRAK ix

ABSTRACT x

DAFTAR ISI xi

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xv

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 8

C. Tujuan Penelitian 8

D. Manfaat Penelitian 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10

A. Anak Berkebutuhan Khusus 10

B. Perlakuan Anak Berkebutuhan Khusus 19

1. Perlakuan Keluarga Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus 25 2. Pelakuan Masyarakat Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus 33 3. Perlakuan Sekolah Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus 36

C. Kerangka Teori 40

1. Teori Interaksionisme Simbolik 40

(13)

3. Teori Ekologi Perkembangan 47

D. Kerangka Konseptual 50

BAB III METODE PENELITIAN 53

A. Pendekatan Jenis Penelitian 53

B. Lokasi Penelitian 54

C. Sumber Data 55

D. Teknik Pengumpulan Data 57

E. Teknik Analisis Data 59

F. Keabsahan Data 60

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 61

A. Gambaran Lokasi Penelitian 61

1. Profil Sekolah SMP Negeri 1 Alla Kabupaten Enrekang 61 2. Sarana dan Prasarana SMP Negeri 1 Alla 64

3. Struktur Organisasi SMP Negeri 1 Alla 68

B. Hasil Penelitian 67

1. Profil Anak Berkebutuhan Khusus 69

2. Perlakuan Anak Berkebutuhan Khusus dalam Keluarga 72

a) Penerimaan Anak 95

b) Cara Penanganan Anak 99

c) Penerapan Fungsi Keluarga dalam Memberi Perlakuan 102

d) Perlakuan Salah 109

3. Perlakuan Anak Berkebutuhan Khusus dalam Masyarakat 112

a) Sikap masyarakat 121

b) Pengikutsertaan dalam kegiatan masyarakat 123

c) Interaksi masyarakat dengan anak 125

(14)

a) Sikap pendidik/guru 143

b) Evaluasi Hasil Belajar 146

c) Metode/Proses belajar mengajar 147

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan 149

B. Saran 150

DAFTAR PUSTAKA 152

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 4.1. Matriks Perlakuan Anak Berkebutuhan Khusus

dalam Keluarga 92

Tabel 4.2. Matriks Perlakuan Anak Berkebutuhan Khusus

dalam Masyarakat 120

Tabel 4.3. Matriks Perlakuan Anak Berkebutuhan Khusus

di Sekolah 142

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Skema Kerangka Konseptual Penelitian 52

Gambar 2. Ruang Inklusif 65

Gambar 3. Jalanan Pengguna Kursi Roda 66

Gambar 4. Struktur Organisasi SMPN 1 Alla 68

Gambar 5. Anak Berkebutuhan Khusus Mengikuti Ulangan 146 Gambar 6. Anak Berkebutuhan Khusus Mengikuti Ulangan 147

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak adalah titipan Tuhan yang diharapkan kelak menjadi generasi penerus bangsa. Pada kenyataannya, setiap anak mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ada anak terlahir secara normal dan tumbuh serta berkembang dengan normal, akan tetapi ada juga yang terlahir sebagai anak tidak normal karena memiliki keterbatasan dan gangguan baik secara fisik, mental, sosial maupun psikologis. Namun di balik kekurangan yang dimiliki, bukan berarti mereka tidak memiliki minat dan bakat.

Tidak ada orang tua mendoakan anaknya terlahir sebagai anak berkebutuhan khusus (ABK). Kehadiran anak berkebutuhan khusus dalam keluarga cenderung menimbulkan ketegangan dalam keluarga. Orangtua pada umumnya akan mengalami perasaan bersalah dan menunjukkan mekanisme pertahanan diri atau bahkan merasakan kecewa yang mendalam. Akibat dari stres dan ketegangan seperti itu bisa saja orang tua menolak kehadiran anak tersebut atau memberikan perlindungan sangat berlebihan kepadanya (Sudrajat dan Rosida, 2013: 35-36).

Keberadaan anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam masyarakat tentunya tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebagai individu, mereka

(18)

memperoleh kebahagiaan hidup serta tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang kondusif termasuk akses yang sama dalam mengenyam pendidikan. Di berbagai tempat, anak berkebutuhan khusus cenderung termarjinalkan dari lingkungannya. Ada yang mengalami penolakan dari orang-orang di sekitar tempat tinggalnya dan beberapa bahkan tidak diterima di dalam keluarganya sendiri. Selain itu, beragam perlakuan pun didapatkan anak berkebutuhan khusus.

Tuntutan akan adanya persamaan serta kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan bahkan diatur dalam UUD 1945, seperti yang tertuang pada Pasal 31 ayat (1): “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Secara rinci lagi dijelaskan dalam Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1989 Pasal 5 yang berbunyi: “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan” dan dalam Pasal 8 yang berbunyi: “Warga negara yang memiliki kelainan fisik dan/ mental berhak memperoleh pendidikan luar biasa” (Hasbullah, 2013:

146).

Pembangunan sekolah-sekolah luar biasa (SLB) di berbagai daerah menjadi alternative untuk memberikan akses pendidikan kepada anak berkebutuhan khusus (ABK). Sistem pendidikan ini merujuk pada penyediaan fasilitas untuk melayani anak berdasarkan jenis dan tingkat kekhususannya. Tenaga pengajarnya adalah guru-guru yang memang sudah punya pengetahuan tentang penanganan anak berkebutuhan khusus, jadi mereka tidak akan kebingungan dan bisa memperlakukan

(19)

anak berkebutuhan khusus dengan baik. Program pembelajarannya mencakup hal-hal berhubungan dengan apa yang diperlukan anak dalam kehidupan sehari-hari agar dapat mengurus diri tanpa terlalu bergantung kepada orang lain.

Seiring waktu, pendidikan bersifat segregatif dinilai menghambat proses interaksi sosial antara anak berkebutuhan khusus (ABK) dengan masyarakat sekitarnya. Kebanyakan anak-anak berkebutuhan khusus bersekolah di sekolah khusus yang jauh dari keluarga, sahabat dan teman sebaya mereka. Hal ini mengakibatkan mereka merasa tercerabut dari dinamika sosialnya.

Pemisahan pendidikan juga mengakibatkan masyarakat menjadi asing tentang kehidupan anak berkebutuhan khusus dan selalu menganggap mereka berbeda, sementara kepercayaan diri anak berkebutuhan khusus untuk bersosialisasi dengan orang lain menjadi berkurang dan timbul perasaan tidak aman karena selalu merasa keberadaannya bukan merupakan bagian dari kehidupan masyarakat di sekelilingnya.

Llyod Dunn (Smith, 2015: 42) menekankan bahwa memberikan label kepada anak untuk ditempatkan di kelas-kelas khusus membuat suatu stigma yang sangat destruktif bagi konsep diri mereka. Pemindahan ini memberikan pengaruh sangat signifikan pada perasaan dan problem penerimaan diri. Pemberian label anak berkebutuhan khusus dapat dilihat

(20)

masyarakat bahwa anak berkebutuhan khusus adalah sekumpulan manusia yang dikategorikan sebagai manusia tidak normal.

Kecacatan tidak seharusnya menjadi alasan yang menghalangi anak berkebutuhan khusus mendapatkan kesempatan sama dengan anak normal dalam berbagai segi kehidupan, apalagi setiap anak memiliki potensi berbeda-beda dan bisa dikembangkan lebih dari sekedar kemampuan menolong dan mengurus diri sendiri. Adanya tuntutan pada pemerintah untuk memberikan akses sama untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam sebuah lingkungan sama dengan orang lain tanpa memandang hambatan dimiliki mendorong pemerintah mengeluarkan sebuah deklarasi tentang Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif di Bandung pada tahun 2004.

Deklarasi ini memuat adanya hak dalam berbicara, berpendapat, memperoleh pendidikan, kesejahteraan, kesehatan bagi anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.

