• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PENGATURAN ATAS ROYALTI TERHADAP PENULIS

B. Sistem Pemberian Royalti Terhadap Penulis Buku

3. Prosedur Penerbitan Buku

Penulis harus mengirimkan ke Penerbit naskah final, bukan outline ataupun draft, yang disertai:27

• Kata Pengantar Daftar Isi • Daftar Gambar • Daftar Tabel • Daftar Lampiran • Isi • Daftar Pustaka • Indeks 1 • Abstrak (sinopsis)

• Memberi penjelasan mengenai: pasar sasaran yang dituju, prospek pasar, manfaat setelah membaca buku ini.

• Profil penulis, memberi keterangan singkat tentang penulis. b. Penilaian Naskah

Penerbit menilai naskah dari berbagai aspek, yakni :28

Apakah topik bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila, apakah topiknya akan 1) Aspek Ideologis 27 Ibid., 28 Ibid.

meresahkan kondisi masyarakat seperti: politik, hankam, sara, sopan santun, harga diri, dll.

2) Aspek Keilmuan

• Apakah topik yang dibahas merupakan topik baru bagi masyarakat, dan apakah masyarakat sudah siap menerima topik tersebut

• Apakah naskah tersebut gagasan asli atau jiplakan

• Terkait dengan akurasi data maka diperlukan sumber daftar pustaka yang Lengkap.

3) Aspek Penyajian

• Apakah sistematika kerangka pemikiran baik sehingga alur Logika pemaparan mudah dipahami

• Bahasa yang digunakan apakah komunikatif sesuai dengan jenis naskah dan sasaran pembaca

• Apakah cara penulisannya sudah benar, yaitu menggunakan tata bahasa dan ejaan yang baku

• Kelengkapan naskah secara fisik seperti kata pengantar, daftar isi, pendahuluan, batang tubuh, daftar gambar, tabel, lampiran, index, daftar pustaka, sinposis

• Pengetikan menggunakan media dan alat apa, apakah tulis tangan, diketik manual, atau ketik komputer menggunakan software tertentu

• Mutu gambar, tabel dan objek lain yang dipasang (capture) apakah layak atau masih harus diperbaiki lagi

• Apakah urusan perizinan penggunaan gambar tertentu, izin terjemahan, izin pengutipan dll. sudah diselesaikan

4) Aspek Pemasaran

• Apakah tema naskah mempunyai pangsa pasar jelas dan luas sehingga buku akan dapat dan mudah diterima pasar

• Apakah naskah memiliki selling point atau potensi jual tertentu, seperti judul, keindahan, bahasa, kasus aktual, dsb

• Apakah ada buku sejenis yang beredar dan telah diterbitkan. • Apa kelebihan naskah tersebut dibandingkan dengan buku lain 5) Aspek Reputasi Penulis

• Apakah penulis adalah tokoh, praktisi, dosen yang sangat diakui kepakarannya oleh masyarakat luas

• Apakah buku-buku yang pernah diterbitkan mempunyai catatan keilmuan dan pemasaran yang baik

6) Keputusan Menerima/Menolak Naskah

• Penerbit adalah suatu badan usaha yang bercita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk tujuan tersebut Penerbit mengusahakan, menyediakan, dan

menyebarluaskan bagi khalayak umum, pengetahuan dan pengalaman hasil karya ilmiah para Penulis dalam bentuk sajian yang terpadu, rapi, indah, dan komunikatif, baik isi maupun kemasan fisik, melalui tata cara yang sesuai, dan bertanggung jawab atas segala risiko yang ditimbulkan oleh kegiatannya. Berdasarkan pengertian mengenai penerbitan tersebut, dapat disimpulkan bahwa penerbit tidak bermaksud untuk menghakimi hasil karya Penulis, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menghargai karya tersebut karena Penulis adalah “rekan

sejawat” bagi Penerbit.29

• Penilaian naskah bukan untuk menjatuhkan vonis naskah baik atau buruk, layak terbit atau tidak. Langkah tersebut digunakan sebagai sarana untuk memperlancar proses penerbitan secara optimal.30

• Proses penilaian ini adalah proses standar penerbitan sehingga perlu ada komunikasi yang baik antara Penerbit dan Penulis. Dengan demikian tidak ada salah-pengertian: bahwa Penerbit menganggap remeh Penulis atau Penulis merasa naskahnya sudah yang terbaik.31

Setelah Penulis menyerahkan naskah pada Penerbit, paling lambat 1 bulan, Penerbit memberikan keputusan melalui surat resmi kepada Penulis, apakah buku diterbitkan atau tidak. Untuk naskah yang diterima, Penerbit akan mengirim surat pemberitahuan resmi. Penulis wajib melengkapi kelengkapan naskah - softcopy.

