• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hari 0 perlakuan Setelah 25 hari intervensi Berat

Badan (kg) Tinggi badan (m) BMI (kg/m2) Berat Badan (kg) Tinggi badan (m) BMI (kg/m2) P1 50,0 1,550 20,8 51,0 1,550 21,2 P2 53,0 1,630 19,9 54,0 1,630 20,3 P3 56,0 1,580 22,4 56,0 1,580 22,4 P4 67,5 1,620 25,7 68,0 1,620 25,9 P5 70,0 1,610 27,0 71,5 1,620 27,2 P6 47,0 1,580 18,8 48,0 1,580 19,2 P7 62,0 1,625 23,5 62,0 1,625 23,5 P8 51,0 1,590 20,2 51,0 1,590 20,2 P9 53,0 1,640 19,7 53,5 1,640 19,9 Rata-rata 56,61 1,6028 22,000 57,22 1,6039 22,200 StDev 8,07 0,0295 2,866 8,15 0,0300 2,813 K1 46,0 1,560 18,9 47,0 1,560 19,3 K2 54,0 1,510 23,7 55,0 1,510 24,1 K3 43,0 1,550 17,9 43,5 1,550 18,1 K4 41,0 1,450 19,5 41,5 1,450 19,7 K5 50,0 1,530 21,4 52,5 1,530 22,4 K6 43,0 1,490 19,4 44,0 1,490 19,8 K7 54,0 1,555 22,3 54,0 1,555 22,3 K8 49,0 1,560 20,1 49,5 1,560 20,3 K9 45,0 1,450 21,4 44,0 1,460 20,6 Rata-rata 47,22 1,5172 20,511 47,89 1,5183 20,733 StDev 4,79 0,0449 1,830 5,04 0,0432 1,861

Rata-rata berat badan responden setelah intervensi sedikit mengalami peningkatan yaitu sekitar 1,23% dari berat rata-rata sebelum intervensi 51,92 kg menjadi 52,56 kg dan sesudah intervensi. Kenaikan berat badan ini diduga karena selama intervensi berlangsung semua responden selalu mengkonsumsi gula bersamaan mereka minum coklat dan susu untuk kelompok kakao dan minum

susu untuk kelompok kontrol. Selain itu selama intervensi berlangsung kebiasaan makan responden menjadi lebih baik, dimana sebelum menjadi responden mereka adalah mahasiswa indekos yang mempunyai kebiasaan makan yang kurang teratur terutama makan pagi dan makan malam. Sebaliknya selama menjalani intervensi kebiasaan makan responden menjadi teratur karena menu makan disediakan oleh peneliti. Menu makananan yang disediakan berupa nasi sebagai sumber karbohidrat, lauk sumber protein dan lemak, sayur dan juga buah sebagai sumber vitamin dan mineral. Heerden (2006) mengemukakan bahwa konsumsi coklat atau bubuk coklat bukanlah penyebab utama obesitas. Dengan demikian kenaikan berat badan responden dalam penelitian ini, tidak bisa diklaim karena pengaruh konsumsi coklat, tetapi bisa juga karena faktor yang lain. Selain itu bubuk kakao yang dikonsumsi oleh kelompok kakao pada penelitian ini adalah bubuk kakao bebas lemak sehingga kemungkinan untuk terjadinya kenaikan berat badan karena konsumsi bubuk kakao adalah kecil. Murphy et al (2003) menyebutkan bahwa konsumsi flavanol kakao dan oligomer prosianidin selama 28 hari oleh 32 responden tidak menyebabkan perubahan berat badan secara nyata antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

Pada penelitian ini, pemberian minuman bubuk kakao lindak bebas lemak diberikan setelah responden ma kan, baik setelah makan pagi maupun setelah makan malam. Pertimbangan ini didasarkan pada kebiasaan para responden dalam mengkomsumsi minuman sejenis dengan yang diberikan pada penelitian ini. Para responden biasanya mengkonsumsi minuman seperti teh, kopi, dan susu setelah selesai makan. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha tidak mengubah kebiasaan para responden tersebut untuk menghindari bias.

Dampak dari pemberiaan minuman bubuk kakao setelah responden makan mungkin menyebapkan adanya penghambatan penyerapan minuman ini di dalam tubuh salah satunya dipengaruhi oleh keberadaan serat makanan. Disamping memberikan manfaat terhadap kesehatan, serat makanan juga telah lama diketahui sebagai penyebab ketidaktersediaan (non-availability) beberapa mineral. Telah terbukti bahwa serat makanan mempengaruhi ketidaktersediaan biologis (non- bioavailability) dan homeostasis beberapa mineral (Harland and Oberleas, 2001).