Mereka mendapatkan hak dan kewajiban secara penuh sebagai warga Negara dalam memperoleh pendidikan bermutu dan berperan aktif dalam kehidupan masyarakat sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), diperjelas oleh Konvensi Hak Anak (1989), Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (1990), Pernyataan Standar Kesetaraan Kesempatan untuk Orang Penyandang Kecacatan (1993), Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi UNESCO (1994), Undang-Undang Penyandang Kecacatan (1997), Kerangka Aksi Dakar

(21)

(2000), UU RI No. 23 tentang Perlindungan anak (2002), Undang- Undang RI Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional (2003) dan Deklarasi Kongres Anak Internasional (2004). Dokumen-dokumen deklarasi di atas merupakan awal dari munculnya konsep pendidikan inklusi (Smith, 2015: 443).

Pendidikan inklusi merupakan suatu sistem layanan pendidikan khusus yang mensyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus dilayani di sekolah terdekat, di dalam kelas biasa bersama teman-teman seusianya (Praptiningrum, 2010: 34). Pendidikan inklusi pada dasarnya bertujuan untuk merangkul semua siswa tanpa memandang latar belakang dan kondisi ke dalam satu sistem sekolah untuk menemukan dan mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh siswa beragam tersebut.

Penyatuan ini diharapkan mampu mendorong toleransi antar siswa serta mengurangi stigma negatif terhadap anak berkebutuhan khusus sehingga perlakuan negatif seperti penolakan dan diskriminasi terhadap anak dalam pergaulan bisa diminimalisir. Dalam penyelenggaraannya, diperlukan juga dukungan dari tenaga kependidikan, sarana pendukung, serta kurikulum khusus dikolaborasikan dengan kurikulum sekolah regular sehingga anak mampu pengembangan potensinya lebih lagi.

Pendidikan Inklusif sendiri sudah mempunyai payung hukum yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik

(22)

beberapa sekolah ditunjuk oleh Pemerintah untuk menerapkan sistem Sekolah Inklusif di daerahnya masing-masing. Penerapan ini menemui hambatan dikarenakan persebaran anak-anak berkebutuhan khusus tidak berfokus pada satu lokasi. Sehingga pada akhirnya muncul peraturan bahwa sekolah tidak boleh menolak anak berkebutuhan khusus yang mendaftar di sekolah umum.

Pada tahun 2011, jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia yang tercatat mencapai 1.544.184 anak. Berdasarkan data dari Direktorat Pembinaan PK-LK Dikdas tahun 2010 angka partisipasi murni ABK untuk jenjang pendidikan dasar baru mencapai 30 persen. Artinya, masih terdapat 70 persen ABK yang belum mengenyam pendidikan di sekolah, baik sekolah khusus ataupun sekolah inklusif. Kondisi ini menggambarkan seriusnya persoalan pada anak-anak berkebutuhan khusus, sehingga perlu dicarikan solusi bagaimana agar mereka dapat memperoleh hak atas pendidikan yang sesuai (Handayani dan Rahadian, 2013: 29).

Penerapan sekolah inklusi dilakukan di berbagai Provinsi dan Kabupaten di Indonesia. Secara spesifik, bisa ditemukan di Kabupaten Enrekang khususnya di SMP Negeri 1 Alla. Sekolah ini bersama dengan beberapa sekolah lain di Kabupaten Enrekang ditunjuk pemerintah setempat sebagai sekolah inklusi di Kabupaten Enrekang. Namun, berdasarkan hasil observasi peneliti menemukan hanya beberapa sekolah yang bersedia ditunjuk sebagai sekolah inklusi. Kebanyakan merasa belum siap untuk menerima semua anak berkebutuhan khusus di sekolah

(23)

umum karena terkendala pada tenaga pengajar, kurikulum dan sarana prasarana yang bisa diakses oleh semua anak berkebutuhan khusus.

Sekolah-sekolah di Kabupaten Enrekang mulai di resmikan sejak tahun 2015. Namun, sejauh ini masih banyak mengalami kendala.

Berdasarkan hasil dari observasi awal peneliti menemukan banyak anak- anak berkebutuhan khusus tidak bisa bertahan di sekolah umum. Dalam proses belajar mengajar, guru cenderung mendasarkan pemenuhan pada kebutuhan siswa rata-rata dan tidak terlalu memperhatikan kebutuhan dari anak berkebutuhan khusus. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan guru-guru sekolah umum tentang cara menangani anak berkebutuhan khusus. Bahkan di salah satu sekolah inklusi yaitu sekolah SMP Negeri 1 Baraka pada pertengahan tahun 2016 para siswa tergolong berkebutuhan khusus banyak yang putus sekolah.

Pihak sekolah mengakui kesulitan dalam melayani siswa berkebutuhan khusus secara maksimal disebabkan karena tidak adanya tenaga pengajar profesional yang berasal dari Pendidikan Luar Biasa (PLB), kurikulum digunakan sama dengan anak normal, ketersediaan sarana dan prasarana sekolah belum ramah terhadap anak berkebutuhan khusus, serta mereka masih kerap dikucilkan oleh teman sebaya di sekolah. Hal ini mengakibatkan mereka sulit beradaptasi dengan sekolah dan memilih untuk putus sekolah ataupun memilih pindah ke sekolah lain.

Berdasarkan deskripsi di atas, maka peneliti sangat tertarik untuk

(24)

dengan judul: Perlakuan Anak Berkebutuhan Khusus dalam Perspektif Sosiologi (Studi Kasus di Sekolah Inklusi SMP Negeri 1 Alla Kabupaten Enrekang).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan deskripsi latar belakang di atas, maka dibuat beberapa rumusan masalah yang akan menjadi fokus penelitian, antara lain:

1. Bagaimana perlakuan keluarga terhadap anak berkebutuhan khusus?

2. Bagaimana perlakuan masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus?

3. Bagaimana perlakuan sekolah terhadap anak berkebutuhan khusus.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat dipaparkan tujuan dari penelitian sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui perlakuan yang diterima anak berkebutuhan khusus dari keluarga.

2. Untuk mengetahui perlakuan yang diterima anak berkebutuhan khusus dari masyarakat sekitar tempat tinggalnya.

3. Untuk mengetahui perlakuan yang diterima anak berkebutuhan khusus dari pihak sekolah.

(25)

D. Kegunaan Penelitian Melalui penelitian ini, diharapkan:

1. Secara teoritis dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam menambah wawasan terutama yang terkait dengan perlakuan yang diterima anak berkebutuhan khusus dari keluarga, mayarakat dan sekolah.

2. Secara praktis dapat memberikan masukan mengenai cara yang dilakukan guna memperlakukan anak berkebutuhan khusus.

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anak Berkebutuhan Khusus

Anak berkebutuhan khusus (ABK) sering diartikan sebagai individu dengan karakteristik berbeda dari orang lain yang dianggap normal oleh masyarakat pada umumnya. Menurut Efendi (Abdullah, 2013: 1) istilah berkebutuhan khusus ditujukan kepada anak yang dianggap mempunyai kelainan/penyimpangan dari kondisi rata-rata anak normal, umumnya dalam hal fisik, mental maupun karakteristik perilaku sosialnya. Istilah lain untuk menyebut anak berkebutuhan khusus antara lain: anak cacat, anak berkelainan, anak tuna, anak difabel, disability dan handicap.

Adapun menurut World Health Organization (WHO) (Utina, 2014:

73) defenisi dari beberapa istilah di atas sebagai berikut: (1) Disability, keterbatasan atau kurangnya kemampuan (yang dihasilkan dari impairment) untuk menampilkan aktivitas sesuai dengan aturannya atau masih dalam batas normal, biasanya digunakan dalam level individu, (2) Impairment, kehilangan atau ketidaknormalan dalam hal psikologis atau struktur anatomi atau fungsinya dan biasanya digunakan pada level organ, (3) Handicap, ketidakberuntungan yang membatasi atau menghambat individu dalam memenuhi peran normalnya. Perbedaan konsep antara disability dan handicap juga dikemukakan oleh Smith (2015: 32) yaitu:

disability adalah keadaan aktual fisik, mental dan emosi, sedangkan

(27)

handicap adalah keterbatasan yang terjadi pada individu oleh karena disability.