Untuk naskah yang ditolak, naskah akan dikembalikan kepada Penulis bersama dengan surat pemberitahuan penolakan penerbitan.

4. Bentuk Royalti Penerbit Madju

Penerbit Madju memberikan royalti sebagai berikut: Besar royalti standar adalah berkisar antara 10% sampai 15% per semester atau 2 kali dalam satu tahun dihitung mulai tanggal terbit, dengan ketentuan sebagai berikut:

• Bagi penulis yang baru pertama kali memasukkan terbitannya ke Penerbit Madju, berhak mendapat 10% dengan perhitungan:

29 Ibid., 30 Ibid 31 Ibid.

10% x harga jual x oplah (potong pajak)

• Bagi penulis yang sudah minimal 3 kali atau lebih menerbitkan ke Penerbit Madju serta mempunyai record pemasaran yang dinilai baik, berhak mendapat 15% dengan perhitungan: 15% x harga jual x oplah (potong pajak)

Mengingat Penerbit Madju memiliki bentuk kerja sama yang beragam pada saluran distribusi pemasaran, maka perhitungan royalti adalah berdasarkan buku yang benar-benar telah terbayar lunas, dengan demikian buku yang sifatnya konsinyasi atau kredit belum dianggap sebagai buku laku. Dalam hal ini Penerbit Madju akan selalu menjaga kejujuran dan kepercayaan bagi semua relasinya, ini semua karena nama baik sangat penting bagi Penerbit Madju.32

Contoh penghitungan royalti dalam bentuk lain secara sederhana digambarkan sebagi berikut :33

Nomor lepas adalah jumlah buku yang tidak ikut dihitung karena akan digunakan sebagai promosi, persembahan kepada penulis, arsip, dan lain sebagainya. Jumlah royalti 1. Oplah cetakan 1 : 5.000 eksemplar

2. Nomor lepas : 50 eksemplar

3. Royalti penulis : 10% x 4.950 x Rp. 30.500 = Rp. 15.097.500 4. PPH 23 : 15% x Rp. 15.097.500 = Rp. 2.2.64.625 5. Jumlah royalti yang akan diterima = Rp. 12.832.875 6. Uang muka royalti (netto) = Rp. 1.000.000

32

Ibid., 33

Catur, Contoh Penghitungan Royalti, tanggal 29 Juli 2010

yang akan diterima biasanya akan diberikan setiap 6 bulan sekali, sesuai dengan jumlah buku yang terjual.

Berapa rata-rata royalti penulis buku? Jawabnya adalah relatif, tergantung seberapa tenar penerbit yang akan menerbitkan karya tersebut, juga seberapa besar nama dari penulis. Selain royalti, biasanya penulis juga berhak mendapat buku pada cetakan pertama dan cetakan berikutnya. Penulis mendapatkan buku secara gratis sejumlah 10 eksemplar pada cetakan pertama, sedangkan pada cetakan kedua dan seterusnya mendapatkan 3 buku gratis per cetak.

BAB IV

Peran Penerbit Terhadap Pembajakan Buku

A. Penyebab Terjadinya Pembajakan Buku

Pembajakan buku dan pelanggaran hak cipta di Indonesia hingga saat ini masih marak terjadi. Menurut Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Setia Dharma Madjid, pelanggaran hak cipta yang terjadi sebenarnya karena beberapa aspek, seperti aspek filosofi, masalah sosial budaya, dan penegakan hukum. Masalah maraknya fotokopi yang lazim dilakukan kalangan luas untuk keperluan pendidikan atau penelitian telah menjadi hal yang biasa. Hal tersebut mungkin belum adanya pemahaman mengenai pentingnya penegakan hukum dan perlindungan hak cipta untuk masa depan bangsa. Di beberapa negara pembayaran royalti kepada penulis dan penerbit atas beberapa bagian dari bukunya yang difotokopi sudah lama dilaksanakan. Hal ini dikenal sebagai hak reproduksi atau yang dalam bahasa Inggris disebut reproduction right (RR). Di beberapa negara yang telah melaksanakan hak reproduksi yang dioganisasi oleh RRO, pelaksanaannya melibatkan pihak kampus, akademi, penulis, dan perpustakaan. Hal ini dilakukan mengingat tidak mungkin individu yang memfotokopi sebagian tulisan seorang penulis melakukan transaksi dengan RRO. Kalangan kampus, pustakawan, pengarang, dan penerbit sangat berperan menyukseskan hak reproduksi ini. Di Indonesia, lembaga semacam ini belum terbentuk.34