Menurut Tew et al (1996) makanan yang kaya serat dapat menurunkan konsentrasi genistein (flavonoid dari produk soyfood) dalam plasma setelah 24 jam dan menurunkan jumlah ekskresinya dalam urin. Dalam penelitian lain dikatakan bahwa bentuk matrik dari senyawa flavonoid juga menentukan mudah tidaknya proses penyerapan di dalam tubuh. Senyawa flavonoid dalam bubuk kakao lindak bebas lemak sebagian dijumpai dalam bentuk monomernya. Misnawi et al 2002a mengungkapkan bahwa bubuk kakao bebas lemak terdiri dari 37% dalam bentuk monomer flavan-3-ol dan 58% dalam bentuk oligomer serta 5% sisanya berupa antosianin dan polifenol lainnya. Bentuk monomer lebih mudah diserap dalam sistem pencernaan tubuh.

Untuk menjaga keseragaman asupan gizi responden selama penelitian berlangsung sehingga dapat memperkecil bias karena perbedaan asupan gizi antar responden diatasi dengan penyediaan makanan pagi dan malam oleh responden (Lampiran 3). Disamping itu penyediaan makanan selama intervensi berlangsung dimaksudkan agar terpenuhinya asupan gizi yang seimbang. Menu sarapan pagi dan makan malam yang disediakan adalah menu yang umum dikonsumsi oleh mahasiswa dimana jenis makanannya mudah diperoleh di warung yang ada di kampus atau sekitar tempat tinggal mahasiswa.

Menu makan siang responden tidak disediakan oleh peneliti selama intervensi berlangsung. Pertimbangan ini diambil mengingat aktivitas responden pada siang hari berbeda-beda sehingga sangat sulit mengatur makan siang dan jajanan yang dikonsumsi oleh responden. Untuk mengatasi hal ini responden diingatkan untuk tidak mengkonsumsi beberapa jenis makanan dan minuman diantaranya: semua jenis makanan yang terbuat dari bahan coklat, minum kopi, teh, dan minuman bersoda tinggi. Larangan tersebut dimaksudkan menghindari atau memperkecil bias karena jenis makanan ini mengandung senyawa polifenol yang sama dengan minuman coklat bebas lemak yang diuji. Di samping itu, responden diminta untuk mencatat semua makanan yang mereka konsumsi pada kuesioner yang telah diberikan.

Pengambilan darah responden dilakukan dua kali yaitu sebelum dan sesudah intervensi. Pengambilan darah dilakukan pada jam 07.00-08.00 WIB. Hal ini dimaksudkan agar kesehatan responden masih prima karena belum

melakukan aktivitas yang lain. Pada saat pengambilan darah tahap kedua sesudah intervensi responden yang berkode K5 tidak bisa diambil darahnya karena tidak bisa hadir sehingga data responden berkode K5 (kelompok kontrol) sesudah intervensi tidak bisa dianalisis. Namun demikian hilangnya data ini diharapkan tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap data penelitian secara keseluruhan.

Kadar Vitamin C

Pengukuran vitamin C (asam askorbat) plasma bertujuan melihat kapasitas antioksidan minuman bubuk kakao lindak bebas lemak dalam melindungi antioksidan gizi plasma yaitu vitamin C. Prinsip analisis dalam pengukuran ini adalah asam askorbat direaksikan dengan 2,4 DNPH dalam suasana asam hingga terbentuk warna kuning merah, lalu intensitas warna diukur dengan spektrofotometer.

Asam askorbat merupakan antioksidan larut air utama dan menjadi bagian dari pertahanan terhadap ROS di dalam plasma dan sel. Asam askorbat menangkap secara efektif sekaligus radikal superoksida (O2*) dan singlet oksigen

(1O2). Asam askorbat dapat memutus reaksi radikal yang dihasilkan melalui

peroksidasi lipid. Pada konsentrasi rendah asam askorbat dapat bereaksi langsung dengan radikal peroksil (LOO*) lalu berubah menjadi bentuk yang teroksida (Nabet 1996). Di samping itu, vitamin C berfungsi sebagai antioksidan yang bekerja secara sinergis dengan vitamin E. Vitamin E yang teroksidasi oleh radikal bebas apabila bereaksi dengan vitamin C dapat pulih kembali dengan cara mendapatkan ion hidrogen dari vitamin C (Krinsky 1992).

