• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Terhadap Pembajakan Buku (Ditinjau Terhadap Undang-Undang No.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Yuridis Terhadap Pembajakan Buku (Ditinjau Terhadap Undang-Undang No.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta)"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986

Budi Agus Riswandi, M. Syamsudin, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004) h. 201

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Seminar Hak Cipta, Jakarta, 2003.

Dalas C. Smith Jr, Penuntun Penerbitan Buku, Grafika Indonesia, Jakarta, 1975. DepDikBud , Kamus Besar bahasa Indonesia, Edisi ke II, Balai Pustaka, 1991.

Hasan Pambudi, Dasar dan Teknik Penerbitan Buku, Cet I, Sinar Harapan, Jakarta, 1981. H. OK. Saidin, SH. M.Hum, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual

Property Rights), RajaGrafindo Persada, Jakarta 2004 IKAPI Pusat ,Pembajakan Buku, 1984.

Insan Budi Maulana, Ridwan Khairandy, Nurjihad, Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelntual I (Jakarta: Yayasan Klinik HAKI, 2000) h. 201

John Feather, Copy Right In Development Country, Necesty or Luxury, Intelektual Library, Review

Magdalena S, Buku Sebagai Sarana Pengembangan Kualitas SDM, Membangun Kualitas Bangsa, Bunga Rampai Sekilas Perbukuan di Indonesia, Konisia, 1991

Penerbit madju, Prosedur Penerbitan Penerbit Madju 2003

Roni Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jarimetri, Jakarta, Cet. IV, Ghalia Indonesia, 1990.

Sanusi Bintang , Hukum dan Hak Cipta, PT. Citra aditya Bhakti, Bandung 1998.

Sentosa Sembiring, Aspek Yuridis Dalam Penerbitan Buku, Bandung, Bina Cipta, 1987. Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Perusahaan Mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual

(2)

Sudarga Gautama, Hak Milik Intelektual dan Perjanjian Internasional, TRIPs, GATT, Putaran Uruguay (1994), Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1999.

Sujud Margono, Hukum dan Perlindungan Hak Cipta, CV Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2003.

Suprianto, Implementasi Undang-undang Hak Cipta terhadap Pembajakan Buku, Wijaya Kusuma, Surabaya, 2003

Titin Hutagalung, Peranan Ikapi dalam Penanggulangan Hak Cipta Atas Pembajakan Buku, USU, Medan, 2007

Widyopramono, Tindak Pidana Hak Cipta, Analisis dan Penyelesaiannya, Sinar Grafika, Jakarta, 1991

B. Internet

Ali, Apa Yang Dimaksud Dengan Royalty ?,

.

Anonim, http://www.google.com Jawa Pos. 1 Agustus 2003 Tak Menjamin Bebas Barang Bajakan: Pemberlakuan UU Hak Cipta, diakses 21 Agustus 2010

Anonim, http://www.google.com, Tri Dirgantara Pamenan (Buku Bajakan, Dilema yang Harus Diakhiri) diakses 21 Agustus 2010

Catur, Contoh Penghitungan Royalti, 2010

Rachmanto Surahmat, Berlaku P3B RI-Qatar,

http://www.google.com, Hak Cipta versus Pembajakan, Juli 2007 terakhir diakses tanggal 22 April 2010

C. Peraturan Perundang-undangan

(3)

Surat Edaran Nomor SE-58/PJ/2009 tentang pph royalti dari hasil karya sinematografi yang dikeluarkan oleh Dirjen Pajak.

D. Surat Kabar dan Makalah

Harian Kompas, Pembajakan Merajalela, Penerbit Kini Tak Lagi Antusias Terbitkan Buku Teks, Senin 5 Maret 2007, Medan, hal. 15

Tjahjono Widarmanto, Buku Bajakan, Benalu yang Dicari, Artikel Jawa Pos, Minggu 13 Juli 2003, h. 6

Ridwan Hakim, Sebab-sebab Terjadinya Pembajakan Buku, Artikel Majalah Optimis No. 46, November 1983, h. 20-22

(4)

Bab III

Pengaturan Atas Royalti Terhadap Penulis Buku

A. Pengertian Royalti

Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas20

1. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusasteraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, disain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual / industrial atau hak serupa lainnya;

:

2. Penggunaan atau hak menggunakan peralatan / perlengkapan industrial, komersial atau ilmiah;

3. Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial atau komersial;

4. Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1., penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2., atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3., berupa:

a. Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;

20

(5)

b. Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;

c. Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;

d. Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; e. Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan

atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.

Pembayaran Kepada seseorang karena mengeksploitasikan wewenang yang merupakan monopoli seseorang. Misalnya pada hak atas karya cipta, biasanya royalti dihitung atas presentasi barang yang terjual.21

Pengertian royalti lainnya adalah imbalan sehubungan dengan penggunaan:22 1. Hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang, formula,

atau rahasia perusahaan;

2. Hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud dengan alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan adalah setiap peralatan yang mempunyai nilai intelektual, misalnya

21

Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, h. 511

22

Ali, Apa Yang Dimaksud Dengan Royalty ?,

(6)

peralatan-peralatan yang digunakan di beberapa industri khusus seperti anjungan pengeboran minyak (drilling rig), dan sebagainya;

3. informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau bidang usaha lainnya. Ciri dari informasi dimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia sehingga pemiliknya tidak perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut. Tidak termasuk dalam pengertian informasi di sini adalah informasi yang diberikan oleh misalnya akuntan publik, ahli hukum, atau ahli teknik sesuai dengan bidang keahliannya, yang dapat diberikan oleh setiap orang yang mempunyai latar belakang disiplin ilmu yang sama.

Definisi "royalti" meliputi hak cipta, hak paten, merek dagang, desain atau model, rencana, rumus rahasia atau cara pengolahan dan informasi mengenai pengalaman di bidang industri, perdagangan atau ilmu pengetahuan, hak untuk menggunakan alat-alat perlengkapan industri, perdagangan atau ilmu pengetahuan. Pengertian "royalti" juga meliputi pemberian bantuan sebagai penunjang atas penggunaan hak dimaksud. Selain itu, definisi royalti juga meliputi hak untuk menggunakan film bioskop, atau film-film atau pita atau video rekaman yang digunakan untuk siaran radio atau siaran televisi.23

23

Rachmanto Surahmat, Berlaku P3B RI-Qatar,

Pengertian royalti tidak terdapat dalam undang-undang Hak Cipta, akan tetapi satu-satunya pengertian royalti yang diatur secara tegas secara yuridis adalah terdapat dalam Pasal 4 Surat Eedaran Nomor SE-58/PJ/2009 tentang PPH Royalti Dari Hasil Karya Sinematografi yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

(7)

Penghasilan yang diterima atau diperoleh pemegang hak cipta dari pemberian hak menggunakan hak cipta kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b dan huruf c, termasuk dalam pengertian royalti.

Berdasarkan Pasal dalam surat edaran tersebut royalti merupakan segala penghasilan yang diperoleh oleh pemegang hak cipta yang berasal dari pemanfaatan hasil Karya Sinematografi yang dilakukan melalui suatu perjanjian penggunaan hasil Karya Sinematografi, yaitu dengan memberikan hak menggunakan hak cipta hasil Karya Sinematografi kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya, dengan persyaratan tertentu seperti penggunaan Karya Sinematografi untuk jangka waktu atau wilayah tertentu. Pengertian Royalti juga termasuk penghasilan yang diperoleh dengan memberikan hak menggunakan hak cipta hasil Karya Sinematografi kepada pihak lain untuk mengumumkan ciptaannya dengan menggunakan pola bagi hasil antara pemegang hak cipta dan pengusaha bioskop.

Jadi dapat disimpulkan disini bahwa pengertian royalti tidak terdapat dalam UU Hak cipta, akan tetapi pengertian-pengertian tersebut dapat ditemukan di kamus hukum, pendapat pakar hak kekayaan intelektual dan Surat Eedaran Nomor SE-58/PJ/2009 dari Dirjen Pajak.

B. Sistem Pemberian Royalti Terhadap Penulis Buku

(8)

1. Sekilas Penerbit Madju

Penerbit Madju berdomisili usaha di Jl. Amaliun no. 37 Medan Sejak awal didirikan, Penerbit Madju konsisten dalam kiprahnya di dunia penerbitan, yakni fokus pada buku-buku pelajaran sekolah. Dalam perjalanannya kemudian, Penerbit Madju juga ikut berperan serta memenuhi kebutuhan buku di bidang lainnya, seperti sosial budaya, bahasa, dan teknik. Perusahaan berkomitmen untuk menerbitkan buku dengan kualitas yang bagus, dan seiring waktu buku-buku Penerbit Madju mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat. Peningkatan kualitas buku dilakukan baik dengan menyaring naskah para penulis lokal,. wHal tersebut sangat mendukung ketersediaan maupun kemudahan masyarakat untuk mendapatkan buku-buku terbitan Madju.24

1. Kelebihan penerbit Madju adalah Buku Madju telah memiliki Brand Name tersendiri di hati masyarakat.

Penulis Buku dengan Penerbit memiliki kedudukan setara; secara umum Penulis memandang Penerbit bertindak sebagai intermediary karya-karya yang akan disampaikan kepada masyarakat, sedangkan Penerbit memandang Penulis sebagai aset penting perusahaan yang menyebabkan proses penerbitan tetap berlangsung.

