• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN ATAS PERLINDUNGAN TERHADAP PENULIS

B. Perlindungan Hak Cipta atas Penulis Buku

Buku merupakan salah satu penemuan terbesar karena buku merupakan sumber segala informasi ilmu pengetahuan yang kita inginkan serta mudah disimpan dan dibawa-bawa. Buku dapat diartikan sebagai tulisan atau cetakan dalam sehelai kertas atau dalam bentuk material lain yang dijadikan satu pinggiran/dijilid sehingga bisa dibuka pada bagian mana saja. Kebanyakan buku-buku mempunyai sampul pelindung untuk melindungi bagian dalamnya17

1. Hak untuk memperbanyak dalam bentuk buku yang diterbitkan sendiri atau oleh penerbit berdasarkan suatu perjanjian lisensi ;

Buku merupakan salah satu perwujudan karya ciptaan tulis. Buku yang diterbitkan perlu mendapatkan perlindungan sebagai salah satu bentuk apresiasi terhadap penciptanya sekalipun dalam praktiknya apresiasi dalam bentuk finansial lebih menonjol daripada apresiasi moral.

Menurut Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002, pencipta suatu karya tulis mempunyai sekumpulan hak khusus yang mendapat perlindungan yang terdiri dari :

2. Hak untuk menerjemahkan buku ke dalam bahasa lain ; 3. Hak untuk membuat karya pertunjukan dalam bentuk apapun 4. Hak untuk membuat karya siaran dan lain sebagainya

17

Apabila memperhatikan pada Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 dapat ditentukan beberapa bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada pencipta khususnya terhadap pemegang buku, yaitu :

Dalam pasal 56 ayat (1) menyebutkan bahwa :

Pemegang Hak Cipta berhak untuk mengajukan gugatan ganti rugi atas terjadinya pelanggaran Hak Ciptanya dan dapat meminta dilakukan penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil perbanyakan ciptaan itu

Dalam pasal 56 ayat (2) menyebutkan bahwa :

Pemegang Hak Cipta juga berhak memohon kepada Pengadilan Niaga agar memerintahkan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah, pertemuan ilmiah, pertunjukan atau pameran karya, yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta.

Kemudian seiring dengan majunya teknologi di bidang grafika yaitu tersedianya alat-alat cetak modern dan tenaga kerja yang ahli dan terampil, tercipta suatu usaha percetakan yang melawan hukum yaitu mencetak karya tulis buku orang lain tanpa izin pencipta atau pengarang atau lebih dikenal dengan pembajakan. Dalam Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 tidak disebutkan secara tertulis pasal yang mengatur tentang pembajakan. Dalam pasal 72 ayat (1) menyebutkan bahwa :

Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan atau denda paling sedikit Rp. 1000.000 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000 (lima miliar rupiah).

Pasal 72 ayat (2) menyebutkan bahwa :

Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

Dua ayat di atas menyebutkan secara eksplisit bahwa pembajakan sebagai salah satu jenis pelanggaran hak cipta yang dapat dipidana.

Kejahatan pelanggaran hak cipta dibedakan menjadi dua jenis menurut siaran Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) 15 Februari 1984 yaitu18

(1) Mengambil sebagaian ciptaan orang lain dan dimasukkan ke dalam ciptaan sendiri seolah-olah itu ciptaan sendiri. Perbuatan ini disebut plagiat. Hal ini terjadi pada karya tulis berupa buku atau karya tulis berupa lagu dan notasi lagu.

:

(2) Mengambil ciptaan orang lain untuk diperbanyak dan diumumkan sebagaimana aslinya tanpa mengubah bentuk, isi, pencipta dan pengarang, penerbit atau perekam. Perbuatan tersebut disebut “pembajakan”. Pembajakan banyak dilakukan pada karya tulis berupa baku dan karya rekaman audio dan video.

Seperti yang disebutkan pada bab di atas, bahwa pembajak buku adalah tindak pidana kejahatan pelanggaran hak cipta. Pekerjaan ini liar, tersembunyi, tidak diketahui oleh orang banyak apalagi petugas pajak. Pembajak tidak mungkin membayar pajak kepada negara. Jadi jelas bahwa pembajak buku itu merugikan negara, menghambat penciptaan buku, menghambat tujuan memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan bangsa.