Ada beberapa klasifikasi anak berkebutuhan khusus menurut Soemantri (Faradina, 2016: 390) antara lain: autis, tunanetra (gangguan penglihatan), tunarungu (gangguan pendengaran), tunadaksa (kelainan pada anggota gerak tubuh), tunagrahita (keterbelakangan kemampuan intelektual), tunalaras (kelainan perilaku), berkesulitan belajar dan anak berkelainan akademik (anak berbakat).

1. Autis

Autis adalah gangguan yang terjadi pada anak ditandai dengan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, serta interaksi sosial. Menurut Wijayakusuma (Putranto, 2015: 14), kata autis berasal dari bahasa Yunani yaitu auto berarti sendiri. Kata tersebut ditujukan pada seseorang yang menunjukkan gejala berupa hidup dalam dunianya sendiri. Pada umumnya, penyandang autis mengabaikan suara, penglihatan, ataupun kejadian yang melibatkan mereka.

Ada beberapa jenis terapi yang baik dan telah diakui oleh kalangan professional bisa diterapkan untuk menangani penderita autis (Putranto, 2015: 17-21) sebagai berikut:

1. Applied Behavioral Analysis (ABA)

Sistem yang digunakan adalah melatih anak secara khusus dengan memberikan hadiah atau pujian.

(28)

2. Terapi Wicara

Kebanyakan anak autis memiliki kemampuan berbicara sangat lemah.

Meskipun ada yang bicaranya cukup berkembang, namun dia tidak mampu memanfaatkan kemampuan tersebut untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Dalam hal ini, terapi bicara dan bahasa akan sangat membantu karena terapi ini bertujuan untuk melancarkan otot-otot mulut agar dapat bekerja lebih maksimal.

3. Terapi Okupasi

Hampir sebagian besar anak autis mengalami keterlambatan dalam perkembangan motorik halus. Gerak-gerik yang ditunjukkan cenderung kaku dan kasar misalnya, tidak mampu memegang pensil dengan benar, sulit menyuap makanan ke mulut dsb. Untuk mengatasi gejala ini, teori okupasi sangat diperlukan untuk melatih anak menggunakan otot-otot halus secara benar.

4. Terapi Fisik

Terkadang otot anak autis lembek sehingga kemampuan berjalannya menjadi kurang kuat dan keseimbangan tubuhnya buruk. Terapi fisik dan integrasi sensoris bisa sangat membantu dalam menguatkan otot serta memperbaiki keseimbangan tubuhnya.

5. Terapi Sosial

Kekurangan paling mendasar anak autis terletak pada komunikasi dan interaksi. Mereka membutuhkan pengembangan keterampilan dalam komunikasi dua arah, mendapatkan teman, serta bermain bersama di

(29)

tempat terbuka. Terapi ini membantu memberikan fasilitas untuk bisa bergaul dengan teman-teman sebaya, namun harus dilakukan secara intensif dalam membimbing anak.

6. Terapi Bermain

Terapi bermain dilakukan secara intens disertai bimbingan optimal.

Pemilihan permainan harus mengacu pada kelemahan yang dimiliki anak, misalnya jenis mainan dengan mengandalkan hubungan sosial, keterampilan bicara dan sebagainya.

7. Terapi Perilaku

Seorang terapis tentu menelusuri latar belakang dari perilaku negatif anak serta mencari solusi secara perlahan dan terus-menerus dengan merekomendasikan perubahan lingkungan untuk memperbaiki perilaku anak.

8. Terapi Perkembangan

Berdasarkan terapi ini dapat dipelajari minat, kekuatan serta tingkat perkembangan dari anak autis. Terapis juga berupaya meningkatkan kemampuan sosial, emosional, dan intelektual anak.

9. Terapi Visual

Anak autis akan lebih mudah belajar dengan cara melihat (visual learners/thinkers), sehingga penanganannya bisa menggunakan media gambar. Salah satu contohnya yaitu metode PECS (picture exchange communication system). Selain itu, beberapa video games juga dapat

(30)

dimanfaatkan untuk mengasah otak anak agar lebih optimal menyerap informasi dan pesan pembelajaran.

10. Terapi Biomedis

Terapi ini dikembangkan oleh kelompok dokter yang tergabung dalam DAN (Defeat Autism Now). Sebagian perintis organisasi ini mempunyai anak autis. Mereka gigih melakukan riset dan menemukan fakta bahwa gejala autisme diperparah oleh adanya gangguan metabolisme yang berdampak pada fungsi otak. Terapi ini dilakukan untuk memperbaiki kebugaran tubuh agar terlepas dari faktor-faktor merugikan.

11. Terapi Musik

Terapi musik dapat membantu meningkatkan kepekaan fungsi kognitif, afektif dan psikomotorik serta bisa juga mengembangkan potensi atau bakat mereka pada bidang seni. Terapi ini diberikan menyesuaikan usia, kebutuhan, dan tingkat pemahaman anak terhadap bunyi.

2. Tunanetra

Tunanetra merupakan gangguan terjadi pada daya penglihatan.

Menurut Soemantri (Putranto, 2015: 95) tunanetra tidak hanya ditujukan kepada orang buta, tetapi juga mencakup mereka yang hanya mampu melihat secara terbatas sehingga cukup menghambat kepentingan hidup sehari-hari, terutama dalam belajar.

Secara garis besar, anak tunanetra di kelompokkan menjadi dua yaitu buta dan low vision. Akan tetapi, ada juga yang mengklasifikasikan anak tunanetra menjadi empat macam antara lain: (1) Low Vision (kurang

(31)

awas) adalah seseorang yang mengalami penurunan fungsi penglihatan atau lemah penglihatan, (2) Tunanetra ringan adalah seseorang yang masih mampu melihat benda besar, (3) Tunanetra setengah berat adalah sesorang yang masih mampu melihat cahaya atau membedakan terang dan gelap, (4) Tunanetra berat/total adalah seseorang yang sama sekali tidak mampu melihat (Sudrajat dan Rosida, 2013: 10).

Secara fisik, anak tunanetra tidak berbeda dengan anak normal pada umumnya. Perbedaan mencolok hanya pada daya penglihatan. Dari segi mental, intelektual kecenderungan IQ biasa hampir sama dengan anak normal, namun ada juga beberapa kasus disertai dengan keterbelakangan mental. Adapun ciri-ciri anak yang mengalami gangguan daya penglihatan (tunanetra) antara lain: menulis dan membaca dengan jarak yang sangat dekat, hanya dapat membaca huruf yang sangat besar, memicingkan mata atau mengerutkan kening melihat sesuatu di cahaya terang (Sudrajat dan Rosida, 2013: 11).

3. Tunarungu

Secara fisik, anak tunarungu terlihat tidak memiliki perbedaan yang mencolok dengan anak normal. Tunarungu merupakan gangguan terjadi pada daya pendengaran. Biasanya mereka memiliki ketidakmampuan atau kesulitan berkomunikasi dengan baik seperti berbicara tanpa suara, menunjukkan artikulasi kurang jelas, bahkan tidak berbicara sama sekali (hanya memberi isyarat). Kesulitan dalam berkomunukasi secara lisan

(32)

dengan orang lain dinilai disebabkan oleh ketidakmampuan mereka dalam mendengarkan suara.