Hasil pengukuran menunjukkan kadar rata-rata vitamin C plasma kelompok kakao dan kelompok kontrol sesudah intervensi mengalami peningkatan. Kadar rata-rata vitamin C plasma kelompok kakao meningkat secara nyata (p < 0,05) dari 4,13 mg/l menjadi 5,99 mg/l dengan selisih peningkatan sebesar 1,86 mg/l (Gambar 7). Sebaliknya, kelompok kontrol (Gambar 8) juga mengalami peningkatan dari 4,97 mg/l menjadi 5,11 mg/l dengan selisih peningkatan sebesar 0,13 mg/l tetapi tidak berbeda nyata (p > 0,05).

Gambar 7 Kadar vitamin C plasma kelompok kakao (n = 9) sebelum dan sesudah intervensi.

Gambar 8 Kadar vitamin C sel plasma kelompok kontrol (n = 9) sebelum dan sesudah intervensi

Hasil pengukuran kadar vitamin C pada penelitian ini relatif mendekati kisaran normal, yaitu sekitar 4 sampai 14 mg/l. Vitamin C plasma yang kurang dari 3 mg/l merupakan petunjuk kurangnya asupan vitamin ini (Sauberlich 1984).

Peningkatan kadar vitamin C plasma kelompok kakao yang berbeda nyata dengan kelompok kakao diduga karena efek konsumsi bubuk kakao lindak bebas lemak selama 25 hari. Bubuk kakao lindak bebas lemak yang dipakai dalam penelitian ini mengandung senyawa polifenol yang tinggi (Zairisman 2006). Senyawa polifenol memiliki kapasitas sebagai antioksidan (Sanbongi et al 1998). Senyawa polifenol kakao dari golongan flavonoid ini dapat berfungsi sebagai antioksidan primer. Kochhar and Rossel (1990) mengemukakan bahwa senyawa polifenol dapat berfungsi sebagai antioksidan primer karena mampu

0 2 4 6 8 10 Kadar vitamin C (mg/L) P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 Responden sebelum sesudah 0 2 4 6 8 10 Kadar vitamin C (mg/L) K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 Responden sebelum sesudah

menghentikan reaksi berantai radikal bebas yang terjadi di dalam sel. Polifenol dalam bubuk kakao lindak bebas lemak diduga dapat bereaksi langsung dengan senyawa peroksida radikal yang terdapat pada membran atau di dalam sel. Dengan demikian diduga dapat melindungi vitamin C plasma sebagai antioksidan gizi sehingga kadar vitamin C tetap tinggi. Hughes & Wilson (1977) menyatakan model interaksi antara flavonoid dan asam askorbat adalah flavonoid dapat meningkatkan daya serap vitamin C oleh tubuh, menjaga stabilitas vitamin C, dan mereduksi dehidroaskorbat menjadi askorbat. Dalam penelitian lain disebutkan bahwa mekanisme antioksidan flavonoid dalam melindungi vitamin C adalah : (1) beberapa senyawa flavonoid bertindak sebagai antioksidan bagi vitamin C, (2) memperlambat konversi asam askorbat menjadi asam dehidroaskorbat, (3) mengkelat tembaga dan metal lainnya sehingga dapat mengurangi oksidasi terhadap asam askorbat, dan (4) mekanisme perlindungan lainnya adalah kemampuan flavonoid bertindak sebagai aseptor radikal bebas sejak terbentuknya radikal bebas yang merupakan fase penting dalam oksidasi asam askorbat (Middleton et al 2000).

Menurut Fraga et al 2005 konsumsi coklat yang kaya dengan kandungan senyawa flavanol dapat meningkatkan kadar vitamin E responden pemain sepak bola yunior sebesar 12%. Sementara itu, vitamin C memiliki efek sinergis dengan vitamin E dimana vitamin C dapat memulihkan vitamin E yang terserang oleh radikal bebas. Dengan demikian adanya peningkatan terhadap vitamin E diduga juga dapat meningkatkan vitamin C. Hal ini dapat dilihat dari adanya peningkatan kadar vitamin C plasma kelompok kakao secara nyata (p < 0,05) setelah intervensi.