Kepentingan apa di balik dorongan untuk menulis? Menulis dapat meningkatkan kredit point (bagi pengajar), meningkatkan kredibilitas, dan pemenuhan finansial. Hal tersebut yang memotivasi penulis untuk menghasilkan suatu karya yang berkualitas.

2. Memiliki jaringan distribusi yang luas.

3. Memiliki mesin cetak sendiri sehingga hasil, kecepatan, dan kualitas dapat diatur dengan baik.

24

(9)

4. Memiliki sistem royalti yang jelas, jujur dan dapat dipertanggungjawabkan.25

Dengan sinergi kerja sama antara Penulis dengan Penerbit akan diperoleh hasil berupa penerimaan masyarakat terhadap buku terbitan Madju.

2. Bentuk Kerja Sama Penerbitan

Bentuk kerja sama penerbitan yang ditawarkan Penerbit Madju mencakup:26 1) Kerja sama Penerbit dengan Penulis. Merupakan kerja sama antara Penerbit dengan

Penulis secara individu untuk menerbitkan sebuah buku.

2) Kerja Sama Penerbit dengan Kelompok Penulis. Merupakan kerja sama antara Penerbit dengan beberapa Penulis sekaligus untuk menerbitkan sebuah buku. Dalam kerja sama ini, Penulis wajib menunjuk satu orang dengan pemberian surat kuasa, untuk bertanggung jawab terhadap segala urusan administratif maupun non administratif yang berkaitan dengan penerbitan.

3) Kerja sama Penerbit dengan Lembaga. Merupakan kerja sama antar Penerbit dengan sekelompok Penulis yang telah dikoordinasi oleh Lembaga/Institusi untuk menerbitkan sebuah buku. Dalam hal ini Penerbit hanya berhubungan dengan Lembaga/Institusi yang telah diberi kepercayaan oleh Penulis.

4) Kerja sama Umum, meliputi :

• Kerja sama cetak. Penerbit hanya membantu dalam jasa percetakannya, seperti

buku jurnal ilmiah dan sebagainya.

• Kerja sama cetak dan penerbitan, Penerbit bekerja sama dengan

Perorangan/Lembaga untuk me-nerbitkan sebuah buku dengan tanggungan biaya

25

Ibid.,

26

(10)

penerbitan bersama.

3. Prosedur Penerbitan Buku a. Materi yang Harus Dikirim

Penulis harus mengirimkan ke Penerbit naskah final, bukan outline ataupun draft, yang disertai:27

• Kata Pengantar Daftar Isi • Daftar Gambar

• Daftar Tabel

• Daftar Lampiran

• Isi

• Daftar Pustaka

• Indeks 1

• Abstrak (sinopsis)

• Memberi penjelasan mengenai: pasar sasaran yang dituju, prospek pasar,

manfaat setelah membaca buku ini.

• Profil penulis, memberi keterangan singkat tentang penulis.

b. Penilaian Naskah

Penerbit menilai naskah dari berbagai aspek, yakni :28

Apakah topik bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila, apakah topiknya akan

1) Aspek Ideologis

27

Ibid.,

28

(11)

meresahkan kondisi masyarakat seperti: politik, hankam, sara, sopan santun, harga diri, dll.

2) Aspek Keilmuan

• Apakah topik yang dibahas merupakan topik baru bagi masyarakat, dan apakah

masyarakat sudah siap menerima topik tersebut • Apakah naskah tersebut gagasan asli atau jiplakan

• Terkait dengan akurasi data maka diperlukan sumber daftar pustaka yang

Lengkap. 3) Aspek Penyajian

• Apakah sistematika kerangka pemikiran baik sehingga alur Logika pemaparan

mudah dipahami

• Bahasa yang digunakan apakah komunikatif sesuai dengan jenis naskah dan

sasaran pembaca

• Apakah cara penulisannya sudah benar, yaitu menggunakan tata bahasa dan ejaan

yang baku

• Kelengkapan naskah secara fisik seperti kata pengantar, daftar isi, pendahuluan,

batang tubuh, daftar gambar, tabel, lampiran, index, daftar pustaka, sinposis

• Pengetikan menggunakan media dan alat apa, apakah tulis tangan, diketik

manual, atau ketik komputer menggunakan software tertentu

• Mutu gambar, tabel dan objek lain yang dipasang (capture) apakah layak atau

masih harus diperbaiki lagi

• Apakah urusan perizinan penggunaan gambar tertentu, izin terjemahan, izin

(12)

4) Aspek Pemasaran

• Apakah tema naskah mempunyai pangsa pasar jelas dan luas sehingga buku akan

dapat dan mudah diterima pasar

• Apakah naskah memiliki selling point atau potensi jual tertentu, seperti judul,

keindahan, bahasa, kasus aktual, dsb

• Apakah ada buku sejenis yang beredar dan telah diterbitkan.

• Apa kelebihan naskah tersebut dibandingkan dengan buku lain

5) Aspek Reputasi Penulis

• Apakah penulis adalah tokoh, praktisi, dosen yang sangat diakui kepakarannya

oleh masyarakat luas

• Apakah buku-buku yang pernah diterbitkan mempunyai catatan keilmuan dan

pemasaran yang baik

6) Keputusan Menerima/Menolak Naskah

• Penerbit adalah suatu badan usaha yang bercita-cita mencerdaskan kehidupan

(13)

sejawat” bagi Penerbit.29

• Penilaian naskah bukan untuk menjatuhkan vonis naskah baik atau buruk, layak

terbit atau tidak. Langkah tersebut digunakan sebagai sarana untuk memperlancar proses penerbitan secara optimal.30

• Proses penilaian ini adalah proses standar penerbitan sehingga perlu ada

komunikasi yang baik antara Penerbit dan Penulis. Dengan demikian tidak ada salah-pengertian: bahwa Penerbit menganggap remeh Penulis atau Penulis merasa naskahnya sudah yang terbaik.31

Setelah Penulis menyerahkan naskah pada Penerbit, paling lambat 1 bulan, Penerbit memberikan keputusan melalui surat resmi kepada Penulis, apakah buku diterbitkan atau tidak. Untuk naskah yang diterima, Penerbit akan mengirim surat pemberitahuan resmi. Penulis wajib melengkapi kelengkapan naskah - softcopy.

Untuk naskah yang ditolak, naskah akan dikembalikan kepada Penulis bersama dengan surat pemberitahuan penolakan penerbitan.

4. Bentuk Royalti Penerbit Madju

Penerbit Madju memberikan royalti sebagai berikut: Besar royalti standar adalah berkisar antara 10% sampai 15% per semester atau 2 kali dalam satu tahun dihitung mulai tanggal terbit, dengan ketentuan sebagai berikut:

• Bagi penulis yang baru pertama kali memasukkan terbitannya ke Penerbit Madju,

berhak mendapat 10% dengan perhitungan:

29

Ibid.,

30

Ibid

31

(14)

10% x harga jual x oplah (potong pajak)

• Bagi penulis yang sudah minimal 3 kali atau lebih menerbitkan ke Penerbit Madju

serta mempunyai record pemasaran yang dinilai baik, berhak mendapat 15% dengan perhitungan: 15% x harga jual x oplah (potong pajak)

Mengingat Penerbit Madju memiliki bentuk kerja sama yang beragam pada saluran distribusi pemasaran, maka perhitungan royalti adalah berdasarkan buku yang benar-benar telah terbayar lunas, dengan demikian buku yang sifatnya konsinyasi atau kredit belum dianggap sebagai buku laku. Dalam hal ini Penerbit Madju akan selalu menjaga kejujuran dan kepercayaan bagi semua relasinya, ini semua karena nama baik sangat penting bagi Penerbit Madju.32

Contoh penghitungan royalti dalam bentuk lain secara sederhana digambarkan sebagi berikut :33

Nomor lepas adalah jumlah buku yang tidak ikut dihitung karena akan digunakan sebagai promosi, persembahan kepada penulis, arsip, dan lain sebagainya. Jumlah royalti 1. Oplah cetakan 1 : 5.000 eksemplar

2. Nomor lepas : 50 eksemplar

3. Royalti penulis : 10% x 4.950 x Rp. 30.500 = Rp. 15.097.500 4. PPH 23 : 15% x Rp. 15.097.500 = Rp. 2.2.64.625 5. Jumlah royalti yang akan diterima = Rp. 12.832.875 6. Uang muka royalti (netto) = Rp. 1.000.000

32

Ibid.,

33

(15)

yang akan diterima biasanya akan diberikan setiap 6 bulan sekali, sesuai dengan jumlah buku yang terjual.