Menurut Sardjono (Putranto, 2015, 228) ada beberapa ciri-ciri anak yang mengalami gangguan tunarungu, antara lain: (1) kemampuan verbal (verbal IQ) anak tunarungu lebih rendah dibanding pada anak dengan pendengaran normal, (2) penampilan IQ anak tunarungu sama dengan anak mendengar, (3) daya ingat jangka pendek anak tunarungu lebih rendah disbanding anak mendengar, terutama pada informasi yang bersifat berurutan, (4) pada informasi serempak, anak tunarungu dan anak dengan pendengaran normal tidak terdapat perbedaan yang berarti, dan (5) hampir tidak terdapat perbedaan dalam hal daya ingat jangka panjang, sekalipun prestasi akhir anak tunarungu biasanya tetap lebih rendah.

4. Tunadaksa

Gambaran seseorang diidentifikasikan sebagai tunadaksa adalah mengalami kondisi kelainan/kecacatan pada alat gerak seperti tulang, sendi, dan otot sehingga dapat menghambat aktivitas kesehariannya.

Menurut Suroyo (Andini, 2015: 13) kelainan anggota tubuh atau tunadaksa adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya secara normal akibat luka, penyakit atau pertumbuhan tidak sempurna. Dilihat dari pergerakan otot-otot tubuhnya penyandang celebral palsy dikelompokkan menjadi beberapa jenis (Sudrajat dan Rosida, 2013:

44-45) antara lain: (1) Kelainan pada sistem otak (Celebral System Disorder, (2) Celebral Palsy.

(33)

5. Tunagrahita

Istilah biasa digunakan untuk menyebut anak tunagrahita sangat bervariasi. Dalam bahasa Indonesia, tunagrahita juga dikenal dengan sebutan lemah pikiran, terbelakang mental, cacat grahita dan sebagainya.

Bahkan, tunagrahita sering disamakan dengan berbagai ungkapan seperti bodoh atau tolol (idiot), ketergantungan penuh, mental subnormal, cacat mental, dan gangguan intelektual.

Anak yang menderita tunagrahita tergolong berkebutuhan khusus karena memiliki hambatan dibanding anak normal. Hambatan tersebut mencakup banyak segi seperti dari segi fisik, intelektual, sosial, emosi atau gabungan hal-hal tersebut. Anak tunagrahita membutuhkan layanan pendidikan khusus untuk mengembangkan potensi dan bakatnya secara optimal sehingga keterbatasan dari segi intelektual bisa di minimalisir.

Selain itu, melalui bersekolah anak menjalin komunikasi dan berinteraksi dengan berbagai pihak baik ke sesama siswa maupun pendidik. Adapun tunagrahita dikelompokkan menjadi tiga yakni, tunagrahita ringan (Debil), tunagrahita sedang (Imbesil), dan tunagrahita berat atau idiot (Putranto, 2015: 210)

6. Tunalaras

Istilah tunalaras berasal dari kata tuna berarti kurang dan laras artinya sesuai. Tunalaras diidentikkan dengan seseorang yang selalu berperilaku tidak sesuai dengan norma-norma berlaku pada masyarakat

(34)

orang lain dan sebagainya. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pokok Pendidikan No. 12 Tahun 1952, anak tunalaras adalah individu yang mempunyai tingkah laku menyimpang/berkelainan, tidak memiliki sikap, melakukan pelanggaran terhadap peraturan/norma-norma sosial dengan frekuensi cukup besar, tidak/kurang mempunyai toleransi terhadap kelompok dan orang lain, serta mudah terpengaruh suasana sehingga membuat kesulitan baik bagi diri sendiri maupun orang lain (Putranto, 2015: 220).

7. Anak berkesulitan belajar

Kesulitan belajar bukan hanya dialami oleh siswa sekolah dasar, namun bahkan bisa ditemukan pada siswa di jenjang pendidikan lebih tinggi. Kesulitan belajar dapat dilihat dari adanya siswa tinggal kelas atau memperoleh nilai kurang baik dalam mata pelajaran yang diikutinya disebabkan siswa mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas-tugas akademiknya.

Kesulitan belajar atau learning disability biasa juga disebut dengan istilah learning disorder atau learning difficulty. Reid (Jamaris, 2015: 4) mengemukakan bahwa anak berkesulitan belajar biasanya tidak dapat diidentifikasi sampai anak mengalami kegagalan dalam menyelesaikan tugas akademis yang harus dilakukannya. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa siswa yang teridentifikasi mengalami kesulitan belajar memiliki ciri- ciri seperti berikut: (1) memiliki tingkat intelegensi (IQ) normal, bahkan bisa di atas atau sedikit di bawah normal berdasarkan tes IQ, (2)

(35)

mengalami kesulitan dalam beberapa mata pelajaran, tetapi menunjukkan nilai yang baik pada mata pelajaran lain, (3) kesulitan belajar siswa berpengaruh terhadap keberhasilan belajar yang dicapainya, sehingga mereka dikategorikan ke dalam lower achiever.

8. Anak Berbakat Istimewa

Anak berbakat biasanya menunjukkan dengan jelas kemampuan luar biasa. Anak tersebut akan lebih terlihat bakatnya apabila ditempatkan di lingkungan yang bisa memberi mereka banyak kesempatan untuk mengembangkan potensi dan kemampuannya. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan dengan tidak memberikan kesempatan dan dorongan bagi pertumbuhan potensi keberbakatan mereka, nampaknya tidak akan mencapai level prestasi intelektual dan kreativitas seperti pencapaian teman lainnya (Smith, 2015, 303).

B. Perlakuan Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus

Kehadiran anak berkebutuhan khusus dalam keluarga dan di tengah masyarakat selalu mendapat respon yang bervariasi. Ada bisa menerima tapi terkadang juga ada yang mendapat penolakan. Bagi keluarga, disamping harus menghadapi kondisi psikologinya sendiri, juga harus berhadapan dengan respon dari masyarakat di sekitarnya. Tidak jarang dalam masyarakat memiliki pandangan bahwa anak berkebutuhan khusus dikonotasikan sebagai produk gagal atau bahkan ada yang berani mengatakan kutukan bagi orangtuanya. Sehingga mereka diperlakukan

(36)

rasa belas kasihan lalu membantu mereka dengan cara tidak tepat (Anas, 2013: 127).

Kata perlakuan menurut Kamus Bahasa Indonesia mengandung arti perbuatan yang dikenakan terhadap sesuatu atau orang (Sugiyono dan Maryani, 2008: 862). Perlakuan tersebut bisa baik maupun salah. Hal tersebut muncul disebabkan karena adanya interaksi antara pelaku dan korban perlakuan.

Adapun batasan digunakan dalam melihat perlakuan yang diterima anak dari orang disekitarnya yakni berupa perlakuan secara fisik, perlakuan secara psikologis atau emosional, perlakuan secara verbal, perlakuan secara seksual dan perlakuan secara sosial dan sistem.

Perlakuan orang sekitar, baik itu sikap menerima maupun menolak kehadiran mereka sangat berpengaruh pada diri anak berkebutuhan khusus. Perlakuan baik seperti penerimaan yang baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan sosial akan membuat anak lebih merasa aman, kepercayaan diri meningkat dan lebih mudah berinteraksi dengan orang lain. Akan tetapi, lain halnya dengan anak berkebutuhan khusus yang mendapat perlakuan salah. Mereka cenderung lebih tertutup dan sulit bergaul dengan orang lain.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) (Delaney dan Suharto, 2011: 102) menyatakan bahwa perlakuan salah terhadap anak atau penganiayaan, mencakup segala bentuk perlakuan buruk secara fisik atau emosional, pelecehan seksual, penelantaran atau kelalaian atau perdagangan atau

(37)

bentuk eksploitasi lainnya yang berakibat pada ancaman kesehatan, survival, perkembangan atau harga diri yang aktual atau potensial dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan, atau kekuasaan.