34

Suprianto, Implementasi Undang-undang Hak Cipta terhadap Pembajakan Buku, Wijaya Kusuma, Surabaya, 2003, h. 36

Lemahnya sistem hukum di Indonesia mengakibatkan semakin tertinggalnya Indonesia dalam perlindungan yang menyeluruh terhadap seluruh aspek hak cipta terutama buku. Sebelum membahas tentang faktor-faktor yang menyababkan terjadinya pembajakan buku maka terlebih dahulu kita harus memahami hal-hal yang berkaitan dengan penerbitan sebuah buku. Ditempatkannya buku sebagai ciptaan yang dilindungi, terutama karena selain untuuk memenuhi keinginan yang kuat untuk mencerdaskan bangsa seperti yang dicantumkan dalam mukadimah UUD 1945 terkait adanya 4 fungsi positif yang terdapat dalam buku :35

(1) Buku sebagai media atau perantara

Artinya buku dapat menjadi latar belakang bagi kita atau pendorong untuk melakukan sesuatu.

(2) Buku sebagai milik

Disini dimaksudkan bahwa buku adalah kekayaan yang sangat berharga. (3) Buku sebagai pencipta suasana

Berarti buku setiap saat dapat menjadi teman dalam situasi apapun. Buku dapat menciptakan suasana akrab hingga mampu mempengaruhi perubahan dan karakter seseorang menjadi baik.

(4) Buku sebagai sumber kreatifitas

Dengan banyak membaca buku dapat mendorong kreatifitas yang kaya gagasan dan kreatifitas biasanya memiliki wawasan yang luas. Sudah umum diketahui bahwa salah satu faktor sumber daya manusia berkualitas dapat wawasan yang luas dapat dicapai dengan banyak membaca.

35

Magdalena S, Buku Sebagai Sarana Pengembangan Kualitas SDM, Membangun Kualitas Bangsa, Bunga Rampai Sekilas Perbukuan di Indonesia, Konisia, 1991, h. 113.

Sehingga dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa peran buku sangat penting dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa maka tidak berlebihan kita sangat berharap masih adanya kepedulian dari beberapa pihak yang ikut peran dalam rangka mencapai tujuan tersebut.

Sejalan dengan hal tersebut perkembangan dunia dan kesadaran akan pentingnya informasi dan perkembangan pengetahuan, kebutuhan masyarakat terhadap buku tidak terbendung lagi. Hal ini berarti membuka peluang bisnis penerbitan yang cukup menggiurkan. Penerbitan buku menjanjikan keuntungan yang cukup besar. Sedangkan kebutuhan buku tak pernah tertuntaskan.36

Menurut penelitian A. Ridwan Hakim ada 14 faktor penyebab terjadinya pembajakan buku

Saat bisnis penerbitan buku menjamur sedangkan kebutuhan masyarakat akan menjamur sedangkan kebutuhan akan buku tak pernah dituntaskan, tumbuh pula suatu komoditas komersial lain yaitu fenomena pembajakan buku. Di negara kita pembajakan buku sudah berlangsung sejak tahun 1966 sampai sekarang terus berlangsung dan belum ditemukan suatu cara yang cerdas untuk mendapatkan tentang solusinya.

37

1. Atas desakan kebutuhan ekonomi, keinginan untuk mendapatkan uang secara mudah.

:

2. Adanya kebiasaan orang untuk menonjolkan atau meninggikan dirinya dengan maksud untuk menutupi kelemahannya.

3. Adanya keadaan perbandingan yang tidak sehat dalam diri orang itu antara ambisinya yang demikian besar untuk berkarya dan kemampuan atau mencapai ambisinya.

36

Tjahjono Widarmanto, Buku Bajakan, Benalu yang Dicari, Artikel Jawa Pos, Minggu 13 Juli 2003, h. 6.

37

A. Ridwan Hakim, Sebab-sebab Terjadinya Pembajakan Buku, Artikel Majalah Optimis No. 46, November 1983, h. 20-22

4. Adanya komplikasi atau campuran antara ketidakmampuan yang cukup untuk bisa berkarya secara memadai dan ketidakjujuran yang mewarnai sifat orang yang menjadi pembajak itu.