Dan apabila terjadi pembajakan buku maka Undang-undang Hak Cipta dalam pasal 56 bahwa “Pemegang hak cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran hak ciptanya dan meminta penyitaan terhadap benda

18

Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Perusahaan Mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual (Hak Cipta, Merek, Paten), Cet I, PT. Mandar Maju, Bandung, 2000.

yang diumumkan atau hasil perbanyakan hak cipta itu.” Selain itu untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang dilanggar maka hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan pengumuman dan atau perbanyakan ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta (pasal 56 ayat 3). Selain itu

penyelesaian secara perdata tidak mengurangi hak negara untuk melakukan tuntutan pidana terhadap pelanggar hak cipta (pasal 66 Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002).

Untuk tuntutan pidana bagi orang yang melakukan pelanggaran hak cipta harus dituntut secara pidana karena pelanggaran hak cipta adalah kejahatan. Dalam pasal 72 disebutkan bahwa siapa saja dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan atau denda paling sedikit Rp. 1000.000 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000 (lima miliar rupiah), termasuk dalam pelanggar ketentuan ini adalah pelaku utama atau pelanggaran hak cipta.

Selain itu dalam pasal 72 (2) ditentukan bagi orang yang dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah), termasuk dalam pelanggar ketentuan ini antara lain media massa yang menyiarkan, toko yang menjual, pengecer atau penjaja hasil pelanggaran hak cipta itu sebagai pelaku pembantu.

Dan untuk barang/ ciptaan yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta serta alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dirampas oleh negara untuk dimusnahkan (pasal 73 ayat (1))

Selain sanksi pidana dan perdata terhadap perlindungan bagi pihak yang dilanggar hak ciptanya dan rezim hukum hak cipta telah dikenal doktrin hukum “substansi pemakaian yang layak” atau lebih dikenal dengan “doctrine of fair use” prinsip dari fair use doctrine ini mempertimbangkan beberapa kepentingan untuk dikulifikasika sebagai pertimbangan masalah atas maksud ekonomis dari pelanggaran hak cipta tersebut. pada konkretnya penggunaan fair use doctrine terletak kepada kepentingan pribadi pencipta atas ciptaannya. Misalnya apabila si pembajak buku dapat menunjukkan tidak mempunyai kepentingan dari peniruan tersebut melainkan untuk keperluan pendidikan, maka pelanggaran ini dianggap tidak dapat dikualifikasikan untuk kepentingan komersial belaka. Dalam prinsip umum substansi proporsional lebih banyak dipakai karya cipta orang lain maka makin banyak pula pelanggaran hak cipta dilakukan dengan mengacu pada keadaan ini.

Selain perlindungan hukum di atas ada juga bentuk perlindungan yang lain bagi orang yang membajak yaitu dengan meminta izin kepada pencipta untuk/ meminta lisensi agar barang yang sudah dia produksi sudah legal dengan konsekuensi dia harus membayar sejumlah uang untuk royalty kepada pencipta. Cara ini jauh lebih efektif sehingga buku yang sudah di cetak dapat di jual secara sah kepada masyarakat dan pemegang hak cipta tidak dirugikan akibat dari pembajakan ini.

Sehingga dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perlindungan hak cipta bagi penulis buku atas terjadinya pembajakan buku maka pihak yang dirugikan dapat

mengajukan gugatan perdata. Selain gugatan perdata juga tidak menghalangi hak dari pemerintah untuk melakukan tuntutan pidana dan juga pihak yang dirugikan dapat meminta hakim untuk meminta surat penetapan sementara. Hal ini dilakukan agar menghindari kerugian yang lebih besar dari penggugat. Selain adanya sanksi baik perdata maupun pidana, bentuk perlindungan lain yaitu dengan lisensi pembayaran royalty pada pencipta. Cara ini jauh lebih efektif dan efisien.

Dokumen terkait