Perlakuan salah (abuse) terhadap anak adalah tindakan yang keliru atau tidak dapat dibenarkan, baik fisik, seksual, maupun emosional. Di Amerika Serikat, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit atau Centers for Disease Control dan Prevention (CDC) mengartikan perlakuan buruk terhadap anak sebagai tindakan apapun yang dilakukan oleh orang tua atau pengasuh lain menyebabkan bahaya atau potensi bahaya atau terancam berbahaya terhadap anak. Kebanyakan penyalagunaan anak terjadi di lingkungan rumah, sebagian lagi di organisasi, sekolah atau masyarakat dengan siapa anak berinteraksi (Delaney dan Suharto, 2011:

81).

Berbagai wilayah hukum telah mengembangkan defenisi mereka sendiri tentang penyalagunaan anak untuk tujuan memisahkan anak dari keluarganya atau melakukan penuntutan kriminal. Menurut Journal of Child Abuse and Neglect, penyalagunaaan anak adalah setiap aksi untuk bertindak dipihak orang tua atau pengasuh yang menyebabkan kematian, bahaya fisik, emosi dan penyalagunaan seksual atau eksploitasi.

Ada empat kategori utama perlakuan salah terhadap anak (Delaney dan Suharto, 2011: 82), antara lain:

1. Penelantaran. Penelantaran anak adalah apabila tanggung jawab

(38)

kebutuhan fisik (kegagalan memberikan makanan yang cukup, pakaian dan tempat tinggal), kebutuhan emosional (kegagalan memberikan kasih sayang), kebutuhan pendidikan (kegagalan untuk mendaftarkan anak di sekolah) atau kebutuhan medis (kegagalan untuk memberikan pengobatan kepada anak atau membawanya ke dokter).

2. Perlakuan salah secara fisik adalah kekerasan fisik yang dilakukan terhadap anak. Itu dapat berupa pukulan, tendangan, dorongan, tamparan, membakar, menarik telinga atau rambut, mencekik atau menggoyang anak. Menggoyang anak dapat menimbulkan sindrom guncangan pada anak, yang dapat menimbulkan tekanan intrakanial dan pembengkakan otak yang menyebabkan luka yang parah.

3. Perlakuan salah secara psikologis atau emosional merupakan sebuah serangan terhadap kesejahteraan emosi anak. Ini meliputi panggilan, menolak, merendahkan, merusak barang pribadi anak, penyiksaan binatang peliharaannya, kritik yang berlebihan, permintaan yang tidak tepat, tidak mengajak bicara dan penghinaan.

4. Perlakuan salah secara verbal berupa penggunaan kata-kata secara langgung dan disengaja untuk mendiskriminasikan, membuat malu, merendahkan, menakuti seseorang, teriakan, omelan, pertengkaran, umpatan yang berlebihan pada seseorang dan ejekan.

5. Perlakuan salah secara seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyalagunaan anak dimana orang dewasa menyalagunakan anak untuk stimulasi seksual. Bentuk penyalagunaan seksual meliputi

(39)

permintaan atau paksaan kepada anak untuk terlibat dalam aktivitas seksual, pemaparan alat kelamin yang tidak pantas kepada anak, mempertontonkan pornografi dan menggunakan anak untuk membuat pornografi anak. Efek dari perlakuan salah secara seksual meliputi depresi, penyakit stress pasca traumatis, kecemasan, kecenderungan untuk kembali menjadi korban pada waktu dewasa, dan cedera fisik pada anak.

6. Perlakuan salah secara sosial dan sistem

Perlakuan ini pelakunya adalah masyarakat disebabkan oleh struktur sosial, politik, hukum, agama, kepercayaan dan nilai-nilai tradisi.

Secara formal, perlakuan di atas tidak dikategorikan sebagai perlakuan salah tetapi apabila anak terlibat dalam sebuah sistem yang menyebabkan kekerasan dan penderitaan pada mereka, maka itu termasuk dalam perlakuan salah. Misalnya, proses-proses yang tidak dirancang untuk kebutuhan anak-anak, seperti prosedur tidak ramah bagi anak-anak (Delaney dan Suharto, 2011: 107).

Dibawah ini ada beberapa poin-poin yang dipilih dari 41 poin hasil Konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989 versi ramah anak yang menyebutkan bahwa semua orang dibawah umur 18 tahun memiliki semua hak-hak (Delaney dan Suharto, 2011: 27) sebagai berikut:

1. Diperlakukan secara adil siapapun anda, dari manapun anda berasal, bahasa apapun yang anda gunakan, apapun kepercayaan

(40)

2. Dilindungi hak-haknya oleh pemerintah.

3. Didukung dan diberi nasehat oleh orang tua dan keluarga.

4. Mendapatkan kehidupan.

5. Diberi nama dan kewarganegaraan.

6. Berpendapat, didengar, dan ditanggapi dengan serius.

7. Dilindungi dari perlakuan yang tidak baik.

8. Mendapatkan pendidikan dan dukungan yang dibutuhkan jika memiliki kecacatan.

9. Mendapatkan standar kehidupan dasar: makanan, pakaian dan tempat tinggal.

10. Dibesarkan oleh orang tua bila memungkinkan.

11. Mendapatkan pendididkan yang bisa mengembangkan kepribadian dan kemampuan, dan mendorong anda untuk menghormati sesama, budaya dan lingkungan.

12. Dilindungi dari perlakuan salah seksual.

13. Dilindungi dari pemanfaatan dan eksploitasi dengan cara apapun.

14. Mendapatkan bantuan khusus jika anda sakit, terlantar, atau diperlakukan dengan buruk.

15. Dilindungi oleh hukum nasional dan internasional yang memberikan hak-hak lebih baik dari hak-hak dalam daftar ini.

Perlakuan baik maupun perlakuan salah bisa saja diterima anak berkebutuhan khusus dari siapapun yang ada di sekitanya. Orang sekitar yang dimaksud disini yakni keluarga, pihak sekolah dan masyarakat yang

(41)

tinggal sekitar tempat tinggal anak. Perkembangan anak termasuk anak berkebutuhan khusus dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya melalui sosialisasi. Sosialisasi secara umum dapat diartikan sebagai proses belajar individu untuk mengenal dan menghayati norma, nilai, peran agar individu bisa berpartisipasi secara efektif di dalam kehidupan masyarakat.

1. Perlakuan Keluarga Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus Keluarga merupakan lingkungan primer dalam proses tumbuh kembang anak. Secara sederhana, keluarga adalah kelompok sosial yang terdiri dari dua atau lebih orang terikat hubungan darah, perkawinan, atau adopsi dan hidup bersama untuk periode waktu cukup lama (Raho, 2016:

263). Keluarga sebagai sebuah sistem sosial dibentuk oleh sekumpulan tujuan, peran orang tua dan anak, harapan dan kondisi sosial ekonomi (Cook dalam Hidayati, 2011: 14).

Keluarga dianggap sebagai hal dasar pembentuk arah pergaulan masyarakat luas. Keluarga harmonis dapat menciptakan lingkungan masyarakat yang harmonis pula, begitupun sebaliknya. Suatu keluarga harmonis bisa memberi dampak positif terhadap perkembangan anak, meskipun tidak selalu suatu keluarga bisa luput dari konflik atau tanpa masalah.

Kelahiran anak bisa membawa perubahan besar di dalam keluarga.

Sebelum mempunyai anak, hubungan suami istri bersifat dyadic (duaan), maka dengan kelahiran anak hubungan itu bersifat kompleks bergantung

(42)

suatu keluarga lahir anggota baru, akan muncul berbagai masalah terkait dengan penyesuaian yang perlu dilakukan saat memiliki anak. Bagi orang tua yang mendapati anaknya lahir dengan kebutuhan khusus, maka masalah mesti sdihadapi bisa menjadi lebih banyak dan jauh lebih berat.

Orang tua anak-anak berkebutuhan khusus seringkali menghadapi tantangan dan tanggungjawab berbeda dengan dialami orang tua lain.