5. Adanya kelalaian baik yang disengaja atau tidak disengaja dalam kode etik penulisan yakni setiap kutipan harus disebutkan sumbernya.

6. Adanya perasaan aman bagi si pembajak bahwa perbuatannya tidak diketahui. 7. Adanya perasaan kebal hukum dari si pembajak

8. Kasus-kasus pembajakan condong diselesaikan secara perdata daripada pidana. 9. Kurangnya kemauan dari si pengarang untuk mengusut pembajakan, karena ia

sendiri sibuk dengan urusannya.

10.Buku yang dijadikan sasaran pembajakan ialah buku lama yang sudah tidak ada lagi dalam peredaran dan pengarangnya/ penerbit tidak diketahui.

11.Adanya keadaan kehabisan bahan yang bersamaan judul produksi.

12.Adanya pwmbajakan yang terorganisir rapi sehingga sulit untuk mengetahuinya. 13.Di dalam buku yang dibajak itu sendirijuga terdapat kutipan-kutipan dari sumber

lain lagi yang tidak disebutkan sumbernya.

14.Adanya kelemahan pertahanan pengarang dan penerbit yang diketahui pembajak untuk memperbesar aktivitasnya.

Faktor-faktor di atas yang diungkapkan A Ridwan Hakim hanya sebagian kecil dari penyebab terjadinya pembajakan buku. Dari pendapat yang diungkapkan di atas maka penulis menarik kesimpulan bahwa faktor penyebab terjadinya pembajakan buku dapat dispesifikkan lagi menjadi beberapa faktor, yakni :

1. Faktor Ekonomi

Alasan ini sangat tepat karena melihat kenyataan bahwa harga buku resmi dari penerbit cukup mahal, hal ini sangat memberatkan konsumen. karena konsumen terbesar buku adalah kaum terpelajar. Penikmat buku ini kebanyakan adalah para mahasiswa atau pelajar yang kemampuan ekonominya sangat terbatas sehingga daya belinya lemah. Padahal buku tersebut hal yang pokok bagi mahasiswa atau pelajar. Untuk mengatasi hal tersebut biasanya mereka mencari ke pasar loak yang sudah setengah pakai. Yang menjadi masalah adalah buku yang dicari itu belum tentu ada di pasar loak karena buku tersebut baru terbit. 38

38

Dalam situasi yang demikian, hal ini oleh para pedagang yang bermata jeli dengan ingin menarik keuntungan yang besar akan memanfaatkan situasi yang demikian yaitu dengan cara ilegal yakni pembajakan yang akan menjual buku sangat murah terhadap buku yang sedang dicari oleh masyarakat atau terhadap buku-buku yang menjadi best seller.

Hal ersebut disebuti ilegal karena dalam hal ini ia membajak buku tersebut karena ia tidak meminta izin kepada pemegang atau kepada pemegang hak cipta yaitu penerbit. Dengan cara demikian maka si pembajak tidak perlu membayar royalti, pajak dan lain-lain, dan biasanya harga buku-buku bajakan ini jauh dari harga resemi.hal ini tntu sangat menguntungkan bagi penikmat buku yang kebanyakan kemampuan ekonominya sangat terbatas disamping itu juga merugikan baik penerbit atau pemegang karena investasi yang mereka lakukan belum mencukupi untuk mengembalikan modal yang mereka investasikan.

2. Faktor Kemajuan Teknologi

Kemajuan teknologi merupakan keuntungan yang sangat luar biasa bagi suatu bangsa akan tetapi juga membawa dampak yang merugikan bagi beberapa pihak. Dengan kemajuan teknologi juga membawa pengaruh pula di bidang grafik atau cetak mencetak dalam bidang penerbitan buku. Contoh konkritnya kemajuan di bidang grafik adalah dengan munculnya mesin-mesin yang baru dan mutakhir, maka untuk menggandakan buku maka buku yang sudah jadi tinggal di foto/ di film kemudian dipindahkan ke plate siap untuk di cetak dan kemampuan untuk menggandakannya juga luar biasa sehingga bagi orang yang awam sangat sulit untuk membedakan mana yang asli dan mana yang aspal/ bajakan. Yang bisa

membedakan hanyalah orang yang sudah berkecimpung dalam dunia penerbita/ cetak mencetak dan lagi pula bagi orang awam hal itu tidaklah menjadi masalah apakah buku yang mereka beli itu asli atau bajakan yang penting bukunya bagus, murah, sehingga dapat terjangkau oleh ukuran kantongnya.39