(16)

BAB IV

Peran Penerbit Terhadap Pembajakan Buku

A. Penyebab Terjadinya Pembajakan Buku

Pembajakan buku dan pelanggaran hak cipta di Indonesia hingga saat ini masih marak terjadi. Menurut Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Setia Dharma Madjid, pelanggaran hak cipta yang terjadi sebenarnya karena beberapa aspek, seperti aspek filosofi, masalah sosial budaya, dan penegakan hukum. Masalah maraknya fotokopi yang lazim dilakukan kalangan luas untuk keperluan pendidikan atau penelitian telah menjadi hal yang biasa. Hal tersebut mungkin belum adanya pemahaman mengenai pentingnya penegakan hukum dan perlindungan hak cipta untuk masa depan bangsa. Di beberapa negara pembayaran royalti kepada penulis dan penerbit atas beberapa bagian dari bukunya yang difotokopi sudah lama dilaksanakan. Hal ini dikenal sebagai hak reproduksi atau yang dalam bahasa Inggris disebut reproduction right (RR). Di beberapa negara yang telah melaksanakan hak reproduksi yang dioganisasi oleh RRO, pelaksanaannya melibatkan pihak kampus, akademi, penulis, dan perpustakaan. Hal ini dilakukan mengingat tidak mungkin individu yang memfotokopi sebagian tulisan seorang penulis melakukan transaksi dengan RRO. Kalangan kampus, pustakawan, pengarang, dan penerbit sangat berperan menyukseskan hak reproduksi ini. Di Indonesia, lembaga semacam ini belum terbentuk.34

34

Suprianto, Implementasi Undang-undang Hak Cipta terhadap Pembajakan Buku, Wijaya Kusuma, Surabaya, 2003, h. 36

(17)

Lemahnya sistem hukum di Indonesia mengakibatkan semakin tertinggalnya Indonesia dalam perlindungan yang menyeluruh terhadap seluruh aspek hak cipta terutama buku. Sebelum membahas tentang faktor-faktor yang menyababkan terjadinya pembajakan buku maka terlebih dahulu kita harus memahami hal-hal yang berkaitan dengan penerbitan sebuah buku. Ditempatkannya buku sebagai ciptaan yang dilindungi, terutama karena selain untuuk memenuhi keinginan yang kuat untuk mencerdaskan bangsa seperti yang dicantumkan dalam mukadimah UUD 1945 terkait adanya 4 fungsi positif yang terdapat dalam buku :35

(1) Buku sebagai media atau perantara

Artinya buku dapat menjadi latar belakang bagi kita atau pendorong untuk melakukan sesuatu.

(2) Buku sebagai milik

Disini dimaksudkan bahwa buku adalah kekayaan yang sangat berharga. (3) Buku sebagai pencipta suasana

Berarti buku setiap saat dapat menjadi teman dalam situasi apapun. Buku dapat menciptakan suasana akrab hingga mampu mempengaruhi perubahan dan karakter seseorang menjadi baik.

(4) Buku sebagai sumber kreatifitas

Dengan banyak membaca buku dapat mendorong kreatifitas yang kaya gagasan dan kreatifitas biasanya memiliki wawasan yang luas. Sudah umum diketahui bahwa salah satu faktor sumber daya manusia berkualitas dapat wawasan yang luas dapat dicapai dengan banyak membaca.

35

(18)

Sehingga dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa peran buku sangat penting dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa maka tidak berlebihan kita sangat berharap masih adanya kepedulian dari beberapa pihak yang ikut peran dalam rangka mencapai tujuan tersebut.

Sejalan dengan hal tersebut perkembangan dunia dan kesadaran akan pentingnya informasi dan perkembangan pengetahuan, kebutuhan masyarakat terhadap buku tidak terbendung lagi. Hal ini berarti membuka peluang bisnis penerbitan yang cukup menggiurkan. Penerbitan buku menjanjikan keuntungan yang cukup besar. Sedangkan kebutuhan buku tak pernah tertuntaskan.36

Menurut penelitian A. Ridwan Hakim ada 14 faktor penyebab terjadinya pembajakan buku

Saat bisnis penerbitan buku menjamur sedangkan kebutuhan masyarakat akan menjamur sedangkan kebutuhan akan buku tak pernah dituntaskan, tumbuh pula suatu komoditas komersial lain yaitu fenomena pembajakan buku. Di negara kita pembajakan buku sudah berlangsung sejak tahun 1966 sampai sekarang terus berlangsung dan belum ditemukan suatu cara yang cerdas untuk mendapatkan tentang solusinya.

37

1. Atas desakan kebutuhan ekonomi, keinginan untuk mendapatkan uang secara mudah.

:

2. Adanya kebiasaan orang untuk menonjolkan atau meninggikan dirinya dengan maksud untuk menutupi kelemahannya.

3. Adanya keadaan perbandingan yang tidak sehat dalam diri orang itu antara ambisinya yang demikian besar untuk berkarya dan kemampuan atau mencapai ambisinya.

36

Tjahjono Widarmanto, Buku Bajakan, Benalu yang Dicari, Artikel Jawa Pos, Minggu 13 Juli 2003, h. 6.

37

(19)

4. Adanya komplikasi atau campuran antara ketidakmampuan yang cukup untuk bisa berkarya secara memadai dan ketidakjujuran yang mewarnai sifat orang yang menjadi pembajak itu.

5. Adanya kelalaian baik yang disengaja atau tidak disengaja dalam kode etik penulisan yakni setiap kutipan harus disebutkan sumbernya.

6. Adanya perasaan aman bagi si pembajak bahwa perbuatannya tidak diketahui. 7. Adanya perasaan kebal hukum dari si pembajak

8. Kasus-kasus pembajakan condong diselesaikan secara perdata daripada pidana. 9. Kurangnya kemauan dari si pengarang untuk mengusut pembajakan, karena ia

sendiri sibuk dengan urusannya.

10.Buku yang dijadikan sasaran pembajakan ialah buku lama yang sudah tidak ada lagi dalam peredaran dan pengarangnya/ penerbit tidak diketahui.

11.Adanya keadaan kehabisan bahan yang bersamaan judul produksi.

12.Adanya pwmbajakan yang terorganisir rapi sehingga sulit untuk mengetahuinya. 13.Di dalam buku yang dibajak itu sendirijuga terdapat kutipan-kutipan dari sumber

lain lagi yang tidak disebutkan sumbernya.

14.Adanya kelemahan pertahanan pengarang dan penerbit yang diketahui pembajak untuk memperbesar aktivitasnya.

Faktor-faktor di atas yang diungkapkan A Ridwan Hakim hanya sebagian kecil dari penyebab terjadinya pembajakan buku. Dari pendapat yang diungkapkan di atas maka penulis menarik kesimpulan bahwa faktor penyebab terjadinya pembajakan buku dapat dispesifikkan lagi menjadi beberapa faktor, yakni :

1. Faktor Ekonomi

Alasan ini sangat tepat karena melihat kenyataan bahwa harga buku resmi dari penerbit cukup mahal, hal ini sangat memberatkan konsumen. karena konsumen terbesar buku adalah kaum terpelajar. Penikmat buku ini kebanyakan adalah para mahasiswa atau pelajar yang kemampuan ekonominya sangat terbatas sehingga daya belinya lemah. Padahal buku tersebut hal yang pokok bagi mahasiswa atau pelajar. Untuk mengatasi hal tersebut biasanya mereka mencari ke pasar loak yang sudah setengah pakai. Yang menjadi masalah adalah buku yang dicari itu belum tentu ada di pasar loak karena buku tersebut baru terbit. 38

38

(20)

Dalam situasi yang demikian, hal ini oleh para pedagang yang bermata jeli dengan ingin menarik keuntungan yang besar akan memanfaatkan situasi yang demikian yaitu dengan cara ilegal yakni pembajakan yang akan menjual buku sangat murah terhadap buku yang sedang dicari oleh masyarakat atau terhadap buku-buku yang menjadi best seller.

Hal ersebut disebuti ilegal karena dalam hal ini ia membajak buku tersebut karena ia tidak meminta izin kepada pemegang atau kepada pemegang hak cipta yaitu penerbit. Dengan cara demikian maka si pembajak tidak perlu membayar royalti, pajak dan lain-lain, dan biasanya harga buku-buku bajakan ini jauh dari harga resemi.hal ini tntu sangat menguntungkan bagi penikmat buku yang kebanyakan kemampuan ekonominya sangat terbatas disamping itu juga merugikan baik penerbit atau pemegang karena investasi yang mereka lakukan belum mencukupi untuk mengembalikan modal yang mereka investasikan.