Pada umumnya, mereka harus mencurahkan lebih banyak waktu, tenaga, dan sumber daya lain dalam merawat perkembangan anak mereka (Darling dalam Smith, 2015: 338). Kebanyakan rutinitas sehari-hari dalam keluarga menjadi terganggu. Kebutuhan khusus yang dimiliki anak juga dapat berdampak jauh, misalnya pada keharmonisan dan karier orang tua (Mangunsong dalam Hidayati, 2011: 13).

Salah satu reaksi awal yang umum dari orangtua atas kelahiran anak berkebutuhan khusus adalah shock. Orangtua merasa terkejut dan terpukul oleh kenyataan bahwa anak lahir tidak sesuai harapan mereka.

Keterkejutan ini bisa terwujud dalam bentuk perasaan sedih, bingung dan kecemasan yang mendalam. Di awali dengan rasa sedih lalu mengarah pada penerimaan anak akan kelainan anak. Adapun tahap-tahap reaksi orangtua dirangkum oleh Drotar dkk (Smith, 2015: 339) antara lain:

shock/terguncang jiwanya, menolak, sedih, cemas, takut, marah dan menerima dan menyesuaikan diri. Namun perlu diketahui bahwa tidak semua orangtua mengalami tahapan reaksi seperti ini. Reaksi bisa saja berbeda pada orangtua yang lain.

(43)

Keluarga sebagai agen sosialisasi yang pertama dan utama karena hampir sebagian besar waktu dari anak dihabiskan di tengah keluarga.

Hanya setelah anak memasuki dunia sekolah baru perlahan-lahan meninggalkan rumah. Keluargalah bertanggung jawab mentransfer nilai- nilai dan norma-norma budaya kepada anggotanya. Sekalipun keluarga tidak mempengaruhi perkembangan seorang anak secara sempurna namun ada banyak hal mereka peroleh di dalam keluarga seperti sikaf, minat, tujuan hidup, dan kepercayaan ataupun prejudice tertentu (Raho, 2016: 118). Melalui keluarga juga anak memperoleh pengasuhan, afeksi, perlindungan, pemenuhan kebutuhan dan status.

Adapun fungsi yang dikembangkan dalam keluarga (Wahyu dalam Jusnawati, 2015: 27-28), antara lain:

1) Fungsi biologis

Fungsi biologis berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan bagi anggota keluarga serta seksual antara suami dan istri.

2) Fungsi sosialisasi anak

Fungsi sosialisasi menunjuk pada peranan keluarga dalam membentuk kepribadian anak dengan memperkenalkan pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita, dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat serta mempelajari peranan diharapkan akan dijalankan oleh mereka.

(44)

3) Fungsi afeksi

Fungsi afeksi berkaitan erat dengan kebutuhan dasar manusia yakni kebutuhan kasih sayang atau rasa cinta, dimana diketahui kebutuhan persahabatan dan keintiman sangat penting bagi anak.

4) Fungsi edukatif

Fungsi edukatif yakni berkaitan dengan pendidikan yang seharusnya diperoleh oleh anak dilingkup keluarga. Keluarga menjadi wadah pertama dalam pembentukan dan pertumbuhan anak.

5) Fungsi religius

Keluarga memiliki fungsi religius yakni mendorong anggota keluarga untuk menjadi insan-insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Maha Esa.

6) Fungsi protektif

Fungsi protektif berkenaan dengan perlindungan fisik, ekonomis dan psikologis terhadap anggota keluarga agar terhindar dari hal-hal yang negatif.

7) Fungsi rekreatif

Fungsi rekreatif yakni memberikan atau menciptakan suasana yang segar dan gembira dalam lingkungan.

8) Fungsi ekonomis

Fungsi ekonomis berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan sehari- sehari, yakni memproduksi kebutuhan ekonomi.

(45)

9) Fungsi penentuan status

Fungsi ini berkenaan dengan pemberian status kepada anak dan memperkenalkan peran seharusnya dijalankan sesuai dengan status yang diberikan.

Merawat dan membesarkan anak berkebutuhan khusus tentunya lebih sulit daripada merawat anak normal. Selain biaya yang diperlukan lebih besar, tidak semua orang bisa bertahan untuk menjaga anak berkebutuhan khusus. Seperti kasus dialami oleh Haryanto dan diceritakan dalam bukunya berjudul: Berawal Dari Kontak Mata (2013 : 19). Sikap anak sangat hiperaktif dan susah di atur mengakibatkan tidak ada pengasuh betah menjaga anaknya, Dimas. Hal ini kemudian mendorong Haryanto mengambil keputusan besar ketika memilih berhenti bekerja untuk total mendampingi serta melakukan terapi kepada anak semata wayangnya yang menyandang autis.

Orangtua anak berkebutuhan khsusus mengalami tekanan lebih besar dibanding orangtua anak-anak lain yang tidak mengalami kelainan (Mahoney dkk dalam Smith, 2015: 341). Seorang fotomodel majalah Playboy yang juga ibu dari seorang anak laki-laki penyandang autis, Jenny Mc Carthy (Haryanto, 2013: 35) mengatakan, “Secantik apa pun kamu, sebagus dan se-blonde apa rambut kamu, serta sebesar apa payudaramu, apabila kamu seorang single parent dan punya anak autis, setiap pria pasti tidak akan bertahan lama menjadi pacarmu”.

(46)

Haryanto (2013: 10) mengungkapkan bahwa terkadang muncul perasaan sedih dan tidak terima punya anak autis. Akan tetapi, banyak hal bisa didapat apabila berpikiran posistif dalam menyikapi hidup karna telah dianugrahkan Tuhan untuk merawat dan menjaga seorang individu autis.

Hal-hal bisa didapat dari merawat anak autis adalah belajar kesabaran, keikhlasan, kekuatan dan ketabahan. Tanpa kesabaran, akan banyak energi terkuras karena marah, uring-uringan, atau tidak puas. Kunci utama untuk bisa bertahan mendampingi Dimas (nama anak autisnya) adalah selalu menerima Dimas apa adanya. Karena jika tidak bisa menerima anak apa adanya serta melakukan penolakan terhadap kondisinya, perjalanan hidup akan terasa semakin hari kian berat dan tidak bisa untuk ikhlas mendampingi anak spesial tersebut.

Perlakuan baik seperti tidak pernah membandingkan anak dengan anak lain, berusaha membangun kepercayaan diri anak agar lebih berani mengepresikan dirinya, lebih berfokus pada pengembangan kelebihan dan kekuatan anak serta kesabaran orang tua dalam mendidik dan merawat anak dengan cinta dan kasih sayang bisa membuahkan hasil yang manis. Anaknya bisa menemukan kondisi terbaiknya. Sebelumnya tidak mau melakukan kontak mata, tidak bisa berbicara, sering tantrum, sangat hiperaktif dan susah diatur, pada akhirnya sudah mau diajak berkomunikasi dua arah, bisa membaca dan lebih mudah di atur.

Anak saat diterima keberadaannya dan mendapat dukungan dari keluarga akan lebih memiliki penilaian yang tinggi terhadap dirinya

(47)

ketimbang anak tidak mendapat dorongan dari anggota keluarga. Anak- anak menilai dirinya rendah akan sangat sensitive terhadap kritik. Adapun cara-cara bisa diterapkan untuk membangun harga diri dalam diri anak (Delaney dan Suharto, 2011: 177), diantaranya: (1) beri pesan-pesan positif, (2) beri tanggung jawab dan bantuan, (3) beri pujian, (4) promosikan rasa pencapaian (5) promosikan budaya dan identitas, (6) berikan contoh positif, (7) ciptakan budaya memiliki, (8) hilangkan tuduhan dan ide negatif, (9) dorongan pertisipasi, (10) berikan rasa berpengaruh, (11) doronglah rasa bangga dalam hal penampilan dan (12) tunjukan kepedulian.