3. Faktor Distribusi yang Tidak Merata

Dalam hal ini berkaitan dengan dua hal yaitu jauhnya pasar dan penerbit buku yang dibutuhkan dan terbatasnya persediaan buku tertentu di pasaran. Pada umumnya penerbit-penerbit besar tinggal di kota besar, sehingga sudah barang tentu para penerbit akan berusaha semaksimal mungkin untuk merebut pasar dari buku yag diterbitkannya tidak saja untuk daerah tertentu saja melainkan keseluruh pelosok tanah air. Apabila ia sudah berhasil menguasai pasar, maka pendistribusian buku tersebut ke daerah-daerah harus segera ditangani dengan cepat, kalu tidak maka pembajak buku tersebut sudah hampir dapat dipastikan akan berjalan dengan subur. Sedangkan jauhnya pasar tempat konsumen membeli buku yang diterbitkan jauh dari penerbit mengakibatkan membuka peluang untuk jalan pintas ilegal untuk masuknya buku bajakan dan terbatasnya jumlah buku yang beredar di pasaran mengakibatkan permintaan pasar tidak dapat dipenuhi dengan cepat. Maka peluang ini dibaca oleh penerbit gelap yang ingin meraup keuntungan besar untuk segera mungkin membajaknya karena mereka tidak harus mengeluarkan biaya operasional yang tinggi. Mereka tidak perlu memikirkan dan memikul royalti, proses editing ataupun promosi. Sehingga dalam situasi yang

39

demikian tentunya konsumen akan berpaling ke buku bajakan untuk memenuhi kebutuhan akan buku tersebut.40

4. Faktor Penghormatan terhadap Intelektual Rights (Hak Cipta) Masih Rendah Walaupun pemerintah telah berupaya untuk menciptakan Undang-undang Hak Cipta untuk menutup peluang atas pelanggaran hak cipta dan pembajakan khsususnya buku, upaya ini belum efektif. Sanksi pidana yang sebenarnya cukup berat seperti tercantum dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 pasal 72 ayat (2) yang menyebutkan bahwa :

Barang siapa dengan sengaja menyiarkan; memamerkan; mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

Selain ancaman pidana dan denda yang besar dalam Undang-undang Hak Cipta yang terbaru ini menganut delik biasa artinya bahwa pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum harus bisa bertindak tanpa adanya laporan/ aduan dari pihak yang dirugikan. Hal ini juga diperparah dengan kurang seriusnya penegak hukum, padahal untuk VCD dan kaset bajakan pemerintah sudah melakukan penertiban, tetapi untuk pembajakan buku terkesan aparat masih belum melakukan tindakan yang signifikasn dalam hal memberantas pembajakan buku. Selain itu masalah lain dalam praktek pembajak adalah rapinya jaringan pembajak buku sehingga sulit menemukan jejak si pembajak buku atau pelanggar hak cipta,

40

karena jejaknya sedemikian rapi, yang kelihatannya hanyalah hasil bajakannya yang beredar di dalam masyarakat.41

Masalah hak cipta muncul berkaitan dengan masalah liberalisasi ekonomi di satu pihak dan masalah kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia di pihak lain. Kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia masih dalam masa transisi industrial yang belum semuanya mengerti dan memahami masalah hak cipta yang sebelumnya tidak dikenal. Masyarakat transisi industrial digambarkan sebagai masyarakat yang sedang mengalami perubahan dari masyarakat agraris yang bercorak komunal-tradisional ke masyarakat industri yang bercorak individual modern. Perubahan ini berkaitan dengan struktur hubungan masyarakat yang belum tuntas ke corak yang lebih rasional dan komersial sebagai akibat dari proses pembangunan yang dilakukan.42

Law enforcement rezim hak cipta di Indonesia sangat memprihatinkan. Pengetahuan hukum dan kesadaran hukum masyarakat di bidang hak cipta dapat dikatakan masih rendah. Hal ini bisa dilihat dari masih sedikitnya masyarakat pencipta yang mendaftarkan haknya ke kantor Hak Cipta untuk mendapatkan perlindungan hukum terhadap pelanggaran hak cipta. Di samping itu juga masih banyak didapati pelanggaran hak cipta. Mereka bukan tidak tahu atau tidak paham bahwa memperjualbelikan barang bajakan adalah melanggar hukum. Sebagian masyarakat masih tergiur barang murah meriah tanpa memperdulikan bahwa