2. Faktor Kemajuan Teknologi

(21)

membedakan hanyalah orang yang sudah berkecimpung dalam dunia penerbita/ cetak mencetak dan lagi pula bagi orang awam hal itu tidaklah menjadi masalah apakah buku yang mereka beli itu asli atau bajakan yang penting bukunya bagus, murah, sehingga dapat terjangkau oleh ukuran kantongnya.39

3. Faktor Distribusi yang Tidak Merata

Dalam hal ini berkaitan dengan dua hal yaitu jauhnya pasar dan penerbit buku yang dibutuhkan dan terbatasnya persediaan buku tertentu di pasaran. Pada umumnya penerbit-penerbit besar tinggal di kota besar, sehingga sudah barang tentu para penerbit akan berusaha semaksimal mungkin untuk merebut pasar dari buku yag diterbitkannya tidak saja untuk daerah tertentu saja melainkan keseluruh pelosok tanah air. Apabila ia sudah berhasil menguasai pasar, maka pendistribusian buku tersebut ke daerah-daerah harus segera ditangani dengan cepat, kalu tidak maka pembajak buku tersebut sudah hampir dapat dipastikan akan berjalan dengan subur. Sedangkan jauhnya pasar tempat konsumen membeli buku yang diterbitkan jauh dari penerbit mengakibatkan membuka peluang untuk jalan pintas ilegal untuk masuknya buku bajakan dan terbatasnya jumlah buku yang beredar di pasaran mengakibatkan permintaan pasar tidak dapat dipenuhi dengan cepat. Maka peluang ini dibaca oleh penerbit gelap yang ingin meraup keuntungan besar untuk segera mungkin membajaknya karena mereka tidak harus mengeluarkan biaya operasional yang tinggi. Mereka tidak perlu memikirkan dan memikul royalti, proses editing ataupun promosi. Sehingga dalam situasi yang

39

(22)

demikian tentunya konsumen akan berpaling ke buku bajakan untuk memenuhi kebutuhan akan buku tersebut.40

4. Faktor Penghormatan terhadap Intelektual Rights (Hak Cipta) Masih Rendah Walaupun pemerintah telah berupaya untuk menciptakan Undang-undang Hak Cipta untuk menutup peluang atas pelanggaran hak cipta dan pembajakan khsususnya buku, upaya ini belum efektif. Sanksi pidana yang sebenarnya cukup berat seperti tercantum dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 pasal 72 ayat (2) yang menyebutkan bahwa :

Barang siapa dengan sengaja menyiarkan; memamerkan; mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

Selain ancaman pidana dan denda yang besar dalam Undang-undang Hak Cipta yang terbaru ini menganut delik biasa artinya bahwa pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum harus bisa bertindak tanpa adanya laporan/ aduan dari pihak yang dirugikan. Hal ini juga diperparah dengan kurang seriusnya penegak hukum, padahal untuk VCD dan kaset bajakan pemerintah sudah melakukan penertiban, tetapi untuk pembajakan buku terkesan aparat masih belum melakukan tindakan yang signifikasn dalam hal memberantas pembajakan buku. Selain itu masalah lain dalam praktek pembajak adalah rapinya jaringan pembajak buku sehingga sulit menemukan jejak si pembajak buku atau pelanggar hak cipta,

40

(23)

karena jejaknya sedemikian rapi, yang kelihatannya hanyalah hasil bajakannya yang beredar di dalam masyarakat.41

Masalah hak cipta muncul berkaitan dengan masalah liberalisasi ekonomi di satu pihak dan masalah kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia di pihak lain. Kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia masih dalam masa transisi industrial yang belum semuanya mengerti dan memahami masalah hak cipta yang sebelumnya tidak dikenal. Masyarakat transisi industrial digambarkan sebagai masyarakat yang sedang mengalami perubahan dari masyarakat agraris yang bercorak komunal-tradisional ke masyarakat industri yang bercorak individual modern. Perubahan ini berkaitan dengan struktur hubungan masyarakat yang belum tuntas ke corak yang lebih rasional dan komersial sebagai akibat dari proses pembangunan yang dilakukan.42

Law enforcement rezim hak cipta di Indonesia sangat memprihatinkan. Pengetahuan hukum dan kesadaran hukum masyarakat di bidang hak cipta dapat dikatakan masih rendah. Hal ini bisa dilihat dari masih sedikitnya masyarakat pencipta yang mendaftarkan haknya ke kantor Hak Cipta untuk mendapatkan perlindungan hukum terhadap pelanggaran hak cipta. Di samping itu juga masih banyak didapati pelanggaran hak cipta. Mereka bukan tidak tahu atau tidak paham bahwa memperjualbelikan barang bajakan adalah melanggar hukum. Sebagian masyarakat masih tergiur barang murah meriah tanpa memperdulikan bahwa

41

Ibid., hal. 44

42

(24)

barang itu bajakan atau bukan.43

Hukum pidana mempunyai objek penggarapan mengenai perbuatan melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi ataupun perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi. Mahadi mengartikan penegakan hukum sebagai hal menegakkan atau mempertahankan hukum oleh para penegak hukum apabila telah terjadi pelanggaran hukum atau diduga hukum akan atau mungkin dilanggar. Secara mudah dapat dikatakan bahwa penegakan hukum itu suatu sistem aksi atau sistem proses.

Banyak masyarakat masih beranggapan bahwa pelanggaran hak cipta adalah urusan pejabat penegak hukum semata-mata. Anggapan seperti itu perlu diubah supaya budaya enggan untuk melapor dapat menjadi budaya berperan aktif, untuk mengurangi sekecil mungkin ruang gerak pelaku tindak pidana hak cipta. Etika profesi dari kalangan masyarakat ilmuan juga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap penegakan hukum. Melenturnya etika mengakibatkan dengan mudahnya orang untuk meniru hasil karya cipta orang lain tanpa seizin pencipta atau pemegang hak cipta. Juga mengenai bajak membajak hasil karya cipta orang lain dilakukan tanpa beban, hanya untuk mendapatkan materi yang banyak tanpa mau bersusah payah mengeluarkan tenaga dan waktu.

5. Adanya Oknum yang Melindungi Si Pembajak Buku yang Dituju

44

43

Anonim, http://www.google.com Jawa Pos. 1 Agustus 2003 Tak Menjamin Bebas Barang Bajakan: Pemberlakuan UU Hak Cipta, diakses 21 Agustus 2010

44

Insan Budi Maulana, Ridwan Khairandy, Nurjihad, Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual I

(Jakarta: Yayasan Klinik HAKI, 2000) h. 201

(25)

Undang-undang Hak Cipta.45 Ketua Tim PMPB (Penanggulangan Masalah Pembajakan Buku) IKAPI DKI, mengatakan bahwa pembajakan buku yang masih terus berlangsung membuat antusiasme penerbit untuk meluncurkan buku teks baru berkurang. Pasalnya, baru satu minggu diterbitkan, buku-buku bajakan sudah beredar di pasaran dengan leluasanya.46 Terungkapnya tindak pembajakan buku umumnya dari laporan masyarakat. Namun, kendala yang sering dihadapi justru datang dari petugas kepolisian yang meminta berbagai macam persyaratan seperti hak paten, saksi ahli, dan sebagainya. Sering kali pula rencana penggrebekan bocor atau di lapangan mereka menghadapi oknum yang melindungi si pembajak buku yang dituju.47

45

Ibid, hal. 205.

46

Kompas, Pembajakan Merajalela, Penerbit Kini Tak Lagi Antusias Terbitkan Buku Teks, Senin, 5 Maret 2007, Medan, hal. 15

47

Ibid

(26)

lagi. Sikap diam dan tidak melapor tersebut dianggap sebagai tindakan yang mendukung atau melindungi pelanggaran hak cipta atas pembajakan buku. Perubahan delik aduan menjadi delik biasa tentu saja menambah kuantitas pekerjaan aparat. Mengenai perubahan ini masih belum diketahui atau mendapat pemahaman secara merata di kalangan aparat. Mungkin saja mereka beranggapan bahwa pelanggaran hak cipta itu masih tetap delik aduan mengingat sifat delik itu lebih banyak mengarah ke privat. Mengenai hal ini berbeda dengan pendapat Dr. Rizali Nasution (Ketua IKAPI cabang Sumatera Utara), beliau mengatakan bahwa aparat penegak hukum telah mengetahui mengenai perubahan ini dan sudah mengerti akan adanya Hak Cipta, namun aparat kurang tertarik untuk mengangkat dan menyelesaikan masalah pelanggaran hak cipta khususnya atas pembajakan buku.48 Kemampuan (skill) yang dimiliki aparat penegak hukum berkaitan dengan penyidikan hak cipta juga masih rendah. Mengingat delik ini sulit untuk dideteksi, dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan terorganisir, serta dilakukan dengan menggunakan peralatan canggih sehingga sulit membedakan mana karya cipta yang asli dan mana karya cipta palsu. Antara keduanya hampir tidak terdapat perbedaan, bahkan kadang-kadang tidak tertutup kemungkinan karya cipta yang palsu justru menampakkan diri lebih sempurna dibandingkan dengan karya cipta yang asli.49

Pertambahan penduduk yang meningkat juga mempunyai peranan dalam memberi 6. Lemahnya Sistem Pengawasan dan Pemantauan

48

Titin Hutagalung, Peranan Ikapi dalam Penanggulangan Hak Cipta Atas Pembajakan Buku, USU, Medan, 2007, hal. 42

49

(27)

peluang terhadap pelanggaran hak cipta dalam hal pembajakan buku, secara teknis dengan meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial sekarang ini tentu menyebabkan banyaknya tindak pidana yang terjadi terutama tindak pidana hak cipta, sehingga kepolisian menjadi kaku karena dimana-mana banyak terjadi tindak pidana dan ditambah lagi kurangnya aparat penegak hukum dalam hal pengawasan dan pemantauan terhadap segala bentuk kejahatan yang terjadi dalam masyarakat. Serta dalam hal letak geografis juga mempengaruhi kinerja dari aparat kepolisian dalam pengawasan serta pencegahan dan penanggulangan terjadinya suatu tindak pidana karena suatu tindak pidana dapat terjadi dimana saja dan kapan saja sehingga dalam hal ini Kepolisian dalam pengawasan tindak pidana menjadi terhambat disebabkan oleh letak geografis. Di samping itu dengan kemajuan teknologi dan kemudahan mendapat peralatan-peralatan canggih untuk pembajakan buku, secara mekanik praktek pembajakan buku dapat berlangsung dengan biaya yang murah dan dalam waktu yang singkat dan dapat dilakukan dimana saja. Dalam memperbanyak/membajak buku dengan hasil yang baik dalam waktu yang singkat, hampir tidak diperlukan suatu keahlian yang sangat khusus sehingga setiap orang dapat melakukan pembajakan.50