Sayangnya tidak semua anak mendapat perlakuan baik dari pihak keluarga. Ada juga anak berkebutuhan khusus mendapat perlakuan salah seperti disiksa dan dipasung oleh orang tua mereka sendiri. Hal ini sejalan dengan temuan Indah Winarso (Chatib dan Said, 2012: 26) tentang perlakuan diterima seorang anak berkebutuhan khusus bernama Agus.

Dia dipasung keluarganya sendiri selama 10 tahun. penyebabnya karena agus kerap berlaku kasar terhadap orang lain. Selain itu, kedua orang tuanya hanya bekerja sebagai petani dan tidak mampu membiayai pengobatan dan terapi Agus. Sehingga tidak ada pilihan lain bagi keluarganya, selain memasung kaki kiri Agus dengan rantai besi yang telah di semen di samping rumah.

Kasus perlakuan salah terhadap anak berkebutuhan khusus juga

(48)

tantrum tanpa kendali di sembarang tempat, memukul teman-temannya dan menyakiti diri sendiri mendorong sang Ibu menitipkan Panji di rehabilitasi jiwa dan narkoba di Sukabumi. Tanpa di duga Panji mendapat perlakuan salah di tempat rehabilitasi. Saat di jemput, Panji di tempatkan dalam kamar seperti kandang bebek. Tidak hanya itu, kedua tangannya di ikat dan terlihat bekas luka dan bekas sundutan rokok di sekujur tubuhnya (Chatib dan Said, 2012: 27).

Kasus di atas sejalan dengan penelitian dilakukan oleh Faradina (2016) mengenai penerimaan diri pada orang tua anak berkebutuhan khusus menemukan bahwa orang tua anak berkebutuhan khusus menunjukkan perilaku dan memperlakukan anak dengan cara berbeda- beda. Ada yang bisa menerima kondisi anaknya, sehingga memberikan penanganan dan perlakuan baik terhadap anak. Namun, ada juga orang tua tidak mampu menerima kekurangan anak. Keterbatasan waktu yang dimiliki dan kurangnya pemahaman mengenai anak mengakibatkan orang tua tidak maksimal dalam merawat dan mendukung perkembangan anak berkebutuhan khusus.

Menurut Dyah (Chatib dan Said, 2012: 27) orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus harus berbesar hati menerima kenyataan.

Sifat dan tingkah laku anak memang berbeda dengan anak lainnya. Hati orang tua saat sudah bisa menerima kenyataan anaknya cenderung dapat memberikan lingkungan nyaman untuk perkembangan anak mereka,

(49)

karna manusia, bagaimanapun keadaannya, jika dia tidak diterima oleh lingkungan terdekatnya, tidak akan berbahagia.

Seorang anak jika dibesarkan dalam keluarga penuh kasih sayang, kehadirannya diterima kedua orang tuanya, adanya keseimbangan antara disiplin dan kebebasan maka cenderung jadi orang dewasa yang dapat menyesuaikan diri. Sementara anak yang keberadaannya ditolak atau terlalu di lindungi bisa menjadikannya orang dewasa sulit menyesuaikan diri (Sudrajat dan Rosida, 2013: 35).

2. Perlakuan Masyarakat Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus Masyarakat didefenisikan sebagai kumpulan orang-orang saling berinteraksi antara satu sama lain di dalam suatu wilayah tertentu dan menghayati kebudayaan yang sama (Macionis dalam Raho, 2016: 157).

Selo Soemardjan mengungkapkan bahwa masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan. Pengertian lain dari MacIver dan Page menyatakan bahwa masyarakat ialah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerjasama antara berbagai kelompok, penggolongan dan pengawasan tingkah laku serta kebebasan manusia (Soekanto, 2006: 24). Masyarakat disebut sebagai keseluruhan kompleks karena ia tersusun dari berbagai sistem dan subsistem seperti ekonomi, politik, pendidikan, keluarga, kesehatan dan lain-lain.

Perilaku anak berkebutuhan khusus yang anggap aneh, anti sosial dan biasa dinilai merugikan orang lain menimbulkan berbagai respon

(50)

reaksi tidak pantas bahkan bersikaf kejam pada anak berkebutuhan khusus. Seringkali lingkungan sekitar anak berkebutuhan khusus menjadi penyumbang terbesar dalam terbentuknya konsep diri yang buruk. Orang tua bisa berada pada situasi sulit karena sikaf dari masyarakat dalam memandang anak mereka, terkadang muncul rasa malu pada kondisi dan kekurangan anak yang bisa mengakibatkan penolakan pada anak (Nida, 2014: 47).

Penolakan-penolakan dilakukan oleh masyarakat akan berdampak pada terbentuknya persepsi buruk anak mengenai dirinya, sehingga dalam rentang perkembangan secara berkelanjutan bisa memunculkan konsep diri yang buruk bagi anak berkebutuhan khusus itu sendiri. Hal tersebut tidak dapat dipandang sebagai hal sederhana mengingat setiap individu memiliki tugas perkembangan dinamis dan berorientasi pada pengembangan diri untuk masa depannya, agar mampu mandiri dan berkontribusi bagi kehidupan pribadi maupun sosialnya dengan berpijak pada pengembangan konsep diri yang kondusif bagi kehidupannya secara komprehensif (Nida, 2014: 47).

Perlakuan salah juga diterima oleh anak berkebutuhan khusus lain yaitu autis. Hingga saat ini, orang belum memahami arti autis sehingga banyak anak penyandang autis menjadi bahan olok-olok oleh orang-orang sekitarnya. Itu terjadi karena perilaku anak autis yang aneh. Ada pula yang beranggapan bahwa autis adalah semacam penyakit menular. Hal ini dapat dilihat dari pengalaman pribadi seorang ayah yang anak autisnya

(51)

pernah diusir oleh seorang ibu dari kolam renang dengan alasan takut anaknya tertular autis (Haryanto, 2013: 38).

Berdasarkan hasil penelitian dilakukan oleh Jean Marc Gaspard Itard terhadap anak didiagnosis menderita keterbelakangan mental menemukan adanya kemajuan menakjubkan pada anak bimbingannya.

Anak yang sebelumnya dianggap idiot dan tidak bisa disembuhkan menurut beberapa ahli propesional pada akhirnya bisa belajar angka- angka, warna, dan berbagai bentuk bahkan dapat menulis beberapa kata benda dan kata kerja. Anak tersebut juga mampu beradaptasi dengan lingkungannya.

Menurut Itard (Smith, 2015: 101) perlakuan masyarakat yang menilai kelayakan beberapa anak hanya hidup dalam suatu institusi seperti halnya masyarakat mempunyai hak merenggut anak dari kehidupan bebas alami, lalu mengirimnya ke sebuah institusi. Dia juga mengungkapkan bahwa seorang anak berhak mendapatkan perlakuan lebih manusiawi seperti merawatnya secara baik dan memberikan pelatihan dengan mempertimbangkan kesukaan dan kecenderungannya.

Apabila hambatan dipandang sebagai sesuatu yang sekunder bagi semua individu siswa. Pikiran kita akan berubah sekaligus merefleksikan keterbukaan dan penerimaan yang lebih besar bagi seseorang. Serta optimisme yang lebih besar dalam meperlakukan hambatan dengan lebih santun (Smith, 2015: 46).

(52)

3. Perlakuan Pihak Sekolah Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus

Setiap manusia yang lahir sepanjang mempunyai otak, pastinya memiliki jenis kecerdasan tertentu terlepas dari apakah dia termasuk anak berkebutuhan khusus ataupun anak normal. Pada dasarnya semua murid memiliki potensi kecerdasan sangat beragam, maka sekolah mempunyai peranan penting dalam mengembangkan proses pembelajaran kreatif agar bisa memantik minat belajar dan berfikir siswa. Menurut Chatib (2013: 109) tidak ada ciptaan Tuhan dianggap gagal. Semua manusia itu pintar. Sesama manusia itu sendiri yang membuat pernyataan bahwa manusia tertentu adalah prodak gagal karena kondisi anak secara fisik tidak sempurna terlihat oleh mata jasmani kita.