Peningkatan kadar vitamin C kelompok kakao dan kelompok kontrol setelah menjalani intervensi diduga juga karena pola makan dan pengetahuan gizi responden membaik. Selama intervensi berlangsung setiap makan pagi dan makan malam responden selalu mengkonsumsi sayur dan kadang-kadang juga disediakan buah, sebaliknya sebelum intervensi, konsumsi sayur responden kurang teratur. Zakaria et al (1996) mengemukakan bahwa sayuran dan buah- buahan yang kaya dengan vitamin E dan C dapat berfungsi sebagai antioksidan tubuh. Di samping itu, selama intervensi berlangsung responden mengurangi

konsumsi makanan jajanan karena kebutuhan makan pagi dan makan malam telah disediakan oleh peneliti. Menurut Fardiaz (1993) makanan jajanan mengandung bahan-bahan pencemar seperti mikroorganisme, pestisida, logam berat, zat pewarna, zat pemanis, dan zat pengawet. Konsumsi makanan jajanan yang tercemar bahan kimia berpotensi menaikkan pembentukan senyawa radikal dalam tubuh konsumen (Zakaria 1996).

Kadar Malondialdehida (MDA) Plasma

MDA merupakan produk peroksidasi lipid. Analisis kadar MDA dapat digunakan sebagai salah satu parameter untuk mengevaluasi sejauh mana terjadi kerusakan sel karena reaksi radikal bebas. Kadar MDA yang rendah menunjukkan adanya penghambatan oleh suatu antioksidan. Prinsip analisis pada pengukuran ini adalah MDA dapat melakukan reaksi penambahan nukleofilik dengan asam tiobarbiturat (TBA) membentuk senyawa MDA-TBA. Senyawa ini berwarna merah jambu yang dapat diukur intensitas warnanya dengan menggunakan spektrofotometer. Senyawa 1,1,3,3-tetratoksipropan merupakan prekusor malondialdehid sehingga dapat digunakan sebagai larutan standar.

Hasil pengukuran menunjukkan kadar rata-rata MDA plasma kelompok kakao dan kelompok kontrol sesudah intervensi mengalami penurunan. Kadar rata-rata MDA plasma kelompok kakao menurun secara nyata (p < 0,05) dari 0,93 µmol/l menjadi 0,59 µmol/l dengan selisih penurunan sebesar 0,33 µmol/l (Gambar 8). Sebaliknya, kelompok kontrol (Gambar 9) juga mengalami penurunan dari 0,71 µmol/l menjadi 0,58 µmol/l dengan selisih penurunan sebesar 0,12 µmol/l tetapi tidak berbeda nyata (p > 0,05).

Gambar 9 Kadar MDA plasma kelompok kakao (n = 9) sebelum dan sesudah intervensi. 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4

Nilai MDA (mikromol/liter)

P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 Responden

sebelum sesudah

Gambar 10 Kadar MDA plasma kelompok kontrol (n = 9) sebelum dan sesudah Intervensi

Penurunan kadar MDA plasma kelompok kakao diduga karena efek dari konsumsi minuman bubuk kakao lindak bebas lemak selama 25 hari. Bubuk kakao lindak bebas lemak yang dikonsumsi oleh kelompok kakao mengandung senyawa polifenol yang tinggi (Zairisman 2006). Dalam penelitian lain disebutkan bahwa kandungan polifenol total dalam bubuk kakao lebih tinggi bila dibandingkan dengan anggur, teh hitam, dan teh hijau (Lee et al 2003). Sanbongi

et al (1998) menyatakan bahawa senyawa polifenol memiliki kapasitas antioksidan. Dalam hal ini senyawa polifenol kakao yaitu dari golongan senyawa flavonoid dapat berfungsi sebagai antioksidan primer. Kochhar and Rossel (1990) mengemukakan bahwa senyawa polifenol dapat bertindak sebagai antioksidan primer karena mampu menghentikan reaksi berantai radikal bebas yang terjadi di dalam sel. Polifenol dalam bubuk kakao lindakbebas lemak akan bereaksi langsung dengan senyawa peroksida radikal yang terdapat pada membran atau di dalam sel. Dengan demikian dapat menurunkan kadar MDA yang merupakan produk oksidasi asam lemak karena radikal bebas.

Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian Erniati (2007) ya ng menyebutkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao lindak bebas lemak setelah 25 hari secara nyata dapat menurunkan kadar MDA sel limfosit. Penelitian lain yang dilakukan oleh Amri (2007) menyebutkan bahwa komsumsi minuman kakao lindak bebas lemak dapat me nurunkan kadar MDA sel eritrosit. Disamping itu, penelitian Hasanah (2007) juga menyebutkan bahwa konsumsi minuman bubuk

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4

Nilai MDA (mikromol/liter)

K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9

Responden

sebelum sesudah

kakao lindak bebas lemak dapat menurunkan aktivitas enzim detoksifikasi yang bersifat oksidatif yaitu enzim sitokrom P-450 pada eritrosit maupun plasma responden.

Hasil pengukuran ini memperkuat hasil temuan Fraga et al (2005) yang menyatakan bahwa konsumsi coklat yang kaya dengan kandungan senyawa flavanol dapat menurunkan kadar MDA responden pemain sepak bola yunior sebesar 12%.

Penurunan kadar MDA pada kelompok kontrol yang tidak mengkonsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak secara statistik dengan uji t tidak berbeda nyata diduga karena perubahan pola makan responden menjadi lebih teratur terutama dalam mengkonsumsi buah dan sayur serta pengetahuan responden tentang gizi menjadi lebih baik. Zakaria (1996) mengemukakan bahwa sayuran dan buah-buahan kaya dengan vitamin E dan C yang dapat berfungsi sebagai antioksidan bagi tubuh. Selain itu selama intervensi berlangsung, konsumsi makanan jajanan dikurangi karena kebutuhan makan pagi dan makan malam telah disediakan oleh peneliti. Menurut Fardiaz (1993), makanan jajanan mengandung bahan-bahan pencemar seperti mikroorganisme, pestisida, logam berat, zat pewarna, zat pemanis, dan zat pengawet. Zakaria et al (1996) menyatakan bahwa konsumsi makanan jajanan yang tercemar bahan kimia berpotensi menaikkan pembentukakan senyawa radikal dalam tubuh konsumen. Dalam penelitian lain dilaporkan bahwa komponen bioaktif dalam jahe dapat menurunkan kadar MDA sel limfosit baik secara in vitro maupun secara in vivo dengan menggunakan responden manusia (Zakaria et al 2003).

Aktifitas Antiradikal Bebas Plasma

Antioksidan merupakan senyawa yang dapat melindungi sistem biologis tubuh melawan efek-efek yang potensial dari proses atau reaksi yang dapat menyebabkan oksidasi berlebihan (Papas 1991).

Pengujian ini bertujuan melihat sejauh mana pengaruh konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak jenis lindak terhadap aktivitas antiradikal bebas plasma melalui pengukuran aktivitas antiradikal bebas dengan menggunakan radikal bebas stabil DPPH. Prinsip dari pengujian ini adalah mereaksikan radikal bebas

DPPH dengan antioksidan tubuh yang dapat diukur dari perubahan warna ungu DPPH menjadi warna kuning (Mello et al 2005). Oleh karena itu semakin tingginya kapasitas antioksidan dapat dilihat dari semakin pudarnya warna ungu yang dihasilkan.

Hasil pengukuran menunjukkan kadar rata-rata anti radikal bebas plasma kelompok kakao dan kelompok kontrol sesudah intervensi mengalami peningkatan. Kadar rata-rata anti radikal bebas plasma kelompok kakao meningkat secara nyata (p < 0,05) dari 26,43% menjadi 42,28% dengan selisih peningkatan sebesar 15,85% (Gambar 11). Sebaliknya, kelompok kontrol (Gambar 12) juga mengalami peningkatan dari 33,55% menjadi 37,39% dengan selisih peningkatan sebesar 3,84% tetapi tidak berbeda nyata (p > 0,05).

Gambar 11 Aktivitas antiradikal bebas plasma kelompok kakao (n = 9) sebelum dan sesudah intervensi

Gambar 12 Aktivitas antiradikal bebas plasma kelompok kontrol (n = 9) sebelum dan sesudah intervensi

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Aktivitas Antiradikal Bebas

(%) P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 Responden sebelum sesudah 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Aktivitas Antiradikal Bebas (%)

K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9

Responden

sebelum sesudah

Peningkatan aktivitas antiradikal bebas plasma kelompok kakao yang berbeda dengan kelompok kontrol sesudah mengkonsumsi minuman bubuk kakao lindak bebas lemak selama 25 hari diduga karena aktivitas antioksidan dari bubuk kakao. Bubuk kakao lindak bebas lemak dari Balai Penelitian Kakao dan Kopi di Jember mengandung senyawa polifenol yang tinggi (Zairisman 2006). Senyawa polifenol ini akan bertindak sebagai antioksidan primer yang mampu menahan serangan radikal bebas DPPH. Hal ini ditunjukkan oleh adanya peningkatan anti radikal bebas kelompok kakao di banding kelompok kontrol.