Dengan kata lain faktor penyebab terjadinya tindak pidana hak cipta adalah karena peluangnya lebih banyak dan memberikan keuntungan yang tidak kecil, dan masih lemahnya sistem pengawasan dan pemantauan tindak pidana hak cipta

50

(28)

disebabkan kurangnya sarana dan prasarana serta kurangnya aparat penegak hukum. Upaya pencegahan dan penindakan terhadap pelaku pembajakan belum mampu menangkal para pembajak untuk menjadi jera.51

Dari faktor-faktor di atas maka penulis menarik kesimpulan bahwa akibat pembajakan tersebut sangat merugikan berbagai pihak mulai penerbit, penulis, pemerintah, editor, sampai para distributor sehingga ada perumpamaan bahwa buku bajakan itu adalah benalu yang menempel pada penerbit dan penulis.52

Hukum merupakan sarana yang di dalamnya terkandung nilai-nilai atau konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran, kemanfaatan sosial dan sebagainya. Kandungan hukum ini bersifat abstrak. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum pada hakekatnya merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep yang abstrak itu. Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi Disisi lain buku bajakan ini jelas dicaci maki, dihujat oleh para penerbit dan penulis karena sangat dirugikan secara ekonomis dan dilecehkan hak intelektualnya,. Namun disisi lain, buku bajakan dianggap sebuah berkah bagi konsumen tertentu, dengan kata lain buku bajakan sangat dicari dipasaran oleh para konsumen, utamanya para mahasiswa dan para pelajar yang kondisi ekonominya pas-pasan. Sehingga tentunya kehadiran buku bajakan tak boleh ditoleransi begitu saja. Perlu adanya upaya efektif untuk menanggulangi atau minimal membatasi jumlah peredarannya yang ada di dalam masyarakat.

2. Peran Penerbit Dalam Mengatasi Permasalahan Pembajakan Buku

51

Ibid

52

(29)

kenyataan. Soerjono Soekanto mengatakan bahwa penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan nilai yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan (sebagai social engineering), memelihara dan mempertahankan (sebagai social control) kedamaian pergaulan hidup. Penegakan hukum secara konkret adalah berlakunya hukum positif dalam praktik sebagaimana seharusnya patut ditaati. Oleh karena itu, memberikan keadilan dalam suatu perkara berarti memutuskan perkara dengan menerapkan hukum dan menemukan hukum in concreto dalam mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal.53

Jika hakikat penegakan hukum itu mewujudkan nilai-nilai atau kaidahkaidah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan hanya menjadi tugas dari para penegak hukum yang sudah dikenal secara konvensional, tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Tugas penegakan hukum tidak hanya diletakkan di pundak polisi. Penegakan hukum merupakan tugas dari semua subjek hukum dalam masyarakat. Meskipun demikian, dalam kaitannya dengan hukum publik, pihak pemerintahlah yang paling bertanggung jawab melakukan penegakan hukum.54

Dalam permasalahan pembajakan buku ini, penerbit juga wajib untuk melakukan Begitu pula dengan mengatasi permasalahan pembajakan buku, maka yang bisa dilakukan oleh penerbit adalah :

a. Melakukan Penarikan Buku Dari Peredaran

53

Titin Hutagalung, Op.Cit., hal. 43

54

(30)

inisiatif sendiri yakni jika dirasa terlalu banyaknya pembajakan yang terjadi di masyarakat maka penerbit bisa melakukan penarikan sendiri buku-buku hasil terbitannya. Hal ini dilakukan oleh penerbit dikarenakan aparat penegak hukum tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Aparat dinilai lambat dalam menangani dan mengambil tindakan atas terjadinya pembajakan buku, sehingga dikhawatirkan buku-buku hasil bajakan akan semakin banyak beredar dan kerugian yang ditanggung oleh penerbit atau kerugian negara akan bertambah. Memberantas pembajakan buku merupakan pekerjaan yang tidak mudah karena pembajak-pembajak menciptakan benda yang dibajak hampir sama (mirip) dengan yang asli dan tidak sembarang orang yang dapat menentukan, asli atau bajakan. Penerbit harus berani menarik sendiri buku-buku hasil terbitannya karena penerbit mengetahui berapa eksemplar buku yang dicetaknya dan kemana dia mendistribusikannya. Jadi ketika penerbit menemukan buku di salah satu toko buku dimana dia tidak mendistribusikannya maka ia dapat menduga buku tersebut adalah hasil bajakan. Penarikan buku-buku tersebut dilakukan agar kerugian yang diderita penerbit tidak semakin besar.55

b. Penerbit harus bekerja sama dengan instansi-instansi Pemerintah atau LSM-LSM yang peduli mengenai masalah pembajakan hak cipta dengan cara mensosialisasikan dengan masyarakat tentang pentingnya Hak Cipta. Hal ini membutuhkan waktu yang cukup panjang dan juga kerja keras. Dengan mempromosikan perlindungan terhadap hak cipta kepada anggota dan masyarakat diharapkan pelanggaran hak cipta dapat dikurangi bahkan tidak terjadi lagi. Pihak

55

(31)

konsumen/masyarakat, diharapkan agar tidak membeli atau menyewa atas suatu hasil ciptaan yang berasal dari bajakan. Upaya meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap tindak pidana hak cipta, berikut permasalahannya, merupakan hal utama yang harus ditanamkan melalui penyuluhan/penerangan hukum hak cipta secara persuasif dan kontinu.56 Pemberian penyuluhan dan bimbingan kepada masyarakat merupakan salah satu hal yang dilakukan IKAPI untuk menanggulangi pembajakan buku. Sedang penyuluhan/bimbingan kepada pencipta tentang hak cipta, telah digariskan oleh Undang-undang Hak Cipta ini, dilakukan oleh Dewan Hak Cipta.57

Operasi pasar dan penggerebekan perusahaan percetakan, meski harus dilakukan, tampaknya tidak akan efektif menghentikan praktik pembajakan buku. Perlu Keberadaan buku bajakan memang menjadi dilema. Masyarakat, yang relatif daya belinya masih lemah praktis akan 'diuntungkan' karena dapat memperoleh buku dengan harga yang jauh lebih murah. Repotnya lagi, para pembeli buku bajakan umumnya sadar jika perbuatannya merupakan pelanggaran hukum serta merugikan penulis dan penerbit.

Seperti misalnya mahasiswa khususnya mahasiswa hukum. Mereka bukan tidak tahu akan adanya perlindungan yang diberikan atas karya cipta buku, namun karena harga buku yang sangat mahal membuat mereka lebih memilih membeli buku yang murah yang tidak lain merupakan hasil bajakan, atau setidaknya mem-fotokopi buku tersebut yang harganya menjadi relatif lebih murah.

56

Widyopramono, Tindak Pidana Hak Cipta, Analisis dan Penyelesaiannya, Sinar Grafika, 1991, Jakarta, hal. 37

57

(32)

sosialisasi terus menerus untuk membangun kesadaran masyarakat. Hal yang lebih penting lagi tentunya menciptakan tata niaga yang tepat agar harga buku dapat terjangkau oleh masyarakat.

c. Melakukan Pengawasan terhadap Penerbit Lain

(33)

dalam menangani apabila ada pembajakan buku.58

Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) didirikan tanggal 17 Mei 1950 di Jakarta atas prakarsa dan kesepakatan beberapa penerbit nasional ketika itu. IKAPI pada awalnya bernama IKAPENA (Ikatan Penerbit Nasional) yang pertama kali berdiri di Kotamadya Medan. Kemudian IKAPENA meleburkan diri dan menj adi IKAPI. Selain didorong semangat untuk menggantikan posisi penerbit asing, khususnya Belanda, yang masih memonopoli kegiatan penerbitan buku di tanah air, lahirnya IKAPI juga dijiwai hasrat yang besar untuk membantu pemerintah dalam membangun masyarakat Indonesia yang cerdas. Jika pada waktu lahirnya IKAPI hanya beranggotakan 13 penerbit, maka jumlah anggota IKAPI kini mencapai ± 793 penerbit yang tersebar di seluruh Indonesia. Dalam perjalanan sejarahnya, IKAPI tetap eksis sebagai satu-satunya organisasi penerbit buku, yang mampu memperjuangkan dan melayani berbagai kepentingan para anggotanya. Pusat kegiatan IKAPI berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia, sedangkan cabang-cabang dan perwakilan organisasi ini berkedudukan di ibukota tiap-tiap propinsi. IKAPI kini memiliki 20 (dua puluh) IKAPI daerah cabang, masing-masing DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, Nangroe Aceh Darussalam, Lampung, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Banten. Organisasi ini bertujuan meningkatkan d. Bekerja Sama Dengan IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia)

58

(34)

fungsi dan peranan buku dalam kehidupan masyarakat dan memajukan usaha penerbitan buku sebagai upaya ikut serta secara aktif mencerdaskan kehidupan. Untuk mencapai tujuan tersebut organisasi melakukan kegiatan usaha59

1) Meningkatkan kualitas dan kuantitas penerbitan buku.