Pada saat mendengar kata sekolah, umumnya hal pertama muncul dalam benak seseorang adalah bayangan suatu tempat dimana orang- orang melewatkan sebagian masa hidupnya untuk belajar atau mengkaji sesuatu. Sekolah umumnya ditujukan pada suatu sistem, lembaga, suatu organisasi besar dengan segenap kelengkapan perangkatnya yaitu sejumlah orang-orang yang belajar ataupun mengajar, gedung, peralatan, serangkaian kegiatan terjadwal, aturan-aturan, dan sebagainya. Padahal kata sekolah dalam bahasa Latin, yakni skhole, scola, scolae atau schola secara harafiah berarti waktu luang atau waktu senggang (Topatimasang, 2013: 5).

(53)

Sekolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari anak didik dan begitupun sebaliknya, sehingga hal ini menciptakan sebuah hubungan sinergisitas. Antara sekolah dan anak didik duduk berdampingan satu sama lain, menciptakan sebuah harmonika pendidikan yang diniscayakan untuk kepentingan bersama di atas segalanya. Tentu, praktik pendidikan di sekolah jangan sampai membuat anak didik merasa jenuh. Sekolah diharapkan bisa menjadi pelepas dahaga ketika anak merasa kehausan akan ilmu, menciptakan suasana menyenangkan serta membahagiakan bagi anak didik untuk belajar (Yamin, 2012: 22).

Bersekolah bukan hanya berkaitan dengan deretan materi-materi pelajaran. Namun tidak kalah pentingnya adalah bagaimana membangun watak dan kepribadian anak. Harefa (Yamin, 2012: 29) mengatakan bahwa sekolah sesungguhnya tidak cukup untuk mendapatkan pendidikan yang bernilai dan berguna, namun setidaknya dengan bersekolah dapat membentuk jati diri dan mulai membuka kesadaran dalam berkehidupan.

Lapangan pendidikan meliputi wilayah sangat luas dan ruang lingkupnya mencakup seluruh pengalaman serta pemikiran manusia tentang pendidikan. Pendidikan diartikan luas merupakan usaha manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya yang berlangsung sepanjang hayat. Menurut Henderson (Sadulloh, 2014: 5), pendidikan merupakan suatu proses pertumbuhan dan perkembangan, sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik, serta berlangsung

(54)

Dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional dikatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Sadulloh, 2014: 5).

Pada dasarnya, jenis dari pendidikan hanya satu yaitu upaya mengembangkan potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik, namun beragamnya kondisi dan situasi melingkari kehidupan peserta didik mengharuskan tenaga pendidik memberikan pelayanan yang bermacam- macam. Banyaknya variasi kemampuan peserta didik baik dari segi mental, fisik dan emosi mendorong pemerintah membuat kebijakan agar bisa merangkul keberagaman tersebut sehingga tidak terjadi perlakuan diskriminatif terhadap anak didik utamanya seperti anak berkebutuhan khusus di sekolah.

Perlakuan diskriminatif dalam bentuk apapun bertentangan dengan Permendiknas No. 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan, pasal 3 ayat (1) butir (a) “pendidikan untuk semua yang bersifat inklusif dan tidak mendiskriminasikan peserta didik atas dasar latar belakang apapun (Anas, 2013: 132). Filosofi pendidikan inklusif adalah membiasakan anak-anak hidup dalam keberbedaan. Apabila anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak normal. Hal ini bisa

(55)

memberikan dampak positif, selain mereka terbiasa saling menghargai dan mengapresiasi, juga dapat menambah kepercayaan diri si anak.

Menurut Darmaningtyas (Masbur, 2015: 138) fungsi pendidikan bukanlah menyamakan selera agar menjadi tunggal, tetapi memelihara dan mengembangkannya agar tetap beragam. Sebab keberagaman itu sendiri merupakan keindahan dunia. Lanjutnya, melarang perbedaan adalah identik dengan merampas kemerdekaan orang lain dan itu bertentangan dengan prinsip pendidikan yang harus membimbing individu untuk mencapai kemerdekaannya.

Kesiapan guru dalam memberikan pengajaran kepada anak-anak beragam tentunya juga didukung oleh sarana prasarana sekolah dan kurikulum sekolah. Kesiapan guru menerima anak berkebutuhan khusus itu penting agar guru tidak terlalu shock menghadapi anak berkebutuhan khusus dan mengetahui strategi yang bisa digunakan untuk menggali potensi anak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Syafrida Elisa dan Aryani Tri Wrastari berjudul “Sikap Guru Terhadap Pendidikan Inklusi Ditinjau Dari Faktor Pembentuk Sikap” (Elisa, 2013: 8-9) peneliti menemukan bahwa guru lebih mendukung program inklusi untuk anak berkebutuhan khusus apabila telah mampu bersekolah dan mengikuti pelajaran sedangkan bagi anak berkebutuhan khusus yang kurang mampu mengikuti pelajaran diperlukan pendamping dalam belajar dan terapis untuk mempermudah para pengajar menangani mereka.

(56)

Selain itu pengetahuan guru tentang anak berkebutuhan khusus juga mempengaruhi bagaimana guru bersikaf dan memberi pengajaran, serta adanya faktor empati guru yakni sikaf mau memperhatikan dan berusaha menerima keadaan anak berkebutuhan khusus.

C. Kerangka Teori

1. Teori Interaksionisme Simbolik

Interaksi sosial merupakan bentuk umum proses sosial karena merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Membahas interaksi sosial antar sesama manusia adalah hal menarik karena bukan hanya mampu menciptakan produk-produk fisik yang menjadi bagian dari kebudayaan, peradaban dan peninggalan masih bisa dinikmati oleh semua pelaku kehidupan, tetapi juga dapat menciptakan kehidupan sosial mereka sendiri.

Secara etimologis, interaksi terdiri dari dua kata yakni action (aksi) dan inter (antara). Jadi interaksi adalah tindakan dilakukan antara dua orang bisa lebih atau tindakan yang berbalas-balas (Raho, 2016: 63).

Pengertian lain menyebutkan bahwa interaksi sosial adalah hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara perorangan dengan kelompok manusia (Soekanto, 2006: 61). Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi syarat yaitu: (1) adanya kontak sosial dan, (2) adanya komunikasi (Soekanto, 2006: 64).

Referensi

Dokumen terkait

Kepada peserta yang merasa keberatan atas penetapan ini, diberikan hak untuk menyampaikan sanggahan-sanggahan mulai tanggal 22 Juli 2012 sampai dengan tanggal 27 Juli 2012

Memberikan tugas kepada siswa untuk membaca buku sumber pelajaran yang lain yang membahas topik yang sesuai dengan kompetensi yang diharapkan kepada

Oleh karena itu, kita memerlukan pendidikan moral, yaitu pendidikan yang memiliki komitmen tentang langkah-langkah apa yang seharusnya dilakukan pendidik untuk

Tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Tegal Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penataan Lembaga Kemasyarakatan Lembaga Rukun Tetangga dan Rukun

Kajian ini memfokuskan terhadap aplikasi dakwah kepada saudara baru dari perspektif fiqh awlawiyyat (keutamaan), kerana penyampaian dakwah wajar dilaksanakan

Dengan demikian maka hipotesis Ho ditolak dan terima Ha yang menyatakan bahwa “terdapat hubungan yang segnifikan antara sumber daya alam dengan pertumbuhan ekonomi pada usaha

Hal ini berarti secara simultan terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar fisika, keterampilan berfikir kritis, dan sikap ilmiah siswa antara siswa yang

mathematics knowers and their epistemic relationship to theorems and proofs viz. epistemology of mathematics. The role of Kant’s theory of knowledge in setting up. the