Hasil penelitian ini juga didukung oleh hasil penelitian Erniati (2007) yang menyebutkan bahwa konsumsi minuman bubuk kakao bebas lemak setelah 25 hari secara nyata dapat meningkatkan antiradikal bebas sel limfosit. Penelitian lain yang dilakukan oleh Amri (2007) menyebutkan bahwa komsumsi minuman bebas lemak jenis lindak dapat meningkatkan anti radikal bebas sel eritrosit.

Hasil penelitian ini juga memperkuat temuan Osman & Nasarudin (2003) yang menyebutkan bahwa ekstrak kakao dari the cocoa shoot (kakao yang telah berkecambah) mempunyai aktivitas antioksidan yang sama dengan teh hijau. Dalam penelitiannya, mereka melakukan ektrak terhadap kakao dan membandingkan potensi antioksidanya dengan antioksidan pada teh hijau. Temuan dalam penelitian ini juga memperkuat simpulan Wollgast & Anklam 2000) yang mengemukakan bahwa polifenol biji kakao memiliki aktivitas antioksidan yang sangat baik dalam menangkal radikal bebas sehingga bermanfaat bagi tubuh.

Peningkatan aktivitas antiradikal bebas plasma oleh polifenol kakao diduga karena senyawa polifenol yang terkandung dalam minuman bubuk kakao bebas lemak dapat masuk ke dalam sirkulasi darah dan selanjutnya masuk ke dalam plasma. Pada tubuh kita flavonoid akan bersikulasi dalam plasma (Grassi et al

2006). Mekanisme peningkatan aktivitas antiradikal bebas plasma diduga melalui aktivitas antioksidan primer dimana senyawa polifenol dalam bubuk kakao yang terdapat pada plasma akan beraksi secara langsung dengan senyawa radikal DPPH yang dapat terukur berdasarkan perubahan warna DPPH yang terjadi.

Analisis Diena Terkonjugasi

Analisis diena terkonjugasi bertujuan melihat kapasitas antioksidan bubuk kakao bebas lemak jenis lindak dalam menahan oksidasi LDL plasma melalui pengukuran diena terkonjugasi selama oksidasi plasma oleh CuSO4. Diena

terkonjugasi adalah produk antara dari lipid yang teroksidasi. Diena terkonjugasi menyerap sinar pada panjang gelombang UV 234 nm, sehingga dapat dibuat kurva oksidasi antara lamanya waktu oksidasi dengan kadar diena terkonjugasi yang terbentuk. Larutan yang mengandung antioksidan biasanya memiliki fase lag sebelum terjadinya lonjakan diena terkonjugasi. Sehingga semakin lama fase lag mengindikasikan semakin tingginya kapasitas antioksidan larutan tersebut.

Dalam analisis ini plasma dioksidasi dengan CuSO4. Perhitungan fase lag

dimulai sejak penambahan CuSO4 hingga titik perpotongan fase propagasi

terhadap sumbu absis/waktu (Gambar 13 dan 14). Dengan demikian semakin lama fase lag mencerminkan kemampuan antioksidan dalam menahan terjadinya oksidasi lipid.

Gambar 13 Kurva oksidasi plasma seorang subjek dari kelompok kakao (P2) dan kelompok kontrol (K1) sebelum dan sesudah intervensi

Gambar 14 Kurva oksidasi plasma seorang subjek dari kelompok kakao (P3) dan kelompok kontrol (K9) sebelum dan sesudah intervensi

0 50 100 150 200 250 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 Waktu (menit)

n mol dienaterkonjugasi/mg protein plasma

P2-0 hr (kelompok kakao) P2-25 hr K1-0 hr (kelompok kontrol) K1-25hr 0 50 100 150 200 250 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 Waktu (menit)

n mol dienaterkonjugasi/mg protein

plasma P3-0 hr (kel. kakao) P3-25 hr K9-0 hr (kel. kontrol) K9-25hr Fase lag Fase lag

Sesudah intervensi rata-rata fase lag plasma kelompok kakao (Gambar 14) mengalami peningkatan dari 46,67 menit menjadi 50,56 menit dengan selisih peningkatan sebesar 3,89 menit, begitu pula kelomp ok kontrol (Gambar 15) juga mengalami peningkatan dari 45 menit menjadi 48,75 menit dengan selisih peningkatan sebesar 3,75 menit. Kelompok kakao memperlihatkan selisih yang lebih besar dibandingkan kelompok kontrol.