:

2) Memperjuangkan kepentingan anggota organisasi dan dunia penerbitan buku. 3) Membina kerjasama dengan semua pihak yang berhubungan dengan dunia

penerbitan buku baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

4) Memprakarsai dan mendorong kegiatan perbukuan nasional dan internasional. 5) Mengadakan kegiatan dan usaha lain yang sah dan tidak bertentangan dengan

asas dan tujuan organisasi.

Dalam menanggulangi pelanggaran hak cipta atas pembajakan buku, IKAPI mempunyai tim yang bertugas untuk mencari ada tidaknya tindak pidana pembajakan buku. Tim ini disebut dengan Tim Penanggulangan Masalah Pembajakan Buku (PMPB) IKAPI. IKAPI tidak hanya melindungi penerbit yang menjadi anggota saja akan tetapi seluruh penerbit, karena pada dasarnya IKAPI melindungi penerbit dari pelanggaran pembajakan buku termasuk yang tidak menjadi anggota. Peran IKAPI dalam hal mendorong kemajuan dunia perbukuan di Indonesia, menjadi jembatan dari seluruh penerbit, berkaitan dengan persoalan copyright (hak cipta), tata niaga buku, termasuk dalam melakukan kritik terhadap RUU Perbukuan sampai saat ini belum kelihatan gerakannya.60

59

http://www.ikapi.org diakses 20 Agustus 2010

60

Titin Hutagalung, Op.Cit, hal. 62.

(35)
(36)

dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh apabila bukubuku bajakan tersebut laku terjual.61

Tanggal 28 Februari 2007 Tim Penanggulangan Masalah Pembajakan Buku dan Polsek Pondok Gede berhasil membongkar pusat produksi buku bajakan berskala besar di bilangan Pondok Gede, Bekasi. Penggerebekan percetakan buku bajakan itu berawal dari informasi masyarakat. Setelah mendapat info dari salah seorang warga, IKAPI langsung melapor ke Polsek Pondok Gede. Operasi lalu dilakukan secara hati-hati karena dalam beberapa kejadian sebelumnya sering kali rencana penggerebekan bocor sebelumnya dan yang ditemukan hanyalah rumah kosong. Pada penggerebekan tersebut diamankan juga sekitar 7.500 unit buku dari berbagai penerbit. Buku bajakan yang berhasil ditemukan antara lain Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, Kamus Indonesia Inggris dan f. Kerjasama dengan Aparat Kepolisian

Dengan bekersama dengan IKAPI maka secara otomatis IKAPI akan melakukan Kerjasama dengan aparat Kepolisian. Kerja sama ini tidak diatur berdasarkan perjanjian. Kerjasama disini sama halnya dengan kerjasama aparat dalam pelanggaran lainnya, tidak perlu adanya perjanjian tertulis. Kasus pelanggaran hak cipta kadang dianggap sebagai pelanggaran yang kurang menarik untuk diselidiki khususnya pembajakan buku. Ada anggapan bahwa pembajakan buku adalah kasus antara penerbit dan pembajak saja, dalam arti bersifat individu, lain halnya dengan kasus pembajakan VCD atau CD yang lebih menarik untuk diselidiki.

61

(37)

Kamus Inggris Indonesia, keduanya terbitan Gramedia, dan Ilmu Kesehatan Anak terbitan Fakultas Kedokteran UI. Berikutnya adalah Pengantar Akuntansi dan Pengantar Bisnis, keduanya terbitan Salemba 4, Basic English Grammar (Pearson Logman) serta Toefl Preparation dan Accounting Principle. Keduanya terbitan Wealey.62

62

Anonim, http://www.google.com, Tri Dirgantara Pamenan (Buku Bajakan, Dilema yang Harus Diakhiri) diakses 21 Agustus 2010

(38)

pengadilan maka biaya yang ditimbulkan akan lebih besar. Jika seandainya kasus ini sampai ke pengadilan maka IKAPI berperan dalam hal menyediakan saksi ahli. 63

a. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; Dari kasus diatas dapat diketahui, kerjasama yang dilakukan IKAPI dengan aparat kepolisian adalah memberikan informasi yang kebanyakan diperoleh dari masyarakat kemudian bersama-sama melakukan penyelidikan dan penggerebekan.

Dengan adanya ketentuan mengenai penyidikan tindak pidana di bidang hak cipta, akan memudahkan penindakan pelanggaran hak cipta. Penambahan ketentuan baru ini dipandang perlu, karena pelanggaran terhadap hak cipta bersifat khusus. Penyidikan terhadap pelanggaran hak cipta selain dilaksanakan oleh penyidik dari kepolisian, juga dapat dilaksanakan oleh penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Penyidik yang berasal dari Polisi Negara Republik Indonesia melakukan tugas dan wewenang sesuai dengan ketentuan Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Tugas dan wewenang itu meliputi:

b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;

g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara;

i. mengadakan penghentian penyidikan;

j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Tugas penyidikan yang dimaksudkan oleh ketentuan Undang-undang Nomor 8

63

(39)

Tahun 1981 tersebut, bersifat umum, artinya untuk seluruh jenis tindak pidana termasuk pembajakan buku. Di jajaran Kepolisian Daerah Sumatera jarang terdengar adanya perkara-perkara seperti pelanggaran hak cipta atas pembajakan buku. Padahal menurut Undang-undang Hak Cipta Indonesia, polisilah yang menjadi aparat terdepan untuk membentengi kejahatan hak cipta setelah dirumuskan pelanggaran hak cipta sebagai delik biasa.64

(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan Hak Kekayaan Intelektual diberi wewenang khusus sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Hak Cipta.

Ketentuan mengenai penyidikan tindak pidana hak cipta lebih rinci diatur dalam Pasal 71 Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002, yang mengatur: Pasal 71

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Hak Cipta;

b. melakukan pemeriksaan terhadap pihak atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang Hak Cipta;

c. meminta keterangan dari pihak atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang Hak Cipta;

64

(40)

d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang Hak Cipta;

e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain;

f. melakukan penyitaan bersama-sama dengan pihak Kepolisian terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang Hak Cipta; dan

g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Hak Cipta.

(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Sekalipun Penyidik PPNS di lingkungan departemen yang lingkup dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan di bidang hak cipta diberi wewenang khusus sebagai Penyidik, tetapi hal itu tidak meniadakan fungsi Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sebagai Penyidik Utama. Dengan kata lain, penyidikan perkara tindak pidana di bidang lingkungan hidup, dapat dilakukan oleh Penyidik PPNS dan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

(41)

Republik Indonesia memberikan petunjuk yang bersifat teknis mengenai bentuk dan isi berita acara dan sekaligus meneliti kebenaran materiil isi berita acara penyidikan tersebut. Setelah penyidikan selesai, hasil penyidikan tersebut diserahkan kepada penyidik Pejabat Polisi Republik Indonesia, yang selanjutnya wajib segera menyampaikan hasil penyelidikan tersebut kepada Penuntut Umum.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 107 ayat (3) KUHAP, menurut Pasal 71 ayat (3) Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002, hasil dari penyidikan perkara tindak pidana di bidang hak cipta yang dilakukan oleh PPNS tersebut disampaikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Pengertian kata melalui pada ayat (3) Pasal 71 ini tidak harus diartikan bahwa Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dapat atau perlu melakukan penyidikan ulang. Sebab, secara teknis bimbingan penyidikan ataupun pemberkasan hasil penyidikan pada dasarnya telah diberikan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia pada saat atau selama PPNS melaksanakan penyidikannya. Dengan demikian, prinsip kecepatan dan efektivitas seperti yang dikehendaki KUHAP dapat benar-benar terwujud.65

PPNS di bidang hak cipta tersebut hanya dapat melakukan penyidikan setelah mendapatkan surat perintah tugas penyidikan dari kepala kantor wilayah Departemen Kehakiman. Meskipun PPNS tersebut memiliki kewenangan tertentu, dia tidak boleh melakukan penangkapan atau penahanan, kecuali jika si pelanggar tertangkap tangan, maka penyidik tersebut boleh menangkap tersangka tanpa surat perintah dan segera

65

(42)

menyerahkannya kepada penyidik dari kepolisian.66

66

Ibid. hal. 178-179

(43)

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian yang telah disebutkan dalam pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa :

1. Bahwa perlindungan yang diberikan oleh Undang-undang Hak Cipta kepada penulis dan hasil karyanya atas terjadinya pembajakan buku adalah bahwa jika penulis itu dirugikan mereka mereka bisa mengajukan gugatan atas kerugian yang diderita, selain itu tidak menghalangi hak pemerintah untuk melakukan tuntutan pidana. Jadi dalam arti hukuman bagi pelanggar hak cipta bersifat komulatif.