41

Ibid., hal. 44 42

Budi Agus Riswandi, M. Syamsudin, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004) h. 201

barang itu bajakan atau bukan.43

Hukum pidana mempunyai objek penggarapan mengenai perbuatan melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi ataupun perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi. Mahadi mengartikan penegakan hukum sebagai hal menegakkan atau mempertahankan hukum oleh para penegak hukum apabila telah terjadi pelanggaran hukum atau diduga hukum akan atau mungkin dilanggar. Secara mudah dapat dikatakan bahwa penegakan hukum itu suatu sistem aksi atau sistem proses.

Banyak masyarakat masih beranggapan bahwa pelanggaran hak cipta adalah urusan pejabat penegak hukum semata-mata. Anggapan seperti itu perlu diubah supaya budaya enggan untuk melapor dapat menjadi budaya berperan aktif, untuk mengurangi sekecil mungkin ruang gerak pelaku tindak pidana hak cipta. Etika profesi dari kalangan masyarakat ilmuan juga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap penegakan hukum. Melenturnya etika mengakibatkan dengan mudahnya orang untuk meniru hasil karya cipta orang lain tanpa seizin pencipta atau pemegang hak cipta. Juga mengenai bajak membajak hasil karya cipta orang lain dilakukan tanpa beban, hanya untuk mendapatkan materi yang banyak tanpa mau bersusah payah mengeluarkan tenaga dan waktu.

5. Adanya Oknum yang Melindungi Si Pembajak Buku yang Dituju

44

43

Anonim, http://www.google.com Jawa Pos. 1 Agustus 2003 Tak Menjamin Bebas Barang Bajakan: Pemberlakuan UU Hak Cipta, diakses 21 Agustus 2010

44

Insan Budi Maulana, Ridwan Khairandy, Nurjihad, Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual I

(Jakarta: Yayasan Klinik HAKI, 2000) h. 201

Keterbatasan jumlah aparat penegak hukum, kemampuan (skill) yang dimiliki, dan pengetahuan di bidang hak cipta yang masih kurang merupakan faktor yang mempengaruhi aparat penegak hukum dalam menegakkan

Undang-undang Hak Cipta.45 Ketua Tim PMPB (Penanggulangan Masalah Pembajakan Buku) IKAPI DKI, mengatakan bahwa pembajakan buku yang masih terus berlangsung membuat antusiasme penerbit untuk meluncurkan buku teks baru berkurang. Pasalnya, baru satu minggu diterbitkan, buku-buku bajakan sudah beredar di pasaran dengan leluasanya.46 Terungkapnya tindak pembajakan buku umumnya dari laporan masyarakat. Namun, kendala yang sering dihadapi justru datang dari petugas kepolisian yang meminta berbagai macam persyaratan seperti hak paten, saksi ahli, dan sebagainya. Sering kali pula rencana penggrebekan bocor atau di lapangan mereka menghadapi oknum yang melindungi si pembajak buku yang dituju.47

45

Ibid, hal. 205. 46

Kompas, Pembajakan Merajalela, Penerbit Kini Tak Lagi Antusias Terbitkan Buku Teks, Senin, 5 Maret 2007, Medan, hal. 15

47

Ibid

Adapun oknum yang melindungi si pembajak buku tidak lain adalah aparat penegak hukum sendiri. Perlindungan tidak ditunjukkan secara nyata, namun dengan tidak mau tahunya aparat terhadap tindakan pembajakan dapat dikatakan aparat ikut melindungi pembajakan. Selain itu oknum lainnya adalah staf pengajar baik di tingkat sekolah maupun tingkat perguruan tinggi. Para pihak ini menggunakan jasa pembajakan untuk mendapatkan keuntungan dari buku hasil bajakan. Mereka menjual buku yang dibajak tersebut dengan harga yang sama dengan buku aslinya, dengan demikian ia akan memperoleh keuntungan karena sesungguhnya harga buku asli dengan buku hasil bajakan selisih harganya cukup jauh. Apabila pihak-pihak ini melaporkan pembajakan ini maka mereka tidak akan mempunyai kesempatan untuk memperoleh keuntungan

lagi. Sikap diam dan tidak melapor tersebut dianggap sebagai tindakan yang mendukung atau melindungi pelanggaran hak cipta atas pembajakan buku.

Dokumen terkait