Gambar 15 Rata-rata nilai fase lag oksidasi diena terkonjugasi plasma kelompok kakao (n = 9) sebelum dan sesudah intervensi

Gambar 16 Rata-rata nilai fase lag oksidasi diena terkonjugasi plasma kelompok kontrol (n = 9) sebelum dan sesudah intervensi

Peningkatan fase lag pada kelomok kakao lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol diduga karena aktivitas antioksidan plasma yang berasal dari flavonoid bubuk kakao bebas lemak. Bubuk kakao lindak bebas lemak dari Balai

0 10 20 30 40 50 60

Phase lag (menit)

P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 Responden Sebelum Sesudah 0 10 20 30 40 50 60 70

Phase Lag (menit)

K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9

Responden

Sebelum Sesudah

Penelitian Kakao dan Kopi di Jember yang digunakan pada percobaan ini mengandung senyawa polifenol yang tinggi (Zairisman 2006). Senyawa polifenol ini akan bertindak sebagai antioksidan dalam melindungi LDL plasma dari kerusakan oksidasi. Hasil temuan ini memperkuat simpulan Mathur et al 2002 mengungkapkan bahwa produk kakao dapat menurunkan low density lipoprotein

(LDL) dari berbagai oksidator dengan memperpanjang waktu lagnya. Dalam penelitian lain Fraga et al (2005) menyebutkan bahwa konsumsi flavanol yang terkandung dalam coklat susu telah terbukti mampu mengurangi kolesterol plasma, LDL, MDA dan meningkatkan vitamin E dan plasma darah responden yang berprofesi sebagai pemain sepak bola.

Peningkatan fase lag oksidasi diena terkonjugasi plasma oleh flavonoid kakao diduga karena senyawa flavonoid yang terkandung dalam minuman bubuk kakao lindak bebas lemak dapat masuk dalam sirkulasi darah dan selanjutnya berada dalam plasma. Menurut Peterson & Dwyer (2000) flavonoid sangat cepat disirkulasikan dalam tubuh. Katekin diserap dan muncul di plasma antara 1 sampai 2 jam setelah komsumsi. Dengan demikian selama dalam plasma flavonoid diduga melindungi LDL dari berbagai kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas.

Analisis Flavonoid dalam Plasma

Analisis flavonoid ini bertujuan untuk melihat ketersediaan hayati (bioavailabilitas) flavonoid dalam plasma. Menurut Zakaria et al (2000) bioavailabilitas adalah pengukuran kuantitatif terhadap kegunaan zat gizi pada kondisi spesifik dalam membantu proses pertumbuhan struktur dan fisiologis organisme normal. Pengukuran bioavailabilitas dari suatu bahan pangan merupakan cara untuk mengetahui nilai biologi dan evaluasi nilai gizinya serta untuk menunjukkan daya cernanya sehingga dapat dimanfaatkan oleh organisme yang me ngkonsumsinya. Analisis flavonoid pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan HPLC. Flavonoid dalam bahan pangan biasanya dalam bentuk aglikon, yaitu flavonoid yang tidak terikat dengan gugus gula. Flavonoid dalam bentuk aglikon merupakan jenis data yang dibutuhkan oleh praktisi kesehatan untuk mengembangkan hubungan antara asupan flavonoid dengan status

kesehatan (Merken et al 2001). Dalam penelitian ini flavonoid dalam bentuk terglukoronidasi karena telah mengalami proses penyerapan dalam tubuh. Sejumlah laporan mengenai penyerapan dan konversi metabolik dari flavonoid memperkirakan bahwa flavonoid dapat masuk ke dalam sirkulasi darah dalam bentuk yang telah terglukoronidasi kemudian tersulfatasi dalam hati serta termetilisasi dalam hati dan ginjal (Azuma et al 2002). Oleh sebab itu dalam proses analisis perlu dilakukan langkah-langkah dekonjugasi sehingga didapatkan

Dokumen terkait