2. Rata-rata royalti yang diterima Penerbit adalah relatif dan tergantung perjanjian. Sebagai gambaran, Penerbit Madju memberikan royalti sebagai berikut: Besar royalti standar adalah berkisar antara 10% sampai 15% per semester atau 2 kali dalam satu tahun dihitung mulai tanggal terbit, dengan ketentuan sebagai berikut:

• Bagi penulis yang baru pertama kali memasukkan terbitannya ke Penerbit Madju,

berhak mendapat 10% dengan perhitungan: 10% x harga jual x oplah (potong pajak)

• Bagi penulis yang sudah minimal 3 kali atau lebih menerbitkan ke Penerbit Madju

serta mempunyai record pemasaran yang dinilai baik, berhak mendapat 15% dengan perhitungan: 15% x harga jual x oplah (potong pajak)

(44)

benar-benar telah terbayar lunas, dengan demikian buku yang sifatnya konsinyasi atau kredit belum dianggap sebagai buku laku. Dalam hal ini Penerbit Madju akan selalu menjaga kejujuran dan kepercayaan bagi semua relasinya, ini semua karena nama baik sangat penting bagi Penerbit Madju.

3. Untuk mengatasi permasalahan pembajakan buku, maka yang bisa dilakukan oleh penerbit : Melakukan Penarikan Buku Dari Peredaran, Penerbit harus bekerja sama dengan instansi-instansi Pemerintah atau LSM-LSM yang peduli mengenai masalah pembajakan hak cipta dengan cara mensosialisasikan dengan masyarakat tentang pentingnya Hak Cipta, Penerbit juga harus melakukan pengawasan terhadap Penerbit lain, Penerbit juga harus menjadi anggota IKAPI agar bisa terjalin kerjasama dengan para pemilik toko buku sebagai kontrol pengawasan terlebih lagi agar terbina hubungan baik dengan pihak kepolisian dalam pemberantasan pembajakan buku.

B. Saran-saran

1. Faktor kesadaran hukum masyarakat merupakan bagian yang terpenting dalam mekanisme penegakan hukum khususnya di bidang hak cipta, karena kedudukannya sebagai objek hukum sekaligus subjek itu sendiri. karena itu sangat diperlukan penerangan dan penyuluhan hukum tentang hak cipta dan ditanamkan sikap untuk menghargai dan menghormati jerih payah orang lain dan sikap untuk tidak membeli atau menyewa bajakan.

(45)
(46)

BAB II

PENGATURAN ATAS PERLINDUNGAN TERHADAP PENULIS

BUKU

A. Hak cipta sebagai Hak Eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta

Dalam konsep perlindungan hak cipta disebutkan bahwa hak cipta tidak melindungi ide, informasi atau fakta akan tetapi lebih melindungi bentuk dari pengungkapan ide atau informasi yang dituangkan dalam bentuk yang khas dapat dilihat, diproduksi ulang. Sehingga dengan demikian perlindungan hak cipta dimulai apabila seorang pencipta untuk pertama kalinya mengumumkan kepada khalayak ramai hasil ciptaannya demikian pula halnya dengan penulis buku apabila dia telah selesai menuangkan idenya yang dituangkan menjadi sebuah buku maka penulis tersebut adalah pemegang hak cipta atas karyanya yaitu sesuai dengan bunyi pasal 2 UU No. 19 Tahun 2002:

Hak Cipta merupakan hak ekslusif bagi pencipta atau pemegang untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya; yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan undang-undang yang berlaku.

Dari rumusan pasal 2 di atas maka hak cipta sebagaimana ditentukan oleh undang-undang tersebut dapat dilihat bahwa hak cipta adalah hak khusus bagi penciptanya sebagai hak khusus ia mempunyai hak untuk :

1. Memperbanyak ciptaannya

(47)

tersebut dengan mempergunakan bahan yang sama maupun tidak sama termasuk pengalihwujudan.

2. Mengumumkan ciptaannya

Dalam pasal 1 huruf 5 UU No. 19 Tahun 2002 yang dimaksud mengumumkan hak cipta adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran atau penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun termasuk media internet atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat di baca, di dengar atau dilihat orang lain.

Dalam prakteknya biasanya pengumuman dan perbanyakan dilakukan oleh pihak ketiga setelah mendapat izin dari pencipta. Dalam hal penerbitan buku maka karya penulis yang sudah dituangkan dalam bentuk buku, diperbanyak dan diumumkan oleh penerbit.

3. Untuk mempertahankan haknya

Dalam pasal 3 UU No. 19 Tahun 2002 disebutkan bahwa hak cipta dianggap sebagai benda bergerak. Dengan diakuinya hak cipta sebagai benda bergerak maka ia mempunyai hak untuk mempertahankan terhadap gangguan dari pihak lain.

(48)

Untuk memperoleh perlindungan berbeda dengan bidang HAKI lain yang harus didaftarkan sedangkan untuk hak cipta bukan merupakan suatu keharusan. Dalam pasal 35 (4) UU No. 19 Tahun 2002 bahwa pendaftaran hak cipta tidak merupakan kewajiban untuk mendapatkan hak cipta. Dari ketentuan pasal di atas dapat ditarik 4 point penting dalam kerangka perlindungan hak cipta.

1. Pendaftaran hak cipta bukan merupakan suatu keharusan tetapi kerelaan (volentary) bagi pencipta atau pemegang hak cipta dan perlu ditegaskan bahwa perlindungan suatu ciptaan dimulai sejak ciptaan itu ada atau terwujud (material form) dan bukan karena suatu pendaftaran artinya disini bahwa hak cipta baik terdaftar maupun tidak terdaftar tetap mendapat perlindungan yang sama oleh undang-undang.

2. Kantor Direktorat Hak Cipta berfungsi untuk mengadministrasikan dan mengelola pendaftaran hak cipta saja (pasal 52 UU No. 19 Tahun 2002). Kantor Direktorat Hak Cipta tidak mempunyai wewenang membenarkan hak cipta tersebut layak didaftarkan atau tidak, kecuali hak cipta tersebut bertentangan dengan undang-undang, misalnya gambar marka jalan lalu lintas, tidak dapat didaftarkan karena sudah menjadi milik umum.

(49)

Sehingga disimpulkan bahwa pendaftaran hak cipta tidak memberikan akibat yuridis bahwa hak cipta yang telah terdaftar tersebut mempunyai kekuatan hukum sehingga tidak dapat diganggu gugat oleh pihak lain.

B. Perlindungan Hak Cipta Atas Penulis Buku

Buku merupakan salah satu penemuan terbesar karena buku merupakan sumber segala informasi ilmu pengetahuan yang kita inginkan serta mudah disimpan dan dibawa-bawa. Buku dapat diartikan sebagai tulisan atau cetakan dalam sehelai kertas atau dalam bentuk material lain yang dijadikan satu pinggiran/dijilid sehingga bisa dibuka pada bagian mana saja. Kebanyakan buku-buku mempunyai sampul pelindung untuk melindungi bagian dalamnya17

1. Hak untuk memperbanyak dalam bentuk buku yang diterbitkan sendiri atau oleh penerbit berdasarkan suatu perjanjian lisensi ;

Buku merupakan salah satu perwujudan karya ciptaan tulis. Buku yang diterbitkan perlu mendapatkan perlindungan sebagai salah satu bentuk apresiasi terhadap penciptanya sekalipun dalam praktiknya apresiasi dalam bentuk finansial lebih menonjol daripada apresiasi moral.

Menurut Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002, pencipta suatu karya tulis mempunyai sekumpulan hak khusus yang mendapat perlindungan yang terdiri dari :

2. Hak untuk menerjemahkan buku ke dalam bahasa lain ; 3. Hak untuk membuat karya pertunjukan dalam bentuk apapun 4. Hak untuk membuat karya siaran dan lain sebagainya

17

(50)

Apabila memperhatikan pada Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 dapat ditentukan beberapa bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada pencipta khususnya terhadap pemegang buku, yaitu :

Dalam pasal 56 ayat (1) menyebutkan bahwa :

Pemegang Hak Cipta berhak untuk mengajukan gugatan ganti rugi atas terjadinya pelanggaran Hak Ciptanya dan dapat meminta dilakukan penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil perbanyakan ciptaan itu

Dalam pasal 56 ayat (2) menyebutkan bahwa :

Pemegang Hak Cipta juga berhak memohon kepada Pengadilan Niaga agar memerintahkan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah, pertemuan ilmiah, pertunjukan atau pameran karya, yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta.

Kemudian seiring dengan majunya teknologi di bidang grafika yaitu tersedianya alat-alat cetak modern dan tenaga kerja yang ahli dan terampil, tercipta suatu usaha percetakan yang melawan hukum yaitu mencetak karya tulis buku orang lain tanpa izin pencipta atau pengarang atau lebih dikenal dengan pembajakan. Dalam Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 tidak disebutkan secara tertulis pasal yang mengatur tentang pembajakan. Dalam pasal 72 ayat (1) menyebutkan bahwa :

Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan atau denda paling sedikit Rp. 1000.000 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000 (lima miliar rupiah).

Pasal 72 ayat (2) menyebutkan bahwa :

(51)

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

Dua ayat di atas menyebutkan secara eksplisit bahwa pembajakan sebagai salah satu jenis pelanggaran hak cipta yang dapat dipidana.

Kejahatan pelanggaran hak cipta dibedakan menjadi dua jenis menurut siaran Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) 15 Februari 1984 yaitu18

(1) Mengambil sebagaian ciptaan orang lain dan dimasukkan ke dalam ciptaan sendiri seolah-olah itu ciptaan sendiri. Perbuatan ini disebut plagiat. Hal ini terjadi pada karya tulis berupa buku atau karya tulis berupa lagu dan notasi lagu.

:

(2) Mengambil ciptaan orang lain untuk diperbanyak dan diumumkan sebagaimana aslinya tanpa mengubah bentuk, isi, pencipta dan pengarang, penerbit atau perekam. Perbuatan tersebut disebut “pembajakan”. Pembajakan banyak dilakukan pada karya tulis berupa baku dan karya rekaman audio dan video.

Seperti yang disebutkan pada bab di atas, bahwa pembajak buku adalah tindak pidana kejahatan pelanggaran hak cipta. Pekerjaan ini liar, tersembunyi, tidak diketahui oleh orang banyak apalagi petugas pajak. Pembajak tidak mungkin membayar pajak kepada negara. Jadi jelas bahwa pembajak buku itu merugikan negara, menghambat penciptaan buku, menghambat tujuan memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan bangsa.

Dan apabila terjadi pembajakan buku maka Undang-undang Hak Cipta dalam pasal 56 bahwa “Pemegang hak cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran hak ciptanya dan meminta penyitaan terhadap benda

18

(52)

yang diumumkan atau hasil perbanyakan hak cipta itu.” Selain itu untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang dilanggar maka hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan pengumuman dan atau perbanyakan ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta (pasal 56 ayat 3). Selain itu

penyelesaian secara perdata tidak mengurangi hak negara untuk melakukan tuntutan pidana terhadap pelanggar hak cipta (pasal 66 Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002).

Untuk tuntutan pidana bagi orang yang melakukan pelanggaran hak cipta harus dituntut secara pidana karena pelanggaran hak cipta adalah kejahatan. Dalam pasal 72 disebutkan bahwa siapa saja dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan atau denda paling sedikit Rp. 1000.000 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000 (lima miliar rupiah), termasuk dalam pelanggar ketentuan ini adalah pelaku utama atau pelanggaran hak cipta.

(53)

Dan untuk barang/ ciptaan yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta serta alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dirampas oleh negara untuk dimusnahkan (pasal 73 ayat (1))

Selain sanksi pidana dan perdata terhadap perlindungan bagi pihak yang dilanggar hak ciptanya dan rezim hukum hak cipta telah dikenal doktrin hukum “substansi pemakaian yang layak” atau lebih dikenal dengan “doctrine of fair use” prinsip dari fair use doctrine ini mempertimbangkan beberapa kepentingan untuk dikulifikasika sebagai pertimbangan masalah atas maksud ekonomis dari pelanggaran hak cipta tersebut. pada konkretnya penggunaan fair use doctrine terletak kepada kepentingan pribadi pencipta atas ciptaannya. Misalnya apabila si pembajak buku dapat menunjukkan tidak mempunyai kepentingan dari peniruan tersebut melainkan untuk keperluan pendidikan, maka pelanggaran ini dianggap tidak dapat dikualifikasikan untuk kepentingan komersial belaka. Dalam prinsip umum substansi proporsional lebih banyak dipakai karya cipta orang lain maka makin banyak pula pelanggaran hak cipta dilakukan dengan mengacu pada keadaan ini.

Selain perlindungan hukum di atas ada juga bentuk perlindungan yang lain bagi orang yang membajak yaitu dengan meminta izin kepada pencipta untuk/ meminta lisensi agar barang yang sudah dia produksi sudah legal dengan konsekuensi dia harus membayar sejumlah uang untuk royalty kepada pencipta. Cara ini jauh lebih efektif sehingga buku yang sudah di cetak dapat di jual secara sah kepada masyarakat dan pemegang hak cipta tidak dirugikan akibat dari pembajakan ini.

(54)

mengajukan gugatan perdata. Selain gugatan perdata juga tidak menghalangi hak dari pemerintah untuk melakukan tuntutan pidana dan juga pihak yang dirugikan dapat meminta hakim untuk meminta surat penetapan sementara. Hal ini dilakukan agar menghindari kerugian yang lebih besar dari penggugat. Selain adanya sanksi baik perdata maupun pidana, bentuk perlindungan lain yaitu dengan lisensi pembayaran royalty pada pencipta. Cara ini jauh lebih efektif dan efisien.

C. Jangka Waktu Perlindungan Hak Cipta

Pengaturan mengenai jangka waktu perlindungan hak cipta berbeda dari suatu ciptaan dengan jenis cipta lainnya, yang pada umumnya didasarkan pada eksploitasi bisnis yang dapat diperoleh oleh penciptanya sehubungan dengan pengakuan hak ekonomi atau ciptaan. Lama singkatnya jangka waktu yang disesuaikan dengan

kepentingan ekonomi dari pencipta yang telah membuka investasi waktu, tenaga, pikiran, keahlian dan/ atau dana dalam menghasilkan ciptaan itu, sehingga dengan adanya jangka waktu perlindungan itu maka pencipta dapat memperoleh hasil dari pengorbanan yang untuk menciptakan suatu ciptaan itu.

Untuk mencapai rasa keadilan, jangka waktu perlindungan hak cipta itu juga dikaitkan dengan hak masyarakat atau kepentingan umum terhadap suatu ciptaan. Hak masyarakat ( publik domain ) ini sering dilawan dengan hak pencipta, untuk itu perlu adanya keseimbangan antara hak pribadi untuk melakukan monopoli selama waktu tertentu dan hak masyarakat untuk menikmati dan memanfaatkan ciptaan itu secara mudah dan murah19

19

(55)

Berikut ini karya cipta atau ciptaan yang berlaku selama hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 Tahun, setelah pencipta meninggal dunia atau bila ciptaan itu dimiliki 2 ( dua ) orang atau lebih maka hak cipta berlaku selama hidup pencipta yang meninggal dunia paling akhir dan berlangsung selama 50 tahun sesudah ia meninggal dan ciptaan tersebut meliputi ( Pasal. 29 ) sebagai berikut :

a. Buku, pamflet dan semua hasil karya tulis lain ; b. Drama atau rama musikal, tari, koreografi ;

c. Segala bentuk seni rupa seperti seni lukis, seni pahat, dan seni patung ; d. Seni batik

e. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks ; f. Arsitektur ;

g. Ceramah, kuliah, pidato dan cipta sejenis lainnya ; h. Alat peraga ;

i. Peta ;

j. Terjemah, tafsir, saduran, bunga rampai, data base dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.

Apabila ciptaan tersebut dimilki oleh badan hukum maka hak cipta selama 50 (lima puluh) tahun sejak karya tersebut pertama kali diterbitkan. Sedangkan untuk karya cipta yang berlaku selama 50 ( lima puluh ) tahun sejak pertama kali diterbitkan ( pubished ) yaitu ciptaan yang berupa ( Pasal 36 ) :

a. Program Komputer ; b. Sinematografi ; c. Database ;

d. Karya hasil pengalihwujudan.

(56)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini berarti pembangunan tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah atau kepuasan batiniah saja melainkan juga mengejar keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara keduanya. Keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan lahiriah maupun batiniah tersebut diwujudkan dalam pembangunan disegala segi kehidupan masyarakat Indonesia.

Pembangunan disektor fisik sebagaimana diarahkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) merupakan usaha bersama antara masyarakat dengan pemerintah, demikian pula dengan pembangunan disektor non-fisik tidak terlepas dari peranan masyarakat dan pemerintah. Pembangunan disektor non-fisik dapat berupa : pemenuhan seni dan budaya sebagai media untuk berekspresi dan berkarya. Seiring dengan pesatnya kemajuan jaman yang ditandai dengan adanya reformasi total disegala bidang telah melahirkan satu gejolak yakni : kebebasan, salah satunya adalah kebebasan dalam berkesenian dan berkebudayaan.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil ELISA deteksi virus PYMoV menggunakan antiserum BSV pada benih lada Sukabumi menunjukkan nilai absorban yang negatif untuk semua sampel, sedangkan

Terdapat tujuh variabel dari faktor pengetahuan, lima variabel dari faktor keterampilan, empat variabel dari faktor konsep diri, dua variabel dari karakteristik pribadi dan

Maka hal yang harus di lakukan adalah mencari informasi sebanyak mungkin mengenai profil perusahaan tersebut bisa melalui media search engine, yellowpages, forum atau referensi

[r]

Moodle E-learning Course Development: A Complete Guide to Successful Learning Using Moodle.. Membangun Sendiri Manajemen E- Learning Menggunakan

Ibu bidan Isnaningsih sebagai bidan desa Polobogo, terima kasih karena telah membantu penulis untuk mendapatkan informasi mengenai data-data ibu-ibu menyusui

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh penerapan model pembelajaran Student Teams Achievement Divisions ( STAD ) terhadap keaktifan dan hasil belajar

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk mendeskripsikan latar belakang penerapan LMS, fitur LMS yang digunakan, fasilitas